Sunday, December 25, 2011

Pemisahan Kekuasaan dan Prinsip Checks and Balances dalam UUD 1945

Makalah pada Acara Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi Untuk Guru SMP di Kota Yogyakarta, tanggal 18 Desember 2010.

Diskursus perihal kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari perdebatan soal hukum. Meskipun kekuasaan bukan satu-satunya unsur terpenting dari hukum, namun tetap memiliki hubungan yang khas dengan hukum. Tanpa adanya kekuasaan, hukum tidak bisa ditegakkan, karena penegakan hukum menjadi monopoli dari penguasa dalam hal terdapat pelanggaran hukum. Begitu pula jika tanpa adanya hukum, kekuasaan menjadi semena-mena dan melahirkan penindasan. Tulisan berikut akan mengupas perihal hakikat kekuasaan dalam hubungannya dengan hukum dan pembatasan kekuasaan. Selain itu akan dianalisis pula prinsip pembatasan kekuasaan negara Indonesia kontemporer dengan menitikberatkan pada kajian implementasi prinsip check and balances inter dan antar lembaga negara di Indonesia pasca amandemen UUD NRI 1945.

Tidak sulit menemukan jawaban bagaimana hakikat kekuasaan dan hubungannya dengan hukum. Setidaknya ada dua terminologi berbeda yang sering dipersamakan, yaitu kekuasaan (autority atau gezag) dan kekuatan (force, power, macht). Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal (formal authority) yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau satu pihak dalam suatu bidang tertentu. Dengan kata lain, kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tersebut.

Utrecht berpendapat bahwa kekuatan adalah paksaan yang dilakukan suatu badan yang kedudukannya lebih tinggi pada seseorang, biarpun orang itu belum menerima paksaan tersebut sebagai sesuatu yang sah (sebagai bagian dari tata tertib hukum positif) serta sesuai dengan perasaan hukumnya. Kekuatan baru merupakan kekuasaan apabila diterima, oleh karena dirasa sesuai dengan perasaan hukum orang yang bersangkutan, atau oleh karena badan yang lebih tinggi itu diakui sebagai penguasa (otoritas atau authority). Dari kacamata ilmu hukum, kekuasaan adalah dalam pengertian hukum, sedang kekuatan adalah dalam pengertian politik. Karena itu tepatlah ungkapan Vinagradoff:

“Law has to be considered not merely from the point of view of its enforcement by the courts; it depends unltimately on recognation. Such a recognization is a distinctly legal fact, although the enforcement of a recognized rule may depend on moral restraint, the fear of public opinion, or, eventually, the fear of popular rising”.

Secara sederhana, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau satu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Max Weber, dalam bukunya Wirtschaft und Geselchaft (1982) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan mengontrol suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini. Senada dengan itu, Miriam Budiardjo merumuskan kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku tersebut menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.

Apeldoorn berpendapat, dalam masyarakat terdapat berbagai kekuasan, yaitu: kekuasaan baik dan jahat, kekuasaan physic (misalnya kekuasaan tentara dan polisi), kekuasaan ekonomi (misalnya kekuasaan modal dan kerja) dan juga kekuasaan bathin dan susila (misalnya kekuasaan kepribadian), kekuasaan agama, kekuasaan ilmu pengetahuan, kekuasaan perkataan yang diucapkan dan yang ditulis serta kekuasaan kesusilaan dan kekuasaan adat atau kebiasaan.

Selain klasifikasi tersebut, jenis kekuasaan lain yang juga populer adalah kekuasaan politik. Hal tersebut senada dengan pendapat Sri Soemantri yang mengatakan bahwa dari sekian banyak jenis kekuasaan dalam masyarakat, kekuasaan politik memegang peranan paling sentral dan menentukan.

Patut dicatat bahwa kekuasaan amat bergantung kepada bagaimana pemegang kekuasaan tersebut menggunakannya. Artinya, kekuasaan merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib, bahkan setiap bentuk organisasi yang teratur. Hanya saja, karena sifat dan hakikatnya dan agar dapat bermanfaat, kekuasaan harus ditetapkan ruang lingkup, tujuan dan batas-batasnya. Untuk itulah hukum difungsikan mengontrol kekuasaan sehingga muncul pula adagium bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum.

Mengingat luasnya kekuasaan dalam sebuah negara, secara mendasar kekuasaan lazimnya dipetakan ke dalam beberapa fungsi yang berkaitan satu sama lain. John Locke dalam bukunya “Two Treatises of Government”, membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut Locke fungsi-fungsi kekuasaan negara terdiri dari; fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi federatif.

Dengan mengikuti jalan pikiran John Locke, Montesquieu dalam bukunya “L’Espirit des Lois” yang ditulis tahun 1784 atau versi bahasa Inggris-nya dikenal “The Spirit of The Laws“, mengklasifikasikan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang, yaitu:
1. Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang.
2. Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan undang-undang.
3. Kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.

Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat dua sarjana hukum klasik itu memiliki kemiripan satu sama lain. Perbedaan pendapat yang mencolok di antara kedauanya adalah ketika melihat kekuasaan kehakiman dan hubungan luar negeri sebuah negara. Bila John Locke mengutamakan fungsi federatif, Montesquieu lebih mengutamakan fungsi kekuasaan kehakiman (judiciary). Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan ke dalam dan keluar dengan negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi pertahanan baru timbul apabila fungsi diplomasi terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting oleh John Locke adalah fungsi federatif. Sedangkan fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan kedalam kategori fungsi legislatif, yang itu terkait dalam fungsi pelaksanaan hukum. Tetapi bagi Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negeri-lah (diplomasi) yang termasuk dalam fungsi eksekutif, sehingga tidak perlu dianggap tersendiri. Sesuatu yang dianggap penting oleh Montesquieu dalam sebuah negara justeru fungsi yudisial atau fungsi kekuasaan kehakiman.

Patut dicatat bahwa kekuasaan haruslah dibatasi agar tidak menimbulkan absolutisme penindasan dan kekerasan. Montesquieu menegaskan bahwa kebebasan akan menjadi taruhan jika semua cabang kekuasaan berada pada satu tangan tanpa pengawasan. Lengkapnya dia mengatakan bahwa, ”Liberty is threatened if the same person (or agency) concentrates all three or two powers in his hand.”
Bagaimanapun, pembatasan kekuasaan (limitation of power) berkelindan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan (division atau distribution of power). Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para ahli berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini.

Secara etimologis, pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus) sesuatu. Jadi secara harfiah pembagian kekuasaan dapat diartikan sebagai proses memilah wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan pada satu pihak atau lembaga.
Sedangkan pemisahan kekuasaan dapat pula didefinisikan sebagai proses memisahkan dengan tegas wewenang yang dimiliki dalam suatu negara baik tugas memerintah, mewakili, mengurus menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang terpisah satu sama lain dalam rangka menghindari terpusatnnya kekuasaan atau kewenangan pada satu pihak atau lembaga negara.

