Wednesday, March 28, 2007

"Ya, aku telah pulang, sayang....."




Kota itu terletak sebelah Barat Daya Melbourne, Australia. Ia begitu mempesona bukan saja kerena ketuaannya namun lebih pada masa "keemasan" sejarah lampaunya. Emas di mana-mana seperti gumpalan awan di musim panas. Dari dulu hingga sekarang, sama saja, tetap mempesona. Ballarat. Namanya diambil dari kosa kata suku Aborigin "Ballaarat" yang bermakna tempat istirahat.


Di kota itulah aku tinggal menghabiskan sisa umurku. Lana, begitu orang memanggilku. Dengan umur 109 tahun, aku tidak lagi bisa menjalankan semua aktifitas harian tanpa bantuan orang lain. Tapi aku lebih suka melakukannya sendirian. Menyiram tanaman, memberi makan kuda dan "Mosh" kucing kesayanganku. Orang mungkin tidak menyangka, janda sepertiku akan bertahan hidup selama itu. Tapi Ballarat adalah tempat istirahat dan aku merasa nyaman hingga aku bisa lebih lama membaca hidup dan bertahan di atasnya.


Aku dulunya isteri dari seorang penambang emas. Suamiku, Reid Lambert dibayar dengan gaji amat rendah, namun kami hidup sejahtera membesarkan Lambert Junior putera kami satu-satunya.

Dua laki-laki itu begitu mencintaiku. Pernah suatu ketika di musim dingin Reid membisikkan sesuatu di telingaku.


"Nanti, saat kematian membekap raga, kami akan tetap hidup di sini. Di hatimu, Lana." Ia letakkan jari telunjukkan di dadaku. Aku tersentuh. "Dan, tahukah kau bahwa kami akan mengunjungimu suatu masa di mana kau benar-benar merindukan kami."


Hidup memang aneh. Ia memiliki epispode-episode tak terbaca dan liar. Suka dan duka adalah dua sisi mata uang. Dan disitulah ia membundar, menggelinding tanpa tahu tempat pemberhentian yang terakhir. Rasanya aku tak akan kan bisa lagi melanjutkan hidup terutama setelah suamiku tewas di tangan sipir dalam penjara politik. Ia ditangkap sebab memberontak menuntut haknya bersama ribuan buruh penambang emas. Hak atas bayaran yang layak dan persamaan hak. Namun aku sadar, proses memanusiakan manusia kadang butuh pengorbanan. Dan aku bangga padanya. Untuk itu aku lebih suka memanggil Reid sebagai pahlawan sebab memang ia lah pahlawanku dan juga anak-anakku. Lebih dari itu, ia hanyalah seorang suami yang baik hati.

Kematian suamiku akhirnya dapat ku terima setelah Lambert tumbuh dari bayi yang lucu menjadi bocah laki-laki yang cekatan. Ia begitu mirip suamiku. Rambutnya yang hitam dan sepasang kaki yang kokoh. Aku pun masih ingat di tahun 1894 saat bencana menyerang daerah pertambangan emas ini. Lambert, yang dalam dirinya aku temukan suamiku, turut menjadi satu dari sekian anak-anak yang meninggal diserang wabah ganas Malaria. Saat itulah aku merasa habis. Hidup hanya menghitung waktu kapan pagi datang dan senja menjelang.


Ketuaanku "dimanfaatkan" dewan kota Ballarat sebagai asset wisata termashur kota ini. Kota ini disulap sedemikian rupa hingga kesan tuanya tetap terjaga. Mungkin karena itu juga kenapa aku diminta tetap tinggal di sini. Rumahku di pugar sebab ia memang terletak persis di tengah pusat pertambangan emas. Setiap hari ragam pengunjung menikmati ketuaan aku dan kota ini. Semua barang-barang peninggalan suamiku seperti magnet yang menyedot peratian banyak orang yang cinta sejarah. Koleksi alat-alat tambang miliknya yang masih tertata rapi di sudut ruangan rumahku itulah alasannya.



