Friday, March 23, 2012

“Jalan Keluar Krisis Energi: Perspektif Regulasi Migas”

Harga minyak mentah internasional yang terus merangkak naik akhir-akhir ini memaksa pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang direncanakan mulai berlaku pada tanggal 1 April 2012. Hal ini dalam rangka mengurangi beban subsidi BBM sebagai akibat konsumsi dalam negeri yang amat bergantung pada impor minyak sebesar 487 ribu barel per hari. Banyak pengamat menilai kenaikan harga BBM tetap akan berpengaruh pada defisit anggaran apalagi jika harga minyak internasional terus naik.

Di tengah krisis energi fosil semisal BBM, perlu segara dicari solusi terbaik mengingat energi merupakan kebutuhan pokok rakyat dan menentukan keberlangsungan pembangunan. Seandainya pun BBM benar-benar dinaikkan, solusi kuratif jangka pendek berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin harus diiringi dengan peningkatan akses (daya beli) masyarakat terhadap kebutuhan pokok, peningkatan produksi dan teknologi pengolahan BBM serta upaya efisiensi penggunaan BBM dan diversifikasi energi pada jangka menengah dan panjang.

Salah satu solusi yang juga penting untuk diperhatikan adalah pembenahan kapasitas regulasi migas yang hingga saat ini seperti jalan tak berujung. Tulisan berikut akan memaparkan beberapa persoalan terhadap regulasi migas dan proyeksi ke depan dalam merekonstruksi dan membenahi aspek regulasi migas nasional menuju kemandirian dan kedaulatan ekonomi.

Rancangan Undang-Undang tentang Migas yang kini tengah digodok di Parlemen harus mengembalikan kedaulatan ekonomi atas Migas, yang secara umum meliputi; pertama, memastikan akomodasi yang optimal terhadap seluruh kepentingan nasional seperti kewajiban pemenuhan pasokan migas untuk kebutuhan domestik. (Domestic Market Obligation) perlu dibenahi khususnya pasal 22 ayat (1) yang sudah dibatalkan pemberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi (karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 [Prinsip sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat]). Dalam konteks ini relevan untuk mengutip apa yang ditulis Jaya Suprana tentang Kelirumologi BBM bahwa “membesarkan tiang agar lebih besar daripada pasak atau dalam kasus defisit minyak bumi Indonesia adalah membesarkan volume ekspor agar lebih besar daripada volume impor. Caranya dengan meningkatkan produksi minyak bumi mutu tinggi di dalam negeri untuk diekspor sehingga lebih besar daripada volume impor minyak bumi mutu rendah.” (Kompas, 21/03/2012).

Kedua, kapasitas regulasi migas nasional harus memuat secara utuh grand design pengelolaan migas yang berkeadilan dan berpihak pada kepentingan nasional.

Ketiga, regulasi migas nasional harus mendorong keberpihakan Pemerintah yang sungguh-sungguh terhadap perusahaan nasional terutama terkait pengaturan perpanjangan kontrak kontraktor asing yang telah habis masa kontraknya. Harus diakui, lemahnya aspek penguasaan (wilayah) migas oleh Negara telah melemahkan salah satu aspek terpenting dalam ketahanan energi nasional. Keputusan Mahkamah Konstitusi 21-12-2004 yang mengharuskan revisi terhadap Pasal 12 ayat 3 berikut: “Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2”, (frase “diberi wewenang” dipandang bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33), sesungguhnya merujuk pada lemahnya aspek penguasaan (wilayah) migas oleh Negara. Dalam aspek penguasaan tersebut harus ada jaminan bahwa Negara, atau dalam hal ini perusahaan migas negara (Pertamina), akan menguasai dan mengelola wilayah migas di tanah airnya sendiri.

Keempat, proyeksi regulasi migas juga harus memperjelas peraturan dari sektor hulu sampai sektor hilir sehingga problem pasokan, distribusi dan subsidi energi migas bisa berjalan dengan lancar. Yang terjadi selama ini justeru muncul kesimpang-siruan siapa penanggungjawab dalam berbagai persoalan terkait hilir seperti kelangkaan BBM, kuota BBM terlampaui, pengaturan pasar BBM. Akhirnya yang terjadi adalah sikap saling lempar tanggungjawab. Dalam masalah yang lain, seperti kelangkaan atau ledakan elpiji, publik juga menjadi bingung siapa yang harus bertanggungjawab dengan banyaknya institusi yang ada – Ditjen Migas, BPH Migas, Pertamina.

