Saturday, December 8, 2007

Kaki Langit Kota Cinta

Jika tuan berdiri di salah satu sudut kota itu, tuan akan tahu bagaimana pelbagai perbedaan menyeruak, lalu membentuk mozaik nan indah. Di situ tuan akan melihat orang yang serba hitam, yang putih, yang cokelat hingga kemerah-merahan. Semuanya terkumpul menjadi satu, memindai kota itu menjadi surga para pengembara. Di situ banyak pelabuhan, pantai dan anak sungai yang meliuk, pasar malam, hingga bandar yang ramai dengan pendatang.

Tuan tak perlu bingung jika di sepanjang perjalanan tuan menemukan sebuah tulisan yang terpahat rapi berupa prasasti. “Vires acquirit eundo”. Kami akan semakin kuat seiring perjalanan kami. Semboyan itulah yang tertanam di lubuk hati setiap jiwa penduduk kota. Di kalimat itu ada makna bersama dan khidmat. Bersama sebab Tuan tak mungkin hidup sendiri. Khidmat karena hidup akan terus berjalan, berdetak seiring waktu. Kenangan baik dan buruk sudah menggumpal menjadi asa. Di situ Tuan tidak akan seperti penambang yang memilah mana emas dan mana yang bukan. Semuanya harus dipungut untuk dibungkus jadi pelajaran. Sebab hidup tentu akan makin berarti dengan mencari.

Begitu juga ketika tuan menjumpai banyak patung di kota itu. Jangan dulu takjub ataupun bersyak sangka. Patung-patung itu bukan sesembahan melainkan sejarah yang sedang bertutur dengan sahaja. Maukah tuan ditunjukkan sebuah patung berwujud seorang pejuang kemanusiaan? Jika tuan sempat berkunjung Queen Victoria Park, di situ tuan akan berjumpa dengan seorang pahlawan kemanusiaan yang rendah hati. Konon, ia enggan di sebut pahlawan sebab ia meyakini bahwa dirinya hanyalah satu dari sekian ribu orang pejuang kemanusian di zaman perang.

Lalu tahukah tuan bagaimana kota itu dihidupkan? Seperti banyak kota di dunia, kota itu dihidupkan oleh kematian para pahlawannya. Mereka tak mati sia-sia tapi penuh makna. Selain itu, tahukah tuan apa sebenarnya yang paling menghidupkan kota itu? Cinta. Ya, cinta pada sesama. Bukan saja sesama manusia tapi sesama ciptaan-Nya. Jika tuan sempatkan diri menghabiskan pagi di sebuah taman, maka akan banyak yang tersenyum. Tak hanya mereka penduduk tempatan, tapi juga dari pendatang seperti tuan. Tak hanya dari kembang taman, tapi juga burung-burung camar yang bernyanyi tiada henti.

Maka bathin tuan pasti tersentak jika mendengarkan seorang pecinta suatu ketika bertutur seperti ini; hanya ada satu kalimat yang paling tepat menggambarkan kota ini: the lovely city where I found my love. Jika sudah begitu, bisakah tuan mencari padanan kata lainnya selain kata mengharu biru?

Di tepi jalan yang meriah di kota itu, di dekat trotoar tak jauh dari sebuah bulevar, tuan akan merasa seperti tinggal di surga. Segalanya ada, tinggal minta. Maka ketika tuan harus melangkah pergi meninggalkan kota itu, bisakah tuan menyegerakannya? Bukankah tuan harus cepat-cepat menampiknya? Percayalah tuan, kota itu hendak bermetamorfosa menjadi prasasti hidup bagi yang hidup di dalamnya. Kaki, tangan dan jiwa Tuan akan ikut terpaku bersamanya.

Jika kota itu semisal sosok ibu, ia masih cekatan sekali. Bahkan dalam tidurnya pun ia masih sempat menyusui para pecinta malam. Pun dalam terlelapnya, ia masih bisa memandu para pengembara tentang bagaimana memahat hari untuk besok pagi. Lebih dari itu, ia masih paiwai menyulap letupan-letupan besar dan kecil dalam hidup untuk kemudian berwujud kenangan manis. Dan kini, saat harus terucap sebuah kalimat pada kota itu “Selamat tinggal kota, aku harus pergi untuk tak kembali”, maka mata mana yang tak akan basah? Bisakah tuan pilihkan kata-kata yang paling tepat menggambarkan pilu hati sebab perpisahan?

Percayalah Tuan. Sulit hendak memberi nama perasaan saat tuan harus mengemas koper untuk beranjak pergi dari kota itu. Akan tampak jelas ada paralisis yang bertaut erat satu sama lain; lumpuh sebab tak mampu menanggung pahit getir perpisahan dan lumpuh karena tak kuasa mencari alasan kenapa harus diakhiri dengan perpisahan.
Saat Tuan sudah tak berdaya menahan isak tangis perpisahan, saat dada sesak menghitung berapa langkah lagi yang tersisa, pergilah ke pelabuhan. Di situ Tuan bisa menangis sejadi-jadinya. Debur ombak dan kilau cahaya senja akan mengantarkan pesan perpisahan Tuan pada kota itu. Menangislah, sebab kota ini tak pernah menangis.

Tuan pasti sudah tak sabar kota manakah yang dimaksud hikayat ini. Itulah kota Melbourne Tuan, kota cinta di mana Tuhan mempertemukan saya dengan cinta.

Masnur Marzuki
Alumnus Melbourne Law School
Pada Program Master of Laws The University of Melbourne.

Friday, November 2, 2007

Bulan Jatuh Kemana Malam Ini, Dilara?

Kaku, aku duduk di kursi pesakitan pesawat berbadan lebar ini, Dilara. Kau tahu 'kan aku paling benci ketinggian. Meski di ufuk barat sana kuas senja menggoreskan warna merah keemasan, pemandangan indah itu tak jua membuatku tenang. Tetap saja aku gugup. Kaku seperti salju. Aku beranikan diri terbang berjam-jam lamanya. Ini semua karena pilihanku untuk berbelah-pihak pada hasrat hati yang ingin segera menyudahi satu resah. Ya, semuanya tentang rindu dan itu buatmu Dilara.

Senja makin mengapung pada bibir awan yang menghampar. Saat itulah aku aku melihat bulan yang hendak jatuh. Jatuh kemana ia malam ini Dilara? Jikalau ia jatuh di dekatmu, seharusnya ia membawa hikayat tentang bujang kota yang merana karena rindu. Atau paling tidak bulan itu mengabarkan tentang mimpi yang hendak ku kejar bersamamu. Terngiang olehku petuah bunda suatu hari; "Meminjam memulangkan, menjemput mengantarkan". Dulu pernah kau pinjamkan rindu itu, nah kini aku bermaksud datang untuk memulangkannya. Dulu pula, cintamu pernah ku jemput, hmm.. tapi tak hendak aku mengantarkannya. Biarkan ia memaku diri di sini, bersemayam dalam indah mimpi kita, Dilara.

Bulan itu jatuh kemana malam ini Dilara? Kalau ia jatuh di dekatmu, sudah sepantasnya ia berbagi cerita tentang penat menyudahi kembara ini. Aku lelah. Ingin segera dekat-dekat denganmu. Kau tahu jatuh kemana bulan itu Dilara? Dan kalau pun ia jatuh saat kau terlelap, bias cahayanya akan menerangkan mimpimu menuju aku. Mari berbaringlah di dekatku, Dilara. Kau tahu 'kan aku sedang di mana. Ya, aku bersemayam di sebuah negeri di atas awan. Dari sini bulan itu hendak jatuh ke hariban. Indah, seperti elok rupamu.

Jatuh kemana bulan itu malam ini Dilara? Cepat-cepatlah kau terbangun agar kau bisa membaca pesan yang ku titipkan padanya. Bersandarlah padanya. Lalu di situ akan ada aku yang hanya memulangkan rindu dan hendak mengantarkan cinta yang terseduh sejak lama. Aku cinta kau, Dilara.

