Saturday, August 4, 2007

Cinta yang senja [cerpen]

“Cinta yang Senja”

Bolehkah ku ketuk sekali lagi pintu hatimu?

Boleh. Kenapa tidak?

Oh, itu awal yang baik.

Jika aku jadi datang, pasti kau akan bertanya.

"Siapa?"

Lalu akan ku jawab. "Ini aku."

Lalu kau berujar getir. "Maaf, tidak ada tempat untukmu dan aku disini!"

Aku pun akan pulang, namun tidak untuk menyerah. Pada saat yang lain, aku minta lagi kesedianmu menerima datangku. Kali ini aku berbekal keteguhan. Kau pasti suka. Kemudian, di depan pintu hatimu yang kokoh, aku mengetuk pelan. Kau kembali bertanya.

"Siapa?"

Dengan penuh khusuk aku akan menjawab.

"Kita!"

Segera pintu itu terbuka menghadirkan senyum dan tawa. Kita bersama lagi untuk kita. Masa bodoh dengan mereka. Tapi masih ku lihat ragu di matamu. Kau pun berkata.

"Kalau memang kali ini kau datang untuk kita, gubahlah sebuah puisi."

Aku pun bersiap membacakan satu puisi.

"Sayang, lihatlah langit biru itu
Terbentang luas mempersembahkan damai untukmu..
Dan aku datang membawakan puisi buatmu..
Lalu dibawahnya ku gores sebuah garis untukmu..
berwarna biru..
Demi kita, aku ketuk hatimu..
Untuk kita, aku sudahi egoku..
Sayang, lihatlah langit biru itu...
Dalam bentangannya ada indah kebersamaan kita. Seperti Dulu."


Terdengar suara tepukan tangan. Om Sutradara itu tersenyum puas.

“Selamat. Audisi yang sempurna..!! Senang bekerja dengan kalian berdua. Saya yakin peran ini cocok untuk kalian.” Suaranya menggelagar. Entah karena merasa tidak nyaman, kau buru-buru pamit.


"Ini script lengkapnya. Tolong di hapal luar kepala. eh kenapa lawan mainmu tadi buru-buru pergi?" Siapa namanya tadi?"

"Lara, om." Sahutku.

"Iya, Lara. Baiklah. Tolong titipkan skrip ini untuknya. Aku tunggu perkembangan dari kalian. Sampai ketemu minggu depan." Tutup sutradara itu.

Aku berjalan gontai menyisir lorong gedung pementasan itu. Gedung Kesenian Jakarta, tempat kita pertama kali bersua.

Di depan ku lihat kau berlari kecil. Kau masih sendirian. Kelelahan. Aku berlari mengejarmu.

"Boleh ku antar?" kataku.

"Tujuan kita tidak sama." Kau mengabaikan tawaranku.

"Baiklah. Kau boleh menolak tawaranku. Tapi kau tentu tidak akan menolak skrip titipan om sutradara tadi 'kan?" Gurauku datar.

Kau menyambarnya dengan cepat. Hampir tanpa suara.

Tepat di mulut gang, tempat pertemuan sebuah jalan besar kita berpisah. Aku ke kiri, kau ke kanan.

Dalam gontai langkahku aku berkhayal.

Lara, seandainya saja pementasan itu nanti jadi nyata dan pertemuan kita ini hanyalah sandiwara.

Ah, entahlah. Aku gesa jalanku. Pulang. Letih. Semoga bertemu di persimpangan berikutnya.

###

Kemarin setelah hari pementasan, aku datang lagi mengetuk pintu hatimu, Lara. Meski untuk kali kedua, lagi-lagi kau enggan. Dan aku, yang memang selalu terbodohi oleh rasa penasaran, tak akan pernah lelah atau bahkan kecewa. Sebab aku sadar ini cuma bunga-bunga api dari cambuk panas rasa keingintahuan.

Berhenti berharap?

