Friday, April 27, 2012

"Ide Kemandirian Widjajono"

Oleh: Masnur Marzuki, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia,
 Staf Ahli Komite II DPD

SUMBER : REPUBLIKA, 27 April 2012

"...Globalisasi juga menambah ketidakpastian. Cara terbaik menghadapi ketidakpastian, seperti mendaki gunung yg sulit, adalah kemandirian dan rasa kebersamaan." 


Penggalan kalimat tersebut ditulis dalam kegalauan seorang Widjajono melihat rapuhnya ketahanan energi dan pangan Indonesia dalam era persaingan global. Bagaimanapun, suatu bangsa hanya akan maju dan bangkit bilamana dalam setiap derap langkahnya selalu di bingkai semangat kemandirian dan kebersamaan. Dua hal itulah yang diyakini almarhum Prof Widjajono sebagai formula menuju Indonesia yang lebih baik.

Sesungguhnya ide kemandirian yang dilontarkan Prof Widjajono berpangkal pada pentingnya suatu bangsa berdiri di atas kakinya sendiri sebagaimana pernah dicetuskan Bung Karno. Namun, Widjajono meyakini betul bahwa kemandirian itu haruslah berbungkus pada semangat kooperatif yang bersifat saling menguntungkan (mutualisme) dengan bangsa lain dalam prinsip kesetaraan.

Kemandirian yang sempit dan menolak hadirnya peran bangsa lain adalah pengkhianatan terhadap sunnatullah sebab Tuhan telah menciptakan manusia untuk saling membantu dan mengasihi. (Al-Hujurat [49]: 13).

Tanpa disadari, pemicu awal kemunduran bangsa muncul dari tindakan pemerintah yang bergerak sendiri-sendiri dan tidak berpikir mandiri. Akibatnya menjadi fatal dan menimbulkan kondisi yang mematikan semangat kebangkitan karena negara dipaksa oleh kekuatan tangan tak terlihat (kapitalisme global) untuk menghamba pada pemilik modal.

Selain itu, Widjajono mewariskan pemikiran betapa pentingnya kebersamaan (sistem). Sistem sendiri berakar dari bahasa Yunani, “sustanai”, yang berarti menyebabkan berdiri bersama. Widjajono percaya bahwa hanya dengan kebersamaanlah segala cita-cita pembangunan dapat terwujud. Dalam konteks pengelolaan sumber daya energi dan mineral, telah lama dia menyuarakan pentingnya membangun sinergi antara pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, dan pelaku industri.

Link and match antara pemangku-pemangku kepentingan tersebut pada akhirnya akan mengantarkan negara pada terwujudnya tata kelola sumber daya alam yang partisipatif dan kontributif. Widjajono mengemukakan bahwa pembangunan haruslah ditopang oleh tiga hal, yakni pemerintahan yang baik, swasta yang peduli dan masyarakat yang baik yang dibalut perasaan saling cinta dan kasih.

Sahabat Alam dan Masuk Kabinet

Bagi seorang Widjajono, gunung adalah sebuah melankolis. Betapa tidak, alam membentang yang di situ terdapat gunung-gunung adalah tempat dia memijar semangat kemandirian dan kebersamaan. Bersama gunung, dia seolah ingin berbagi senyuman, canda dan tawa, mengusir jenuh kehidupan duniawi.
 
Pada alam pula, dia belajar tentang makna pertemanan dan kebersahajaan.
Widjajono paham betul bahwa berteman dengan alam seperti meretas jalan menuju kearifan. Sebab, dari sanalah dia sadar betapa mustahilnya manusia menjadi makhluk egois yang merasa tak membutuhkan alam.

Pilihan Widjajono bergabung ke Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II barangkali dilandasi semangat “kebersamaan“ yang dia yakini sebagai formula yang paling bijak. Bahwa dia ingin bersama-sama presiden dan kabinet membangun Indonesia, memupuk spirit kebangkitan, dan kedaulatan bangsa.