Kemana bulan itu jatuh Dilara? Andai ia bertali akan ku sodorkan padamu sumbunya agar dapat kau tembatkan ia hingga saat aku tiba nanti. Dan kita bisa melihatnya bersama. Kau benar Dilara; Jika berkaca pada rindu maka hari-harimu begitu singkat. Seperti terhukum menghitung detik nadi di tiang gantungan. Mataku mulai basah, Dilara. Melihat bulan yang hendak jatuh. Semoga kau melihatnya dalam cinta.



Di atas langit, 29 Oktober 2007.

Arqan Kamaruzzaman.

Friday, September 7, 2007

Gerhana Cinta Bujang Kota [Catatan Perjalanan]

Tahukah kau Dilara satu penyakit saat waktu terasa begitu lama sekali. Aku mendadak bosan di kota ini, ingin cepat-cepat keluar menuju Melbourne tempat di mana mimpi bertemu kau bisa ku pijar.

Aikh.. Aku sedang merindu?
Entahlah Dilara. Aku tak tahu hendak ku beri nama apa perasaan ku ini. Tapi yang pasti berjauh-jauhan seperti ini saat keinginan untuk bersua membuncah sungguh tidak enak, Dilara. Seperti penyakit, ia minta disembuhkan. Kau mau kesini sebentar jadi juru rawatnya 'kan Dilara?

Aku juga sedang sakit hati sebab cinta yang kemarin kau ucap belum sempat aku jawab. Kini aku masih di Paris Dilara, tapi justeru di kota cinta ini cintaku tertahan dinding jarak dan ketidaktahuanku tentang adamu.

Kau pasti ingat tulisan yang tempo hari kau kirimkan lewat surat kabar itu;

"I love to love you Arqan, and I don’t care who knows it. I hope to see you in Melbourne."
Dilara Aydin, some where in Turkey.

Berpesanlah ibu kalau berkata
rendah suara jangan meninggi
hati orang perlu dijaga
Jangan sampai tersinggung rasa sampai ke mati

Suara hatimu itu tidak rendah dan tidak pula tinggi Dilara, tapi sungguh itulah yang membuat aku tersinggung. Sebab aku belum sempat memberi tanda.

Catatan Perjalananku ini mungkin tak kan sempat engkau baca tapi cukuplah ia jadi saksi bahwa aku juga cinta kau Dilara.

Tahukah kau jika cintaku umpama minyak yang penuh di bejana, sedikit lagi akan melimpah. Tapi kenapa kau masih bersembunyi tanpa jejak, Dilara. Bila begini, jangan kau salahkan nanti bila bunga cinta tak mau tumbuh. Kiranya hati yang tak menerima.

Lama-lama aku jadi tersadar bahwa dalam beberapa hal kau amat mirip dengan Lara-ku Dilara. Kau angkuh dengan hatimu juga cintamu.
Mau kau apakan hatimu itu Dilara? Berucap cinta dari jauh kemudian cepat-cepat mengemas barang dan meninggalkan aku di sini sendiri. Kau jahat. Sungguh jahat.

Kilauan cinta yang suci yang dulu kau ucapkan..
kini gerhana..
Dan aku amat benci bila kau berkata:

saat bulan jatuh ke riba dan aku pun tiada ..
Usahlah ditangiskan kehilangan..

Aku tak pernah sekalipun menangisi kehilangan ini. Toh aku sadar ini hanya kehilangan sementara, tidak seperti saat dulu aku kehilangan Baya dan Lara. Aku kehilangan selamanya.

Cinta buatmu ini Dilara, tak 'kan sama dengan cinta buat Baya dan Lara. Tak ada yang hendak menyamakan masa lalu dan masa kini. begitu juga cinta dan sayangku.Setelah sekian lama aku mencari kemana hilang sisi hatiku yang menggelosoh minta di isi, aku bertemu kau. Dan kau berucap cinta dari jauh. Maka salahkah aku jika menganggap merindumu adalah tugas wajib yang mesti ku tuntaskan?

Rindu serindu-rindunya buatmu di sana, "somewhere in Turkey".

Benarkah kau di Turki?

Entahlah.

Yang pasti, cinta dan rinduku ini sudah menggerhana.


Paris, saat senja mendadak datang minta dijenguk.

Arqan Kamaruzzaman.

===

M2
Carlton, 050907 [saat rindu membuncah dan kau hening tanpa suara tenggelam dalam hiruk pikuk dunia]

Saturday, August 4, 2007

Cinta yang senja [cerpen]

“Cinta yang Senja”

Bolehkah ku ketuk sekali lagi pintu hatimu?

Boleh. Kenapa tidak?

Oh, itu awal yang baik.

Jika aku jadi datang, pasti kau akan bertanya.

"Siapa?"

Lalu akan ku jawab. "Ini aku."

Lalu kau berujar getir. "Maaf, tidak ada tempat untukmu dan aku disini!"

Aku pun akan pulang, namun tidak untuk menyerah. Pada saat yang lain, aku minta lagi kesedianmu menerima datangku. Kali ini aku berbekal keteguhan. Kau pasti suka. Kemudian, di depan pintu hatimu yang kokoh, aku mengetuk pelan. Kau kembali bertanya.

"Siapa?"

Dengan penuh khusuk aku akan menjawab.

"Kita!"

Segera pintu itu terbuka menghadirkan senyum dan tawa. Kita bersama lagi untuk kita. Masa bodoh dengan mereka. Tapi masih ku lihat ragu di matamu. Kau pun berkata.

"Kalau memang kali ini kau datang untuk kita, gubahlah sebuah puisi."

Aku pun bersiap membacakan satu puisi.

"Sayang, lihatlah langit biru itu
Terbentang luas mempersembahkan damai untukmu..
Dan aku datang membawakan puisi buatmu..
Lalu dibawahnya ku gores sebuah garis untukmu..
berwarna biru..
Demi kita, aku ketuk hatimu..
Untuk kita, aku sudahi egoku..
Sayang, lihatlah langit biru itu...
Dalam bentangannya ada indah kebersamaan kita. Seperti Dulu."


Terdengar suara tepukan tangan. Om Sutradara itu tersenyum puas.

“Selamat. Audisi yang sempurna..!! Senang bekerja dengan kalian berdua. Saya yakin peran ini cocok untuk kalian.” Suaranya menggelagar. Entah karena merasa tidak nyaman, kau buru-buru pamit.


"Ini script lengkapnya. Tolong di hapal luar kepala. eh kenapa lawan mainmu tadi buru-buru pergi?" Siapa namanya tadi?"

"Lara, om." Sahutku.

"Iya, Lara. Baiklah. Tolong titipkan skrip ini untuknya. Aku tunggu perkembangan dari kalian. Sampai ketemu minggu depan." Tutup sutradara itu.

Aku berjalan gontai menyisir lorong gedung pementasan itu. Gedung Kesenian Jakarta, tempat kita pertama kali bersua.

Di depan ku lihat kau berlari kecil. Kau masih sendirian. Kelelahan. Aku berlari mengejarmu.

"Boleh ku antar?" kataku.

"Tujuan kita tidak sama." Kau mengabaikan tawaranku.

"Baiklah. Kau boleh menolak tawaranku. Tapi kau tentu tidak akan menolak skrip titipan om sutradara tadi 'kan?" Gurauku datar.

Kau menyambarnya dengan cepat. Hampir tanpa suara.

Tepat di mulut gang, tempat pertemuan sebuah jalan besar kita berpisah. Aku ke kiri, kau ke kanan.

Dalam gontai langkahku aku berkhayal.

Lara, seandainya saja pementasan itu nanti jadi nyata dan pertemuan kita ini hanyalah sandiwara.

Ah, entahlah. Aku gesa jalanku. Pulang. Letih. Semoga bertemu di persimpangan berikutnya.