Mungkin iya, mungkin juga tidak. Sebab aku tidak tahu dengan siapa aku akan bertemu dan berpisah esok pagi. Bukankan itu yang selalu ku ungkapkan padamu dan kawan-kawanku yang lain?
Iya. Kau tidak akan tahu dengan siapa esok pagi kau akan bertemu atau berpisah. Seperti melihat kereta, kata salah seorang sahabat, kau tidak akan pernah tahu kereta itulah yang akan membawamu pulang. Seperti itu juga aku hari ini.

Lara, hari ini aku telah berdamai dengan masa laluku. Baya, yang dulu singgah lama, datang lagi dengan senyum ketulusan. Antara percaya dengan tidak. Antara yakin dan ragu. Antara mimpi dengan kenyataan. Absurd.
Tapi aku tak berani cepat-cepat menggeleng. Aku berikan ia sebuah sapa terindah pagi ini, seperti dulu. Itu demi membalas manis lesung pipinya. Dan aku langsung tersenyum.

Lara, yakinlah. Saat semua skenario berjalan sesuai dengan arahan sutradara, disitulah serba ketidakpastian terjadi. Dan aku tak ingin menjadi sutradaranya. Bagiku cukup jadi pemain dalam lakonnya saja. Itu pun sudah membuat aku berdebar. Seperti sebuah tanda tanya dalam tanda baca, ia sukar ditebak sejauh mana ia akan meliuk membentuk sebuah lengkungan.

Akhirnya, Lara. Kalah atau menang ternyata tidak selalu bersenandung tentang siapa yang kehilangan. Paling aku cuma kehilangan kesempatan. Tapi aku tak akan pernah kehilangan dirimu dalam bingkai kenangan. Pahit hati? Tentu tidak. Mari berdamai dengan masa lalu, Lara. Seperti katamu dulu, aku akan berhenti makna menjadi "ada" dari hidupmu, karena kita memang tidak sejalan. Kau ke Timur aku ke Barat. Kau ke Selatan aku ke Utara.

Hm...Hari ini dan kemarin-kemarin seharusnya sudah harus kau anggap aku tak ada. Toh aku memang tiada. Sederhana, bukan? Dan seharusnya kau mengucapkan padaku kata selamat atas ketiadaanku itu. Mau?
Dan hari ini serta kemarin-kemarin aku sering ragu berdamai dengan masa lalu. Tapi kali ini?Ah, entahlah. Entah iya, entah tidak.

Berdamai atau tidak, bagiku, masa lalu, masa kini dan esok hanya soal memberi makna setiap helaan nafas. Ya, Makna. Sebab di pundaknyalah aku menyandarkan diri hingga detik ini.

O iya, Bulan haji tahun ini aku akan menikah dengan Baya. Kau pasti senang sebab tak akan ada lagi Arqan yang keras kepala minta dicinta. Tapi aku tetap menunggu kata selamat darimu. Selamat menikah untukku meski bukan denganmu.

=====

[Setelah 27 Tahun ]

Senja datang seperti sedia kala. Dan memang selalu begitu. Beranda tempatku melepas penat seperti hendak ikut menenamiku menunggu senja. Begitu indah. Tapi aku tidak tahu sejak kapan aku mulai mencintai senja. Dalam kurun waktu 54 tahun perjalanan hidupku, inilah puncak kecintaanku pada senja yang selalu datang dengan perlahan.

Ah.. Seandainya saja Baya masih ada, tentu akan aku ajak isteriku itu duduk di sini menghabiskan senja. Senja sudah mengajariku banyak hal. Dengan senjalah aku mulai bisa menerima pahit ditinggal kekasih tercinta. Lalu aku pun percaya bahwa menunggu maghrib sebelum senja datang sama saja menyiapkan bekal sebelum mati.

Sedari tadi aku masih menunggu senja. Kapan datang? Bila nanti telah genap merahnya, ingin aku mendedahkan diri di kursi tua itu semakin lama. Lama sekali. Tapi senja hari itu sungguh berbeda. Senja yang ku nanti telah tiba. Selain senja yang datang, ada pula kedatangan lain. Aku takjub. Tiba-tiba kau datang dengan kerudung merah dan sudah berdiri di depanku saat ini. Harus aku akui, kau masih anggun seperti dua puluh tujuh tahun silam saat kau pernah singgah di hatiku. Dulu. Dulu sekali.