Gagasan pemisahan kekuasan lazim dianut oleh negara-negara dengan demokrasi yang sudah mapan. Perancis misalnya menempatkan pemisahan kekuasaan dalam pelaksanaan kekuasaan negara. Dalam mengomentari pemisahan kekuasaan ala Perancis tersebut, A.V Dicey berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan mengandung arti bahwa pemeliharaan prinsip mencegah eksekutif, lembaga legislatif dan yudikatif untuk mencampuri wilayahnya satu sama lain.

Pembatasan Kekuasaan negara Indonesia Kontemporer; Doktrin Pembagian atau Pemisahan Kekuasaan?

Sebagaimana diketahui negara demokratis adalah negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan prinsip- prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Pembatasan kekuasaan dalam pemerintahan sebuah negara bisa pula dikategorikan ke dalam bentuk negara dengan sistem pemisahan kekuasaan dan negara yang menganut pembagian kekuasaan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam konteks kekinian, bagaimana pula dengan Indonesia?

Dalam konsep ketatanegaraan Indonesia khususnya UUD 1945 sebelum amandemen, boleh dibilang istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) sering dipertentangkan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala Trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945 misalnya, Soepomo menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin Trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.

Seiring perubahan konstitusi lewat amandemen UUD 1945, terjadi pula pergeseran konsep pembatasan kekuasaan Indonesia. Menarik untuk mencermati pendapat Jimly Asshiddiqie yang mengatakan bahwa pasca perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi Indonesia telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :

1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya seperti BPK.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

Senada dengan Jimly, Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa Indonesia kini menganut sistem pemisahan kekuasaan. Ni’matul Huda mengilustrasikan pemisahan kekuasaan di Indonesia lewat pergeseran kewenangan membentuk undang-undang yang menjadi domain DPR untuk mendapat persetujuan bersama Presiden sebagai langkah penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.

Saya berpendapat bahwa tidak sepenuhnya benar mengatakan bahwa Indonesia secara mutlak menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power). Sebab, dalam hal tertentu masih terkandung pula sistem pembatasan kekuasaan meskipun dalam format lain. Artinya, di samping menganut sistem pemisahan kekuasaan, Indonesia ternyata masih menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power). Memang dalam konteks tertentu bisa dikatakan konstitusi Indonesia menekankan lebih dominannya warna dan doktrin pemisahan kekuasaan ketimbang pembagian kekuasaan. Namun demikian tidak berarti doktrin pembagian kekuasaan itu tidak ada sama sekali.
Doktrin pembagian kekuasaan tersebut terlihat pada kekuasaan membentuk undang-undang. Di negara yang menganut sistem presidensial, fungsi pembentukan undang-undang (legislasi) menjadi domain legislatif. Kewenangan membentuk undang-undang yang menjadi domain DPR untuk mendapat persetujuan bersama Presiden sebagai langkah penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial justeru mengandung makna bahwa yang ada bukanlah pemisahan kekuasaan namun tercipta pembagian kekuasaan khususnya dalam pembentukan undang-undang.

Prinsip Check and Balances dalam Perspektif Teoritis

Kamus hukum mendefinisikan prinsip check and balances sebagai sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling kontrol di antara cabang kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang didesain untuk mencegah terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang sehingga mendominasi cabang kekuasaan
yang lain.

Butterworths Concise Australian Legal Dictionary mendefinisikan Checks and Balances sebagai berikut; “A system of rules diversifying the membership of, and mutually countervailing controls interconnecting the executive, legislative, judicial branches of government, designed to prevent concentration of power within any one branch at the expense of the others.”

Secara konseptual, prinsip check and balance dimaksudkan agar tidak terjadi overlapping atau tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara sehingga kekuasaan dalam negara haruslah diatur dengan seksama. Namun demikian, kelemahan dari pelaksanaan mekanisme check and balance merupakan teori tanpa ujung, saling mengontrol dan berputar.

Dengan mendasarkan pada spektrum pelaksanaannya, prinsip checks and balances dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yakni, pertama, pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan tertentu. Kedua, adanya pelaksanaan checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan.

Lalu bagaimanakah hubungan antara prinsip pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks and balances? Prinsip pemisahan kekuasaan membagi tanggungjawab pemerintahan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi disini memiliki fungsi mencegah cabang-cabang kekuasaan dari penyalahgunaan kekuasaan, seperti penyalahgunaan untuk tujuan-tujuan khusus , dan kompromi politik. Sebagai ilustrasi bisa dilihat dari uraian berikut; undang-undang dibuat atas persetujuan bersama DPR dan Presiden sebagai implementasi fungsi legislasi. Namun cabang kekuasaan yudikatif dapat membatalkan produk hukum tersebut dengan fungsi judicial review yang dimilikinya yakni hak untuk menguji apakah suatu undang-undang berlawanan dengan konstitusi.

Implementasi Prinsip Check and Balances Antar Lembaga Negara Di Indonesia Pasca Amandemen UUD NRI 1945

Sejak masa kemerdekaan, 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia terus berdinamika sebagai upaya mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang demokratis. Undang- Undang Dasar 1945 (naskah asli), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang- Undang Dasar Sementara 1950 dan Undang- Undang Dasar 1945 (hasil amandemen) merupakan proses pemantapan konsep dan implementasi demokrasi Indonesia. Konsensus politik bangsa dalam perubahan sistem ketatanegaraan dapat dilihat dengan perbandingan struktur atau konstruksi kekuasaan di Indonesia saat sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945.

Selayaknya harus dicatat bahwa absennya prinsip dan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan sebelum reformasi terbukti menghambat proses tumbuhnya demokrasi yang sehat. Tidak adanya mekanisme saling kontrol antar-cabang kekuasaan tersebut akhirnya memunculkan pemerintahan yang totaliter serta lahirnya praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Prinsip checks and balances yang menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi menjadi tersandera dan tidak terwujud sebagaimana mestinya.

Sebagai dijelaskan sebelumnya, checks and balances dapat dibagi menjadi dua yakni internal dalam cabang kekuasaan tertentu dan checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan. Ilustrasi klasifikasi tersebut dapat dilihat dalam praktek ketatanegaran Indonesia berikut ini.

Pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan legislatif di Indonesia dapat dilihat dalam mekanisme hubungan antara MPR, DPR dan DPD. Berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” terlihat bahwa kedaulatan dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri dengan dasar konstitusi. Ketentuan tersebut menghilangkan lembaga tertinggi negara sebelumnya, yaitu MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances).

Selain menghilangkan supremasi MPR, amandemen UUD 1945 telah melahirkan lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili kepentingan daerah di level nasional. Meskipun pelaksanaan di lapangan tidaklah semudah yang dibayangkan, secara konseptual keberadaan DPD dimaksudkan untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) di internal lembaga legislatif itu sendiri.