###

Kemarin setelah hari pementasan, aku datang lagi mengetuk pintu hatimu, Lara. Meski untuk kali kedua, lagi-lagi kau enggan. Dan aku, yang memang selalu terbodohi oleh rasa penasaran, tak akan pernah lelah atau bahkan kecewa. Sebab aku sadar ini cuma bunga-bunga api dari cambuk panas rasa keingintahuan.

Berhenti berharap?

Mungkin iya, mungkin juga tidak. Sebab aku tidak tahu dengan siapa aku akan bertemu dan berpisah esok pagi. Bukankan itu yang selalu ku ungkapkan padamu dan kawan-kawanku yang lain?
Iya. Kau tidak akan tahu dengan siapa esok pagi kau akan bertemu atau berpisah. Seperti melihat kereta, kata salah seorang sahabat, kau tidak akan pernah tahu kereta itulah yang akan membawamu pulang. Seperti itu juga aku hari ini.

Lara, hari ini aku telah berdamai dengan masa laluku. Baya, yang dulu singgah lama, datang lagi dengan senyum ketulusan. Antara percaya dengan tidak. Antara yakin dan ragu. Antara mimpi dengan kenyataan. Absurd.
Tapi aku tak berani cepat-cepat menggeleng. Aku berikan ia sebuah sapa terindah pagi ini, seperti dulu. Itu demi membalas manis lesung pipinya. Dan aku langsung tersenyum.

Lara, yakinlah. Saat semua skenario berjalan sesuai dengan arahan sutradara, disitulah serba ketidakpastian terjadi. Dan aku tak ingin menjadi sutradaranya. Bagiku cukup jadi pemain dalam lakonnya saja. Itu pun sudah membuat aku berdebar. Seperti sebuah tanda tanya dalam tanda baca, ia sukar ditebak sejauh mana ia akan meliuk membentuk sebuah lengkungan.

Akhirnya, Lara. Kalah atau menang ternyata tidak selalu bersenandung tentang siapa yang kehilangan. Paling aku cuma kehilangan kesempatan. Tapi aku tak akan pernah kehilangan dirimu dalam bingkai kenangan. Pahit hati? Tentu tidak. Mari berdamai dengan masa lalu, Lara. Seperti katamu dulu, aku akan berhenti makna menjadi "ada" dari hidupmu, karena kita memang tidak sejalan. Kau ke Timur aku ke Barat. Kau ke Selatan aku ke Utara.

Hm...Hari ini dan kemarin-kemarin seharusnya sudah harus kau anggap aku tak ada. Toh aku memang tiada. Sederhana, bukan? Dan seharusnya kau mengucapkan padaku kata selamat atas ketiadaanku itu. Mau?
Dan hari ini serta kemarin-kemarin aku sering ragu berdamai dengan masa lalu. Tapi kali ini?Ah, entahlah. Entah iya, entah tidak.

Berdamai atau tidak, bagiku, masa lalu, masa kini dan esok hanya soal memberi makna setiap helaan nafas. Ya, Makna. Sebab di pundaknyalah aku menyandarkan diri hingga detik ini.

O iya, Bulan haji tahun ini aku akan menikah dengan Baya. Kau pasti senang sebab tak akan ada lagi Arqan yang keras kepala minta dicinta. Tapi aku tetap menunggu kata selamat darimu. Selamat menikah untukku meski bukan denganmu.

=====

[Setelah 27 Tahun ]

Senja datang seperti sedia kala. Dan memang selalu begitu. Beranda tempatku melepas penat seperti hendak ikut menenamiku menunggu senja. Begitu indah. Tapi aku tidak tahu sejak kapan aku mulai mencintai senja. Dalam kurun waktu 54 tahun perjalanan hidupku, inilah puncak kecintaanku pada senja yang selalu datang dengan perlahan.

Ah.. Seandainya saja Baya masih ada, tentu akan aku ajak isteriku itu duduk di sini menghabiskan senja. Senja sudah mengajariku banyak hal. Dengan senjalah aku mulai bisa menerima pahit ditinggal kekasih tercinta. Lalu aku pun percaya bahwa menunggu maghrib sebelum senja datang sama saja menyiapkan bekal sebelum mati.

Sedari tadi aku masih menunggu senja. Kapan datang? Bila nanti telah genap merahnya, ingin aku mendedahkan diri di kursi tua itu semakin lama. Lama sekali. Tapi senja hari itu sungguh berbeda. Senja yang ku nanti telah tiba. Selain senja yang datang, ada pula kedatangan lain. Aku takjub. Tiba-tiba kau datang dengan kerudung merah dan sudah berdiri di depanku saat ini. Harus aku akui, kau masih anggun seperti dua puluh tujuh tahun silam saat kau pernah singgah di hatiku. Dulu. Dulu sekali.

"Lara??" Pekikku menggema pada senja yang angkuh. Kau membetulkan letak selendangmu. Wajahmu masih seperti embun, matamu juga masih tetap bening. Dua puluh tujuh tahun, Lara. Dan kau masih mempesona.


Maukah kau ketuk sekali lagi pintu hatiku? Katamu.

Tentu. Kenapa tidak? Aku menjawab sambil memikirkan sesuatu. Aku hampir ingat tapi buru-buru kau bergumam. Kemudian bermonolog di depanku.

Hm.. itu awal yang baik.

Jika kau jadi datang, pasti aku akan bertanya.

"Siapa?"

Lalu kau harus jawab. "Ini kita."

Aku ingat sekarang. Monologmu hampir serupa dengan dialog pementasan kita dulu. Drama yang telah merubah jalan hidup kita masing-masing.
Oh... seandainya saja ada mesin pemutar waktu.

Garis senja di ufuk barat membentuk pijar merah yang meraksasa. Aku masih duduk dan kau masih juga berdiri mematung di depanku. Kita sama-sama diam.

Lama kau mematung tanpa suara. Hanya selendangmu saja yang gontai dimainkan angin.

Kau tidak sedang bergurau 'kan dengan pertanyaanmu tadi?" Tanyaku penasaran.

"Yang mana?" Masih seperti dulu. Kau memang suka menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.


"Maukah kau mengetuk pintu hatiku sekali lagi?" Kataku mengingatkan.

"Buat apa bergurau." Jawabmu ringan.

"Lalu..?" Sergahku.

"Lalu apa?" Kau menjawab lagi dengan bertanya.

"Boleh ku ketuk pintu hatimu kali ini?" Kataku.

Kenapa tidak?"

"Oh, itu pertanda baik."

"Iya. Tanpa kau ketuk pun, hatiku sudah membuka untukmu." Kau membungkukkan badan hendak menggapai jemariku.

Aku kaget bukan kepalang.

"Sebentar, Lara. Ini bukan sandiwara 'kan."

Kau menggeleng.

Aku tak mampu lagi menahan tangis haru.

"Baiklah, sayang. Selamat datang kembali kehidupan."

###

Kau pasti tak percaya jika masa lalu itu telah mengikatku sedemikian rupa. Memilinku dalam kesendirian. Sunyi. Sampai aku dengar setiap detail derak pintu hatimu yang menutup. Kini kita sudah sama-sama dimakan usia. Namun tetap ada cinta itu 'kan? Kau pasti belum yakin jika aku tak pernah bisa membumikan setiap khotbahmu yang dulu. Masih ingat 'kan waktu itu kau mengajariku banyak hal. Tapi aku bukan murid yang baik.

Kau pernah bilang: "Kau harus bisa mencuri hatiku tanpa membuatku kehilangan.."
Sungguh, aku belum bisa. Dan mungkin tak akan pernah bisa.
Kau pernah minta sesuatu: "Tolong nanti saat kau meninggalkanku, kau jangan pergi jauh."
Sungguh, aku belum bisa. Dan mungkin tak akan pernah bisa.
Kau juga pernah bertanya: "Kau tahu 'kan bahwa menjadi pecundang tidak harus merasa kalah?"
Dulu aku belum menjawab tanyamu itu. Kini aku tahu jawabannya.
Aku sudah tahu. Hanya saja aku merasa kalah. Pasrah. Pulang. Lalu berhenti berharap.