Namun, sepertinya Widjajono sadar betul bahwa pilihannya masuk ke dalam pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah. Seorang Widjajono meyakini hal mendasar dalam kepemimpinan bahwa menjadi pemimpin adalah pengabdi dan bukan tukang perintah.

Gebrakan dan idenya tentang mencampur Premium dan Pertamax adalah satu contoh betapa tidak mudahnya menjadi bagian pemerintah. Akibat wacananya itu, Widjajono dicemooh dan di kritik habis-habisan oleh banyak kalangan, termasuk DPR. Padahal, bisa jadi gebrakan itu adalah bentuk “sindiran” halus sang Wamen kepada kalangan berpunya yang sering “mencuri” jatah BBM subsidi yang diperuntukkan bagi warga kurang mampu.

Ide pencampuran BBM itu tak ubahnya seperti Hikayat Ikyu yang pernah dikutip Widjajono sendiri dalam satu artikelnya. “Suatu hari, jembatan di desa rusak oleh badai sehingga aktivitas masyarakat terganggu. Sesudah berkali-kali dilaporkan kepada pamong praja, ternyata tidak digubris karena hanya menyangkut nasib orang desa. Ikyu kemudian mengarang cerita dan diberitahukan kepada sahabatnya, jenderal, bahwa di seberang jembatan ada burung yang bersarang di atas kepala serigala. Karena tertarik, jenderal berniat melihatnya sendiri. Begitu mengetahui jenderal akan datang, dengan tergesa-gesa pamong praja memerintahkan jembatan diperbaiki. Walaupun tidak melihat burung bersarang di atas kepala serigala, jenderal puas karena dipuji Ikyu bahwa dia sudah berbuat baik kepada masyarakat.”

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan pribadi seorang Widjajono, boleh dikatakan beliau adalah the cream of the cream, the best among them, yakni kelompok intelektual yang masuk dalam birokrasi dan tidak terpengaruh gejolak politik dan syahwat kekuasaan. SBY dalam kapasitasnya sebagai kepala negara tak sungkan-sungkan menyebutnya sebagai pribadi yang kuat dan mumpuni di bidangnya (Republika, 22/4).

Sayang, bangsa ini telah kehilangan aset berharga. Beliau wafat ketika berupaya menaklukkan Gunung Tambora, NTB. Alam telah memeluknya dalam damai. Selamat jalan, Profesor! #

Artikel juga terdapat di laman website:

Friday, April 20, 2012

Menata Ulang Konstitusi; Berharap pada SBY?

Tak ada yang meragukan sikap konstitusional SBY selaku kepala negara yang harus tunduk pada UUD NRI 1945 mengingat konstitusi telah menjadi sebuah pilihan politik. Apalagi pilihan politik (resultante) itu telah diambil jauh sebelum SBY duduk di tampuk kekuasaan. 


Yang patut diragukan dari SBY adalah komitmennya selaku kepala negara untuk turut mendukung penataan konstitusi kita ke depan. Komitmen yang dimaksud tentu saja komitmen nyata dari kepala negara yang bukan sekedar pernyataan berbau lips service belaka untuk mendukung penataan konstitusi.


Sulit membantah mandegnya proses perubahan lanjutan terhadap konstitusi salah satunya disebabkan oleh sikap SBY selaku kepala negara dan kepala pemerintahan yang terbelah antara posisi mendukung dengan sikap kehati-hatian SBY. Sikap kehati-hatian tersebut tentu saja demi terhindar dari blunder politik.


Mengingat konstitusi adalah resultante (kesepakatan politik) elit bangsa, maka perubahannya tentu dimulai dengan  membuat kesepakatan  baru untuk kembali melakukan penataan lanjutan sebagaimana dulu dilakukan empat tahap sejak 1999 hingga 2002. 