Dalam hal fungsi legislasi misalnya, DPD memiliki kewenangan yang sangat terbatas bila dibandingkan dengan superioritas kewenangan DPR. Setidaknya fungsi legislasi DPD hanya terbatas pada dua hal. Pertama, DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua, DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Saldi Isra mengatakan bahwa frasa ”ikut membahas” dalam Pasal 22D ayat (1) posisi DPD menjadi tidak sebanding dengan DPR yang membahas dan mengambil persetujuan bersama dengan presiden. Lebih lanjut Saldi Isra mengatakan;

Dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, fungsi legislasi harus dilihat swecara utuh, yaitu dimuali dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan adanya pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Tidak hanya itu, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menentukan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR. Dengan menggunakan cara berpikir a contratio, sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang hanya dapat mengajukan dan membahas rancangan undang-undang bidang tertentu sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945, DPD tidak mempunyai fungsi legislasi.

Hal tersebut memberi kesan bahwa DPD hanyalah lembaga sempalan dalam kekuasaan legislatif. Artinya, secara kelembagaan DPD dan DPR memang terlihat sejajar, namun secara fungsional DPD tersubordinasikan oleh kekuatan DPR yang memiliki superioritas jauh melebihi DPD.

Adapun mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan bisa dilihat pula dari hubungan lembaga eksekutif dan legislatif. Patut dicatat bahwa dalam ranah eksekutif dengan penerapan sistem presidensial, mekanisme checks and balances telah dilembagakan dalam institusi suprastruktur politik, yaitu pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif yang masing-masing dipegang oleh presiden dan lembaga legislatif. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat lewat pemilu. Selain itu, meskipun parlemen berfungsi sebagai pemegang kekuasaan legislatif atau pembentuk undang-undang, presiden tetap memiliki hak mengajukan RUU serta membahas RUU bersama DPR untuk kemudian dilakukan persetujuan bersama.

Dalam hubungannya dengan parlemen, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan hanya dapat dijatuhkan oleh parlemen jika diikuti alasan-alasan khusus dan dengan mekanisme yang khusus pula. Untuk memberikan jaminan checks and balances antara eksekutif dan legislatif, konstitusi memberikan panduan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.

Bila dicermati lebih jauh aturan konstitusional kekuasaan eksekutif dan legislatif, menurut hemat penulis checks and balances antara antara kedua cabang kekuasaan tersebut tidaklah berimbang. Meskipun posisi DPR dan presiden ditempatkan sejajar, DPR tetap saja lebih dominan ketimbang Presiden. Hal ini dapat dilihat dari aspek pembubaran DPR dan impeachment presiden. Parlemen Indonesia (MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD) dapat memberhentikan presiden yang dalam masa jabatannya. Sebaliknya, presiden tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945 bahwa ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’.
Dominasi dan supremasi DPR dapat pula dilihat dari penyusunan dan pembentukan undang-undang. Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Pasal 20 ayat (1) tersebut mengatur jelas soal tugas dan kekuasaan DPR. Sayangnya, pasal ini menjadi rancu dengan adanya rumusan Pasal 20 ayat (2), ”Setiap undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.” Selanjutnya, Pasal 20 ayat (5) menyatakan bahwa; ”Dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”. Rumusan pasal 20 ayat (5) tersebut dapat dimaknai bahwa presiden tidak dapat berbuat banyak dalam mengesahkan undang-undang yang telah disepakati bersama, karena tanpa pengesahan presiden rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Di sinilah terlihat prinsip checks and balances antara presiden dengan DPR kurang berimbang.
Prinsip checks and balances antar lembaga negara yang lebih berimbang dapat dilihat pada hubungan antara kekuasaan legislatif dan yudikatif. Jika Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” maka untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan (checks and balances) difungsikanlah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pemegang kekuasaan yudikatif yang kewenangannya salah satunya adalah meninjau apakah undang-undang yang telah dibuat bertentangan dengan konstitusi atau UUD. Kewenangan tersebut dikenal pula dengan istilah judicial review.

Prinsip checks and balances antar lembaga negara (cabang-cabang kekuasaan) dapat pula dilihat dalam hal peran lembaga yudikatif yakni MK ketika DPR ingin menjatuhkan presiden (impeachment). Proses pemberhentian presiden dimulai dengan permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum dimaksud berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Pemberhentian juga bisa dimintakan bila DPR berpendapat presiden/wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Proses impeachment selanjutnya adalah di MPR. Sidang pemberhentian itu harus dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota MPR. Presiden baru dinyatakan berhenti bila minimal 2/3 dari anggota MPR yang hadir menyetujuinya. Dalam proses di MPR ini, yang merupakan proses terakhir, presiden/wakil presiden diberi kesempatan untuk membela diri. Kesimpulannya, proses impeachment di Indonesia dimulai dari proses politik, lalu berlanjut menjadi proses hukum, dan kemudian ditutup dengan proses politik juga. Pengaturan ini dimaksudkan agar sejauh mungkin terhindarkan praktek sewenang-wenang dalam hal pemberhentian presiden dan mewujudkan prinsip checks and balances itu sendiri.

Kesimpulan

Agar ciri negara demokratis semakin melekat, maka penyelenggaraan pemerintahan negara haruslah dilakukan berdasarkan prinsip- prinsip hukum yang membatasi kekuasaan dengan melaksanakan prinsip dan mekanisme checks and balances baik dalam internal cabang kekuasaan tertentu maupun antar cabang kekuasaan yang ada (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Negara modern menerapakan pembatasan kekuasaan dengan memodifikasi dan menyesuaikan pada kondisi dan kebutuhan politik ketatanegaraan masing-masing. Ada yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan ada pula yang menganut pembagian kekuasaan.

Dalam konteks pembatasan kekuasaan bisa disimpulkan bahwa UUD NRI 1945 lebih condong menganut doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) ketimbang pembagian kekuasaan (distribution of power). Namun tidak berarti doktrin pembagian kekuasaan itu tidak ada sama sekali. Pembagian kekuasaan yang tampak jelas dengan melihat konteks pelaksanaan fungsi legislasi antara DPR bersama presiden.

Meskipun pembatasan kekuasaan dan prinsip checks and balances dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah lebih baik dari sebelumnya, pengaturannya masih memerlukan perbaikan demi perbaikan agar tidak terjadi kekisruhan dan polemik ketatanegaraan yang berpotensi mengancam keberlangsungan proses demokratisasi di Indonesia.#

DAFTAR BACAAN

A.V. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, diterjemahkan dari Introduction to the Study of the Constitution, penerjemah Nurhadi, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2008.
Bagir Manan, DPR, DPD, MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.
E.Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1983.
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, 1991.
Franz Neumann, The Democratic and The Authoritarian State;Essays in Political and Legal Theory, the Free Press, Illinois, 1957.
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi; Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, 2010.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
J.F. Corkery, Starting Law, Scribblers Publication, Australia, 2002.
John Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden, Pelangi Cendikia, Jakarta, 2007.
L.J. Van. Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986.
Larry Diamond (penyunting), Revolusi Demokrasi, M.Fadjroel Rahman (penerjemah), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1983.
Mochtar Kesumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000.
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pres, Jakarta, 2009.
Munir Fuadi, Teori Negara Hukum Modern, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009.
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2003.
Padmo Wahono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984
Peter Butt (eds.), Butterworths Concise Australian Legal Dictionary, LexisNexis, Australia, 2004.
Salman Luthan, “Dialektika Hukum dan Kekuasaan”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII Yogyakarta, No. 14 Vol. 7. Agustus 2000.
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Rajawali Press, Jakarta, 2010.