Untuk membuatmu menjadi yang terindah sepanjang hidupku ternyata tidak mudah, Lara. Lalu kau tiba-tiba datang, di waktu senja pula. Betapa ini sangat berarti, Lara. Seperti namamu. Lara. Pun juga begitu dengan hatiku. Kau pergi tapi untuk kembali. Ah..Lara...
Aku kehabisan kata-kata. Yang tersisa cuma cinta. Cinta yang senja. Itu saja.


M2

Thursday, June 28, 2007

Meninggalkanmu, Mampukah Kami?

You can checkout any time you like,
But you can never leave! [Hotel California by Eagles]

Ini bukan hotel California dan bukan pula satu wilayah di semenanjung Amerika. Ini adalah Victoria yang di dalamnya Melbourne sudah terbungkus dengan aksesoris ragam peradaban. Dan kami, yang telah disusuinya dalam satu kurun waktu, harus terpaksa pergi meninggalkannya. Mampukah?

Sebentar, kawan. Ini bukan soal mampu atau tidak mampu. Tapi ini adalah perkara sebesar apa kemampuan kami meninggalkan kota ini. Sejauh mana nyali kami memilih untuk beranjak dari kota ini. Dan dalam pelbagai senandung tentang kemampuan dan nyali, lirik yang pertama kali sering disebut adalah tekad. Maka adakah tekad kami untuk bangkit, berdiri kemudian berlalu meninggalkan kota ini?

Tidak. Sekali-kali tidak, kawan.

Tidak. Sekali-kali tidak, kawan.

Seperti akhir lirik lagu Hotel California itu, kami bisa saja pergi dari kota ini kapan saja kami mau. Namun kami tak kan pernah bisa meninggalkannya.
Kami memang harus pergi. Beranjak namun untuk tidak meninggalkannya. Sebab Melbourne sudah terpahat dalam sejarah hidup kami sebagai "ibu" yang tegas dan terkadang juga manja. Tegas, hingga kami tumbuh menjadi manusia-manusia tahu diri. Manja, hingga ia melembutkan hati kami.

Bukannya kami tak bernyali, kawan, hanya saja kami belum puas mencicipi. Puluhan bulan purnama memang sudah kami jamah keindahannya. Ratusan hari memang sudah berlalu bersama pergantian musim. Panas. Dingin. Semuanya masih belum cukup membekali kemampuan dan tekad kami untuk benar-benar meninggalkannya.

Tidak. Sekali-kali tidak, kawan.

Tidak. Sekali-kali tidak, kawan.

Tidak. Sekali-kali tidak kawan.

Biarkan kami menikmati sisa-sisa hari agar nanti saat kami benar-benar beranjak pergi, paling tidak kami sudah dibekali banyak kenangan. Ingatan yang akan membawa kami, kembali ke kota. ini.

Jangan sebut kami keras kepala. Atau jangan pula katakan kami hendak bermelankolis ria.

Kali ini kami hanya ingin bernyanyi.

"You can checkout any time you like,
But you can never leave!" ... Du ..du.. du... du...du...
[Hotel California by Eagles]

Melbourne, 26 Juni 2007

M2

ps: Didedikasikan buat mereka yang sudah akan pergi meninggalkan Melbourne .

Sunday, June 3, 2007

“Tentang Angin, Syal Cokelat dan Melbourne”

Melbourne bukan lagi sebuah peradaban dengan kenyamanan. Ia hanyalah bentuk lain dari perasaan campur aduk. Sedih dan senang. Kini Melbourne adalah....



"Bloody hell. Dasar cuaca sialan!!!." Sepagi ini saya sudah mengeluarkan sumpah serapah. Ini cuma soal pergantian cuaca. Hari ini saya menemui Melbourne dalam wujud yang sesungguhnya. Ya, perubahan cuacanya yang secepat kilat. Dan memang begitulah Melbourne. “Jangan hanya bergantung pada perkiraan cuaca, selalu siapkan kostum tiga musim setiap bepergian.” begitu pesan Mathew, salah seorang teman saya yang sudah lama tinggal dan besar di Melbourne.



Pagi tadi saat saya berjalan menuju pelataran kampus, langit begitu indah meski disudut timur masih ada segumpal awan hitam. Musim dingin memang sudah akan tiba, tapi hari ini sepertinya begitu cerah.

“What a beautiful day..” gumam saya dalam hati.

Segera saja saya memperlambat langkah kaki sembari menikmati indahnya hari.



Saya keliru. Hari ini Melbourne menyuguhkan ke hadapan saya betapa segala sesuatu dapat terjadi kapan dan di mana saja. Langit yang tadi terang berubah gelap. Awan kecil-kecil yang tadi beriak tiba-tiba bergumpal besar dan bergerak cepat. Angin sepoi-sepoi beberapa menit yang lalu tiba-tiba marah dan mengamuk, menyapu apa saja. Teman saya itu benar. Hari ini akan ada tiga musim.



Saya salah telah mengutuk cuaca. Saya khilaf sebab ada Tuhan di sana, sang Pencipta. "Rob... afwan wa atuubu ilaik.."



lenyapkan dirimu di hadapan Sang Wujud
agar ribuan dunia berlompatan darimu
dan wujud murnimu memancar dari dirinya sendiri
terus dan terus melahirkan bentuk-bentuk berlainan…


berbahagialah ia yang menyerahkan hidupnya demi mengetahui itu!
dia meninggalkan rumah ini demi rumah selanjutnya; yang jauh lebih bercahaya…


jika kau tak merasakan sakit, kau takkan mencari kesembuhan
jiwa yang tak hidup dalam Tuhan, tidaklah hidup..



(Sultan Walad, mistikus Islam)



To be continued........

(Cahaya di atas Cahaya)
more: click

Wednesday, April 25, 2007

"akhir segalanya"

Ini kalimat terakhir.

Kata-kata sudah habis..

Mari istirahat ke titik nadir...

Sampai bertemu sarang belibis....


--

Ini paragraf terakhir.

Kalimat-kalimat sudah lelah berbaris..

Mari pulang menguak tabir...

memungut senyum, membungkus tangis....


---

Ini sajak terakhir.

syair-syair sudah disulam..

Mari berkemas menjemput takdir...

Bertemu kita di simpang dalam....


----

Carlton, Vic. 25 April 2007

Sunday, April 15, 2007

Berpisah Jua Kita Akhirnya

"Menyusur keramian sepanjang sisi kota.. Hanyut kita berdaua laju diatas roda.. Malam hangat memeluk melebur cinta kita.. Bias lampu menyapa getar hati bertanya... Adakah waktu tersisa menyanggah segala prasangka?
Dan lagu pun mengalun nanar kau pandang aku... Cinta kita terlarang membentur batu karang... Ketika norma peradatan terpilih sebagai alasan. Mereka ciptakan jurang antara kita..
Sampai akhir nanti.. Kita berusaha bertahan.. Sebab cinta datang untuk menolak perbedaan.. Oh adakah waktu tersisa menjaga kita tetap sejiwa?"


Syair lagu Katon Bagasakara mendayu-dayu di telinga Sheira. Ia baru saja menyelesaikan lipatan terakhir pakaian yang kini telah terkemas dalam sebuah koper besar berwarna merah. Sebuah tiket pesawat kelas ekonomi menuju Jakarta tergeletak tak beraturan di sisi kirinya. Sebentar lagi burung besi di luar sana akan segera membawa dirinya keluar dari peradaban kuno di pesisir Sumatera itu. Tepatnya di kota Deli, hiasan termashur wisata di Sumatera Bagian Utara.