Kelima, aturan migas nasional juga perlu mengakomodir peran dan kepentingan daerah yang lebih berkeadilan termasuk Dana Bagi Hasil yang lebih adil dan transparansi lifting minyak, total biaya produksi, harga yang dijual, Cost Recovery dan lain-lain. Sistem pengelolaan Migas yang tidak transparan dan tidak memberikan akses atau kewenangan kepada daerah penghasil untuk memperoleh data mengenai struktur cost recovery, total biaya produksi dan jumlah produksi migas akan memicu konflik antara Pusat dan Daerah.

Keenam, pembenahan regulasi migas juga harus mampu mengupayakan dan mendorong sinkronisasi aturan migas nasional dengan beberapa pengaturan sektor energi lain setingkat Undang-Undang dan dibawah Undang-Undang sehingga tidak lagi terjadi persoalan tumpang tindih aturan hukum baik di pusat maupun di daerah. Indonesia yang tidak hanya kaya raya minyak bumi, tetapi juga kaya raya sumber energi lain, seperti air, angin, matahari, gas bumi, dan bioenergi harus memiliki satu kontruksi hukum (legal framework) yang integratif dan saling mendukung satu sama lain. Hal ini tentu akan lebih memperkuat regulasi ketahanan energi nasional.# Wallahua’lam bisshowab.

MAKALAH DISAMPAIKAN PADA ACARA DISKUSI "MENCARI JALAN KELUAR KRISIS ENERGI" YANG DISELENGGARAKAN OLEH JAMPER (JARINGAN PEMUDA PENGGERAK)DI GEDUNG JUANG '45, JAKARTA, 22 MARET 2012.

Sunday, March 11, 2012

Refleksi Perjalanan Sebelas Tahun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Sistem Pemerintahan dan Politik Ketatanegaraan*

“If men were angels, no government would be necessary. If angels were to govern man, neither external nor internal controls in government would be necessary. In framing a government which is to be administered by men over men the great difficulty lies in this, you must first enable the government to control the governed and in the next place oblige it to control itself. A dependence on the people is no doubt the primary control on the government. But experience has taught mankind the necessity for auxiliary precautions.”

—James Madison, The Federalist, No. 51.

Perkataan James Madison tersebut menunjukkan betapa pentingnya makna kontrol atas kekuasaan pemerintahan. Sebab, manusia yang menjalankan kekuasaan pemerintahan berpotensi untuk menyalahkan kekuasaannya. Kontrol menjadi sesuatu yang fundamental. Kontrol tersebut menurut Madison berada di tangan rakyat yang prinsipnya terbingkai di dalam konstitusi.

Dalam kajian teoritis ketatanegaraan, kekuasaan pemerintahan negara terkait erat dengan sistem pemerintahan. Tidak mengherankan bila Sri Soemantri mengatakan istilah pemerintahan cenderung dikonotasikan pada pemegang kekuasaan pemerintah atau badan eksekutif. Dalam dimensi itulah konstitusi mengatur kekuasaan pemerintah sehingga kekuasaan tersebut memiliki payung hukum konstitusional. Selain itu, pengaturan konstitusional kekuasaan menjadi semacam panduan bagi pemegang kekuasaan pemerintahan dalam menjalankan kewenangannnya.

Setelah berjalan hampir sebelas tahun, amandemen UUD 1945 memunculkan banyak kritik sekaligus pertanyaan krusial yang mesti dijawab baik itu dalam dimensi evaluatif maupun dalam spektrum rekomendasi solutif agar tata pemerintahan dapat seiring sejalan dengan cita negara yang diproyeksikan dalam konstitusi. Beberapa pertanyaan yang dapat dikemukakan antara lain; apakah sistem pemerintahan yang dianut dalam konstitusi sudah ideal dan paralel dengan semangat mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan? Perbaikan apa yang harus dikonstruksikan dalam penataan sistem pemerintahan jika nanti dilakukan amandemen konstitusi lanjutan?