Internet

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?BeritaInternalLengkap&id=3955.
http://www.dpd.go.id
http://www.mpr.go.id

Saturday, December 24, 2011

Road Map Sistem Hukum Indonesia Dalam Dimensi Pembangunan Hukum Nasional; Realitas dan Proyeksi Ke Depan

(Makalah disampaikan pada Diskusi “Road Map Sistem Hukum Indonesia” yang diselenggarakan oleh PB HMI, Jakarta, tanggal 18 Oktober 2011.)

Konstitusi hasil perubahan telah mentasbihkan Indonesia sebagai negara hukum. Jika ditanya pihak mana yang berkewajiban mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka secara prinsipil, kewajiban tersebut ada pada negara. Artinya, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kewajiban negara mewujudkan negara hukum itu direpresentasikan oleh penyelenggara negara yang meliputi tiga poros kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksekutif dan legislatif dalam tata hukum Indonesia menciptakan aturan (peraturan perundang-undangan) berdasarkan prolegnas untuk di pusat dan prolegda untuk level pemerintah daerah. Sementara itu poros kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mengembangkan cita perwujudan negara hukum melalui putusan dan yuresprudensinya.
Sebagai negara hukum konstitusional, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan kaidah dan sistem hukum nasional. Patut dicatat bahwa sistem hukum nasional bisa diartikan sebagai hukum yang berlaku dengan semua elemennya yang saling menunjang satu sama lain dalam rangka memajukan kesejahteraaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tulisan berikut tidak akan mengupas bagaimana penyelenggara negara menjalankan
kewajiban mewujudkan dan melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Tulisan ini akan memfokuskan bahasan pada peta dasar sistem hukum dan pembangunan hukum dalam tantangannya ke depan ketika berhadapan dengan berbagai dialektika mulai dari dialektika sosial, politik dan budaya.

Pembangunan Hukum Nasional; Realitas dan Proyeksi Ke Depan

Pembangunan hukum nasional tidak dapat dilepaskan dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu agenda pembangunan hukum nasional harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Hal tersebut berkelindan erat dengan teori yang ditawarkan Lawrence M. Friedman bahwa ranah pembangunan hukum sekurang-kurangnya menyangkut tiga aspek yakni, isi atau materi hukum (substance), aparatur penegak hukum (structure) dan budaya hukum (culture). Persoalannya adalah ternyata agenda pembangunan hukum nasional kita masih dihadapkan pada beberapa kendala dan tantangan antara lain, yaitu;

1. Penataan sistem legislasi dan kelembagaan pembentuk undang-undang.
2. Budaya berhukum masyarakat yang masih terkontaminasi praktek mafia hukum.
3. Belum membuminya kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum.

Dalam dimensi tantangan penataan sistem legislasi dan kelembagaan pembentuk undang-undang, sistem legislasi kita masih belum paralel dengan sistem pemerintahan yang dianut sehingga seringkali hal ini memunculkan masalah dalam implementasi pembentukan hukum. Jika sistem pemerintahan kita adalah sistem presidensial, namun sistem legislasi kita cenderung bercorak parlementer dimana eksekutif dan legislatif sama-sama saling berkepentingan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sekali lagi, Indonesia dihadapkan pada anomali presidensial dalam dimensi praktek dan sistem legislasi. Saldi Isra mencatat bahwa telah terjadi pergeseran fungsi legislasi yang diindikasikan dengan menguatnya model legislasi parlementer dalam sistem presidensial Indonesia. Lebih lanjut Saldi Isra mencatat bahwa akar persoalannya ada pada Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 hasil amendemen. Kedua pasal ini memberi peran eksekutif terlibat dari tahap pengajuan (inisiatif), pembahasan, persetujuan, pengesahan, hingga pengundangan. Singkatnya, eksekutif terlibat di semua tahapan.

Dalam hal legislasi, idealnya skema presidensial memposisikan Presiden hanya pada tahap pengesahan dengan menandatangani RUU yang telah disetujui kedua kamar Parlemen (DPR dan Senat). Artinya Presiden tidak terlibat sama sekali dalam pembahasan dan pengambilan keputusan persetujuan atas RUU. Amerika Serikat adalah contoh negara yang sudah mapan dalam menerapkan sistem legislasi yang parelel dengan sistem presidensialnya.

Persoalan lain terkait penataan sistem legislasi kita adalah ketimpangan legislasi antara kamar-kamar parlemen yakni antara DPR dan DPD. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memang tegas menyatakan kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Artinya DPD bukanlah lembaga legislasi yang tidak memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Tetapi di lain pihak, DPD termasuk dalam poros kekuasaan legislatif yang menjadi bagian tak terpisahkan dari DPR yang terintegrasi secara institusional dalam format parlemen kita. Bila anggota DPR memiliki hak legislasi, anggota DPD sama sekali tidak mempunyai hak legislasi. Ketimpangan fungsi legislasi ini berpotensi melemahkan mekanisme saling kontrol antar lembaga negara (check and balances).

Tantangan kedua yang dihadapi dalam agenda pembangunan hukum nasional adalah budaya berhukum masyarakat yang masih terkontaminasi praktek mafia hukum. Masyarakat dibuat cemas dengan mengguritanya praktek mafia hukum. Ketika isu mafia hukum menyeruak ke ruang publik, aktor-aktor dalam organ kekuasaan mulai melakukan terobosan yang dimaksud untuk menjawab permasalahan mafia hukum yang laksana kentut, baunya begitu mudah dideteksi sedang pelakunya sulit dicari dan dibuktikan.

Memang agak ganjil, dan mungkin menyedihkan bahwa bangsa Indonesia yang mendasarkan
dirinya pada Ketuhanan Yang Maha Esa, praktek koruptif dalam berhukum justeru menjadi keharusan sejarah. Agama tinggal agama dan praktek mafia hukum tetap merajalela. Praktek mafia hukum telah nyata menggejala seperti debu halus rata menabur di ruang privat dan publik, menjamur mulai dari perkara kecil hingga yang besar. Praktek mafia hukum sudah seperti lukisan surrealis yang setengah seram setengah lucu. Seram karena rakyat akhirnya akan menjadi korban akibat ulah penegakan hukum yang koruptif. Lucu karena semakin hari semakin tidak jelas mana yang benar mana yang salah. Menarik untuk mengutip kembali kritik sufistik Emha Ainun Nadjib terhadap pola budaya berhukum kita. Emha mencatat; “...Bangsa yang-sesekali-menjalankan hukum, namun tanpa kesadaran dan hikmah hukum, tanpa kesanggupan untuk mengapresiasi nikmatnya berkebudayaan hukum. Bangsa yang sangat tampak secara wadak sedang menjalankan ajaran agama, namun hampir tak terdapat pada perilakunya dialektika berpikir agama, tak ada kausalitas mendasar antara input dan output nilai agama. Bahkan terdapat diskoneksi ekstrem antara praksis kehidupan beragama dengan hakikat Tuhan..”