Bagi mereka pecinta serial detektif The Adventures of Sherlock Holmes, maka Ballarat mungkin bukan lagi sesuatu yang asing. Sebab si pengarang, Arthur Conan Doyle, pernah memuat satu seri tentang kota ini. Dengan settingan tahun 1888, "The Boscombe Valley Mystery" itulah Ballarat ditampilkan begitu misterius dan penuh lika-liku.
Membaca ceritanya Arthur terus menyeret aku ke masa-masa dulu saat hidup begitu sempurna. Ada suara parau suamiku dan gelak tawa Lambert. Ingin aku kembali ke masa itu. Seonggok cinta yang ku temukan di kota tambang ini. Di sanalah masa "keemasan" hidup yang berlimpah kebahagiaan.


Siang ini, seperti biasa aku lebih suka mengurung diri berlindung di bawah terik panas matahari. Beberapa pengunjung masih terlihat di mana-mana termasuk di dalam rumah. Mereka, produk zaman modern ternyata juga mencintai masa lalu. Aku pun sibuk menjawab pertanyaan seputar kota ini dan sejarahnya. Di kerumanan pengunjung itu, telingaku menangkap sesuatu yang tak asing. Suara parau dan gelak tawa setengah melengking. Aku berlari ke dapur mengejar asal suara itu.


"Lambert?"

"Reid?"

"Kaukah itu?"


Aku setengah berteriak memanggil mereka, tapi tak ada siapa-siapa di dapur. Hanya jejak dua pasang sepatu. Aku menangis. Meratapi kebodohanku. "Bisa jadi ini hanyalah jejak biasa yang sering ditinggalkan pengunjung atua para pelancong." aku berbisik sendiri.
Aku termangu di bibir ruang dapur, menyeka air mata. Dalam termanguku, dari dalam bilik tidur aku mendengar lagi suara parau dan gelak tawa setengah melengking. Kali ini amat jelas dan sangat akrab di telingaku. Aku kembali berlari menuju kamar. Sebagian pengunjung melihat keheranan kepadaku. Di atas tempat tidur aku tak menemukan siapa-siapa. Aku mencari-cari kalau-kalau mereka sembunyi di bawah tidur. Cepat-cepat aku periksa. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Aku menyerah. Namun tiba-tiba sudut mataku menangkap cahaya kilau kuning keemasan dari bawah tempat tidur. Aku menangis sejadi-jadinya, saat aku lihat butiran emas membentuk dua nama tertulis rapi.


"Reid and Lambert"


Setengah percaya aku usap-usap kedua mataku.


"Mata tuaku mungkin yang salah" ucapku seketika. Tapi aku tidak keliru. Di bawah nama itu kini malah tersusun satu kalimat.


"Lana, here we're with you".


Aku terkesima, darah ku terkesiap. Aku merasa tenggorokan tersekat. Tercekik. Aku terjatuh. Lalu tak sadarkan diri.


Pada sore harinya. Kami bertiga berjalan beriringan. Menikmati senja yang mulai datang. Orang masih ramai mengikuti sebuah acara pemakaman. Gerimis senja makin pekat di antara orang-orang yang berpakaian serba hitam. Aku melihat peti jenazahku diangkut beramai-ramai petugas museum. Di kerumunan pelayat itu, aku saksikan takzim warga kota akan sejarah dan masa lalu aku dan kota ini.


Lambert menoleh padaku. Tersenyum.


"Selamat berjumpa lagi, sayang." "Mari pulang, hari sudah petang.. Seperti nama kota ini, sudah saatnya kau beristirahat."


Aku kalungkan tanganku dipundaknya.


"Ya, aku telah pulang, sayang....."



=======
Sebagian besar dari cerita ini pernah diterbitkan di Tabloid BUSET di Melbourne.