Klasifikasi Sistem Pemerintahan dan Corak Sistem Pemerintahan Pasca Amandemen Konstitusi

Bila diklasifikasikan secara umum sistem pemerintahan terbagi kedalam dua kelompok besar; sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. John J. Wuest dan Shepard Leonard Witman menguraikan ciri-ciri sistem pemerintahan presidensiil, antara lain; pertama, berdasarkan asas pemisahan kekuasaan. Kedua, tidak ada pertanggungjawaban bersama antara kepala eksekutif dengan anggota kabinetnya kepada kepada parlemen sebab para menteri bertanggungjawab penuh kepada kepala eksekutif. Ketiga, kepala eksekutif tidak dapat membubarkan parlemen (legislatif) atau sebaliknya. Artinya keduanya tidak dapat saling menjatuhkan. Keempat, kepala eksekutif dipilih oleh dewan pemilih (atau dipilih langsung oleh rakyat-pen).

Di lain pihak, sistem pemerintahan parlementer memiliki karakter antara lain; pertama, pemerintahan berdasarkan asas percampuran kekuasaan. Kedua, terdapat pertanggungjawaban bersama antara kepala eksekutif dengan para menteri. Ketiga, kepala eksekutif harus berhenti jika tidak mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen dan kepala eksekutif dapat meminta kepala negara membubarkan legislatif. Keempat, terdapat pemisahan jabatan antara kepala negara dengan kepala pemerintahan dan dalam kondisi tertentu kepala eksekutif dipilih oleh Kepala Negara dengan dukungan mayoritas dari legislatif.

Amandemen UUD 1945 mengadopsi ciri-ciri sistem pemerintahan yang bisa digambarkan sebagai berikut; pertama, pemerintahan berdasarkan asas percampuran kekuasaan. Indikasinya adalah pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama atau bisa juga dilihat dari ilustrasi ketika perjanjian internasional yang dibuat oleh presiden membutuhkan persetujuan dari DPR (bercampurnya kekuasaan legislatif dan eksekutif). Kedua, tidak ada pertanggungjawaban bersama antara Kepala eksekutif bersama para menteri karena menteri bertanggungjawab penuh kepada Kepala Eksekutif. Ketiga, Kepala eksekutif tidak dapat membubarkan legislatif atau parlemen. Keempat, kepala eksekutif dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat.

Dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 hasil perubahan menganut ciri-ciri sistem pemerintahan presidensiil di satu sisi. Namun di sisi lain terdapat pula unsur sistem pemerintahan parlementer.

Secara historis, proses rekonstruksi terhadap sistem pemerintahan merupakan langkah penerapan checks and balances dengan menghilangkan kecenderungan executive heavy dalam konstitusi sebelum perubahan. Beberapa hasil perubahan untuk mereduksi executive heavy pada perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan presiden untuk membentuk undang-undang, masa jabatan presiden dan wakil presiden, sumpah dan janji jabatan presiden dan wakil presiden, kekuasaan presiden dalam mengangkat duta dan konsul, kekuasaan presiden memberi grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi, kekuasaan presiden memberi gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan. Perubahan kedua tidak terdapat perubahan terkait lembaga kepresidenan.

Perubahan ketiga UUD 1945 berkaitan dengan persyaratan presiden dan wakil presiden, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemberhentian presiden dan wakil presiden dan mekanismenya, larangan presiden membubarkan DPR, kekuasaan presiden dalam melakukan perjanjian internasional.

Perubahan keempat diputuskan perubahan terkait putaran kedua piplpres, pelaksana tugas kepresidenan apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersamaan, kekuasaan presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, dan pembentukan dewan pertimbangan presiden.

Uraian tersebut menegaskan betapa melalui amandemen UUD 1945, lembaga kepresidenan hampir dilucuti kekuasaannya secara signifikan. Bahkan dibandingkan dengan lembaga negara lain, pasal-pasal soal lembaga kepresidenan merupakan pasal-pasal yang banyak mengalami perubahan dalam proses amandemen. Reduksi kekuasaan lembaga kepresidenan tersebut kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi presiden-presiden yang menjabat setelah hasil perubahan konstitusi tersebut.

