Friday, November 2, 2007

Bulan Jatuh Kemana Malam Ini, Dilara?

Kaku, aku duduk di kursi pesakitan pesawat berbadan lebar ini, Dilara. Kau tahu 'kan aku paling benci ketinggian. Meski di ufuk barat sana kuas senja menggoreskan warna merah keemasan, pemandangan indah itu tak jua membuatku tenang. Tetap saja aku gugup. Kaku seperti salju. Aku beranikan diri terbang berjam-jam lamanya. Ini semua karena pilihanku untuk berbelah-pihak pada hasrat hati yang ingin segera menyudahi satu resah. Ya, semuanya tentang rindu dan itu buatmu Dilara.

Senja makin mengapung pada bibir awan yang menghampar. Saat itulah aku aku melihat bulan yang hendak jatuh. Jatuh kemana ia malam ini Dilara? Jikalau ia jatuh di dekatmu, seharusnya ia membawa hikayat tentang bujang kota yang merana karena rindu. Atau paling tidak bulan itu mengabarkan tentang mimpi yang hendak ku kejar bersamamu. Terngiang olehku petuah bunda suatu hari; "Meminjam memulangkan, menjemput mengantarkan". Dulu pernah kau pinjamkan rindu itu, nah kini aku bermaksud datang untuk memulangkannya. Dulu pula, cintamu pernah ku jemput, hmm.. tapi tak hendak aku mengantarkannya. Biarkan ia memaku diri di sini, bersemayam dalam indah mimpi kita, Dilara.

Bulan itu jatuh kemana malam ini Dilara? Kalau ia jatuh di dekatmu, sudah sepantasnya ia berbagi cerita tentang penat menyudahi kembara ini. Aku lelah. Ingin segera dekat-dekat denganmu. Kau tahu jatuh kemana bulan itu Dilara? Dan kalau pun ia jatuh saat kau terlelap, bias cahayanya akan menerangkan mimpimu menuju aku. Mari berbaringlah di dekatku, Dilara. Kau tahu 'kan aku sedang di mana. Ya, aku bersemayam di sebuah negeri di atas awan. Dari sini bulan itu hendak jatuh ke hariban. Indah, seperti elok rupamu.

Jatuh kemana bulan itu malam ini Dilara? Cepat-cepatlah kau terbangun agar kau bisa membaca pesan yang ku titipkan padanya. Bersandarlah padanya. Lalu di situ akan ada aku yang hanya memulangkan rindu dan hendak mengantarkan cinta yang terseduh sejak lama. Aku cinta kau, Dilara.

Kemana bulan itu jatuh Dilara? Andai ia bertali akan ku sodorkan padamu sumbunya agar dapat kau tembatkan ia hingga saat aku tiba nanti. Dan kita bisa melihatnya bersama. Kau benar Dilara; Jika berkaca pada rindu maka hari-harimu begitu singkat. Seperti terhukum menghitung detik nadi di tiang gantungan. Mataku mulai basah, Dilara. Melihat bulan yang hendak jatuh. Semoga kau melihatnya dalam cinta.



Di atas langit, 29 Oktober 2007.

Arqan Kamaruzzaman.