Dalam konteks inilah pandangan Lawrence M. Friedman menemukan relevansi erat bahwa ranah pembangunan hukum memerlukan aspek budaya berhukum (culture) selain aspek isi atau materi hukum (substance), aparatur penegak hukum (structure). Sebagus apapun isi aturan hukum dan bersihnya aparat hukum, jika budaya berhukum masih menjadi kendala jangan diharap pembangunan hukum akan terwujud.

Tantangan ketiga agenda pembangunan hukum nasional kita adalah belum membuminya kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum. Mahfud MD mengemukakan bahwa rambu-rambu pembentukan peraturan perundang-undangan harus diperkuat dengan adanya empat kaidah penuntun hukum yang harus dipedomi sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum. Empat kaedah tersebut menurut Mahfud MD antara lain adalah:

1. Hukum nasional harus dapat menjaga integrasi (keutuhan kesatuan) baik ideologi maupun wilayah teritori sesuai dengan tujuan “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”, harus dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

2. Hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel, harus dicegah munculnya produk hukum yang diproses secara licik, kucing-kucingan dan transaksi ditempat gelap.

3. Hukum nasional harus mampu menciptakan keadilan sosial dalam arti harus mampu memberi proteksi khusus terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan golongan yang kuat baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.Tanpa proteksi khusus dari hukum golongan yang lemah pasti akan selalu kala jika dilepaskan bersaing atau bertarung secara bebas dengan golongan yang kuat.

4. Hukum harus menjamin toleransi beragama yang berkeadaban antar pemeluk-pemeluknya. Tidak boleh ada pengistimewaan perlakuan terhadap agama hanya karena didasarkan pada besar dan kecilnya jumlah pemeluk. Negara boleh mengatur kehidupan beragama sebatas pada menjaga ketertiban agar tidak terjadi konflik serta memfasilitasi agar setiap orang dapat melaksanakan ajaran agamanyadengan bebas tanpa mengganggu atau diganggu oleh orang lain. Hukum agama tidak perlu diberlakukan oleh negara sebab pelaksanaan ajaran agama diserahkan kepada masing-masing pemeluknya, tetapi negara dapat memfasilitasi dan mengatur pelaksanaannya bagi pemeluk masin-masing yang mau melaksanakan dengan kesadaran sendiri guna menjamin kebebasan dan menjaga ketertiban dalam pelakanaannya tersebut.

Jika mengacu pada kaedah pertama, bahwa hukum nasional harus dapat menjaga integrasi (keutuhan kesatuan) baik ideologi maupun wilayah teritori sesuai dengan tujuan “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”, harus dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Indonesia, kita dihadapkan pada berkembangan produk hukum yang berpotensi mencabik-cabik integrasi nasional. Salah satu ilustrasi adalah lahirnya perda-perda yang bernuansa primordial.

Begitu pula dalam hal bahwa hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel, harus dicegah munculnya produk hukum yang diproses secara licik, kucing-kucingan dan transaksi di tempat gelap, maka bisa dipastikan bahwa partisipasi minimalis publik dapat pula mencederai prinsip partisipatif dalam setiap penyusunan undang-undang.

Kesimpulan

Pembangunan hukum nasional semestinya dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terhadap tiga kendala dan tantangan agenda pembangunan hukum nasional yang antara lain meliputi penataan sistem legislasi dan kelembagaan pembentuk undang-undang, budaya hukum yang marak dengan praktek mafia hukum serta belum terejawantahkannya kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum, kita perlu melakukan upaya antara lain amandemen lanjutan terhadap konstitusi untuk memparalelkan sistem pemerintahan presidensial dengan sistem legislasi kita yang bercorak parlementer. Di samping itu, perlu pula political will penyelenggara negara dan agenda mendesak bangsa untuk memperbaiki citra dan budaya hukum yang berkeadilan serta peta jalan (road map) yang jelas dan aplikabel dalam membumikan kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum. Akhirnya, hukum harus dikembalikan pada akar moralitas, akar kultural dan akar religiusnya. Hanya dengan cara itu, rakyat akan merasakan hukum itu sebagai alat perwujudan perlindungan konstitusional atas segala hak dan kewajibannya.#

Bahan Bacaan

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab Dan Solusinya), Penerbit Ghalia, Jakarta, 2001.

Emha Ainun Nadjib, Kiai Bejo, Kiai Hoki, Kiai Untung, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007.

Lawrence L Friedman, American Law; An Introduction, W.W. Norton, New York, 1986.

Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi dan Isu, Rajawali Press, Jakarta, 2009.

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi:Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010.

Citra Lembaga dan Badan Kehormatan DPD RI

Sudah hampir tiga tahun anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2009-2014 diambil sumpahnya sebagai wakil daerah. Sejauh ini, boleh dikatakan tugas-tugas konstitusional DPD belum dapat dijalankan secara maksimal disebabkan beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah persoalan DPD yang selama ini masih disibukkan dengan penataan internal kelembagaan dan tugas penyusunan tata tertib baru. Akibatnya kepentingan daerah yang diembankan di pundak DPD belum tampak diperjuangkan dengan maksimal. Padahal, dinamika ketatanegaraan kita memerlukan lembaga perwakilan daerah yang betul-betul mampu melaksanakan fungsi-fungsi konstitusionalnya sehingga aspirasi daerah dapat diperjuangkan dalam setiap pengambilan keputusan tingkat pusat.

Pemilu legislatif tahun 2009 telah menghasilkan sebagian besar muka-muka baru anggota DPD. Kehadiran wajah-wajah baru itu tidak hanya memberikan angin segar perubahan tetapi juga diharapkan mampu menjadikan DPD sebagai ujung tombak dan penyambung lidah asipirasi masyarakat di daerah. Masyarakat berharap kehadiran DPD yang memiliki komitmen tinggi terhadap kepentingan daerah. Kelembagaan DPD yang lebih kompatibel dan berwibawa kini bergantung seberapa jauh anggota DPD yang baru bekerja untuk rakyat dan kepentingan daerah.
Lingkaran Setan Kegagalan

Banyak kalangan menilai DPD kini dihadapkan pada persoalan terulangnya cerita lama potret lembaga perwakilan yang ”adanya seperti tiada dan tiada seperti ada”. Ancaman itu bisa jadi akibat munculnya kebiasaan lama yang tidak mencerminkan idealisme sebagai wakil-wakil daerah di tingkat pusat. Kisruh pemilihan paket pimpinan MPR dari unsur DPD beberapa waktu lalu turut memberikan potret buram kepada publik betapa DPD sebagai lembaga lebih tertarik memperjuangkan kekuasaan sesaat ketimbang memikirkan nasib rakyat dan daerah.

Realitas keprihatinan tahun-tahun sebelumnya sepertinya bakal kembali terulang kembali. Menilik ke belakang, selama lima tahun popularitas DPD sebagai lembaga perwakilan sangatlah minim. Tidak banyak yang diketahui oleh masyarakat soal apa saja yang sudah dilakukan DPD untuk kepentingan daerah. Belum lagi pemberitaan media yang amat terbatas soal kinerja-kinerja DPD selama periode pertama. Ketika pemilu legislatif diselenggarakan, hingar bingar peserta pemilu dari partai politik mendominasi pemberitaan media ketimbang pemilu anggota DPD. Salah satu penyebabnya barangkali akibat keberadaan DPD yang kurang ”seksi” dan populer.

