Sunday, December 15, 2013

"Teori Tak Ikut Teori Konstitusi dan Balada Korupsi"

Tidak dapat dibantah, saat ini negara kita terjebak dalam karut-marut atau kemelut yang mencemaskan. Meski pertumbuhan ekonomi kita secara nasional cukup baik, namun perkembangan index ratio gini kita sangat mengkhawatirkan karena distribusinya sangat timpang. 

Jumlah penduduk miskin mencapai 12,5% dalam ukuran kita, sementara index ratio ginimelonjak dari 0,20 pada era Orde Baru menjadi 0,41 pada tahun 2013 ini. Menurut teori, jika index ratio gini 0,50 bisa terjadi huru-hara sosial. Di bidang politik dan pemerintahan, kita terjebak dalam kolusi-kolusi dan korupsi-korupsi yang berkepanjangan. 

Banyak yang menilai, komando dan dirigen pemerintahan kita tidak jelas, sehingga berbagai sektor pemerintahan terkesan dibiarkan berjalan dan mengambil risiko sendiri-sendiri. Sistem pemerintahan yang ada sekarang dianggap tidak efektif dan justru mengacaukan ketatanegaraan kita. Muncullah berbagai penilaian bahwa amendemen atas UUD 1945 merupakan langkah yang salah.

 Isi UUD hasil amendemen tidak benar dan jelek. Ada yang mengatakan bahwa kesalahan UUD 1945 hasil amendemen karena pilihan isinya tidak mengikuti teori Trias Politica yang murni. Ada juga yang bilang karena tidak mengikuti sistem Amerika dengan sistem presidensial murninya atau Inggris dengan parlementer murninya. Kata mereka, sistem pemerintahan kita banci, tidak parlementer, dan tidak presidensial, melainkan presidensial dengan rasa parlementer. 

Memang benar, negara kita sekarang karutmarut karena instrumen-instrumen konstitusional tidak bekerja efektif sebagai sistem. Tetapi saya tidak setuju pada penilaian bahwa karut-marut itu disebabkan oleh kesalahan konstitusi hasil amendemen, apalagi jika dikatakan karena konstitusi kita tidak ikut teori murni. Bagi saya, teori yang paling murni dalam ilmu konstitusi adalah ”teori bahwa konstitusi suatu negara tidak harus mengikuti teori apa pun”. 

Meminjam ungkapan begawan konstitusi, KC Wheare, di dalam karyanya, Modern Constitutions, isi konstitusi adalah resultan atauk esepakatan dari faktor politik, sosial, ekonomi, dan budaya pada waktu dan tempat tertentu. Konstitusi dibuat berdasar kebutuhan masing-masing, minimal ada modifikasi-modifikasi sesuai dengan kebutuhan domestik masing-masing. 

Tidak pernah ada yang mengikuti teori murni. Begitu juga tidak ada keharusan untuk mengikuti atau tidak mengikuti konstitusi yang berlaku di negara tertentu. Yang dibuat sendirilah yang berlaku sebagai konstitusi. Bisa saja yang dibuat sendiri itu merupakan modifikasi dari teori-teori dan praktik yang berlaku di negara lain yang disesuaikan dengan kebutuhan. 

Dalam pada itu, yang disebut teori murni itu sebenarnya tidak benar-benar ada. Teori Trias Politica, misalnya, tidak pernah jelas mana yang disebut murni. Semula pemisahan kekuasaan ke dalam tiga poros itu diajarkan oleh John Locke ketika mengatakan bahwa agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan harus dipisah ke dalam legislatif, eksekutif, dan federatif. 

Kemudian diikuti oleh Montesquieu dengan memodifikasi ke dalam tiga kekuasaan yang agak berbeda yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Immanuel Kant-lah yang kemudian memberi nama Trias Politica. Implementasi pemisahan kekuasaan itu ke dalam sistem pemerintahan kemudian muncul secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara. 

Di Amerika Serikat muncul sistem presidensial, di Inggris berlaku sistem parlementer, di Swiss berlaku sistem badan pekerja, di Prancis dan Jerman muncul sistem campuran. Yang mana yang murni? Tidak ada yang murni dalam arti diterima sebagai teori yang berlaku universal. Semua membuat sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing. 