Evaluasi Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Presidensiil Pasca Amandemen UUD 1945

Sistem pemerintahan bertaut erat dengan sistem politik yang hubungannya seperti dua sisi keping mata uang. Di Indonesia, sistem pemerintahan dan sistem politik; keduanya bisa dibedakan oleh kajian-kajian akademik namun tak bisa dipisahkan oleh pengalaman. Sistem pemerintahan berjalan tidak paralel dengan sistem politik yang dianut. Dengan kata lain, ada hubungan yang tidak singkron antara sistem pemerintahan dengan sistem politik. Rumusan yuridis konstitusional dalam UUD 1945 tegas menunjukkan sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensial. Namun, dalam realitas politik tertentu sistem presidensial Indonesia justeru cenderung bercorak parlementer.

Ada tiga presiden yang bisa dikatakan layak untuk dievaluasi pelaksanaan sistem pemerintahannya setelah amandemen UUD 1945. Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Sokearnoputeri dan SBY. Khusus untuk Gus Dur, meski masa kepresidenannya berakhir di tahun 2001 namun setidaknya Gus Dur telah melewati masa ketika UUD 1945 hasil perubahan pertama mereduksi kekuasaan presiden secara dominan. Artinya, hanya Megawati dan SBY yang sama-sama menjalani masa-masa kepresidenan dalam sistem pemerintahan hasil rumusan perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat terhadap UUD 1945.

Gus Dur adalah barometer dan laboratorium yang paling tepat membuktikan betapa sistem pemerintahan yang dianut oleh konstitusi hasil amandemen menghadapkan presiden pada dua tantangan utama, yakni pertama, kewenangan konstitusional yang harus dikelola dengan kompromistis akibat telah direduksi sedemikian rupa. Tidak mengherankan pula jika kejatuhan Gus Dur salah satunya merupakan buntut dari perseteruan presiden dengan DPR terkait dengan pemilihan Kapolri (fungsi pengisian jabatan oleh presiden yang harus mendapat persetujuan dari DPR).
Tantangan kedua adalah euforia demokrasi yang mengakibatkan banyaknya jumlah partai politik sehingga sulit melakukan polarisasi terhadap kepentingan dan kekuatan politik baik yang merupakan sekutu pemerintah maupun pihak oposisi. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden tentu membutuhkan dukungan politik dari DPR dan stabilitas politik yang legitimatif. Sayangnya, meskipun dua presiden pasca reformasi yakni Mega dan SBY sama-sama pernah menjabat sebagai presiden ketika partainya memenangkan pemilu, keduanya tetap dihadapkan pada kesulitan dalam mengelola ragam kepentingan politik parpol. Hal ini antara lain disebabkan sistem kepartaian majemuk yang rumit dan sulit tercapainya dukungan suara mayoritas sederhana atau lebih jauh lagi dukungan suara mayoritas mutlak.

Berhubung sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 hasil amandemen adalah sistem presidensiil maka ketiadaan dukungan mayoritas di parlemen tidak secara otomatis membuat kepala pemerintahan terjungkal dari kursi kekuasaannya. Absennya dukungan suara mayoritas parlemen hanya menghadapkan presiden pada tantangan efektifitas pemerintahan. Dalam kondisi tidak terpenuhinya dukungan suara mayoritas sederhana itulah maka ketika menjabat sebagai presiden, Mega dan SBY sama-sama harus membangun koalisi.

Dalam prakteknya, koalisi politik dibangun di atas kondisi faktual sistem multipartai yang kompleks. SBY yang memenangkan Pilpres langsung dengan suara 60% lebih pemilih tidak bisa begitu saja meninggalkan partai politik yang menjadi kompetitornya baik di pemilihan umum legislatif maupun di pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Akhirnya, presiden harus membangun koalisi dengan parpol lain demi tercapainya efektifitas pemerintahan. Sebenarnya tidak mutlak juga harus membangun koalisi namun atas nama efektifitas pemerintahan akibat tidak tercapainya suara mayoritas sederhana di parleman menyebabkan koalisi menjadi satu kebutuhan dalam pemerintahan. Partai-partai yang berkoalisi kemudian mendapatkan jatah kue kekuasaan dengan menduduki kursi-kursi di kabinet atau jabatan lainnya.

Koalisi yang dibangun dalam sistem multi partai majemuk adalah satu tantangan tersendiri dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Apalagi dalam sistem presidensiil ideal yang membutuhkan empat hal; legitimasi yang kuat, kewenangan konstitusional yang memadai, dukungan politik yang cukup, dan kontrol yang efektif. Tidak mengherankan bila banyak kalangan mengusulkan perlunya penyederhanaan partai demi terwujudnya sistem politik dan sistem pemerintahan presidensiil yang ideal. Ke depan, partai politik secara jumlah memang harus dikurangi hingga menyentuh jumlah ideal.

