Monday, December 24, 2012

RUU Kamnas Kian Memanas?



Ketika Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) sedang akan digodok bersama oleh Pemerintah dan DPR, kontan RUU tersebut mendapat penolakan dari beragam kalangan mulai dari mahasiswa, pemerhati HAM hingga pegiat LSM. Penolakan tersebut belakangan juga muncul dari dalam DPR sendiri antara lain Fraksi PDIP, Hanura dan PPP. Beberapa Fraksi DPR tersebut secara bulat menolak RUU Kamnas untuk dilanjutkan pembahasannya. Pasca penolakan berbagai kalangan tersebut, Naskah RUU Kamnas kemudian disempurnakan oleh Pemerintah yang disertai dengan beberapa revisi.[1] Namun, ternyata revisi tersebut tidak mengandung signifikansi jika dibandingkan dengan naskah sebelumnya. Alhasil, substansi RUU Kamnas dianggap tetap beresiko mengancam kebebasan dan supremasi sipil.[2]

Ada banyak isu yang mewarnai kelanjutan masa depan RUU Kamnas. Mereka yang menolak berargumen bahwa RUU Kamnas akan menabrak tertib sipil dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sedang terbangun pasca reformasi. Bahkan, RUU Kamnas dianggap sebagai palu godam bagi kebebasan dan independensi pers. Sebaliknya, ada pula pihak yang mendukung pengesahan RUU Kamnas sebab dianggap sebagai senjata ampuh untuk menangkis potensi ancaman serangan asing terhadap kedaulatan bangsa dan negara.[3]

Pertanyaannya, kenapa RUU Kamnas begitu “sensitif” dan menarik perhatian publik? Nomenklatur apa saja yang menjadi polemik sehingga RUU Kamnas harus disikapi dengan ekstra hati-hati? Tulisan ringkas ini dimaksudkan untuk memberikan wacana mendasar tentang masa depan RUU Kamnas dari aspek legislasi dan pentingnya mengawal pembahasan RUU Kamnas sehingga nantinya tidak mengancam keberlangsungan demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia. 



Beberapa pasal krusial yang menjadi episentrum perdebatan dalam RUU Kamnas antara lain, pertama[4], rumusan tentang kamnas dan ancaman terhadap kamnas yang masih sangat luas dan multitafsir (Pasal 1 Ayat 1 dan 2). Rumusan tentang kamnas dan ancaman terhadap kamnas dianggap potensial disalahgunakan karena rumusan “tujuan kamnas”  ditekankan pada ”keberlangsungan pembangunan nasional” (Pasal 3). Nomenklatur kamnas, ancaman terhadap kamnas dan tujuan kamnas akan sangat “elastis” sehingga memberikan ruang yang leluasa bagi penguasa untuk menafsirkan secara subyektif demi kepentingan kekuasaan. Sebagai analogi, ketika mahasiswa atau sekelompok masyarakat melakukan kritik atau unjuk rasa memprotes kebijakan pemerintah maka bisa dikategorikan ancaman dan dapat dilakukan tindakan represif.

Kedua, pengaturan mengenai jenis ancaman sebagaimana diatur pada Pasal 17 draft RUU yang terdiri dari ancaman militer, ancaman bersenjata, dan ancaman tidak bersenjata. Pada jenis ancaman tidak bersenjata, definisi ancaman yang multi tafsir menyebabkan problematika tersendiri bila dikaitkan dengan jenis ancaman dimaksud. Apalagi mengingat jenis ancaman tidak bersenjata mencakup jenis ancaman aktual, seperti pelanggaran wilayah perbatasan, konflik horizontal dan komunal, serta anarkisme. Menariknya, selain jenis ancaman tersebut dimasukkan pula jenis ancaman lain yang cenderung absurd dan bahkan abstraktif seperti ideologi radikalisme, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, hingga diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi.