Dengan demikian, tidak ada ketentuan bahwa konstitusi harus dibuat sesuai dengan teori tertentu, sebab isi konstitusi itu adalah yang disepakati saja oleh bangsa yang bersangkutan atau oleh lembaga resmi yang berwenang membuatnya. Untuk Indonesia, dulu UUD 1945 dibuat berdasarkan kesepakatan para pendiri negara yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK). 

Para pendiri negara seperti Soekarno, Soekiman, Soepomo, Hatta pun mengatakan bahwa kita membuat konstitusi kita sendiri yang berbeda dari yang ada di negara-negara lain. Konstitusi RIS 1945 dibuat berdasar kebutuhan pada saat itu sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Begitu pula UUDS 1950 dibuat berdasar kesepakatan para pemimpin bangsa pada tahun 1950 itu. 

Konstituante hasil Pemilu 1955 mencoba membuat konstitusi sendiri, tetapi gagal merampungkan tugasnya karena keburu keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Adapun MPR hasil Pemilu 1999 telah mencapai kesepakatan (resultante) memberlakukan UUD 1945 hasil amendemen yang berlaku sekarang ini. Tidak ada konstitusi yang secara kategoris bisa disebut baik atau jelek, benar atau salah. 

Yang ada adalah resultan atau kesepakatan para pembentuknya. Karena telah disepakati itulah konstitusi mengikat untuk ditaati. Kalau mau dibuat yang baru dengan amendemen lagi atau kembali ke UUD 1945 yang asli juga boleh, asal disepakati. 

Tetapi pastilah, apa pun hasil kesepakatan baru itu, nanti ada yang mengkritik lagi. Karut-marut ketatanegaraan di negara kita ini bukan karena konstitusinya salah atau jelek, tetapi karena implementasinya oleh para penyelenggara yang korup.


======

Itulah sepenggalan lengkap tulisan Mahfud MD tentang kegundahannya soal korupsi yang semakin tak mengenal jalan keluar di Koran Sindo 14 Desember 2013. Yang paling menarik tentu saja kalimat penutup yang dia tulis bahwa Karut-marut ketatanegaraan di negara kita ini bukan karena konstitusinya salah atau jelek, tetapi karena implementasinya oleh para penyelenggara yang korup. 

Sudah banyak tulisan Mahfud MD yang prihatin dengan logika pemberantasan korupsi di republik ini. Bahkan ketika mengulas mengenai teori Konstitusi pun seorang Mahfud MD harus merasa perlu menyebut bahwa korupsilah dan penyelenggara negara yang koruplah yang menyebabkan ketatanegaraan di negara ini menjadi berantakan tak menentu. 


Korupsi sudah lengkap menjadi bagian dari cerita pada tiga epsientrum kekuasaan mulai dari Eksekutif, Legislatif hingga Yudikatif. Terakhir, ditangkapnya Ketua MK Akil Muhtar menambah panjang daftar penyelenggara negara yang korup. Semoga bangsa ini tidak frustrasi karena putus asa tak tahu lagi bagaimana meredam laju korupsi yang menggerogoti sendi kehidupan berbangsa. Semoga pula generasi muda tidak menjadi permissif dan mengekor pada ulah generasi tua yang hari ini larut dalam pusaran kasus korupsi. Semoga dan semoga. 


Jakarta, Setia Budi, 15/12/2013


================

KEPADA SELURUH PESERTA MK HUKUM & POLITIK KETATANEGARAAN
INSTRUKSI:

1. BACA DENGAN SEKSAMA ARTIKEL DI ATAS.
2. BUAT RESUME (MINIMAL 600 KATA).






Tuesday, October 8, 2013

[OPINI] "Panwaslu Dari Mahasiswa"

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan merekrut sejuta mahasiswa berbagai perguruan tinggi untuk menjadi relawan pengawas Pemilihan Umum 2014. Relawan akan ditempatkan di tiap tempat pemungutan suara di daerah. Artinya, Bawaslu berkeinginan kuat untuk mewujudkan pemilu yang berwibawa, jujur dan bersih. Meskipun baru sebatas wacana dan rencana, tidak ada salahnya pula Bawaslu Riau mencoba menerapkan pendekatan tersebut pada Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Riau putaran kedua yang akan datang. Bawaslu Riau bisa mengajukan proposal pilot project ke Bawaslu Pusat terkait rencana merekrut mahasiswa menjadi relawan pengawas pemilukada Riau putaran kedua. Tentu tidak ada salahnya mengajukan wacana perlunya pelibatan mahasiswa sebagai mitra pengawas pemilukada.

