Friday, November 9, 2012

"Menggugat Semangat Patriotisme Mahasiswa"



"The greatest patriotism is to tell your country when it is behaving dishonorably, foolishly, viciously.”
(Julian Barnes) 

Seperti sudah terprogram, setiap tahun pahlawan diperingati. Dan itu dikhidmati di setiap November. Bukan karena pada bulan itu kemerdekaan berhasil diraih tapi lebih karena momentum November itu pahlawan-pahlawan Indonesia pernah menggoreskan sejarah heroik perlawanan atas penindasan kaum penjajah, tepatnya di Surabaya.

Tapi rentetan dari semua itu, termasuk elemen-elemen pendukung khidmat peringatannya, belum akan menghentikan peristiwa kepahlawanan itu sendiri. Artinya romantisme sejarah kepahlawanan itu boleh saja berakhir. Namun pemantapan nilai kepahlawanan manusia Indonesia harus tetap berlanjut sebagai proses tanpa ujung terutama kelompok intelektual yang diwakili oleh mahasiswa. Bagaimanapun kini layar sudah terkembang. Di depan para mahasiswa kaum terdidik itu kini sedang menanti sekian banyak dialektika akademik dan sosial baik di dalam maupun di luar kampus yang dapat mengggiring bangsa pada kehancuran atau kemajuan

Pertanyaannya, sejauh manakah seorang terdidik –dalam hal ini mahasiswa– dapat berkontribusi bagi keberlanjutan nilai-nilai patriotisme[1] yang digelorakan sudah sejak lama oleh para pahlawan bangsa? Tulisan ringkas ini dimaksudkan untuk memberikan wacana umum bagi para mahasiswa dan kontribusinya terhadap masa depan Indonesia  di tengah langkanya isu patriotisme bangsa di kalangan mahasiswa.

Kalangan akademisi saat ini dinilai sudah malas menggelorakan semangat patriotisme. Padahal dunia kampus termasuk di dalamnya para akademisi menjadi motor untuk sebuah gagasan, pemikiran yang bisa menjadi inspirasi sosial.

Patriotisme biasanya menyeruak ketika identitas dan eksistensi sebuah bangsa mengalami ancaman. Ia tumbuh seiring magma nasionalisme tengah mem­bara, membuncah ketika gelora revolusi dihembuskan. Seperti yang pernah diutarakan budayawan Goenawan Mohamad, Patriotisme bisa mendapatkan artikulasinya dengan gelora hati, dan gelora hati memang sering mendorong muncul kalimat-kalimat yang menggetarkan. Maka, dibutuhkan ingatan kolektif dan renungan sekiranya nilai dan semangat patriotisme itu mulai redup. Tentu, tidaklah cukup sebuah monumen pahlawan atau sekedar peringatan hari pahlawan akan signifikan menumbuhkan sikap patriotisme.



Antonio Gramsci, seorang filosuf Italia, mengatakan bahwa intelektual bukan dicirikan oleh aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang atau individu, melainkan oleh fungsi yang mereka jalankan. Gramsci menulis “oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual”. (Roger Simon; 1999, 140) Catatan dan ide intelektual Garmsci itu bisa dilihat dalam Prison Notebooks yang dia tulis semasa di penjara antara tahun 1929 dan tahun 1935 setelah divonis bersalah oleh pemerintahan fasis Mussolini. 

Salah satu gagasan Gramsci adalah diskursus yang dikembangkannya mengenai konsep intelektual. Gramsci membagi intelektual ke dalam dua kategori: tradisional dan organik. Menurutnya, intelektual tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual menara gading yang melakukan perselingkuhan dan aliansi dengan kelompok penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial. Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik merupakan kategori yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakatnya. Kaum intelektual yang demikian ini sejatinya muncul secara alamiah dari dalam diri dan seiring dengan pergerakan masyarakat, bukan dipaksakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakatnya. Atau, dalam bahasa Gramsci, muncul dari kelompok pekerja (the working class). Karena itu, mereka cenderung revolusioner dan tidak konservatif. (Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci; 1971).