Bagaimanapun, selalu ada hubungan antara popularitas dengan kualitas kinerja. Kualitas kinerja juga berkelindan erat pada tingkat keaktifan dan kerajinan anggota-anggota DPD menghadiri rapat-rapat atau sidang resmi. Seperti halnya DPR, anggota DPD juga bermasalah dengan intensitas kehadiran dalam rapat-rapat resmi. Sampai saat ini publik pun belum menangkap adanya semangat perubahan dalam internal DPD untuk berbenah diri. Padahal sumpah jabatan telah diikrarkan dan Pakta Integritas sudah ditandatangani bersama.

Berharap pada Badan Kehormatan

Bagaimana mengatasi persoalan tersebut? Tidak banyak kalangan yang menyoroti rendahnya tingkat kehadiran anggota DPD dalam forum atau rapat resmi. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, tingkat kehadiran anggota DPD tidak lebih baik ketimbang kehadiran anggota DPR. Memang selama penyelenggaraan sidang paripurna, kehadiran anggota DPD cenderung maksimal. Namun dalam penyelenggaraan rapat-rapat alat kelengkapan, kehadiran anggota-anggota DPD selalu menjadi kendala utama.
Ketika kritik dari luar belum terlihat dan belum mampu menyadarkan DPD diperlukan mekanisme internal yakni kode etik serta tata tertib. DPD perlu secara radikal merubah peraturan tata tertib peninggalan generasi lalu. Perubahan tersebut mendesak sebab salah satu penyebab kurang greget-nya DPD dalam konstelasi politik ketatanegaraan periode pertama turut didorong oleh peraturan tata tertib yang lemah. Kode etik DPD juga perlu dibenahi sebab pada dasarnya kode etik berisi norma-norma atau aturan yang merupakan kesatuan landasan etik dan filosofis terkait peraturan mengenai apa yang diwajibka, dilarang atau tidak patut dilakukan oleh Anggota DPD. Kode etik tidak saja diperlukan untuk menjaga kehormatan, martabat dan kredibilitas individu anggota DPD tetapi juga menjaga dan menaikkan citra DPD secara institusional.

Selain itu, tidak kalah pentingnya, perbaikan kinerja dan citra DPD juga dapat didorong lewat Badan Kehormatan (BK). BK DPD secara yuridis diatur pada Pasal 245 Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Sebagaimana diketahui, BK merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota DPD. Selain itu BK DPD juga bertugas melakukan evaluasi dan penyempurnaan DPD tentang tata tertib dan kode etik DPD. BK secara ideal dapat difungsikan untuk mengawal dari dalam gerak perubahan dan pencitraan DPD menjadi lembaga negara yang populis dan responsif.

Sayang, tata tertib DPD belum memberikan panduan yang efektif bagi BK untuk bekerja maksimal. Salah ilustrasi misalnya, berdasarkan tata tertib DPD nomor 1/DPD RI/I/2009-2010 pasal 76, BK bertugas untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota yang tidak melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagai anggota. Aturan tersebut secara normatif tidak memberikan BK ruang gerak yang leluasa dalam menegakkan kode etik anggota DPD. Pasalnya BK baru bisa bertindak menyelidiki dan memverifikasi serta menjatuhkan sanksi selama ada pengaduan baik dari pimpinan, masyarakat atau daerah terhadap anggota yang lalai atau melanggar kode etik. Aturan ini tidak saja membelenggu BK dalam menegakkan aturan dan kode etik namun sekaligus memandulkan fungsi aktif BK dalam menjaga dan meningkatkan martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas Anggota dan institusi DPD.
Kekhawatiran BK menjadi mandul semakin beralasan ketika misalnya BK menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap anggota yang terbukti melanggar kode etik. Selain dimungkinkan berubahnya proses tersebut menjadi tawar-menawar politik, efektifitas penjatuhan sanksi pemberhentian akan sia-sia sebab anggota yang dijatuhi sanksi pemberhentian masih memiliki jalur hukum sebagaimana diatur pasal 80 ayat (4) tata tertib. Lebih jauh, Tatib DPD tidak menjelaskan lebih rinci jalur hukum dimaksud.
Sebenarnya dalam UU MD3 pemberhentian anggota DPD hanya terjadi dalam dua hal. Pertama, anggota DPD terbukti merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada badan peradilan, PNS, anggota TNI, pegawai BUMN, BUMD, pejabat struktural lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat, notaris. Kedua, anggota DPD dapat diberhentikan dengan alasan terbukti melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme serta gratifikasi.

Belajar dari jejak langkah DPD periode sebelumnya, paling tidak ada tiga sedimen tebal yang turut menempel di BK DPD. Sedimen tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi BK untuk ikut mengkatrol popularitas DPD. Pertama, fakta bahwa DPD sudah terlanjur diklaim sebagai lembaga negara yang kewenangannya amat terbatas sehingga koordinasi dan komunikasi politik internal dan eksternal seperti jalan di tempat. Sampai hari ini DPD masih menyempurnakan format kerja internal dan hubungan antara alat kelengkapan termasuk penyempurnaan tata tertib dan kode etik. Alat kelengkapan DPD yang lain seperti Panitia Musyawarah misalnya, hingga sekarang masih menyempurnakan Tatib DPD sebagai acuan pemantapan kelembagaan DPD di masa mendatang. Di tengah aturan konstitusi yang membatasi ruang gerak DPD dalam hal pencitraan lembaga, DPD juga dihadapkan pada pekerjaan penataan internal baik itu memantapkan keberadaan alat kelengkapan maupun dalam aturan teknis lainnya.

Sedimen sejarah kedua adalah potret kinerja parlemen yang jauh dari harapan publik. Bagaimanapun, ketika menyebut DPD maka tersematkan pula embel-embel parlemen di belakangnya. Sementara, parlemen mencakup juga keberadaan DPR. Sederhananya, citra DPR yang buruk akan mengantarkan pada kesimpulan buruknya citra parlemen di mana DPD menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Jika dilihat kinerja DPR, menarik mengetengahkan data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menunjukkan, DPR periode 2004-2009 baru berhasil menyelesaikan 155 RUU dari total sebanyak 284 RUU yang masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (prolegnas). Hasil kerja legislasi DPR jauh dari memuaskan meski sudah melewati angka 50%. Selain itu, berdasarkan data Indonesian Parliamentary Center (IPC), tahun 2008 lalu DPR hanya berhasil mengesahkan 44 RUU. Namun mayoritas undang-undang yang disahkan tersebut terkait dengan pemekaran wilayah (14 undang-undang). Artinya, pencapaian ini tidak bisa disebut sebagai prestasi karena isi undang-undang pemekaran wilayah hanya copy paste dari undang-undang serupa sebelumnya.