Sulit membantah bahwa pemilukada dewasa ini dihadapkan pada banyaknya gugatan-gugatan sengketa ke Mahkamah Konstitusi terkait adanya kecurangan yang bersifat struktural, sistematis dan massif. Bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi, Muhamad Akil Mocthar, kini ditahan KPK karena dugaan suap manipulasi putusan hasil sengketa pemilukada di dua daerah, Lebak dan Gunung Mas.

Pelanggaran dalam pemilukada bisa saja dilakukan oleh peserta pemilukada maupun oleh penyelenggara pemilukada itu sendiri. Dengan begitu, keberadaan Bawaslu menjadi strategis untuk mencegah dan menindak terjadinya pelanggaran demi pelanggaran dalam Pemilukada. Terlebih bila kerja strategis Bawaslu tersebut ditopang oleh komponen mahasiswa untuk ikut bersama-sama mengawasi seluruh rangkaian pemilukada.

Belajar dari Pemilukada putaran pertama, potensi kecurangan paling tinggi dan masif terjadi pada proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan PPS. Menghadapi potensi tersebut, tidak memungkinkan bagi Bawaslu Propinsi Riau mengawasi tiap TPS dengan satu pengawas. Terlebih lagi Bawaslu Riau dihadapkan pada persoalan pendanaan yang minim. Pada putaran pertama lalu dana Rp. 10 miliar sudah dinyatakan kurang oleh Bawaslu Riau, namun ternyata tidak ada penambahan dana dari APBD Perubahan 2013 ini. Karena itu, Bawaslu Riau perlu memikirkan metode baru yang akan diimplementasikan oleh Bawaslu Pusat yakni dengan merekrut mahasiswa menjadi relawan pengawasan Pemilu. Sederhananya, strategi menempatkan mahasiswa sebagai mitra pengawas pemilukada menjadi sesuatu yang penting nilainya demi mengangkat citra dan kinerja Bawaslu Riau di tengah keterbatasan sumber daya manusia dan minimnya anggaran. Bawaslu harus kreatif menyusun formula apik sehingga keterbatasan sumber daya manusia dan dana bukanlah menjadi hambatan melainkan batu pijakan untuk membuat terobosan-terobosan dalam kerja pengawasan pemilukada.

Keberadaan perguruan tinggi dan komponen mahasiswa adalah potensi besar yang harus dimanfaatkan oleh Bawaslu Riau untuk memantapkan kinerja Bawaslu mengawasi pelaksanaan Pemilukada. Jumlah 70 perguruan tinggi yang tersebar hampir merata di 12 Kabupaten/Kota di Riau bukanlah angka yang kecil bila Bawaslu membuka diri dan komunikasi dengan simpul-simpul mahasiswa dan pimpinan perguruan tinggi.

Pertanyaannya, apakah mahasiswa di Riau begitu saja mau menyambut gayung rencana pemberdayaan mahasiswa sebagai pengawas pemilukada? Untuk menjawab pertanyaan ini, Bawaslu perlu melakukan pendekatan yang tepat dan mumpuni. Membangun kepercayaan mahasiswa untuk terlibat aktif dalam pengawasan pemilukada tidak cukup dengan langkah-langkah konvensional seperti yang dilakukan Bawaslu selama ini, yakni pemasangan iklan di media cetak, elektronik, pemasangan spanduk dan upaya-upaya konvensional lain. Upaya konvensional tersebut justru membangkitkan emosi mahasiswa untuk tidak mau terlibat aktif dalam proses politik dan pemerintahan. Jangankan aktif mengawasi pemilukada, untuk memberikan hak pilihnya saja mahasiswa masih banyak yang bersikap apatis. Pasalnya mahasiswa yang menjadi agen sosial melihat apa yang dipublikasikan tidak sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi masyarakat di lapangan. Mestinya Bawaslu harus sadar bahwa mahasiwa sudah cerdas dalam memahami kondisi politik dan pemerintahan serta dampak pemilukada dalam kehidupan yang senyatanya.