Menurut penulis, ada dua hal yang belum tercapai saat ini dalam rangka menata kembali konstitusi, yakni:


1. Persoalan pada energi politik; 


2. Energi sosial yang berkesadaran penuh bahwa  UUD harus ditata ulang.   


Tidak seperti tahun-tahun pertama reformasi, saat ini amandemen konstitusi  belum jadi kehendak sejarah. Artinya, perhatian dan energi publik belum terwujud nyata dalam menggesa dilakukannya perubahan atau amandemen lanjutan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain karena dikhawatirkan akan menaikkan tensi politik sehingga mengganggu konsentrasi kerja lembaga-lembaga negara, amandemen konstitusi lanjutan juga tidak didukung oleh situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya kekinian. Padahal tahun 2012 adalah momentum terbaik untuk menata konstitusi. Sebab, tahun depan energi politik akan terkuras habis untuk persiapan pemilihan umum 2014.


Sulit membantah bahwa energi sosial belum tercurahkan sepenuhnya pada isu perubahan lanjutan terhadap konstitusi. Banyak yang belum sadar dan tersadarkan bahwa UUD 1945 masih jauh dari sempurna dan mengandung banyak kelemahan.Selaku kepala negara SBY juga tak sempat melakukan "sesuatu" untuk melakukan upaya komprehensif.


Tapi SBY sepertinya lupa pada tugas kenegaraannya yang juga bertanggungawab untuk melakukan penataan terhadap kontrak politik antara negara dan warga negara (konstitusi). SBY lebih banyak  disibukkan dengan urusan Setgab, kocok ulang kabinet hingga mengurus kader partainya yang didera kasus-kasus korupsi. Padahal, dengan dukungan Partai Demokrat  sebagai pemenang Pemilu, ditopang oleh Setgab Koalisi, sebenarnya SBY memiliki energi politik yang mumpuni untuk mendorong perbaikan lanjutan atas konstitusi kita.


Bukankah SBY berkepentingan dengan perlunya menata ulang sistem presidensial yang memang tidak paralel dengan berbagai sistem politik dan pemerintahan yang dianut oleh UUD NRI 1945? Ambil contoh sistem legislasi yang mendudukkan Presiden dalam posisi dilematis. Konstitusi yang berlaku saat ini tidak menegaskan apakah Pemerintah benar-benar memiliki fungsi legislasi atau harus keluar dari ranah kekuasaan legislasi demi pemurnian sistem presidensial di mana Presiden tidak boleh turut campur  dalam fungsi legislatif seperti halnya diterapkan di negara-negara dengan sistem presidensial murni.  

Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945 tegas mengatakan: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selain Pasal 20A ayat (1) mengatakan: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Rumusan ini sudah benar. Namun yang membuat kisruh adalah Pasal 20 Ayat (2)  yang mengatakan; "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama."  


Artinya Presiden secara implisit sesungguhnya juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sebab, tanpa persetujuan antara Presiden dan DPR, sebuah RUU tidak bisa jadi UU. Sistem legislasi semacam ini tidak lazim digunakan dalam negara yang menerapkan sistem presidensial. Selain Indonesia, hanya Puertorico yang menerapkan sistem legislasi semacam ini. Artinya, di  negara-negara yang menerapkan presidensialisme, proses legislasi tidak dibagi kewenangannya antara DPR dan Presiden. Untuk mengimbangi tidak adanya kewenangan legislasi Presiden, konstitusi kemudian membekali Presiden dengan hak veto atas UU yang disahkan oleh DPR. Proses yang demikian akan menyehatkan mekanisme check and balances antara Eksekutif dan Legislatif.


Sayangnya SBY tidak terlalu ambil pusing dengan hal ini. Alih-alih memurnikan presidensialisme, SBY sepertinya turut "menikmati" kelemahan sistem presidensial dan sistem legislasi tersebut. Padahal, Denny Indrayana, Wamenkumham, yang dulunya staf khusus Presiden bidang hukum kerap melontarkan opini tentang betapa kewenangan Presiden dalam sistem presidensialisme Indonesia bermasalah. Kita tidak tahu, apakah seorang Denny pernah mengingatkan SBY soal ini. Yang kita tahu, sampai saat ini tak sekalipun SBY mengeluhkan betapa konstitusi turut "memperlambat" bahkan "menghambat" gebrakan-gebrakan konstitusional SBY selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Yang kita denga justeru Presiden mengeluh tentang betapa rumitnya mengelola negara dan keluhan tentang anggota kabinet yang lamban dan tidak kompak dalam bekerja.