Inti dari pemikiran Gramsci soal intelektual adalah intelektual fungsional. Intelektual fungsional berarti bahwa kaum intelektual harus mampu menjalankan fungsi sebagai organisator dalam segala aspek kehidupan masyaraat. Artinya, kualitas intelektualitas tidak diukur dari kapasitas prestasi yang ditentukan melalui nilai-nilai akademik semata namun lebih dari itu kualitas intelektual harus diukur dari sejauh mana kaum intelektual mampu memfungsikan diri di lingkungannya, hidup dan berkembang bersama masyarakat serta berkontribusi nyata.

Terdapat korelasi tentang gagasan intelektual fungsional Gramsci dengan pentingnya memfasilitasi intelektual muda (baca; mahasiswa) agar dapat pula menjadi insan yang kontributif. Dengan begitu mahasiswa tidak hanya berjibaku dengan kehadiran di bangku kuliah dan mengejar perbaikan nilai akademik, tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu memahami virtues of life, mengembangkan gagasan dan jiwa kritisnya. Virtues yang berarti kemuliaan, kewibawaan, kehormatan dan keutamaan akan sulit tercapai bila mahasiswa hanya didoktrin untuk mendongkrak nilai akademik tanpa diberikan peluang dialektis untuk tumbuh dan berkembang menjalankan fungsi intelektualnya.

Padahal sebagai aktor dalam social development, mahasiswa harus berperan sebagai tenaga-tenaga terdidik yang dapat menyalurkan keterampilan dan keilmuannya untuk masyarakat terhadap isu-isu kemasyarakatan, misalnya dengan memberikan pelatihan, penyuluhan, advokasi masyarakat, program pendampingan masyarakat, dan lain-lain.


Artikulasi Patriotisme: Gelora Hati

Apa yang membuat patriotisme menggelora khususnya pada kalangan mahasiswa menguat sekaligus mengendur? Mungkin butuh pemikiran dan waktu panjang menyebutnya satu persatu. Orang menuduh globalisasi, teknologi informasi sebagai pemicu lemahnya patriotisme. Tapi sepertinya, lebih tepat menjawabnya karena ketiadaan musuh tunggal milik bersama mahasiswa yang hadap berhadapan dengan isu patriotisme itu sendiri. Musuh mahasiswa dewasa ini adalah tuntutan untuk cepat selesai kuliah, mendapatkan pekerjaan, kesejahteraan setelah itu mati.
Padahal ternyata patriotisme membutuhkan musuh bersama yang harus diperangi. Dan musuh haruslah diidentifikasi dengan bijaksana bukan dengan mereka-reka dalam kalkulasi yang keliru dan tanpa analisa intelektual. Kenapa gerakan mahasiswa 1998 begitu monumental ketika menjatuhkan rezim Orde Baru? Jawabannya karena mahasiswa sadar akan musuhnya yang satu, rezim Suharto yang otoriter!

Sekali lagi, layak dikutip kembali apa yang pernah ditulis Goenawan Mohamad, “Bila Anda seorang pengikut Carl Schmitt, pemikir politik anggota Partai Nazi, Anda akan mengatakan bahwa dalam das Politische, musuh adalah keniscayaan. Kelanjutan hidup sebuah bangunan politik ditentukan dari permusuhan itu. Negara diatur oleh kemungkinan konflik yang tak pernah hilang dan selamanya berada di tengah ketidakpastian. "Tantangan kita," tulis Menteri Pertahanan Rumsfeld dalam majalah Foreign Affairs, "adalah untuk mempertahankan bangsa kita menghadapi yang tak diketahui, yang tak pasti, tak terlihat dan tak terduga-duga."

Di belakang itu semua, patriotisme mensyaratkan komitmen dan gelora hari. Gelora hati menyiratkan niat dan komitmen. Maka mempertanyakan patriotisme di kalangan kaum terdidik (baca: mahasiswa) adalah mempertanyakan apa tujuan dan maksud hati kaum intelektual tersebut ketika menjejakkan kaki di perguruan tinggi? Wallahua’lam bisshowab.#
 
 


# Makalah Disampaikan pada Acara Diskusi “Refleksi Dalam Rangka Memperingati Hari Pahlawan", Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Jumat, 09 November 2012.



[1] Patriotisme adalah sikap untuk selalu mencintai atau membela tanah air yang mempunyai semangat, sikap dan perilaku cinta tanah air, dimana tercakup sikap untuk sudi mengorbankan segala-galanya bahkan jiwa sekalipun demi kemajuan, kejayaan dan kemakmuran tanah air.