Bawaslu seharusnya mulai melakukan pendekatan kepada pengurus perguruan tinggi dengan membuat nota kesepahaman dan nota kesepakatan kerjasama (MOU) pengawasan pelaksanaan pemilukada. Dengan begitu, bisa saja perguruan tinggi mengalihkan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) menjadi kegiatan pengawasan pemilukada dengan menyebar relawan mahasiswa untuk terlibat langsung mengawasi jalannya pemungutan dan penghitungan suara di setiap TPS. Lagi pula tidak aturan yang melarang Bawaslu untuk melibatkan komponen perguruan tinggi terlibat aktif mengawasi jalannya pemilukada.

Sebenarnya untuk Pemilukada tingkat Kabupaten/Kota, pelibatan mahasiswa sebagai pengawas pemilukada bukanlah hal yang baru. Di Kabupaten Garut misalnya, Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) telah melibatkan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi lokal untuk membantu mengawasi pencoblosan hingga perhitungan suara Pemilukada Garut, 8 September 2013 lalu. Alasan Panwaslu menggandeng mahasiswa karena terkendala keterbatasan anggota pengawas. Hal yang serupa juga pernah dilakukan di Pemilukada Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Serang.

Bola panas dan keputusan itu kini ada di tangan Bawaslu Riau apakah institusi tersebut masih memiliki komitmen kuat untuk mengawasi pemilukada putaran kedua dengan memberdayakan mahasiswa dan perguruan tinggi atau tetap berpangku tangan di tengah keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran yang dimilikinya. Masyarakat Riau tentu menantikan sikap ksatria Bawaslu Riau untuk bergandeng tangan bersama mewujudkan Pemilukada yang jujur, bersih dan bermartabat. Semoga.#

Alumni Melbourne Law School,
The University of Melbourne Australia.
Dosen Hukum Tata Negara
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

http://suluhriau.com/readopini-186-2013-10-06-panwaslu--dari-mahasiswa-.html

Friday, October 4, 2013

[OPINI] "Memilih Gubernur dan Masa Depan Riau"

Jika Riau berubah lebih baik lagi, siapakah yang akan memulai dan membawa perubahan itu? Dengan cara bagaimana? dan ke arah mana?
Pertanyaan seperti itu tidak bisa dielakkan ketika hingar bingar Pemilukada Riau yang kini berlanjut ke putaran kedua.

Suka tidak suka, kita seolah berada di akhir sebuah tarikh. Sejarah selalu bergerak sesuai dinamikanya. Dari pemilihan kepala daerah yang dulunya kepala daerah disetir dari pusat, lalu berganti dengan proses kepemimpinan yang dipilih oleh para wakil rakyat (DPRD), kemudian politik berubah, pimpinan daerah dipilih langsung oleh masyarakat (rakyat).

Di Riau, pemilukada Gubenur-Wakil Gubenur tengah berlangsung. Tahapannya masuk pada putaran kedua dan pemungutan suara akan berlangsung 30 Oktober 2013.

Di hadapan para pemilih kini hadir putra-putra terbaik di Riau, pada putaran kedua ini, Herman Abdullah-Agus Widayat yang akan bertarung dengan Annas Maamun-Arsyad Juliandi Rahman.

Suatu suasana fin-de-sciecle (end of the cycle) barangkali akan segera hadir dan mulailah kita menarik nafas dalam-dalam melihat sesuatu yang baru, seakan-akan sebuah pergantian akan segera menyembul bulat, seperti bulan purnama.

Arus perubahan di Riau tentu tidak terjadi selekasnya. Di setiap pelosok negeri ini, tinggal berbagai ragam etnis, suku, kelompok dan ragam budaya.

Perubahan pun selalu hadir dengan corak dan motif yang berbeda-beda. Satu yang tidak berbeda, masyarakat Riau terlihat permisif ketika dua gubernur Riau telah terjerembab dalam pusaran kasus korupsi.

Penyebabnya bisa saja karena masyarakat sudah lelah dipertontonkan dengan banyaknya kepala daerah mulai dari bupati dan gubernur yang selalu mengakhiri karir politiknya di balik jeruji besi karena kasus korupsi.

Lebih jauh, masyarakat pun apatis terhadap suksesi kepemimpinan di Riau.
Perhelatan Pemilukada sejatinya bisa dijadikan momen terbaik untuk kembali bangun dan bangkit mewujudkan Riau Baru yang progresif dan visioner.