Meski telah dirundung pahitnya berkasih sayang, Arqan, sang terkasih masih terus bermain di pikiran Sheira. Dicobanya mengusir bayangan itu. Sekali lagi gagal. Apa daya, ia hanya bisa tertunduk lesu memandangi pagi yang sebentar lagi pergi.
Ada tema besar yang menancap tegak di atas ubun-ubunnya saat ini. Apalagi kalau bukan perpisahan yang menyesakkan dada. Barangkali tidak akan begitu menyakitkan jika perpisahan ini barang satu atau dua tahun. Namun ini adalah perpisahannya saat berdiri di persimpangan di mana adat tidak lagi bisa dikompromikan. Selamanya ia harus pergi menjauh dari tambatan hati, demi tradisi pongah.

Aturan adat memang ada sejak Sheira belum terlahir ke dunia. Mungkin itu juga sebabnya ia hanya jadi penikmat aturan adat meski terkadang lakonnya tak jarang membosankan. Bahkan ketentuan adat itu bisa berwujud malaikat maut. Membunuh cinta setiap jiwa akan dunia.

Adat ternyata punya dalil dan hukumnya sendiri. Salah satu dalilnya yang membuat seisi dunia terperangah adalah memberi stempel pada percintaannya dengan Arqan sebagai kisah kasih cinta terlarang. Di antara mereka harus dibangun jurang yang dibuat menganga. Tak peduli ada benteng agama sebagai pelindung cinta keduanya. Jika sudah begitu, Sheira hanya berserah pada nasib. Ia makin tersudut saat ditakut-takuti dengan ancaman akan terus dilanda prahara jika tetap nekat meneruskan kisah cinta terlarang ini.

Pernah juga terpikirkan olehnya untuk melawan. Namun bekalnya belum cukup. Alasannya sederhana, sebab ia masih merasa "hijau". Jadilah Sheira kini seorang diri. Menyerah pada nasib menjadi satu-satunya pilihan terbaik buatnya.
"Arqan, berpisah jua kita akhirnya."

Tuesday, April 3, 2007

Tanpa Judul (Sajak)


Kategori: Sajak
Judul: Belum ada
Dibuat oleh: Saya
Tempat di buat: Bumi
Ditujukan: Siapa saja

Sebongkah bara yang ku tanam..
Telah terhangatkan karena dendam..
Kepada kalian tetua adat sialan..
Yang merasa lebih bijak dari Tuhan..

Lima tahun sudah ku kemas pemberontakan ini..
Sudah saatnya aku menepuk dada..
Mengacungkan sepuluh jari..
Pertanda aku bukan anak kecil lagi..

Bersiaplah kalian orang-orang tua..
Akan ada segerombolan pasukan muda..
Menggilas keserakahan kalian dengan segera..

Jangan tunggu aku di perbatasan..
Sebab aku ada di barisan terdepan..
Merubah setiap kepongahan tradisi..
Menyulapnya agar tak lagi jadi kitab suci..


Melbourne, 19 Maret 2007.
Di Tepi Sungai Yarra sehabis gelap.

Sunday, April 1, 2007

"Di manakah kau, ratu adil?"


Cari dan mencari nilai kebenaran..

Gali dan menggali pati keadilan..

Niscaya akan kau temukan ia tertunduk lesu dalam pelukan kekuasaan...


Carlton, Melbourne, 1 April 2007

Wednesday, March 28, 2007

"Ya, aku telah pulang, sayang....."




Kota itu terletak sebelah Barat Daya Melbourne, Australia. Ia begitu mempesona bukan saja kerena ketuaannya namun lebih pada masa "keemasan" sejarah lampaunya. Emas di mana-mana seperti gumpalan awan di musim panas. Dari dulu hingga sekarang, sama saja, tetap mempesona. Ballarat. Namanya diambil dari kosa kata suku Aborigin "Ballaarat" yang bermakna tempat istirahat.


Di kota itulah aku tinggal menghabiskan sisa umurku. Lana, begitu orang memanggilku. Dengan umur 109 tahun, aku tidak lagi bisa menjalankan semua aktifitas harian tanpa bantuan orang lain. Tapi aku lebih suka melakukannya sendirian. Menyiram tanaman, memberi makan kuda dan "Mosh" kucing kesayanganku. Orang mungkin tidak menyangka, janda sepertiku akan bertahan hidup selama itu. Tapi Ballarat adalah tempat istirahat dan aku merasa nyaman hingga aku bisa lebih lama membaca hidup dan bertahan di atasnya.


Aku dulunya isteri dari seorang penambang emas. Suamiku, Reid Lambert dibayar dengan gaji amat rendah, namun kami hidup sejahtera membesarkan Lambert Junior putera kami satu-satunya.

Dua laki-laki itu begitu mencintaiku. Pernah suatu ketika di musim dingin Reid membisikkan sesuatu di telingaku.


"Nanti, saat kematian membekap raga, kami akan tetap hidup di sini. Di hatimu, Lana." Ia letakkan jari telunjukkan di dadaku. Aku tersentuh. "Dan, tahukah kau bahwa kami akan mengunjungimu suatu masa di mana kau benar-benar merindukan kami."


Hidup memang aneh. Ia memiliki epispode-episode tak terbaca dan liar. Suka dan duka adalah dua sisi mata uang. Dan disitulah ia membundar, menggelinding tanpa tahu tempat pemberhentian yang terakhir. Rasanya aku tak akan kan bisa lagi melanjutkan hidup terutama setelah suamiku tewas di tangan sipir dalam penjara politik. Ia ditangkap sebab memberontak menuntut haknya bersama ribuan buruh penambang emas. Hak atas bayaran yang layak dan persamaan hak. Namun aku sadar, proses memanusiakan manusia kadang butuh pengorbanan. Dan aku bangga padanya. Untuk itu aku lebih suka memanggil Reid sebagai pahlawan sebab memang ia lah pahlawanku dan juga anak-anakku. Lebih dari itu, ia hanyalah seorang suami yang baik hati.

Kematian suamiku akhirnya dapat ku terima setelah Lambert tumbuh dari bayi yang lucu menjadi bocah laki-laki yang cekatan. Ia begitu mirip suamiku. Rambutnya yang hitam dan sepasang kaki yang kokoh. Aku pun masih ingat di tahun 1894 saat bencana menyerang daerah pertambangan emas ini. Lambert, yang dalam dirinya aku temukan suamiku, turut menjadi satu dari sekian anak-anak yang meninggal diserang wabah ganas Malaria. Saat itulah aku merasa habis. Hidup hanya menghitung waktu kapan pagi datang dan senja menjelang.


Ketuaanku "dimanfaatkan" dewan kota Ballarat sebagai asset wisata termashur kota ini. Kota ini disulap sedemikian rupa hingga kesan tuanya tetap terjaga. Mungkin karena itu juga kenapa aku diminta tetap tinggal di sini. Rumahku di pugar sebab ia memang terletak persis di tengah pusat pertambangan emas. Setiap hari ragam pengunjung menikmati ketuaan aku dan kota ini. Semua barang-barang peninggalan suamiku seperti magnet yang menyedot peratian banyak orang yang cinta sejarah. Koleksi alat-alat tambang miliknya yang masih tertata rapi di sudut ruangan rumahku itulah alasannya.



Bagi mereka pecinta serial detektif The Adventures of Sherlock Holmes, maka Ballarat mungkin bukan lagi sesuatu yang asing. Sebab si pengarang, Arthur Conan Doyle, pernah memuat satu seri tentang kota ini. Dengan settingan tahun 1888, "The Boscombe Valley Mystery" itulah Ballarat ditampilkan begitu misterius dan penuh lika-liku.
Membaca ceritanya Arthur terus menyeret aku ke masa-masa dulu saat hidup begitu sempurna. Ada suara parau suamiku dan gelak tawa Lambert. Ingin aku kembali ke masa itu. Seonggok cinta yang ku temukan di kota tambang ini. Di sanalah masa "keemasan" hidup yang berlimpah kebahagiaan.