Friday, March 23, 2007

"Metamorfosa Indomelb dan Pak Lurah Yang Belum Ber'BuLu"


source: multiply-nya kang adeu

Mungkin hari ini kita membuat sejarah, dan menyaksikan Indomelb bermetamorfosa. Sudah lama kita punya rumah dan sudah lama pula rumah itu kita singgahi, kita ramaikan dengan pelbagai sorak-sorai, tingkah pola dan kekonyolan. Bersyukur pada Tuhan, kini kita sudah pula punya lurah, tempat kita menyandarkan banyak harapan. Lagu asa yang dibalut semangat kebersamaan itu telah kita dengarkan lantunannya di sini. Ada kawan-kawan yang merekam setiap momen dalam bentuk gambar tak bergerak -baca: warkop photografi-, ada yang resah dengan jodoh antah berantah -terutama lurah baru-, ada yang berkeluh kesah -baca:curhat-, bahkan sumpah serapah -no comment deh buat yang satu ini. Namun itulah bumbunya dan pada lurah baru itulah tempat kita merengek minta dimanja.




Bagi saya Indomelb adalah sebuah melankoli. Betapa tidak, Indomelb adalah tempat saya memijar kepenatan kuliah dengan senyuman, canda dan tawa. Belajar tentang makna pertemanan. Setuju ataupun tidak, bagi saya berteman seperti meretas jalan menuju kearifan. Sebab dari sanalah saya sadar betapa mustahilnya saya menjadi manusia egois yang merasa tak butuh orang lain. Sungguh, di atas makna pertemanan itulah saya menjadi lebih sempurna menjadi manusia.


Kita memang tidak akan selamanya di sini, karena Melbourne bagi kita hanya semacam pelabuhan sementara. Kita sementara tinggal dan hidup di sini demi -tentu saja- kehidupan yang lebih baik. Jika Melbourne tempat sementara melabuh, maka tidak begitu dengan Indomelb. Ia sudah menjadi semacam gambar rumah yang ditatap dengan keyakinan, dikonsep dengan keberagaman serta dipaku dengan semangat kekeluargaan. Dan di sana, saya berani berucap bahwa di sini kita tidak akan pernah merasa asing. Ia begitu ramah menyapa kita setiap saat dengan canda dan senyum terkulum.



Begitulah. Sesuatu telah berubah, memang. Kita sadar dan tahu itu. Saya tak akan mengatakan hal yang baru jika saya menuliskan ucapan selamat bertugas dan mengemban amanah buat lurah baru tercinta (Mode background walting matzilda song On). Tapi apa mau dikata. Tak selamanya kita bisa berjalan tanpa merasa butuh pemimpin baru. Meski hanya sedikit yang merasa perlu untuk itu, namun penghormatan buat mereka yang peduli layak kita sematkan. Kita angkat topi dengan semangat mereka. Terima kasih kawan...


Kembali ke lap top (Mode Tukul Fans Club On)


Indomelb --yang sebenarnya berisi keragaman tak tepermanai, beranggotakan manusia-manusia jenius yang rumit-- telah pula kita lengkapi dengan perkakas baru. Pak Lurah. Saya jadi ingat sesuatu. Kata sepadan yang sering menemani kata "Pak" tentu adalah "Bu". Saya jadi ingat lurah saya di kampung halaman. Kemana saja beliau selalu ditemani seorang perempuan yang biasa kami panggil "BuLu" alias Bu Lurah. Tapi beliau tidak pernah marah meski kita panggil dengan sebutan "BuLu". Toh ia memang seorang Bu Lurah. Tapi lurah saya yang baru di Indomelb sayang sekali belum punya "BuLu". Hei.. jangan berpikiran yang aneh-aneh dulu. Lurah kita sudah dewasa, tentu dia butuh seorang "BuLu". Untuk itu mari kita sambut Pak Lurah baru kita dengan menengedahkan tangan sambil berdoa. "Semoga segera menemukan "BuLu", Pak Lurah." Tentu dengan semangat baru karena Laler pun tidak pernah lupa kata "bulu". :) He he he.. Laler berbulu ngk sih? Au ah, gelap...


Ah sudahlah. Musim gugur sudah akan datang. Saya tutup saja catatan ini. Tak lupa pula saya ucapkan: "Dengan atau tanpa BuLu, Selamat Berlayar kapiten!!!.



Carlton, 24 Maret 2007.