Rakyat Riau harus berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk melakukan koreksi kepada calon-calon pemimpin Riau.

Rakyat harus jeli melihat pasangan calon mana yang paling sedikit memiliki cacat politik dan moral. Terlebih mengingat peran besar pemimpin sebagai nakhoda, maka pilihan rakyat memiliki signifikansi yang tak terbantahkan.

Kuncinya, masyarakat harus cerdas dan kritis dalam memilih dan menentukan siapa yang akan jadi pemimpin Riau lima tahun ke depan.
Jangan lagi dipilih pemimpin daerah yang bermental korupsi serta pemimpin yang mereduksi makna pembangunan menjadi sekadar hadirnya mal, pasar modern, supermarket, dan semacamnya.

Lalu ke arah mana perubahan ini akan dibawa? Menjawab pertanyaan ini tidak sesederhana membalikkan telapak tangan. Perbincangan Pemilukada di Bumi Lancang Kuning semakin menghangat jeleng putaran kedua.

Lalu mulailah orang-orang bicara tentang siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Di sinilah letak soal kenapa pemilukada selalu menghadirkan konflik.
Padahal pemilukada sejatinya tidak mencari pemenang dan pihak yang kalah akan disingkirkan. Melainkan, pemilukada yang bermarwah adalah pemilukada yang mencari sosok pemimpin yang diberi mandat dan dipercaya oleh rakyat.

Maka ketika salah satu kandidat lebih dipercaya memimpin Riau lima tahun ke depan, sudah seharusnya kandidat yang belum dipercaya tetap menghormati hasil pilihan rakyat itu dengan jiwa ksatria sembari memberikan masukan dan nasihat guna mewujudkan Riau baru yang bermarwah dan bermartabat.

Pemimpin Masa Depan Riau dan Beban Sejarah


Siapapun yang bakal memenangkan Pemilukada Riau putaran kedua, beban berat telah menunggu di dermaga stagnansi pembangunan multidimensi Riau.

Citra Riau yang sempat tercoreng akibat makin maraknya kasus korupsi akan menjadi beban tersendiri di pundak pemimpin Riau ke depan. Ditambah lagi beban sejarah karena kemasyhuran Riau sebagai bumi melayu yang kemasyhurannya bahkan jauh hari sebelum nusantara ini bernama Indonesia.

Kelak di pundak pemimpin Riau lima tahun ke depan terhampar beban sejarah yang tidak ringan. Membawa Bumi Lancang Kuning kembali kepada masa kejayaannya adalah pekerjaan yang tidak ringan. Riau harus berpacu dengan waktu untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari propinsi tetangga.

Belum lagi ditambah dengan tantangan pemimpin untuk mengayomi ragam heterogenitas masyarakat Riau yang tak terelakkan. Sejarah masa lalu memang telah membentuk sedimen yang tebal di negeri di mana hikayat Hang Tuah ini bermula.

Seperti yang pernah diutarakan oleh guru besar UI, Prof. Sri-Edi Swasono, pembangunan semestinya merupakan pemberdayaan, bukan pelumpuhan terhadap rakyat. Pembangunan harus merupakan improvisasi kehidupan, bukan pemiskinan terhadap rakyat.

Bagi petarung Pemilukada yang culas, politik uang atau money politics akan dijadikan sebagai satu strategi utama pemenangan. Upaya memenangkan hati rakyat dianggap sepele dan perkara mudah. Padahal upaya politik uang tersebut sesungguhnya adalah lingkaran setan pola korupsi yang kini marak terjadi.

Mereka yang membeli suara pastinya akan berpikir keras memulangkan "modalnya" ketika nanti berkuasa. Alhasil, terpilihnya pemimpin daerah bukan berkat pakem vox populi vox dei, melainkan sekadar vox populi vox argentum alias suara rakyat suara uang receh.

Kita tentu mengidamkan pemimpin yang bersih dari korupsi, berjiwa melayani dan bukan dilayani. Oleh sebab itu, kita harus ramai-ramai mengutuk setiap calon pemimpin yang berusaha membodohi rakyat dengan membeli suara dan memobilisasi rakyat untuk memilih bukan karena kecakapan intelektual tapi karena imbalan materi.

Intinya, kita harus mewujudkan pemilih yang cerdas dan bermartabat. Tanggungjawab ini tidak hanya di pundak penyelenggara pemilukada dan Bawaslu tetapi juga tokoh masyarakat, LSM, media dan para generasi muda Riau.