Terkait idiologi radikalisme, dalam politik global dewasa ini memang idiologi tersebut menjadi tema penting yang hampir dijadikan musuh bersama dan dianggap sebagai bibit terorisme. Tentu tidak sepenuhnya tesis ini benar sebab akan muncul banyak perdebatan filosofis. Namun yang patut dicatat adalah bahwa bukanlah perkara sederhana untuk mengkualifikasi idiologi radikalisme sebagai sebuah ancaman yang benar-benar ancaman. Apalagi mengingat idiologi erat kaitannya dengan alam pikiran yang sulit diukur kadarnya apakah yang menjadi ukuran bahwa suatu idiologi patut disimpulkan sebagai idiologi radikalisme. Absurditas semacam inilah yang justru bisa menjadi satu “alat” bagi pemegang kekuasaan untuk kemudian mengontrol alam pikiran atau idiologi seseorang (warganegara). Padahal konstitusi menjamin kebebasan berpendapat dan berorganisasi sebagaimana diatur Pasal 29E ayat (3) UUD NRI 1945.[5]

Ketiga, penempatan posisi TNI sebagai unsur utama penyelenggara kamnas sebagaimana diatur Pasal 20 RUU ini. TNI diposisikan lebih utama dibandingkan Polri dalam penyelenggaraan kamnas. Banyak kemudian yang mencurigai bahwa paradigma ini akan mengembalikan peran militer dalam penanganan persoalan sosial kemasyarakatan. Bayang-bayang Orde Baru yang militeristik seketika muncul ke muka.

Keempat, masih berkaitan dengan posisi TNI, RUU Kamnas mencantumkan salah satu status keadaan kamnas yakni tertib sipil dimana Presiden sewaktu-waktu dapat mengerahkan TNI tanpa perlu persetujuan DPR (Pasal 10). Persoalannya bukan pada perlu tidaknya persetujuan DPR dalam hal Presiden mengerahkan TNI dalam konteks menjaga tertib sipil, tetapi, persoalan yang muncul adalah terpinggirkannya fungsi Polri yang sejatinya bertanggungjawab dalam menjaga dan mengawal status tertib sipil. Sebab, lazimnya dalam kondisi tertib sipil, Polri berposisi sebagai leading institution karena tertib sipil belum sampai pada tahap kondisi luar biasa yang mengharuskan militer untuk turun tangan.  

Kelima, keberadaan Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang dipimpin langsung oleh Presiden sehingga besar kemungkinan Presiden dapat bertindak sewenang-wenang karena Presiden sendiri yang merumuskan strategi kamnas sekaligus mengendalikan kamnas terutama dalam konteks status tertib sipil. Bila hal ini tetap dipaksakan maka yang terjadi kemudian otoriterianisme yang mengancam supremasi sipil dan hak asasi manusia.

Dalam konteks kamnas, layak barangkali mengutip kembali apa yang pernah ditulis Goenawan Mohamad, “...negara diatur oleh kemungkinan konflik yang tak pernah hilang dan selamanya berada di tengah ketidakpastian. "Tantangan kita," tulis Menteri Pertahanan Rumsfeld dalam majalah Foreign Affairs, "adalah untuk mempertahankan bangsa kita menghadapi yang tak diketahui, yang tak pasti, tak terlihat dan tak terduga-duga."

RUU Kamnas: Problematika Sistem dan Fungsi Legislasi

Ibarat pertarungan tinju, RUU Kamnas kini makin memanas. Sikap DPR yang tidak seragam dan Pemerintah yang cenderung memaksakan kehendak membuat pembahasan dan pengesahan RUU Kamnas seperti perjalanan tak berujung. Apalagi jika dikaitkan dengan sistem legislasi yang dianut dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Dalam dimensi tantangan penataan sistem legislasi dan kelembagaan pembentuk undang-undang, sistem legislasi yang kini berlaku masih belum paralel dengan sistem pemerintahan yang dianut sehingga seringkali hal ini memunculkan masalah dalam implementasi pembentukan hukum. Jika sistem pemerintahan adalah sistem presidensial, namun sistem legislasi cenderung bercorak parlementer dimana eksekutif dan legislatif sama-sama saling berkepentingan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sekali lagi, Indonesia dihadapkan pada anomali presidensial dalam dimensi praktek dan sistem legislasi. Saldi Isra mencatat bahwa telah terjadi pergeseran fungsi legislasi yang diindikasikan dengan menguatnya model legislasi parlementer dalam sistem presidensial Indonesia.[6] Lebih lanjut Saldi Isra mencatat bahwa akar persoalannya ada pada Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 hasil amendemen. Kedua pasal ini memberi peran eksekutif terlibat dari tahap pengajuan (inisiatif), pembahasan, persetujuan, pengesahan, hingga pengundangan. Singkatnya, eksekutif terlibat di semua tahapan.[7]

Dalam hal legislasi, idealnya skema presidensial memposisikan Presiden hanya pada tahap pengesahan dengan menandatangani RUU yang telah disetujui kedua kamar Parlemen (DPR dan Senat). Artinya Presiden tidak terlibat sama sekali dalam pembahasan dan pengambilan keputusan persetujuan atas RUU. Amerika Serikat adalah contoh negara yang sudah mapan dalam menerapkan sistem legislasi yang parelel dengan sistem presidensialnya.