"Di Tepi Sungai Yarra Aku Menangis"

Kata teman saya Melbourne itu adalah kota harapan yang berkembang menjadi penderitaan. Betapa tidak, teman saya itu menemukan nilai kemanusiaannya di sini. Di samping itu ia juga memelihara sakit yang dibawanya dari kampung halamannya, di pesisir Sumatera. Teman saya itu sudah lama gundah akibat kepongahan nilai adat dan tradisi. Ia mencintai Baya, gadis pujaan hatinya. Namun sayang, dinding adat begitu kokoh melarang mereka menyemai cinta dan kasih sayang dalam satu persukuan. Perkawinan satu suku adalah larangan yang amat tabu untuk dilanggar. Tapi tetap saja ia gigih mempertahankan hati yang sudah tertambat.
"Cinta Terlarang?" "Penghianatan kaum muda atas nama Cinta?" "Kisah kasih anak durhaka?" Sulit memang memberi nama hubungan mereka. Saya pernah dimintai untuk menamai hubungan itu. Tapi saya menolak. Ketimbang membuat teman saya itu makin sedih dan larut dalam kegundahan, saya lebih memilih diam. Bisu tak bersuara. Berpuluh-puluh purnama sudah teman saya itu meninggalkan kampung halaman demi cintanya buat Baya, sang terkasih. Ia memilih pergi meninggalkan kepongahan adat dan tradisi. Tetua adat itu laksana badai dalam hubungannya. Untuk itulah ia diam, pergi demi menyiapkan bekal perlawanan. Sebuah pilihan yang sulit memang, tapi itu harus ditempuh.

"Aku mencintaimu."

"Tapi kau harus pergi."

"Kenapa aku?"

"Aku tidak bisa meninggalkan emak."

"Tapi aku juga tak bisa meninggalkanmu."

"Pergilah untuk sementara, hingga aturan adat ini terkikis bersama waktu."

"Kamu yakin?"

"Kenapa tidak?"

"Tapi, aku mencintaimu."

"Aku tahu. Tapi kau tetap harus pergi."

"Kau sudah rela?"

"Kalau disuruh memilih aku lebih suka kau di sini. Tapi, kau harus pergi mengumpulkan keberanian untuk melawan."

"Baiklah. Aku pergi dan untuk kembali lagi."

Percakapan itulah yang mengantarkan teman saya itu ke Melbourne. Baginya melawan bukan berarti harus hadap berhadapan. Jika diam dan pergi harus terpilih sebagai alasan kenapa tidak, katanya. Kalau diibaratkan pelarian politik, teman saya itu seperti tahanan politik yang memilih pergi ke luar negeri demi menunggu rezim yang berkuasa turun tahta. Nanti, setelah rezim berganti, barulah pulang merayakan kemenangan. Dengan jujur pula teman saya itu tidak menampik bila pilihan itu terkesan pengecut. Tapi begitulah hidup. Ia cuma soal bagaimana menentukan pilihan.


Sudah lima tahun ia tinggal di Melbourne. Teman saya itu menghabiskan hari, minggu, bulan dan tahun demi mengumpulkan amunisi. Setelah semuanya siap, barulah ia akan pulang, melawan kesewang-wenangan adat atas cinta dan kasih sayang anak manusia.
Suatu ketika saya berjumpa dengannya di Mumba Festival. Ia terlihat kurus sekali.


"Sudah berapa banyak amunisi terkumpul?"


"Tak tahulah saya."


"Lho, kenapa?"


"Semalam saya bicara dari hati ke hati dengan Baya."


"Terus?"


"Katanya ia sudah capek menunggu. Lima tahun memang bukan waktu yang singkat. Dan ia pantas untuk bosan."


"Kamu yakin ia jujur dengan sikapnya itu?"


"Sepertinya, ya."


"Lalu, apa ia sudah ada yang melamar?"


"Sepertinya, ya."


"Apa ia sudah menerima pinangan itu?"


"Saya tidak tahu. Tapi saya tahu ia sudah lama ditaksir oleh seorang anak kepala suku."


"Satu suku juga denganmu?"


"Tentu saja tidak."


"Terus, apa kamu juga sudah capek melawan?"