Akhirnya, membangun dan membesarkan Riau bukanlah sesederhana pekerjaan menjadikan kayu seonggok abu. Membuat Riau kembali berjaya juga bukan berarti menjadikan pemimpin-pemimpinnya sebagai pribadi yang hanya menanti sanjung dan puji.

Membangun dan membesarkan Riau adalah upaya untuk menjadikan pemimpin dan rakyatnya sebagai pribadi pekerja keras dan baik budi.
Untuk menutup tulisan ini, ada baiknya terlebih dahulu menyimak penggalan sajak budayawan Emha Ainun Nadjib; "Aku nantikan, kami rindukan telinga yang mendengarkan, hati yang mengerti, di negeri ini berpuluh tahun terasa ngun-ngun kami mencari dan bingung, pemimpin yang paham dan melapangkan tak kunjung datang, ataukah memang tak dilahirkan oleh Tuhan." Wallahua'lam bisshawab!    

Penulis adalah Almuni Melbourne Law School, The Univerity of Melbourne Australia. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia.


Note: Opini ini dimuat di laman http://www.suluhriau.com/readopini-185-2013-09-21-memilih-gubernur-dan-masa-depan-riau.html 

Monday, July 15, 2013

"(Lagi) Soal Amandemen; Kalut dan Bodohnya Kita?"

Dua tulisan di harian Kompas (Senin 8/7), masing-masing ditulis oleh Mahfud MD dan Suwidi Tono, menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Kedua tulisan tersebut memang mengetengahkan pembahasan yang berbeda; Mahfud MD mengupas pemberantasan korupsi yang berputar-putar tanpa arah sementara Tono mengangkat masalah kebangsaan yang menurutnya tergerus pragmatisme elit. Namun pada dasarnya kedua tulisan tersebut bermuara pada satu hal; bangsa ini sedang dalam masalah besar. Lebih parahnya lagi, demokrasi kita tengah dirusak oleh entitas parpol dan elit politik.

Terkait rumitnya masalah korupsi, tawaran solusi Mahfud MD untuk pemberantasan korupsi dengan mengamputasi generasi atau mengampuni koruptor adalah pilihan yang tidak mudah. Sebenarnya ada cara lain yang harus ditempuh sebelum mengambil tindakan sporadis semacam itu. Cara lain itu adalah mengidentifikasi fenomena episentrum korupsi yang banyak bersumber pada partai politik (DPR). Dari sekian kasus korupsi, hampir semuanya bertalian dengan politisi senayan (baca DPR). Ambil contoh kasus hambalang, DPID, cek pelawat BI, hingga yang terbaru kasus impor daging sapi. Tidak salah kemudian anggapan bahwa partai politik telah menyandera agenda pemberantasan korupsi dan bahkan lebih tragis lagi menjadi semacam parasit demokrasi.

Di lain sisi, Tono menyoroti bahwa parpol menjadi pihak yang paling bertanggungjawab akan persoalan pragmatisme elit penguasa. Demokrasi menjadi tergadaikan karena kepentingan dan kerakusan segelintir elit. Seperti yang Daniel J Boorstin katakan, seperti yang dikutip Tono, demokrasi akan tangguh bila seluruh elemen penting dalam masyarakat terpanggil untuk memperkuat sendi-sendinya, mengoreksi kelemahannya. Hajat bernegara terlalu berharga jika hanya diserahkan pada parpol (The Americans: The Democratic Experience, 1973).

Kedua tulisan tersebut mengarah pada parpol sebagai pihak yang bertanggungjawab menciptakan apa yang dialami bangsa ini sejak reformasi bergaung 1998 silam. Ketika telunjuk mengarah pada parpol, maka DPR sebagai wadah konstitusional parpol berdialektika juga layak dikritisi. Kritik pada DPR bukan terhadap kemampuannya mengelola kewenangan konstitusional melainkan kritik terlalu besarnya kewenangan konstitusional DPR tanpa pengawasan dan perimbangan kekuasaan sehingga melahirkan menjadi episentrum praktek-praktek koruptif berjamaah.Konstitusi yang seharusnya menjadi pagar kekuasaan justeru tidak berdaya karena dijadikan sebagai alat penguat kekuasaan berlebih yang dimonopoli parpol melalui DPR.