Lalu, bisakah kita berharap pada SBY untuk ikut terlibat aktif menata konstitusi kita ke depan. Sepetinya sulit (untuk tidak menyebut mustahil). Wallahu A'lam bisshowab.


Gambiran, 20/04/2012.

Thursday, April 12, 2012

Konstruksi Ideal Fungsi Legislasi DPD RI

Parlemen yang berdiri menandai politik yang tak punya lagi birahi. Baudlidard menyebut demokrasi sebagai monopoause masyarakat Barat. Tapi tiap politik pasca-revolusi mengandung sikap yang jera kepada gairah; Kita tak bisa mencintai yang sana habis-habisan, tapi juga tak bisa memeranginya habis-habisan. (Goenawan Mohamad)

Jika dibuka risalah sidang perdebatan dalam pembahasan rapat Panitia Khusus RUU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, terlihat satu perdebatan mengenai model kerja sama DPR-DPD khususnya dalam fungsi legilasi. Beberapa fraksi di DPR kala itu menginginkan model L di mana DPD hanya diberi ruang dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) dalam rapat kerja khusus sebelum DPR membahasnya bersama pemerintah.  Di sisi lain ada pula yang menginginkan model segitiga. Model segitiga berarti DPD dapat ikut bersama DPR dan pemerintah membahas RUU sebelum sampai pada paripurna atau pengambilan keputusan.
Sebetulnya kedua model tersebut sama-sama tidak menguntungkan DPD dalam menjalankan fungsi legislasinya. Secara subtansial kedua model tersebut masih mengadopsi UU Susduk sebelumnya. Hal itu mengingat dalam UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berlaku saat ini (Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009), fungsi legislasi DPD hanya terbatas pada dua hal. Pertama, pengajuan kepada DPR RI rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua, ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

Kendala Fungsi Legislasi DPD

Banyak pihak menilai keberadaan DPD tidak lebih sebagai staf ahli DPR. Dari aspek keterwakilan, DPD sejauh ini hanya memainkan peran sebatas perwakilan dalam bentuk kehadiran utusan daerah di pusat (representation in present) bukan perwakilan ideal dalam format diperjuangkannya aspirasi daerah di tingkat pusat. Padahal dari aspek legitimasi kelembagaan sebenarnya DPD mempunyai legitimasi yang lebih kuat ketimbang DPR dalam hal dukungan riil politik dari rakyat sebab anggota DPD dipilih secara langsung. Tidak mengherankan bila seorang peneliti dari Australian National University, Stephen Sherlock, berpendapat bahwa DPD merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktek bikameral sebab meskipun punya legitimasi yang kuat, kewenangan legislasinya amatlah terbatas.

Ada beberapa faktor penyebab lemahnya DPD dalam menjalankan fungsi legislasi. Pertama, adanya kenyataan bahwa komposisi anggota DPD umunya diisi muka-muka baru dalam dunia politik yang belum terasah kemampuan dan kapabilitasnya sebagai legislator. Kedua, realitas konstitusional yang mentasbihkan monopoli DPR dalam hal fungsi legislasi. Ketiga, lemahnya political will DPR untuk melibatkan DPD dalam setiap proses legislasi nasioanal. Pengalaman di lapangan menunjukkan kecenderungan DPR yang enggan merangkul DPD agar berperan aktif dalam perumusan dan pembahasan setiap RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Akibatnya kepentingan daerah yang diamanatkan di pundak DPD dalam prakteknya tidak diintegrasikan ke ranah pengambilan keputusan legislasi nasional.