"Tentu saja tidak."


"Kamu tetap menyiapkan bekal buat perlawanan?"


"Sepertinya, ya."


"Lalu buat siapa? Bukankah Baya sudah pindah ke lain hati?"


Teman saya itu diam dengan pertanyaan saya barusan. Ia hanya tertunduk kemudian mendongakkan kepala.


"Aku melawan bukan buat Baya. Perlawananku ini aku persembahkan buat mereka yang cintanya tertawan akibat adat dan tradisi."


Saya pukul pelan pundaknya. Kemudian kami berpelukan sambil berbisik di telinganya.


"Daftarkan aku dalam barisan pasukanmu untuk bertempur melawan tetua adat dan tradisi itu, kawan."


“Welcome on board, mate”


Saya dan teman saya itu sepakat dan berkesimpulan bahwa sudah saatnya tetua adat itu disadarkan. Seperti penderita Autistik, tetua adat itu punya mata tapi tak melihat, punya telinga tapi tak mendengar.


Seperti juga teman saya itu, saya sebenarnya berjiwa pemberontak. Betapa tidak, saya lahir dan dibesarkan di luar Jawa, tempat hampir seluruh sejarah pemberontakan terjadi. Nama daerah saya dilahirkan mungkin punya hubungan dengan semangat pemberontakan dalam diri saya. Pulang Pisau. Sebuah kabupaten di Kalimantan Tengah yang tidak kesohor itu. Teman saya itu pernah bertanya kenapa Pulang Pisau menjadi nama kabupaten saya. Saya menggelengkan kepala. Tidak tahu.



“Sudah berapa lama kau merantau?”


“Hampir sama denganmu, enam tahun.”


“Suatu hari nanti aku ingin ke Pulang Pisau, daerahmu itu.”


“Dengan senang hati aku akan menemanimu.”


“Hm, Pulang Pisau, seperti inspirasi buatku.”


“Maksudmu?”


“Aku akan pulang memulai pemberontakan ini. Pulang dengan pisau.”


“Kau pasti bergurau.”


“Pisauku bukan sungguhan. Semangat pemberontakan itulah yang kumaksud.”


Sebulan berikutnya saya berjumpa lagi dengannya. Tapi saya membawa karangan bunga. Bunga kematian. Teman saya itu melanggar janjinya. Saya sedih. Teman saya itu tak pernah pulang. Ia malah memilih pulang ke kampung halamannya yang terakhir. Suatu senja ia ditemukan sudah tak bernyawa, tenggelam di sungai Yarra. Di sakunya ditemukan secarik kertas bertuliskan sebuah puisi. Demi menghormati teman saya itu saya tidak ingin menuliskan puisinya itu di sini. Cukup judulnya saja, saya kira itu sudah cukup. Puisi yang amat indah menurut saya. "Di Tepi Sungai Yarra Aku Menangis".



PS: Thanks to Mel, Arny dan mbak Win for your lovely friendship. Tak lupa buat udha Hendri yang lagi jenuh dengan Melbourne yang katanya kaku. Cerpen ini juga buat kalian dan mereka yang setuju kalau hidup itu cuma soal kapan tidur dan bangun lagi.

Pagi dan Seribu Senyum Buat Melbourne


Pagi dan Seribu Senyum Buat Melbourne
Source: Tabloid Buset April Edition 2007 (Melbourne)



Apakah kau belum mendengar perihal orang gila yang menyalakan lentera di pagi yang cemerlang, menyeruak ke pasar, dan berteriak tanpa henti, “Ku cari Tuhan! Ku cari Tuhan!”?
F. Nietzsche, Die Froliche Wissenschaft

*****************************
Siang baru saja menjelang. Runsyam baru saja beranjak dari aktifitas rohani menuju duniawi sambil menunggang angin dingin musim panas benua Australia. Tinggal di kota seunik Melbourne memaksanya untuk juga menikmati ketidakakuran antara panas dan dingin. Di musim panas seperti ini ia tak bisa pongah untuk segera mengemasi koleksi pakaian winternya di sudut jauh. Runsyam meletakkannya di tempat biasa sebab suatu waktu di musim panas seperti ini, justeru alam menuntut setiap diri untuk dibalut pakaian hangat. Aneh, memang. Namun itulah Melbourne, kota yang sudah ia anggap sebagai kota mimpi.