Konstitusi yang Membodohi atau Kita yang Bodoh?

Amandemen konstitusi hasil perjuangan reformasi patut dihargai sebagai sebuah proses politik yang demokratis. Namun harus pula diakui bahwa konstitusi tersebut bersifat legislative heavy. Di sebut demikian karena konstitusi terlalu memberikan porsi kewenangan berlebih kepada lembaga legislatif (DPR) tanpa dibarengi dengan mekanisme saling awas dan saling kontrol di antara cabang kekuasaan termasuk di internal parlemen sendiri (Selain DPR ada MPR dan DPD dalam struktur parlemen kita). Padahal amandemen konstitusi telah mereposisi MPR dan bahkan melahirkan DPD yang dalam praktek di negara lain lazim diberdayakan untuk mengimbangi kekuasaan DPR.

Ketika frustasi hampir melanda bangsa karena semakin maraknya korupsi, sementara konstitusi berpotensi memelihara fenomena tersebut maka tidak ada pilihan lain untuk tidak kembali membongkar pasal-pasal dalam konstitusi yang pada akhirnya dapat mengakomodir terwujudnya mekanisme check and balances di internal lembaga legislatif. Namun apa hendak dikata, amandemen lanjutan atas konstitusi seperti mustahil dilakukan dengan alasan belum menjadi kebutuhan politik kekinian.

Kita tentu tidak ingin konstitusi membodohi dan membuat jurang yang membuat kita terjerembag dalam nista masalah yang tak berujung. Konstitusi jelas buatan manusia dan buatan manusia bukanlah kitab suci yang haram untuk diutak-atik dan diubah. Konstitusi yang ideal justeru konstitusi yang mampu mengiringi dinamika politik dan kekuasaan serta kebutuhan kekinian masyarakat.

Oleh sebab itu, perdebatan amandemen UUD 1945 jangan lagi dipersempit sekadar perebutan kewenangan DPD dan DPR, melainkan harus dikaitkan dengan persoalan yang lebih besar, yakni konstitusi yang terlalu memberi porsi kekuasaan yang amat besar kepada DPR sehingga berbuntut membludaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi di DPR. Konstitusi kita harus berubah menjadi konstitusi yang memberi porsi seimbang pada masing-masing cabang kekuasaan. DPR harus diimbangi oleh partner seimbang di parlemen. Begitu pula kekuasaan di yudikatif dan eksekutif. Semuanya harus dibuat saling imbang, saling awas dan saling kontrol.

Suara amandemen lanjutan tetap senyap tak digubris. Agenda pembenahan kehidupan ketatanegaraan berujung stagnan. Perdebatan amandemen berkontemplasi menjadi debat kusir yang tak tahu bermuara kemana dan untuk apa.
 
Apa kita mau menjadi seperti bangsa bodoh yang tak tahu harus memulai apa dan berbuat apa ketika dirundung masalah. Jangan-jangan kita bukan lagi bodoh tapi juga kalut ketika berhadapan dengan sekian banyak permasalahan yang melilit bangsa. Kebodohan itu kemudian berujung pada kekalutan, berputar-putar tanpa arah. Atau jangan-jangan kita dibuat kalut dan bodoh oleh alam pikir kita yang sudah sesat dan menyesatkan? 

Wallahua'lam bisshowab.

Saturday, July 6, 2013

Timbang-Timbang Soal Remediasi (Bag. 2 dari 2 Tulisan)

Remediasi dan Gagasan Intelektual Gramsci 

Antonio Gramsci, seorang filosuf Italia, mengatakan bahwa intelektual bukan dicirikan oleh aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang atau individu, melainkan oleh fungsi yang mereka jalankan. Gramsci menulis “oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual”. (Roger Simon; 1999, 140) Catatan dan ide intelektual Garmsci itu bisa dilihat dalam Prison Notebooks yang dia tulis semasa di penjara antara tahun 1929 dan tahun 1935 setelah divonis bersalah oleh pemerintahan fasis Mussolini.