Fungsi Legislasi Ideal DPD

Untuk menempatkan DPD dalam posisi ideal menjalankan fungsi legislasi, lembaga itu semestinya diposisikan sebagai salah satu bagian dalam badan kekuasaan legislatif yang berhak dan berwenang merancang, membahas, dan mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan dan aspirasi yang bersifat kedaerahan dengan memperhatikan penolakan dari Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden. Terhadap RUU yang diajukan Pemerintah dan DPR yang berkaitan dengan kepentingan dan aspirasi yang bersifat kedaerahan, DPD RI juga seharusnya berhak dan berwenang menolak rancangan dan usul amandemen atas suatu Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang tertentu yang berkaitan erat dengan kepentingan dan aspirasi lokal (hak veto).
Rumusan tersebut barangkali sulit terwujud mengingat kuatnya peran DPR sebagai lembaga legislatif yang sudah mapan. Di samping itu DPR juga memiliki landasan konstitusional yang kuat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20A bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan. Ketentuan itu tidak saja berarti melemahkan fungsi legislasi presiden namun juga memunculkan superioritas DPR terhadap DPD dalam hal fungsi legislasi.
Untuk itu setidaknya DPD semestinya diberikan kewenangan legislasi dengan hak penundaan pengesahan sebuah RUU menjadi undang-undang. Dalam praktek lembaga perwakilan sistem dua kamar (bikameral), hak itu lazim digunakan oleh Majelis Tinggi untuk mewujudkan proses mekanisme check and balances dalam lembaga parlemen.
Jika kewenangan DPD diletakkan dalam gagasan menciptakan sistem bikameral  yang ideal maka seharusnya DPD juga turut memberi kontribusi bagi terwujudnya mekanisme check and balances dalam lembaga parlemen. Hal ini mengingat pembenaran utama kenapa perlu ada dua kamar dalam satu sistem keparlemenan adalah untuk menegaskan perbedaan kepentingan dalam masyarakat dan memastikan adanya mekanisme check and balance dalam cabang kekuasaan legislative (R. Hogue dan Martin Harrop, 1989). 
Perjuangan mewujudkan DPD yang ideal dalam fungsi legislasinya masih panjang. Untuk itu DPD harus terus mengoptimalkan kemampuan lobi dan komunikasi politiknya dengan DPR dalam rangka mewujudkan harmonisasi kelembagaan antara dua lembaga perwakilan tersebut. Superioritas DPR terhadap DPD semestinya disikapi dengan meningkatkan kemampuan sumber daya yang ada. Di samping itu DPD juga perlu membuktikan kinerja nyata dan hasil-hasil kerja politik yang selama ini belum begitu terlihat di hadapan DPR dan publik. Tapi sepertinya DPD sedang glau. Kegalauan yang menimpa DPD saat ini terbaca ketika sebut saja misalnya tentang penyebutan nama lembaga. Baru-baru ini, DPD sampai harus melakukan sidang paripurna yang kemudian mengesahkan nama populer DPD menjadi Senat Republik Indonesia.#

Wednesday, April 11, 2012

Mengevaluasi Gebrakan MK Menelisik Mafia Kasus

Masih segar dalam ingatan publik ketika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD membentuk tim investigasi internal untuk menyelidiki rumor seputar keberadaan mafia kasus di tubuh MK. Dalam kerangka hukum formal, tindakan MK seperti itu memang dibolehkan. Namun harus dicatat bahwa dalam hukum, sesuatu yang diperbolehkan dalam melakukan, belum tentu benar dalam melakukannya. MK dalam konteks ini sudah benar mengambil keputusan membentuk tim investigasi membongkar dugaan mafia kasus di lembaga penjaga konstitusi tersebut. Hal itu dilakukan agar citra MK sebagai peradilan yang “masih” bersih tetap terjaga. Pertanyaannya, evaluasi apa yang sudah dilakukan dalam membaca langkah MK ketika melakukan penyelidikan atas kecurigaan adanya mafia kasus dari dalam rumahnya sendiri?

Sebagaimana diketahui ketika itu Ketua MK Mahfud MD menunjuk pengamat hukum tata negara, Refly Harun, memimpin tim investigasi. Alasannya, yang bersangkutan mengetahui dugaan praktik-praktik mafia kasus di MK. Sebelumnya Ketua MK menyatakan bahwa dirinya tidak akan bosan memberi penjelasan karena MK terus dituduh terjerat mafia kasus. Menurut Mahfud MD, mafia kasus yang kalau didefinisikan melibatkan unsur resmi, tidak ada satu pun indikasi ke arah itu hingga hari ini. Bahkan Mahfud MD menilai semua rumor tentang mafia kasus di tubuh MK tidak jelas sumbernya dan akan sulit ditemukan.