Begitulah, pagi tadi ia sudah harus bangkit menjemput matahari. Runsyam sempat terlamun. Tanpa sengaja, sebuah perasaan asing hadir, begitu menyentuh. Ia berubah jadi begitu melankolis. Jika sudah begini, Runsyam biasanya menulis sesuatu buat ayahnya. Di samping ia tidak ingin kehilangan momen berharga ini, Runsyam juga punya satu maksud hati. Sederhana saja, cuma memaksa ayahnya untuk tahu diri. Alasannya hanya agar anggapan ayahnya bahwa ia sama sekali tidak romantis adalah keliru besar.

"Selamat Pagi, ayah."

Ku hormati engkau pagi ini sekali lagi dengan memanggilmu "ayah". Jika menurutmu itu belum cukup, aku akan memuaskanmu dengan kembali menuliskan panggilan buatmu diawali huruf besar. Mulai dari sekarang, dan tidak tahu hingga kapan akan bertahan seperti itu. Ya, A y a h. Sebuah kata tak berdengung dan sudah lama tak ku lafazkan. Aku bahkan nyaris lupa bagaimana rupamu sekarang. Jangan bilang dulu aku ini anak durhaka, tapi salahkan kenapa ribuan tahun lalu benua ini memisahkan diri dari elok paras negeri kita. Konon daratan negeri kita bertaut dengan bumi Australia. Buktinya ada banyak kemiripan di dalamnya terutama soal flora dan faunanya.

Pasti kau sudah bangun, aku tahu engkau adalah satu dari sekian juta umat manusia pecinta pagi. Pesanmu dulu bahwa menghabiskan pagi dengan secangkir kopi sama halnya dengan keinginan menggenggam dunia. Jika dulu aku tak begitu saja percaya celotehanmu, maka saat inilah aku sadari pesanmu itu ada benarnya juga. Melihat pagi adalah bentuk lain melihat hidup dari ruang hampa yang disediakan Tuhan.

Pagi ini di genggamanku ada kota yang dikemas dalam setumpuk surat kabar mingguan. Namanya City Weekly. Dan salah satu misiku pagiku ini adalah membuat penduduk kota menikmati suguhan baris demi baris berita kota dan secangkir kopi pagi ini. Demi menyukseskan misi mulia ini, pagi-pagi sekali anakmu telah berdiri manis di pojok bisu kota, pada pertemuan dua jalan besar.
Ayah, mungkin engkau tidak percaya. Pagi ini aku sudah tersenyum sebanyak seribu tujuh ratus dua puluh enam kali. Aku sampai capek dibuatnya. Mungkin kau heran kenapa aku bisa tersenyum sebanyak itu dan mampu pula menghitung jumlahnya.

Begini ayah, sebenarnya aku malas mem-filosofi-kan pagiku ini. Namun jiwa melankolisku berontak saat ku coba menepis keinginan mengabaikan pagi. Membagi-bagikan terbitan mingguan cuma-cuma inilah yang membuat aku tersenyum. Penghuni kota yang sering kau sebut bule itu ternyata lebih ramah ketimbang kita orang Timur. Bagaimana tidak, aku dihujani dengan kata tulus "thanks" plus satu senyuman segar saat ku ulurkan surat-surat kabar itu pada mereka. Senyuman-senyuman itulah yang memaksaku untuk juga ikut tersenyum. Walhasil, selain mendapat bayaran dari pekerjaan mulia ini, aku juga bisa ikut senam mulut. Tersenyum sepanjang pagi. Kau kan tahu manis atau tidak manisnya raut muka amat bergantun bagaimana kau menutup uara iblis dalam diri. Jangan pernah buka kesempatan untuk iblis-iblis itu atau kau tak akan pernah tersenyum. Orang-orang akan menyebutmu si Tuan Pencemberut. Kau boleh tak percaya, tapi coba kau perhatikan dua lambang ini. :) dan :( Jika kau mempersilahkanku memfilosofikan kode ini ini, maka jawabanku kira-kira begini. Dua titik yang diberi tanda kurung tutup adalah perlambang senyuman. Untuk itulah tadi aku ingatkan agar saat kau melihat pagi maka buka dua matamu dan tutup sisi iblismu. Perihal makna lambang kedua kau pasti tahu sendiri, kan?