Persoalan lain terkait penataan sistem legislasi adalah ketimpangan legislasi antara kamar-kamar parlemen yakni antara DPR dan DPD. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memang tegas menyatakan kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Artinya DPD bukanlah lembaga legislasi sehingga tidak memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Tetapi di lain pihak, DPD yang masuk dalam poros kekuasaan legislatif menjadi bagian tak terpisahkan dari MPR yang terintegrasi secara institusional dalam format parlemen kita.[8] Ketimpangan fungsi legislasi ini berpotensi melemahkan mekanisme saling kontrol antar lembaga negara (check and balances).

Persoalan sistem legislasi tersebut kini juga terjadi pada RUU Kamnas. Trimedya Panjaitan, Wakil Ketua Pansus RUU Kamnas F-PDIP mengatakan bahwa "DPR, dalam hal ini Pansus RUU Kamnas, seharusnya bisa langsung mengembalikan lagi RUU tersebut kepada pemerintah pada awal pembahasan RUU Kamnas. Namun, konstelasi politik berubah. Jika dalam rapat pleno tanggal 20 Maret 2012 ada tujuh fraksi setuju mengembalikan RUU Kamnas kepada pemerintah dan hanya dua fraksi yang sepakat RUU dibahas, dalam rapat pleno 10 Juli 2012 tinggal tiga fraksi yang konsisten untuk mengembalikan RUU Kamnas."[9] 

Kekisruhan RUU Kamnas dalam konteks sistem legislasi sebetulnya tidak akan terjadi jika saja sistem legislasi beriring jalan dengan sistem pemerintahan yang dianut. Artinya, efek domino dari kekisruhan sistem legislasi berdampak pula pada setiap subjek peraturan perundang-undangan yang akan dilahirkan. Namun, di belakang itu semua, setiap RUU yang dilahirkan oleh DPR-Pemerintah sejatinya mensyaratkan komitmen kerakyatan (kepentingan rakyat). Apakah DPR-Pemerintah benar-benar menyadari hal itu? Wallahua’lam bisshowab.#




[1] Naskah RUU Keamanan Nasional (Kamnas) tertanggal 16 Oktober 2012 yang diterima  Panitia Khusus (Pansus) RUU Kamnas, Selasa, 23 Oktober 2012 memang  terdapat perubahan dibandingkan naskah RUU sebelumnya, yaitu semula terdiri atas 60 pasal jadi 55 pasal.
[2] Lihat Trimedya Panjaitan, “Quo Vadis RUU Kamnas” Artikel pada Harian Kompas 12 November 2012.
[3] Menariknya, dukungan justru muncul dari sebagian kalangan aktivis mahasiswa termasuk HMI. Ketua Bidang PTKP PBHMI bahkan menyatakan dukungannya atas pengesahan draft RUU Kamnas karena dianggap efektif melindungi kedaulatan bangsa dari segenap ancaman. Lihat artikel berita http://news.okezone.com/read/2012/10/31/339/711785/pb-hmi-dukung-ruu-kamnas diakses 20 November 2012.
[4] Makalah ini tidak membahas bab demi bab tetapi lebih pada menitikberatkan pada bagian-bagian krusial dalam RUU Kamnas.
[5] Pasal 28E Ayat (3) lengkapnya berbunyi; Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.**)
[6] Lihat Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi:Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010. Hlm. 121.
[7] Ibid.
[8] MPR dikatakan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih lewat Pemilu. Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945.
[9] Lihat Trimedya Panjaitan, “Quo Vadis RUU Kamnas” Artikel pada Harian Kompas 12 November 2012.