Siang ini, seperti biasa aku lebih suka mengurung diri berlindung di bawah terik panas matahari. Beberapa pengunjung masih terlihat di mana-mana termasuk di dalam rumah. Mereka, produk zaman modern ternyata juga mencintai masa lalu. Aku pun sibuk menjawab pertanyaan seputar kota ini dan sejarahnya. Di kerumanan pengunjung itu, telingaku menangkap sesuatu yang tak asing. Suara parau dan gelak tawa setengah melengking. Aku berlari ke dapur mengejar asal suara itu.


"Lambert?"

"Reid?"

"Kaukah itu?"


Aku setengah berteriak memanggil mereka, tapi tak ada siapa-siapa di dapur. Hanya jejak dua pasang sepatu. Aku menangis. Meratapi kebodohanku. "Bisa jadi ini hanyalah jejak biasa yang sering ditinggalkan pengunjung atua para pelancong." aku berbisik sendiri.
Aku termangu di bibir ruang dapur, menyeka air mata. Dalam termanguku, dari dalam bilik tidur aku mendengar lagi suara parau dan gelak tawa setengah melengking. Kali ini amat jelas dan sangat akrab di telingaku. Aku kembali berlari menuju kamar. Sebagian pengunjung melihat keheranan kepadaku. Di atas tempat tidur aku tak menemukan siapa-siapa. Aku mencari-cari kalau-kalau mereka sembunyi di bawah tidur. Cepat-cepat aku periksa. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Aku menyerah. Namun tiba-tiba sudut mataku menangkap cahaya kilau kuning keemasan dari bawah tempat tidur. Aku menangis sejadi-jadinya, saat aku lihat butiran emas membentuk dua nama tertulis rapi.


"Reid and Lambert"


Setengah percaya aku usap-usap kedua mataku.


"Mata tuaku mungkin yang salah" ucapku seketika. Tapi aku tidak keliru. Di bawah nama itu kini malah tersusun satu kalimat.


"Lana, here we're with you".


Aku terkesima, darah ku terkesiap. Aku merasa tenggorokan tersekat. Tercekik. Aku terjatuh. Lalu tak sadarkan diri.


Pada sore harinya. Kami bertiga berjalan beriringan. Menikmati senja yang mulai datang. Orang masih ramai mengikuti sebuah acara pemakaman. Gerimis senja makin pekat di antara orang-orang yang berpakaian serba hitam. Aku melihat peti jenazahku diangkut beramai-ramai petugas museum. Di kerumunan pelayat itu, aku saksikan takzim warga kota akan sejarah dan masa lalu aku dan kota ini.


Lambert menoleh padaku. Tersenyum.


"Selamat berjumpa lagi, sayang." "Mari pulang, hari sudah petang.. Seperti nama kota ini, sudah saatnya kau beristirahat."


Aku kalungkan tanganku dipundaknya.


"Ya, aku telah pulang, sayang....."



=======
Sebagian besar dari cerita ini pernah diterbitkan di Tabloid BUSET di Melbourne.

Friday, March 23, 2007

"Metamorfosa Indomelb dan Pak Lurah Yang Belum Ber'BuLu"


source: multiply-nya kang adeu

Mungkin hari ini kita membuat sejarah, dan menyaksikan Indomelb bermetamorfosa. Sudah lama kita punya rumah dan sudah lama pula rumah itu kita singgahi, kita ramaikan dengan pelbagai sorak-sorai, tingkah pola dan kekonyolan. Bersyukur pada Tuhan, kini kita sudah pula punya lurah, tempat kita menyandarkan banyak harapan. Lagu asa yang dibalut semangat kebersamaan itu telah kita dengarkan lantunannya di sini. Ada kawan-kawan yang merekam setiap momen dalam bentuk gambar tak bergerak -baca: warkop photografi-, ada yang resah dengan jodoh antah berantah -terutama lurah baru-, ada yang berkeluh kesah -baca:curhat-, bahkan sumpah serapah -no comment deh buat yang satu ini. Namun itulah bumbunya dan pada lurah baru itulah tempat kita merengek minta dimanja.




Bagi saya Indomelb adalah sebuah melankoli. Betapa tidak, Indomelb adalah tempat saya memijar kepenatan kuliah dengan senyuman, canda dan tawa. Belajar tentang makna pertemanan. Setuju ataupun tidak, bagi saya berteman seperti meretas jalan menuju kearifan. Sebab dari sanalah saya sadar betapa mustahilnya saya menjadi manusia egois yang merasa tak butuh orang lain. Sungguh, di atas makna pertemanan itulah saya menjadi lebih sempurna menjadi manusia.


Kita memang tidak akan selamanya di sini, karena Melbourne bagi kita hanya semacam pelabuhan sementara. Kita sementara tinggal dan hidup di sini demi -tentu saja- kehidupan yang lebih baik. Jika Melbourne tempat sementara melabuh, maka tidak begitu dengan Indomelb. Ia sudah menjadi semacam gambar rumah yang ditatap dengan keyakinan, dikonsep dengan keberagaman serta dipaku dengan semangat kekeluargaan. Dan di sana, saya berani berucap bahwa di sini kita tidak akan pernah merasa asing. Ia begitu ramah menyapa kita setiap saat dengan canda dan senyum terkulum.



Begitulah. Sesuatu telah berubah, memang. Kita sadar dan tahu itu. Saya tak akan mengatakan hal yang baru jika saya menuliskan ucapan selamat bertugas dan mengemban amanah buat lurah baru tercinta (Mode background walting matzilda song On). Tapi apa mau dikata. Tak selamanya kita bisa berjalan tanpa merasa butuh pemimpin baru. Meski hanya sedikit yang merasa perlu untuk itu, namun penghormatan buat mereka yang peduli layak kita sematkan. Kita angkat topi dengan semangat mereka. Terima kasih kawan...


Kembali ke lap top (Mode Tukul Fans Club On)


Indomelb --yang sebenarnya berisi keragaman tak tepermanai, beranggotakan manusia-manusia jenius yang rumit-- telah pula kita lengkapi dengan perkakas baru. Pak Lurah. Saya jadi ingat sesuatu. Kata sepadan yang sering menemani kata "Pak" tentu adalah "Bu". Saya jadi ingat lurah saya di kampung halaman. Kemana saja beliau selalu ditemani seorang perempuan yang biasa kami panggil "BuLu" alias Bu Lurah. Tapi beliau tidak pernah marah meski kita panggil dengan sebutan "BuLu". Toh ia memang seorang Bu Lurah. Tapi lurah saya yang baru di Indomelb sayang sekali belum punya "BuLu". Hei.. jangan berpikiran yang aneh-aneh dulu. Lurah kita sudah dewasa, tentu dia butuh seorang "BuLu". Untuk itu mari kita sambut Pak Lurah baru kita dengan menengedahkan tangan sambil berdoa. "Semoga segera menemukan "BuLu", Pak Lurah." Tentu dengan semangat baru karena Laler pun tidak pernah lupa kata "bulu". :) He he he.. Laler berbulu ngk sih? Au ah, gelap...


Ah sudahlah. Musim gugur sudah akan datang. Saya tutup saja catatan ini. Tak lupa pula saya ucapkan: "Dengan atau tanpa BuLu, Selamat Berlayar kapiten!!!.



Carlton, 24 Maret 2007.