Ada dua hal yang menarik dari penjelasan Ketua MK tersebut. Pertama, secara jujur harus diakui bahwa pembentukan tim investigasi mafia kasus menyiratkan praktek kotor itu mungkin saja sudah menggerogoti MK. Sebagaimana diketahui dari hulu hingga hilir modus jual beli beli perkara di pengadilan sudah begitu kompleks dan beragam. Modusnya bisa dalam bentuk jual beli putusan, memperlambat pemeriksaan perkara hingga mengulur waktu penetapan perkara. (Indonesia Corruption Watch; 2007).

Tidak bisa tidak, mafia kasus selalu melibatkan unsur resmi yakni hakim, panitera, hingga pegawai pengadilan. Namun dalam konteks MK, keterlibatan unsur resmi sepertinya memang belum menggejala dan terlihat dengan nyata. Menurut penulis pihak yang paling berpotensi terlibat mafia kasus di MK justeru berasal dari unsur luar MK yang memiliki kepentingan ketika berperkara di MK khususnya perkara sengketa pilkada. Tentu saja, keterlibatan unsur luar tidak berdiri sendiri begitu saja. Oleh karenanya tetap terbuka kemungkinan unsur resmi dalam tubuh MK memanfaatkan keinginan unsur luar untuk “merayu” atau “menjebak” MK masuk dalam pusaran mafia peradilan.

Kedua, ada kesan Mahfud MD selaku Ketua MK ingin membuktikan kepada publik bahwa lembaga yang dipimpinnya tidak terjangkit penyakit paranoid solidarity. Secara jujur harus diakui di negeri ini kalau ada hakim tertentu disinyalir melakukan tindak mafia peradilan maka ramai-ramai para hakim lain membantah dan melakukan pembelaan atas nama solidaritas. Terkait dugaan mafia kasus MK, menurut hemat penulis, lembaga itu ingin menegaskan bahwa paraoid solidarity atau solidaritas kalap di kalangan aparat penegak hukum seperti terjadi di institusi hukum lainnya tidak berlaku di MK. Indikasinya, tim invesitigasi yang dibentuk MK bersifat internal namun ketua tim yang dipilih justeru berasal dari pihak eksternal.

Titik Pusaran Mafia Kasus

Dalam konteks penelusuran dugaan praktik mafia kasus di tubuh MK, pembentukan tim investigasi memiliki dimensi yang jauh lebih luas dan kontroversial. Dikatakan demikian karena posisi strategis MK misalnya dalam penanganan sengketa pilkada yang rawan dengan isu-isu mafia kasus. Sebagai ilustrasi, beberapa waktu lalu Ketua MK sempat gusar dengan adanya isu seseorang yang mengaku mengantar uang Rp. 2 milyar kepada salah satu hakim MK ketika menangani sengketa Pilkada Kabupaten Rejang Lebong. Walaupun informasi tersebut masih samar dan perlu identifikasi serta pembuktian lebih lanjut, setidaknya ada gejala menarik dalam dugaan mafia kasus yakni adanya kemungkinan keterlibatan hakim melakukan jual-beli perkara. Hakim pengadilan, tidak saja di MK, memang bisa saja terlibat sebagai aktor utama dalam titik pusaran mafia kasus seperti jual-beli putusan.