The Constitutional Check and Balances; Neither Check Nor Balance


Pokok pikiran tentang prinsip konstitusionalisme yang diutarakan James Madison pada dasarnya adalah pentingnya konsep saling-kontrol dan saling-imbang (Check and Balances) sebagai mesin utama yang menjamin pembatasan kekuasaan. Masing-masing cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi satu sama lain. Muncul harmoni kekuasaan bila ada konsep saling-kontrol dan saling-imbang. Pertanyaannya, bagaimana jika konstitusi gagal membuka ruang bagi terlaksananya konsep saling-kontrol dan saling-imbang?

Pembatasan kekuasaan presiden pada dasarnya merupakan kristalisasi dari keinginan untuk menciptakan kondisi saling-kontrol dan saling-imbang (Check and Balances) yang bersifat horisontal antara cabang-cabang kekuasaan. Persoalannya, konstitusi hasil perubahan secara dominan mereduksi kewenangan-kewenangan presiden baik dalam posisinya sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Reduksi kewenangan ini ternyata tidak paralel dengan sistem pemerintahan yang diadopsi yakni sistem pemerintahan yang lebih dominan kepada bentuk presidensiil.

Di satu waktu, konstitusi hasil amandemen justeru menghasilkan kondisi saling-kontrol dan saling-imbang yang bersifat paradoksal. Hal ini terlihat dari pengaturan tentang presiden yang bisa ditumbangkan melalui usulan DPR dalam masa jabatannya sebagai wujud peran kontrol legislatif terhadap eksektutif (impeachment). Sebaliknya, konstitusi memberi pagar yang “kokoh” kepada DPR dengan adanya ketentuan bahwa presiden tidak dapat membubarkan atau membekukan DPR. Kondisi yang demikian menciptakan konsep saling-kontrol dan saling-imbang (Check and Balances) yang asimetris. (The Constitutional Check and Balances that Neither Check Nor Balance). Konstitusi Indonesia hanya bergerak dari konstitusi yang tadinya executive heavy menjadi konstitusi yang legislative heavy. Prinsip konstitusional berbungkus mekanisme saling-kontrol dan saling-imbang (Check and Balances) yang malah tidak berimbang khususnya antara poros kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif.

Penutup

Ketidakpastian sistem pemerintahan kadang membuat sebuah republik sukar membentang harapan. Dalam hal ini, putus asa menjadi sesuatu yang menakutkan. Sebelas tahun bukanlah waktu yang panjang bagi perjalananan politik ketatanegaraan sebuah bangsa. Namun, republik harus berbenah diri sebab sistem pemerintahan yang ideal bukanlah rangkaian struktur yang datang dari langit dan selesai sebelum subuh. Oleh sebab itu, kini, setelah sebelas tahun perjalanan sistem pemerintahan saatnya melakukan evaluasi atas apa yang telah dicapai dalam rangka perbaikan sistem pemerintahan Indonesia. Artinya, cita-cita menuju sistem pemerintahan yang rapi harus terus digayuh oleh generasi demi generasi. Wallahua’lam bisshowab.#

Daftar Bacaan

Denny Indrayana, Meramu Keseimbangan Presidensial, Harian Seputar Indonesia, 23 April 2011.

John J. West and Shepard L. Witman, Visual Outline of Comparative Government, Lilfield Adam and Co., New Jersey.

Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Ke-5, Grafiti Budi Utami, Jakarta, 2009.

Mahfud, MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Press, Jakarta, 2009.

Michael A. Genovese and Lori Cox Han (ed), The Presidency and the Challenge of Democracy, Palgrave MacMillan, New York, 2006.

Sri Soemantri, Perbandingan (antar) Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971.

Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 199-2002, Sekjend MK, Jakarta, 2010.

* Masnur Marzuki, SH, LLM [MAKALAH DIPRESENTASIKAN PADA ACARA "PEKAN KONSTITUSI" EVALUASI PERJALANAN UUD 1945 HASIL AMANDEMEN DISELENGGARAKAN MEMPERINGATI 5 TAHUN PUSAT STUDI HUKUM DAN KONSTITUSI (PSHK) FH UII YOGYAKARTA, 2 MARET 2012]