Tuesday, September 25, 2012

PARTAI POLITIK TAK (LAGI) BERKUTIK?


Berdasarkan undang-undang yang berlaku, partai politik dirumuskan sebagai organisasi sekumpulan orang yang secara sukarela bergabung untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Benarkah definisi seiring sejalan secara faktual di lapangan? Sepertinya lebih benar dijawab, tidak. Yang terlihat justru sebaliknya, pasca reformasi ketika parpol ramai-ramai didirikan, yang kental terlihat hanyalah sekumpulan orang yang mengorganisasikan diri untuk meraih kekuasaan (kepentingan) mereka sendiri. 

Politik adalah kekuasaan dan kepentingan.Kepentingan yang dimaksud adalah ketika terjadi kompetisi memperebutkan jabatan politis yang hanya didapatkan melalui pemilu, baik legislatif maupun eksekutif. Nah, pemilihan umum kepala daerah DKI Jakarta 20 September lalu telah menegasikan sebuah fenomena "baru" bahwa ternyata partai politik tak lagi berkutik berhadapan dengan kehendak mayoritas warga pemilih.

Apa sebab partai politik tak lagi berkutik? Setidaknya barangkali ada lima penyebab utama;
Pertama, belum adanya partai politik yang memiliki ideologi jelas terutama ideologi yang berplatform kerakyatan;
Kedua, dominasi semangat pragmatis partai politik yang kerap mengenyampingkan aspirasi pemilih demi hasrat politik kekuasaan; 
Ketiga, komitmen partai politik hanya berpihak pada kepentingan elit partai politik ketimbang pada pemilihnya;
Keempat, karakter kamuflase dan hipokrasi partai politik yang di depan publik mengaku antipolitik uang, namun  di ranah nyata tetap saja melakukan politik uang dengan berbagi cara dan motif. Intinya praktek money politics jalan terus di tengah sikap kepura-puraan parpol.

Ibarat si pandir, partai politik cenderung tak mau belajar dari sejarah pemilu-pemilu sebelumnya dimana pemilih yang berpindah (swing voter) adalah entitas yang paling menentukan hasil akhir dalam pemilu. Pemilukada DKI Jakarta tempo hari kembali menegaskan kenyataan tersebut. Swing voters atau undecided voters kembali menjadi penentu hasil akhir kompetisi politik. Dalam bahasa yang lebih normatif, demokrasi kembali menampakkan wajah idealnya. Koalisi partai politik yang mendukung Foke-Nara kalah telak dari kehendak pemilih yang lebih memilih figur ketimbang kemauan partai politik yang menggemukkan diri lewat koalisi pragmatis.

Semoga nurani kedaulatan terus semakin solid tumpah ruah pada pangkuan rakyat, sehingga mereka penguasa dan elit partai politik segera membuka mata dan hati betapa sesungguhnya kekuasaan adalah titipan dari rakyat yang berdaulat. Wallahua'lam bisshowab.

Slipi, 25 September 2012