#Makalah dipresentasikan pada Diskusi RUU Kamnas yang diselenggarakan oleh Badan eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Jakarta, 22 November 2012

Friday, November 9, 2012

"Menggugat Semangat Patriotisme Mahasiswa"



"The greatest patriotism is to tell your country when it is behaving dishonorably, foolishly, viciously.”
(Julian Barnes) 

Seperti sudah terprogram, setiap tahun pahlawan diperingati. Dan itu dikhidmati di setiap November. Bukan karena pada bulan itu kemerdekaan berhasil diraih tapi lebih karena momentum November itu pahlawan-pahlawan Indonesia pernah menggoreskan sejarah heroik perlawanan atas penindasan kaum penjajah, tepatnya di Surabaya.

Tapi rentetan dari semua itu, termasuk elemen-elemen pendukung khidmat peringatannya, belum akan menghentikan peristiwa kepahlawanan itu sendiri. Artinya romantisme sejarah kepahlawanan itu boleh saja berakhir. Namun pemantapan nilai kepahlawanan manusia Indonesia harus tetap berlanjut sebagai proses tanpa ujung terutama kelompok intelektual yang diwakili oleh mahasiswa. Bagaimanapun kini layar sudah terkembang. Di depan para mahasiswa kaum terdidik itu kini sedang menanti sekian banyak dialektika akademik dan sosial baik di dalam maupun di luar kampus yang dapat mengggiring bangsa pada kehancuran atau kemajuan

Pertanyaannya, sejauh manakah seorang terdidik –dalam hal ini mahasiswa– dapat berkontribusi bagi keberlanjutan nilai-nilai patriotisme[1] yang digelorakan sudah sejak lama oleh para pahlawan bangsa? Tulisan ringkas ini dimaksudkan untuk memberikan wacana umum bagi para mahasiswa dan kontribusinya terhadap masa depan Indonesia  di tengah langkanya isu patriotisme bangsa di kalangan mahasiswa.

Kalangan akademisi saat ini dinilai sudah malas menggelorakan semangat patriotisme. Padahal dunia kampus termasuk di dalamnya para akademisi menjadi motor untuk sebuah gagasan, pemikiran yang bisa menjadi inspirasi sosial.

Patriotisme biasanya menyeruak ketika identitas dan eksistensi sebuah bangsa mengalami ancaman. Ia tumbuh seiring magma nasionalisme tengah mem­bara, membuncah ketika gelora revolusi dihembuskan. Seperti yang pernah diutarakan budayawan Goenawan Mohamad, Patriotisme bisa mendapatkan artikulasinya dengan gelora hati, dan gelora hati memang sering mendorong muncul kalimat-kalimat yang menggetarkan. Maka, dibutuhkan ingatan kolektif dan renungan sekiranya nilai dan semangat patriotisme itu mulai redup. Tentu, tidaklah cukup sebuah monumen pahlawan atau sekedar peringatan hari pahlawan akan signifikan menumbuhkan sikap patriotisme.



Antonio Gramsci, seorang filosuf Italia, mengatakan bahwa intelektual bukan dicirikan oleh aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang atau individu, melainkan oleh fungsi yang mereka jalankan. Gramsci menulis “oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual”. (Roger Simon; 1999, 140) Catatan dan ide intelektual Garmsci itu bisa dilihat dalam Prison Notebooks yang dia tulis semasa di penjara antara tahun 1929 dan tahun 1935 setelah divonis bersalah oleh pemerintahan fasis Mussolini. 

Salah satu gagasan Gramsci adalah diskursus yang dikembangkannya mengenai konsep intelektual. Gramsci membagi intelektual ke dalam dua kategori: tradisional dan organik. Menurutnya, intelektual tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual menara gading yang melakukan perselingkuhan dan aliansi dengan kelompok penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial. Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik merupakan kategori yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakatnya. Kaum intelektual yang demikian ini sejatinya muncul secara alamiah dari dalam diri dan seiring dengan pergerakan masyarakat, bukan dipaksakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakatnya. Atau, dalam bahasa Gramsci, muncul dari kelompok pekerja (the working class). Karena itu, mereka cenderung revolusioner dan tidak konservatif. (Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci; 1971).