"Di Tepi Sungai Yarra Aku Menangis"

Kata teman saya Melbourne itu adalah kota harapan yang berkembang menjadi penderitaan. Betapa tidak, teman saya itu menemukan nilai kemanusiaannya di sini. Di samping itu ia juga memelihara sakit yang dibawanya dari kampung halamannya, di pesisir Sumatera. Teman saya itu sudah lama gundah akibat kepongahan nilai adat dan tradisi. Ia mencintai Baya, gadis pujaan hatinya. Namun sayang, dinding adat begitu kokoh melarang mereka menyemai cinta dan kasih sayang dalam satu persukuan. Perkawinan satu suku adalah larangan yang amat tabu untuk dilanggar. Tapi tetap saja ia gigih mempertahankan hati yang sudah tertambat.
"Cinta Terlarang?" "Penghianatan kaum muda atas nama Cinta?" "Kisah kasih anak durhaka?" Sulit memang memberi nama hubungan mereka. Saya pernah dimintai untuk menamai hubungan itu. Tapi saya menolak. Ketimbang membuat teman saya itu makin sedih dan larut dalam kegundahan, saya lebih memilih diam. Bisu tak bersuara. Berpuluh-puluh purnama sudah teman saya itu meninggalkan kampung halaman demi cintanya buat Baya, sang terkasih. Ia memilih pergi meninggalkan kepongahan adat dan tradisi. Tetua adat itu laksana badai dalam hubungannya. Untuk itulah ia diam, pergi demi menyiapkan bekal perlawanan. Sebuah pilihan yang sulit memang, tapi itu harus ditempuh.

"Aku mencintaimu."

"Tapi kau harus pergi."

"Kenapa aku?"

"Aku tidak bisa meninggalkan emak."

"Tapi aku juga tak bisa meninggalkanmu."

"Pergilah untuk sementara, hingga aturan adat ini terkikis bersama waktu."

"Kamu yakin?"

"Kenapa tidak?"

"Tapi, aku mencintaimu."

"Aku tahu. Tapi kau tetap harus pergi."

"Kau sudah rela?"

"Kalau disuruh memilih aku lebih suka kau di sini. Tapi, kau harus pergi mengumpulkan keberanian untuk melawan."

"Baiklah. Aku pergi dan untuk kembali lagi."

Percakapan itulah yang mengantarkan teman saya itu ke Melbourne. Baginya melawan bukan berarti harus hadap berhadapan. Jika diam dan pergi harus terpilih sebagai alasan kenapa tidak, katanya. Kalau diibaratkan pelarian politik, teman saya itu seperti tahanan politik yang memilih pergi ke luar negeri demi menunggu rezim yang berkuasa turun tahta. Nanti, setelah rezim berganti, barulah pulang merayakan kemenangan. Dengan jujur pula teman saya itu tidak menampik bila pilihan itu terkesan pengecut. Tapi begitulah hidup. Ia cuma soal bagaimana menentukan pilihan.


Sudah lima tahun ia tinggal di Melbourne. Teman saya itu menghabiskan hari, minggu, bulan dan tahun demi mengumpulkan amunisi. Setelah semuanya siap, barulah ia akan pulang, melawan kesewang-wenangan adat atas cinta dan kasih sayang anak manusia.
Suatu ketika saya berjumpa dengannya di Mumba Festival. Ia terlihat kurus sekali.


"Sudah berapa banyak amunisi terkumpul?"


"Tak tahulah saya."


"Lho, kenapa?"


"Semalam saya bicara dari hati ke hati dengan Baya."


"Terus?"


"Katanya ia sudah capek menunggu. Lima tahun memang bukan waktu yang singkat. Dan ia pantas untuk bosan."


"Kamu yakin ia jujur dengan sikapnya itu?"


"Sepertinya, ya."


"Lalu, apa ia sudah ada yang melamar?"


"Sepertinya, ya."


"Apa ia sudah menerima pinangan itu?"


"Saya tidak tahu. Tapi saya tahu ia sudah lama ditaksir oleh seorang anak kepala suku."


"Satu suku juga denganmu?"


"Tentu saja tidak."


"Terus, apa kamu juga sudah capek melawan?"


"Tentu saja tidak."


"Kamu tetap menyiapkan bekal buat perlawanan?"


"Sepertinya, ya."


"Lalu buat siapa? Bukankah Baya sudah pindah ke lain hati?"


Teman saya itu diam dengan pertanyaan saya barusan. Ia hanya tertunduk kemudian mendongakkan kepala.


"Aku melawan bukan buat Baya. Perlawananku ini aku persembahkan buat mereka yang cintanya tertawan akibat adat dan tradisi."


Saya pukul pelan pundaknya. Kemudian kami berpelukan sambil berbisik di telinganya.


"Daftarkan aku dalam barisan pasukanmu untuk bertempur melawan tetua adat dan tradisi itu, kawan."


“Welcome on board, mate”


Saya dan teman saya itu sepakat dan berkesimpulan bahwa sudah saatnya tetua adat itu disadarkan. Seperti penderita Autistik, tetua adat itu punya mata tapi tak melihat, punya telinga tapi tak mendengar.


Seperti juga teman saya itu, saya sebenarnya berjiwa pemberontak. Betapa tidak, saya lahir dan dibesarkan di luar Jawa, tempat hampir seluruh sejarah pemberontakan terjadi. Nama daerah saya dilahirkan mungkin punya hubungan dengan semangat pemberontakan dalam diri saya. Pulang Pisau. Sebuah kabupaten di Kalimantan Tengah yang tidak kesohor itu. Teman saya itu pernah bertanya kenapa Pulang Pisau menjadi nama kabupaten saya. Saya menggelengkan kepala. Tidak tahu.



“Sudah berapa lama kau merantau?”


“Hampir sama denganmu, enam tahun.”


“Suatu hari nanti aku ingin ke Pulang Pisau, daerahmu itu.”


“Dengan senang hati aku akan menemanimu.”


“Hm, Pulang Pisau, seperti inspirasi buatku.”


“Maksudmu?”


“Aku akan pulang memulai pemberontakan ini. Pulang dengan pisau.”


“Kau pasti bergurau.”


“Pisauku bukan sungguhan. Semangat pemberontakan itulah yang kumaksud.”


Sebulan berikutnya saya berjumpa lagi dengannya. Tapi saya membawa karangan bunga. Bunga kematian. Teman saya itu melanggar janjinya. Saya sedih. Teman saya itu tak pernah pulang. Ia malah memilih pulang ke kampung halamannya yang terakhir. Suatu senja ia ditemukan sudah tak bernyawa, tenggelam di sungai Yarra. Di sakunya ditemukan secarik kertas bertuliskan sebuah puisi. Demi menghormati teman saya itu saya tidak ingin menuliskan puisinya itu di sini. Cukup judulnya saja, saya kira itu sudah cukup. Puisi yang amat indah menurut saya. "Di Tepi Sungai Yarra Aku Menangis".



PS: Thanks to Mel, Arny dan mbak Win for your lovely friendship. Tak lupa buat udha Hendri yang lagi jenuh dengan Melbourne yang katanya kaku. Cerpen ini juga buat kalian dan mereka yang setuju kalau hidup itu cuma soal kapan tidur dan bangun lagi.

Pagi dan Seribu Senyum Buat Melbourne


Pagi dan Seribu Senyum Buat Melbourne
Source: Tabloid Buset April Edition 2007 (Melbourne)



Apakah kau belum mendengar perihal orang gila yang menyalakan lentera di pagi yang cemerlang, menyeruak ke pasar, dan berteriak tanpa henti, “Ku cari Tuhan! Ku cari Tuhan!”?
F. Nietzsche, Die Froliche Wissenschaft

*****************************
Siang baru saja menjelang. Runsyam baru saja beranjak dari aktifitas rohani menuju duniawi sambil menunggang angin dingin musim panas benua Australia. Tinggal di kota seunik Melbourne memaksanya untuk juga menikmati ketidakakuran antara panas dan dingin. Di musim panas seperti ini ia tak bisa pongah untuk segera mengemasi koleksi pakaian winternya di sudut jauh. Runsyam meletakkannya di tempat biasa sebab suatu waktu di musim panas seperti ini, justeru alam menuntut setiap diri untuk dibalut pakaian hangat. Aneh, memang. Namun itulah Melbourne, kota yang sudah ia anggap sebagai kota mimpi.