Publik barangkali belum lupa ketika pada Oktober 2005 lalu Probosutedjo mengaku bahwa dia telah menghabiskan Rp. 16 miliar demi mendapat vonis bebas atas putusan kasasi dalam kasus korupsi dana reboisasi di Kalimantan senilai Rp. 100,9 milyar. Kontan saja pengakuan tersebut mempertontonkan episode kelam betapa mudahnya merekayasa putusan perkara melalui pendekatan “jahat” dan manipulatif. Tragisnya, yang dilibatkan adalah unsur-unsur resmi di pengadilan seperti hakim atau panitera.
Dalam konteks MK, tugas tim investigasi internal yang dipimpin oleh Refly Harun menjadi tidak mudah mengingat kompleksitas masalah mafia kasus. Kompleksitas pengungkapan masalah mafia kasus terkait ihwal pembuktian dan saksi. Tidak mungkin ada panitera, hakim atau pegawai di MK yang begitu lugu dan bodoh memberi tanda terima tertulis atau mau disaksikan orang ketika melakukan suap-menyuap atau jual-beli perkara.

Selain itu akan lebih sulit bagi Refly Harun, meskipun yang bersangkutan pernah diangkat menjadi staf ahli di MK, mengumpulkan dan mencari bukti formal sebab Refly Harun sendiri merupakan “orang luar” yang belum tentu memahami seluk-beluk dan manipulasi bukti formal adanya mafia kasus. Padahal tugas inti tim adalah membuktikan bahwa mafia kasus telah melibatkan unsur resmi dalam tubuh MK sendiri. Apa daya, tim tak bisa berbuat banyak, bahkan mendekati pada kesimpulan kebuntuan kerja investigasi.

Kredibilitas MK


Meskipun Ketua MK memastikan, semua hakim, panitera, dan pegawai MK bersih dari mafia kasus, tetap terbuka kemungkinan MK telah terjangkit penyakit mafia peradilan. Bagaimanapun, jejaring mafia peradilan dewasa ini semakin canggih dan licin. Kita patut mengapresiasi langkah MK yang memang ingin menunjukkan kepada publik lembaga itu tidak tercemar praktek kotor mafia peradilan. Tugas itu kini ada di pundak tim investigasi internal untuk membuktikan lembaga itu benar-benar bersih.

Terlalu berlebihan jika muncul kecurigaan penunjukan Refli Harun saat itu sebagai ketua tim investigasi hanya sebagai alat untuk membungkam kekritisan seorang Refly Harun. Dalam hal ini, kita tentu tidak ingin berspekulasi bahwa pengangkatan Refly Harun merupakan bentuk resistensi MK dalam “menyembunyikan” adanya dugaan mafia kasus di tubuh MK. Apalagi selama ini, MK di bawah Mahfud MD dikenal luas memiliki integritas dan catatan bersih dari mafia hukum. Bahkan Mahfud MD sendiri beberapa kali menerima penghargaan atas sepak terjangnya memberantas mafia hukum di Indonesia. Konon, atas prestasinya itu Mahfud MD kemudian digadang-gadang menjadi kandidat Presiden atau setidak-tidaknya Wakil Presiden 2014 mendatang.

Publik dulunya menanti dan menaruh harapan besar kepada tim investigasi internal bentukan MK dalam menelusuri dugaan mafia kasus di tubuh lembaga pengawal konstitusi. Padahal, reputasi MK menjadi taruhan bila sedari awal pengangkatan Refly Harun sebagai ketua tim investigasi mafia kasus hanyalah bentuk resistensi dan penegasan paranoid solidarity di kalangan penegak hukum kita. Jika itu benar-benar terjadi, harapan publik kepada MK yang bersih serta peduli pemberantasan korupsi dan mafia hukum akan sirna dengan sendirinya.

Kini, hasil kerja tim investigasi internal "gagal" membuktikan adanya mafia kasus di MK. Atas hasil itu, MK kini semakin berwibawa karena "ternyata" benar-benar bersih dari praktek mafia peradilan. Akan lain ceritanya jika saja Refly Harun bersama tim berhasil membuktikan indikasi kuat mafia kasus di MK, lembaga itu pun akan dicibir karena terjerembab dalam jaringan mafia peradilan yang menjadi momok menakutkan dan mengacaukan reformasi hukum di Indonesia.

Wallahua'lam bisshowab.

NB; Tulisan ini pernah dikirimkan ke Harian Kompas, atas satu dan lain hal urung diterbitkan.