Inti dari pemikiran Gramsci soal intelektual adalah intelektual fungsional. Intelektual fungsional berarti bahwa kaum intelektual harus mampu menjalankan fungsi sebagai organisator dalam segala aspek kehidupan masyaraat. Artinya, kualitas intelektualitas tidak diukur dari kapasitas prestasi yang ditentukan melalui nilai-nilai akademik semata namun lebih dari itu kualitas intelektual harus diukur dari sejauh mana kaum intelektual mampu memfungsikan diri di lingkungannya, hidup dan berkembang bersama masyarakat serta berkontribusi nyata.

Terdapat korelasi tentang gagasan intelektual fungsional Gramsci dengan pentingnya memfasilitasi intelektual muda (baca; mahasiswa) agar dapat pula menjadi insan yang kontributif. Dengan begitu mahasiswa tidak hanya berjibaku dengan kehadiran di bangku kuliah dan mengejar perbaikan nilai akademik, tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu memahami virtues of life, mengembangkan gagasan dan jiwa kritisnya. Virtues yang berarti kemuliaan, kewibawaan, kehormatan dan keutamaan akan sulit tercapai bila mahasiswa hanya didoktrin untuk mendongkrak nilai akademik tanpa diberikan peluang dialektis untuk tumbuh dan berkembang menjalankan fungsi intelektualnya.

Padahal sebagai aktor dalam social development, mahasiswa harus berperan sebagai tenaga-tenaga terdidik yang dapat menyalurkan keterampilan dan keilmuannya untuk masyarakat terhadap isu-isu kemasyarakatan, misalnya dengan memberikan pelatihan, penyuluhan, advokasi masyarakat, program pendampingan masyarakat, dan lain-lain.


Artikulasi Patriotisme: Gelora Hati

Apa yang membuat patriotisme menggelora khususnya pada kalangan mahasiswa menguat sekaligus mengendur? Mungkin butuh pemikiran dan waktu panjang menyebutnya satu persatu. Orang menuduh globalisasi, teknologi informasi sebagai pemicu lemahnya patriotisme. Tapi sepertinya, lebih tepat menjawabnya karena ketiadaan musuh tunggal milik bersama mahasiswa yang hadap berhadapan dengan isu patriotisme itu sendiri. Musuh mahasiswa dewasa ini adalah tuntutan untuk cepat selesai kuliah, mendapatkan pekerjaan, kesejahteraan setelah itu mati.
Padahal ternyata patriotisme membutuhkan musuh bersama yang harus diperangi. Dan musuh haruslah diidentifikasi dengan bijaksana bukan dengan mereka-reka dalam kalkulasi yang keliru dan tanpa analisa intelektual. Kenapa gerakan mahasiswa 1998 begitu monumental ketika menjatuhkan rezim Orde Baru? Jawabannya karena mahasiswa sadar akan musuhnya yang satu, rezim Suharto yang otoriter!

Sekali lagi, layak dikutip kembali apa yang pernah ditulis Goenawan Mohamad, “Bila Anda seorang pengikut Carl Schmitt, pemikir politik anggota Partai Nazi, Anda akan mengatakan bahwa dalam das Politische, musuh adalah keniscayaan. Kelanjutan hidup sebuah bangunan politik ditentukan dari permusuhan itu. Negara diatur oleh kemungkinan konflik yang tak pernah hilang dan selamanya berada di tengah ketidakpastian. "Tantangan kita," tulis Menteri Pertahanan Rumsfeld dalam majalah Foreign Affairs, "adalah untuk mempertahankan bangsa kita menghadapi yang tak diketahui, yang tak pasti, tak terlihat dan tak terduga-duga."

Di belakang itu semua, patriotisme mensyaratkan komitmen dan gelora hari. Gelora hati menyiratkan niat dan komitmen. Maka mempertanyakan patriotisme di kalangan kaum terdidik (baca: mahasiswa) adalah mempertanyakan apa tujuan dan maksud hati kaum intelektual tersebut ketika menjejakkan kaki di perguruan tinggi? Wallahua’lam bisshowab.#
 
 


# Makalah Disampaikan pada Acara Diskusi “Refleksi Dalam Rangka Memperingati Hari Pahlawan", Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Jumat, 09 November 2012.



[1] Patriotisme adalah sikap untuk selalu mencintai atau membela tanah air yang mempunyai semangat, sikap dan perilaku cinta tanah air, dimana tercakup sikap untuk sudi mengorbankan segala-galanya bahkan jiwa sekalipun demi kemajuan, kejayaan dan kemakmuran tanah air.