Sedimen sejarah ketiga adalah rendahnya akseptibiltas DPR untuk membangun komunikasi dan persetujuan tentang pola hubungan kerja DPR-DPD. Tidak bisa dipungkiri, DPR cenderung menutup mata dan enggan atau lalai dalam membahas keinginan DPD untuk membuat persetujuan bersama terhadap beberapa hal yang mengatur mengenai mekanisme kerja kedua lembaga. Sejak tanggal 25 Mei 2005 DPD sesungguhnya telah mengajukan konsep mengenai mekanisme kerja kedua lembaga. Namun, hingga sampai saat ini konsep tersebut belum juga direspons oleh DPR.

Tapi terlepas dari tantangan tersebut, sebenarnya DPD masih memiliki amunisi yang kuat untuk tampil membenahi citra parlemen yang terlanjur sudah negatif di mata publik. Amunisi dimaksud adalah fakta di mana hingga hari ini belum ada satu pun anggota DPD yang terjerat kasus hukum atau divonis bersalah karena menyalahgunakan posisi dan wewenangnya sebagai wakil rakyat dan daerah. BK DPD harus memanfaatkan momentum ini untuk terus mengkampanyekan DPD sebagai lembaga yang masih bisa diharapkan oleh rakyat integritas dan komitmennya. Kaukus Anti Korupsi yang sudah diinisiasi antara lain oleh DPD serta Pakta Integritas yang telah diatur dalam Tata Tertib dapat dijadikan semacam senjata ampuh bagi BK untuk turut menyampaikan pesan tersebut ke konstituen dan lembaga negara lainnya.

Pola Intimasi, BK DPD dan Hubungan Kelembagaan

Tak dapat dipungkiri bila latar belakang keanggotaan DPD RI memberikan dampak pada hubungan DPD dengan daerahnya atau lembaga negara lain. Tanpa komitmen penuh, seorang anggota DPD dapat saja memutuskan untuk tidak lagi menjadi bagian dari DPD karena pertimbangan lain misalnya bertarung di Pemilukada atau memilih duduk pada jabatan lain.

Ke depan, perlu memperhatikan dikembangkannya pola intimasi agar DPD dapat menkonversikan dirinya menjadi sebuah perwakilan politik yang profesional, efektif dan produktif. Tugas ini sebenarnya dapat diperankan secara apik oleh BK DPD apalagi mengingat penegakan disiplin dan kode etik serta pakta integritas anggota DPD menjadi tugas utamanya.

Pola intimasi sebagaimana disebutkan sebelumnya pada dasarnya membutuhkan beberapa pertimbangan yang juga tidak terlepas dari keberadaan BK DPD. Pertama, adanya prosedur dan mekanisme khusus yang secara teratur memberikan kepastian terselenggarakannya interaksi dan hubungan antara wakil daerah dengan konstituennya serta lembaga negara lainnya. Di dalamnya tentu saja mencakup kode etik dan kode perilaku yang harus dipatuhi setiap elemen yang ada di DPD. Kedua, perlunya kontrol atas komitmen politik para wakil atau badan perwakilan atas pilihan tugas yang telah diambilnya. Komitmen dan integritas ini secara otomatis melahirkan prinsip etika politik yang menjadi produk dari pola rekruitmen perwakilan yang bersifat langsung tersebut. Komitmen seperti ini memerlukan lembaga khusus yang bersifat internal agar para wakil daerah bersifat proaktif terhadap aspirasi dan kepentingan daerah serta konstituen. Lembaga khusus yang bersifat internal dimaksud tentu saja BK DPD yang bertindak sebagi infrastruktur politik DPD dalam mengagregasi kepentingan daerah dan menjaga kehormatan, martabat dan kredibilitas individu anggota DPD sekaligus menjaga dan menaikkan citra DPD. Ditekankannya BK DPD untuk mengisi peran ini tidak lain disebabkan fakta bahwa DPD bukanlah seperti partai politik yang memiliki organisasi pendukung dan memiliki struktur yang rapi mulai dari pusat hingga ke propinsi, kabupaten/kota atau bahkan kecamatan.

Ketiga, perlunya mendidik konstituten agar menjadi aktif dan terorganisir. Keaktifan konstituen dimaksud termasuk pula sikap pro-aktif konstituen untuk melaporkan setiap indikasi pelanggaran sumpah jabatan dan kode etik yang mungkin dilakukan oleh anggota DPD. Pengorganisasian konstituen diperlukan juga sebagai bagian dari upaya membangun pola intimasi agar aspirasi masyarakat di daerah dapat ditindaklanjuti dan disalurkan dengan baik dan sempurna.

Kesimpulan

Sebagai lembaga negara yang relatif baru, DPD sampai saat ini masih berkutat pada proses menemukan format kerja yang efektif dan efisien. Harus diakui masih banyak kelemahan mendasar dalam sistem menajemen dan mekanisme kerja internal DPD termasuk keberadaan alat-alat kelengkapan DPD seperti Panmus, Panitia Urusan Rumah Tangga, Panitia Perancangan Undang-Undang dan juga Badan Kehormatan DPD. Meskipun masing-masing alat kelengkapan ini sudah merumuskan pola kerja dan tugas masing-masing, ketiadaan koordinasi secara baik masih sering terjadi. Di antara kelemahan itu adalah belum efektifnya penegakan Kode Etik, belum sempurnanya sistem koordinasi dari dan antaranggota, antapimpinan alat kelengkapan maupun dengan konstituen di daerah pemilihan.

Ke depan, DPD juga perlu menyempurnakan kode etik dan kode perilaku sehingga dapat menjadi panduan dan pedoman anggota dalam menjalankan tugas konstitusionalnya. Yang lebih terpenting adalah penegakan disiplin tata tertib dan kode etik serta kode perilaku DPD baik di tingkat pimpinan maupun anggotanya. Hal ini urgen sebab disinilah ruh utama yang akan menentukan sukses tidaknya kinerja dan pengabdian DPD sebagai lembaga perwakilan daerah.

Dalam hal penegakan disiplin tata tertib dan kode etik serta kode perilaku, bagaimanapun BK tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan energi kolektif untuk menjadikan DPD sebagai lembaga negara yang efektif dan responsif. Semuanya terpulang kembali pada sejauh mana itikad dan komitmen anggota-anggota DPD itu sendiri. Perubahan besar kadang bisa dimulai dari yang terkecil.

DAFTAR BACAAN

Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Untuk Apa DPD RI, Editor Laurens Tato, Ctk. Kedua, Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan dan Pergeseran Kekuasaan dalam Negara, Editor

Ni’matul Huda, Ctk Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2004.

Muhammad Amin, Parlemen Indonesia (Studi Hubungan DPR-DPD Pasca Perubahan UUD 1945), Badan Penerbit UI, Jakarta, 2006.

Masnur Marzuki, “Politik Pencitraan DPD dan Badan Kehormatan”, Majalah Senayan, Edisi 36 Tahun VI, tanggal 22-28 Februari 2010.
______________, Dilema DPD, Republika, Edisi 17 Maret 2009.