Ayah, sepagi ini anakmu sudah ditempa alam, dibekali banyak pelajaran. Aku belajar dan semakin teryakinkan bahwa tersenyum di waktu pagi adalah bentuk lain dari ungkapan rasa syukur. Lihat saja bule-bule itu. Mereka bersyukur ku bagikan surat kabar mingguan. Sepertinya mereka menikmati keberadaanku hingga kemudian menghadiahiku ucapan terima kasih dan sejumput senyum manis. Tua dan muda. Si kaya dan si miskin. Semuanya sama.
Jujur harus ku akui jika tidak semua senyumku itu tulus. Sepersekian senyumku itu dibumbui oleh rasa kantuk, sinisme dan kemunafikan. Sewajarnya aku berkata demikian, sebab semalam anakmu ini menunggang fajar menyelesaikan sekian ribu kata, buah tangan dari tempatku kuliah. Meskipun senyumanku ada yang berkesan dipaksakan, toh mereka tetap tulus memberiku senyuman. Itu ku tahu dari mimik muka dan gerak bahasa tubuh. Tulus tanpa beban.


Ayah yang disayang Tuhan. Selain pagi dan senyuman, ada satu hal lagi yang harus ku ceritakan pagi ini. Yakni kemurahan mengucapkan terima kasih. Kau 'kan tahu bawha pekerjaan membagi-bagikan koran gratis adalah satu dari sekian pekerjaan si miskin. Hina dina dan tanpa kehormatan. Oleh karenanya, pekerjanya layak untuk direndahkan dan didekonstrukis nilai kemanusiaannya. Semua tontonan menjijikkan itu sudah aku lihat dulu saat aku besar di Jakarta. Pedagang asongan, penjaja koran adalah pekerjaan orang pinggiran dan mereka juga harus dipinggirkan dengan hinaan. Tapi, tahukah kau bahwa itu tidak terjadi di sini. Hal bodoh itu tidak aku lihat di bumi di mana peran Tuhan sering mereka pinggirkan. Agama bukan isu penting. Yang terpenting adalah bagaimana menikmati hidup dengan sebebas-bebasnya seperti burung di bawah awan. Aku tidak tahu apakah ada hubungan ungkapan "terima kasih" dengan racikan ketulusan berbanding lurus dengan beragama atau tidaknya seseorang. Jika itu benar, maka kesimpulan itu tidak aku lihat di sini. Mereka begitu menghormati makna pemberian. Sebab dibalik ucapan terima kasih terselip penyerahan diri bahwa kita bergantung dengan keberadaan setiap jenis manusia. Kaya, miskin papa, tua dan muda.

Tanpa kusadari, aku telah menghitung senyumanku pagi ini. Hal konyol yang baru pertama kali ini aku lakukan. Aku puas tersenyum, disenyumi dan diberi ucapan terima kasih. Sebelum koran-koran itu habis, aku sudah berubah wujud jadi malaikat. Bagaimana tidak, sepagi in aku sudah diselimuti ketulusan dan keikhlasan untuk bersyukur. Aku laksana malaikat yang tinggal menunggu sayap untuk terbang menebar damai pada setiap pojok kota.
Selamat melihat matahari, Ayah.

Runysam Alkampari

Sebuah panggilan telephone masuk memaksa Runsyam bangkit dan menyudahi surat ini. Untuk kesekian kalinya ia sungguh merasa sempurna menjadi manusia sekaligus anak dari seorang laki-laki.


************
Melbourne, pagi-pagi sekali di bulan Februari.

Di salah satu sudut ruangan yang tidak jauh dari Melbourne Law School

The University of Melbourne