Begitulah, pagi tadi ia sudah harus bangkit menjemput matahari. Runsyam sempat terlamun. Tanpa sengaja, sebuah perasaan asing hadir, begitu menyentuh. Ia berubah jadi begitu melankolis. Jika sudah begini, Runsyam biasanya menulis sesuatu buat ayahnya. Di samping ia tidak ingin kehilangan momen berharga ini, Runsyam juga punya satu maksud hati. Sederhana saja, cuma memaksa ayahnya untuk tahu diri. Alasannya hanya agar anggapan ayahnya bahwa ia sama sekali tidak romantis adalah keliru besar.

"Selamat Pagi, ayah."

Ku hormati engkau pagi ini sekali lagi dengan memanggilmu "ayah". Jika menurutmu itu belum cukup, aku akan memuaskanmu dengan kembali menuliskan panggilan buatmu diawali huruf besar. Mulai dari sekarang, dan tidak tahu hingga kapan akan bertahan seperti itu. Ya, A y a h. Sebuah kata tak berdengung dan sudah lama tak ku lafazkan. Aku bahkan nyaris lupa bagaimana rupamu sekarang. Jangan bilang dulu aku ini anak durhaka, tapi salahkan kenapa ribuan tahun lalu benua ini memisahkan diri dari elok paras negeri kita. Konon daratan negeri kita bertaut dengan bumi Australia. Buktinya ada banyak kemiripan di dalamnya terutama soal flora dan faunanya.

Pasti kau sudah bangun, aku tahu engkau adalah satu dari sekian juta umat manusia pecinta pagi. Pesanmu dulu bahwa menghabiskan pagi dengan secangkir kopi sama halnya dengan keinginan menggenggam dunia. Jika dulu aku tak begitu saja percaya celotehanmu, maka saat inilah aku sadari pesanmu itu ada benarnya juga. Melihat pagi adalah bentuk lain melihat hidup dari ruang hampa yang disediakan Tuhan.

Pagi ini di genggamanku ada kota yang dikemas dalam setumpuk surat kabar mingguan. Namanya City Weekly. Dan salah satu misiku pagiku ini adalah membuat penduduk kota menikmati suguhan baris demi baris berita kota dan secangkir kopi pagi ini. Demi menyukseskan misi mulia ini, pagi-pagi sekali anakmu telah berdiri manis di pojok bisu kota, pada pertemuan dua jalan besar.
Ayah, mungkin engkau tidak percaya. Pagi ini aku sudah tersenyum sebanyak seribu tujuh ratus dua puluh enam kali. Aku sampai capek dibuatnya. Mungkin kau heran kenapa aku bisa tersenyum sebanyak itu dan mampu pula menghitung jumlahnya.

Begini ayah, sebenarnya aku malas mem-filosofi-kan pagiku ini. Namun jiwa melankolisku berontak saat ku coba menepis keinginan mengabaikan pagi. Membagi-bagikan terbitan mingguan cuma-cuma inilah yang membuat aku tersenyum. Penghuni kota yang sering kau sebut bule itu ternyata lebih ramah ketimbang kita orang Timur. Bagaimana tidak, aku dihujani dengan kata tulus "thanks" plus satu senyuman segar saat ku ulurkan surat-surat kabar itu pada mereka. Senyuman-senyuman itulah yang memaksaku untuk juga ikut tersenyum. Walhasil, selain mendapat bayaran dari pekerjaan mulia ini, aku juga bisa ikut senam mulut. Tersenyum sepanjang pagi. Kau kan tahu manis atau tidak manisnya raut muka amat bergantun bagaimana kau menutup uara iblis dalam diri. Jangan pernah buka kesempatan untuk iblis-iblis itu atau kau tak akan pernah tersenyum. Orang-orang akan menyebutmu si Tuan Pencemberut. Kau boleh tak percaya, tapi coba kau perhatikan dua lambang ini. :) dan :( Jika kau mempersilahkanku memfilosofikan kode ini ini, maka jawabanku kira-kira begini. Dua titik yang diberi tanda kurung tutup adalah perlambang senyuman. Untuk itulah tadi aku ingatkan agar saat kau melihat pagi maka buka dua matamu dan tutup sisi iblismu. Perihal makna lambang kedua kau pasti tahu sendiri, kan?

Ayah, sepagi ini anakmu sudah ditempa alam, dibekali banyak pelajaran. Aku belajar dan semakin teryakinkan bahwa tersenyum di waktu pagi adalah bentuk lain dari ungkapan rasa syukur. Lihat saja bule-bule itu. Mereka bersyukur ku bagikan surat kabar mingguan. Sepertinya mereka menikmati keberadaanku hingga kemudian menghadiahiku ucapan terima kasih dan sejumput senyum manis. Tua dan muda. Si kaya dan si miskin. Semuanya sama.
Jujur harus ku akui jika tidak semua senyumku itu tulus. Sepersekian senyumku itu dibumbui oleh rasa kantuk, sinisme dan kemunafikan. Sewajarnya aku berkata demikian, sebab semalam anakmu ini menunggang fajar menyelesaikan sekian ribu kata, buah tangan dari tempatku kuliah. Meskipun senyumanku ada yang berkesan dipaksakan, toh mereka tetap tulus memberiku senyuman. Itu ku tahu dari mimik muka dan gerak bahasa tubuh. Tulus tanpa beban.


Ayah yang disayang Tuhan. Selain pagi dan senyuman, ada satu hal lagi yang harus ku ceritakan pagi ini. Yakni kemurahan mengucapkan terima kasih. Kau 'kan tahu bawha pekerjaan membagi-bagikan koran gratis adalah satu dari sekian pekerjaan si miskin. Hina dina dan tanpa kehormatan. Oleh karenanya, pekerjanya layak untuk direndahkan dan didekonstrukis nilai kemanusiaannya. Semua tontonan menjijikkan itu sudah aku lihat dulu saat aku besar di Jakarta. Pedagang asongan, penjaja koran adalah pekerjaan orang pinggiran dan mereka juga harus dipinggirkan dengan hinaan. Tapi, tahukah kau bahwa itu tidak terjadi di sini. Hal bodoh itu tidak aku lihat di bumi di mana peran Tuhan sering mereka pinggirkan. Agama bukan isu penting. Yang terpenting adalah bagaimana menikmati hidup dengan sebebas-bebasnya seperti burung di bawah awan. Aku tidak tahu apakah ada hubungan ungkapan "terima kasih" dengan racikan ketulusan berbanding lurus dengan beragama atau tidaknya seseorang. Jika itu benar, maka kesimpulan itu tidak aku lihat di sini. Mereka begitu menghormati makna pemberian. Sebab dibalik ucapan terima kasih terselip penyerahan diri bahwa kita bergantung dengan keberadaan setiap jenis manusia. Kaya, miskin papa, tua dan muda.

Tanpa kusadari, aku telah menghitung senyumanku pagi ini. Hal konyol yang baru pertama kali ini aku lakukan. Aku puas tersenyum, disenyumi dan diberi ucapan terima kasih. Sebelum koran-koran itu habis, aku sudah berubah wujud jadi malaikat. Bagaimana tidak, sepagi in aku sudah diselimuti ketulusan dan keikhlasan untuk bersyukur. Aku laksana malaikat yang tinggal menunggu sayap untuk terbang menebar damai pada setiap pojok kota.
Selamat melihat matahari, Ayah.

Runysam Alkampari

Sebuah panggilan telephone masuk memaksa Runsyam bangkit dan menyudahi surat ini. Untuk kesekian kalinya ia sungguh merasa sempurna menjadi manusia sekaligus anak dari seorang laki-laki.


************
Melbourne, pagi-pagi sekali di bulan Februari.

Di salah satu sudut ruangan yang tidak jauh dari Melbourne Law School

The University of Melbourne