Onong Uchjana Effendy, M.A. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti Bandung, 2003

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

PENGATURAN DAN PRAKTEK PENYELESAIAN SENGKETA LEMBAGA NEGARA DI BEBERAPA NEGARA

Beberapa negara yang cabang kekuasaan kehakimannya juga mengenal lembaga semacam MK menunjukkan bahwa tidak semua kewenangan sengketa lembaga negara menjadi otoritas MK. Namun secara umum di banyak negara kewenangan sengketa lembaga negara memang menjadi yurisdiksi lembaga peradilan semacam MK. Somalia misalnya di mana eksistensi MK diatur Pasal 101 Konstitusi Somalia yang menyatakan bahwa MK adalah entitas peradilan tertinggi selain MA (‘the Supreme Court of Justice is the highest entity in the judicial scale and it is at the same time the Constitutional Court…’) yang juga berwenang memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara.

Sayangnya, meski MK berwenang menyelesaikan perkara sengketa kewenangan lembaga negara, lembaga tersebut belum teruji mampu menyelesaikan konflik atau sengketa lembaga negara yang terjadi. Hal ini disebabkan minimnya pengalaman karena kewenangan tersebut belum pernah dilakukan oleh MK Somalia dalam sejarah praktek ketatanegaraannya.

Sepanjang sejarah Somalia, meskipun sering terjadi sengketa antara cabang kekuasaan legislatif (DPR) dengan pemerintah (eksekutif) dan berwenangnya MK Somalia untuk menyelesaikan sengketa tersebut, tak ada satu pun kasus yang pernah diperiksa dan diselesaikan oleh MK. Salah satu penyebab buntunya MK Somalia dalam memutus sengketa lembaga negara adalah akibat independensi hakim-hakim MK Somalia yang amat bergantung pada eksekutif di mana menurut Konstitusi Somalia, Presiden berhak mengangkat dan memberhentikan hakim konstitusi dengan persetujuan parlemen. Hanya saja selama ini parlemen Somalia masih sering dikooptasi oleh kepentingan politik eksekutif sehingga tidak bisa berbuat banyak selain mengikuti kemauan dan kehendak politik eksekutif termasuk pengangkatan dan pemberhentian hakim MK. Pihak oposisi di Somalia juga akhirnya tidak bisa berbuat banyak sebab munculnya keraguan akan independensi MK yang berbuntut tidak berfungsinya MK secara efektif dan proporsional. Berkaitan dengan ini Muhammad Farah Hersi mengatakan;

“The opposition and other individuals are not confident the independence of the court and as result, the court has not been functional. It is believed that the independence of the court has been undermined by influences from the government. As enshrines in the constitution the president has absolute power to nominate and remove the chief justice and justice in the court with the approval of the parliament. The approval of the parliament has had little practical application. Therefore, the chief justice and other justices at the court have no other options but, to abide by the demands of the president.” “...Institutionally this court has been set up, but the question remains its effectiveness and independence.”
Pengalaman MK Somalia tersebut menunjukkan bahwa kewenangan memutus sengketa lembaga negara telah diembankan oleh konstitusi Somalia kepada MK namun akibat persoalan independensi dan efektifitas kelembagaannya, kewenangan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna.

Lain di Somalia, lain pula di Spanyol. MK Spanyol memiliki ragam kewenangan seperti halnya MK di Indonesia termasuk kewenangan memutus sengketa lembaga negara. Perbedaannya jika di Indonesia kewenangan MK hanya sebatas memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, di Spanyol MK berwenang juga memutus sengketa tidak hanya antar organ atau lembaga negara namun juga sengketa kewenangan antara lembaga negara dengan lembaga-lembaga pada persekutuan wilayah atau daerah-daerah otonom (Autonomous Communities) serta sengketa dalam internal lembaga
persekutuan wilayah tersebut.

Pengaturan sengketa kewenangan dalam internal lembaga persekutuan wilayah mulai diadopsi dengan direvisinya UU MK Spanyol pada tahun 1999. Perubahan aturan tentang MK tersebut telah membuka peluang diajukannya permohonan sengketa kewenangan tidak hanya oleh persekutuan wilayah atau daerah-daerah otonom namun juga propinsi melawan pemerintahan negara dalam hal ini pemerintah pusat.

Seorang pakar hukum tata negara Spanyol, Cabellos Espiérrez mengatakan bahwa Spanyol memang memiliki keunikan sistem hukum di mana pemerintah pusat dan serangkaian daerah otonom dapat mengajukan keberatan atas aturan yang berbenturan dengan konstitusi dan mengajukan permohonan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Fitur lain yang juga termasuk unik dalam sistem ketatanegaaraan Spanyol adalah kewenangan MK Spanyol untuk menunda pelaksanaan kewenangan ketika pemeriksaan perkara sengketa kewenangan lembaga negara sedang diperiksa oleh MK. Cabellos Espiérrez mengatakan, “as a result of these delays, the resolution of a conflict of jurisdiction frequently arrives when the norm under appeal has already been in effect for many years, and in many cases when the damage done cannot be repaired”.
Sepanjang sejarah ketatanegaraan Spanyol, baru satu kali MK memutus perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Yang paling banyak disorot oleh peneliti hukum ketatanegaraan di Spanyol justeru sengketa kewenangan antara serangkaian daerah otonom yang disebut komunitas independen baik konflik di antara mereka sendiri maupun konflik kewenangan dengan negara (pemerintah pusat).

Dalam hal permohonan sengketa kewenangan lembaga negara itu diajukan oleh pemerintah pusat maka MK harus memberikan putusan selambat-lambatnya dua bulan sejak sengketa kewenangan tersebut terjadi. Lebih jauh Pasal 161.2 Konstitusi Spanyol menyebutkan bahwa pemerintah pusat dapat mengajukan permohonan sengketa kewangan terhadap aturan atau maklumat yang diadopsi oleh organ dari persekutuan wilayah. Lengkapnya, Konstitusi Spanyol menegaskan., "Government may contest before the Constitutional Court the previsions and resolutions adopted by the organs of the Autonomous Communities. The challenge shall produce the suspension of the contested provisions or resolution, but the Court must either ratify or lift suspension, as the case may be, within a period of not more than five months.” Artinya ketentuan tersebut menyatakan adanya penundaan atau pelarangan otomatis dalam permohonan sengketa diajukan oleh pemerintah pusat.

Dinamika ketatanegaraan Spanyol memang sering diwarnai dengan sengketa kewenangan. Dalam kurun waktu tiga dekade terkahir setidaknya telah terjadi 605 sengketa atau konflik teritori yang melibatkan persekutuan wilayah atau daerah-daerah otonom di Spanyol. Dari 605 sengketa tersebut 419 permohonan telah diajukan ke muka persidangan MK Spanyol. Penyebabnya antara lain ketidakjelasan konstitusi Spanyol dalam memberi garis demarkasi yang jelas soal konflik atau sengketa apa saja yang masuk dalam yurisdiksi kewenangan MK. Padahal konflik bisa saja bernuansa politik dan bisa pula sengketa kewenangan yang murni soal hukum. Persoalannya semakin kompleks karena domain MK untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan tidak diuraikan secara tegas dan jelas.

Gambiran, 25 Desember 2011

[Bagian dari Tulisan yg diterbitkan oleh Jurnal KOnstitusi MKRI dan PSHK FH UII]