"Lara??" Pekikku menggema pada senja yang angkuh. Kau membetulkan letak selendangmu. Wajahmu masih seperti embun, matamu juga masih tetap bening. Dua puluh tujuh tahun, Lara. Dan kau masih mempesona.


Maukah kau ketuk sekali lagi pintu hatiku? Katamu.

Tentu. Kenapa tidak? Aku menjawab sambil memikirkan sesuatu. Aku hampir ingat tapi buru-buru kau bergumam. Kemudian bermonolog di depanku.

Hm.. itu awal yang baik.

Jika kau jadi datang, pasti aku akan bertanya.

"Siapa?"

Lalu kau harus jawab. "Ini kita."

Aku ingat sekarang. Monologmu hampir serupa dengan dialog pementasan kita dulu. Drama yang telah merubah jalan hidup kita masing-masing.
Oh... seandainya saja ada mesin pemutar waktu.

Garis senja di ufuk barat membentuk pijar merah yang meraksasa. Aku masih duduk dan kau masih juga berdiri mematung di depanku. Kita sama-sama diam.

Lama kau mematung tanpa suara. Hanya selendangmu saja yang gontai dimainkan angin.

Kau tidak sedang bergurau 'kan dengan pertanyaanmu tadi?" Tanyaku penasaran.

"Yang mana?" Masih seperti dulu. Kau memang suka menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.


"Maukah kau mengetuk pintu hatiku sekali lagi?" Kataku mengingatkan.

"Buat apa bergurau." Jawabmu ringan.

"Lalu..?" Sergahku.

"Lalu apa?" Kau menjawab lagi dengan bertanya.

"Boleh ku ketuk pintu hatimu kali ini?" Kataku.

Kenapa tidak?"

"Oh, itu pertanda baik."

"Iya. Tanpa kau ketuk pun, hatiku sudah membuka untukmu." Kau membungkukkan badan hendak menggapai jemariku.

Aku kaget bukan kepalang.

"Sebentar, Lara. Ini bukan sandiwara 'kan."

Kau menggeleng.

Aku tak mampu lagi menahan tangis haru.

"Baiklah, sayang. Selamat datang kembali kehidupan."

###

Kau pasti tak percaya jika masa lalu itu telah mengikatku sedemikian rupa. Memilinku dalam kesendirian. Sunyi. Sampai aku dengar setiap detail derak pintu hatimu yang menutup. Kini kita sudah sama-sama dimakan usia. Namun tetap ada cinta itu 'kan? Kau pasti belum yakin jika aku tak pernah bisa membumikan setiap khotbahmu yang dulu. Masih ingat 'kan waktu itu kau mengajariku banyak hal. Tapi aku bukan murid yang baik.

Kau pernah bilang: "Kau harus bisa mencuri hatiku tanpa membuatku kehilangan.."
Sungguh, aku belum bisa. Dan mungkin tak akan pernah bisa.
Kau pernah minta sesuatu: "Tolong nanti saat kau meninggalkanku, kau jangan pergi jauh."
Sungguh, aku belum bisa. Dan mungkin tak akan pernah bisa.
Kau juga pernah bertanya: "Kau tahu 'kan bahwa menjadi pecundang tidak harus merasa kalah?"
Dulu aku belum menjawab tanyamu itu. Kini aku tahu jawabannya.
Aku sudah tahu. Hanya saja aku merasa kalah. Pasrah. Pulang. Lalu berhenti berharap.

Untuk membuatmu menjadi yang terindah sepanjang hidupku ternyata tidak mudah, Lara. Lalu kau tiba-tiba datang, di waktu senja pula. Betapa ini sangat berarti, Lara. Seperti namamu. Lara. Pun juga begitu dengan hatiku. Kau pergi tapi untuk kembali. Ah..Lara...
Aku kehabisan kata-kata. Yang tersisa cuma cinta. Cinta yang senja. Itu saja.


M2