Salah satu gagasan Gramsci adalah diskursus yang dikembangkannya mengenai konsep intelektual. Gramsci membagi intelektual ke dalam dua kategori: tradisional dan organik. Menurutnya, intelektual tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual menara gading yang melakukan perselingkuhan dan aliansi dengan kelompok penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial. Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik merupakan kategori yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakatnya. Kaum intelektual yang demikian ini sejatinya muncul secara alamiah dari dalam diri dan seiring dengan pergerakan masyarakat, bukan dipaksakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakatnya. Atau, dalam bahasa Gramsci, muncul dari kelompok pekerja (the working class). Karena itu, mereka cenderung revolusioner dan tidak konservatif. (Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci; 1971)

Inti dari pemikiran Gramsci soal intelektual adalah intelektual fungsional. Intelektual fungsional berarti bahwa kaum intelektual harus mampu menjalankan fungsi sebagai organisator dalam segala aspek kehidupan masyaraat. Artinya, kualitas intelektualitas tidak diukur dari kapasitas prestasi yang ditentukan melalui nilai-nilai akademik semata namun lebih dari itu kualitas intelektual harus diukur dari sejauh mana kaum intelektual mampu memfungsikan diri di lingkungannya, hidup dan berkembang bersama masyarakat serta berkontribusi nyata.

Terdapat korelasi tentang gagasan intelektual fungsional Gramsci dengan pentingnya memfasilitasi intelektual muda (baca; mahasiswa) agar dapat pula menjadi insan yang kontributif. Dengan begitu mahasiswa tidak hanya berjibaku dengan kehadiran di bangku kuliah dan mengejar perbaikan nilai akademik lewat Remediasi, tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu memahami virtues of life, mengembangkan gagasan dan jiwa kritisnya. Virtues yang berarti kemuliaan, kewibawaan, kehormatan dan keutamaan akan sulit tercapai bila mahasiswa hanya didoktrin untuk mendongkrak nilai akademik lewat remediasi tanpa diberikan peluang dialektis untuk tumbuh dan berkembang menjalankan fungsi intelektualnya.

Padahal sebagai aktor dalam social development, mahasiswa harus berperan sebagai tenaga-tenaga terdidik yang dapat menyalurkan keterampilan dan keilmuannya untuk masyarakat terhadap isu-isu kemasyarakatan, misalnya dengan memberikan pelatihan, penyuluhan, advokasi, program pendampingan masyarakat, atau kuliah kerja nyata (KKN).
Oleh karenanya jika remediasi hanya dibatasi pemaknaannya sebatas perbaikan nilai akademik melalui metode ujian ulangan semata, sulit untuk mengembangkan peran intelektual yang fungsional. Terlebih jika untuk mengikuti ujian remediasi mahasiswa disyaratkan untuk memenuhi daftar hadir maksimal di bangku kuliah sehingga tak cukup waktu berdialektika di kehidupan sosial yang memiliki titik singgung erat dengan kehidupan akademik.

Selain itu, seandainya prestasi hanya dimaknai sebagai deretan angka-angka dan nilai akademik berupa Indeks Prestasi Kumulatif bisa jadi remediasi adala solusi. Namun, prestasi dalam dunia akademik seharusnya tidak boleh berhenti pada bagus atau tidaknya Indeks Prestasi Kumulatif. Sistem Remediasi yang demikian hanya akan mencetak lulusan dengan kualitas intelektual seadanya tanpa memiliki fungsi intelektual.
Dari kacamata pendidik, remediasi setidaknya memiliki beberapa impact. jika Remediasi hanya dimaknai sebagai ujian susulan dalam rangka memperbaiki nilai maka kebijakan remediasi yang demikian hanya akan mengalami cacat yang makin mengenaskan terlebih karena pendidik/dosen tak diberi kesempatan menggugah minat, merangsang keasyikan menalar bagi peserta didik lebih lanjut. Mahasiswa tidak terstimulus untuk melakukan sesuatu untuk memahami proses pembelajaran dan menggapai cita-cita yang diinginkan.

Benarlah kiranya barangkali yang pernah diutarakan oleh Prof. Van Bemmelen (The Liang Gie; 1985, 9);
“Di kota Leiden pada tiap permualaan tahun pelajaran baru muncul muka-muka baru, yang segar, penuh kesungguhan, keberanian dan kepastian, tapi pada akhir tahun antaranya kurang lebih 40% karena satu atau lain alasan, jatuh dari cita-citanya.”

Melalui remediasi yang kebijakannya hanya menitikberatkan pada pencapaian nilai akademik dan peserta didik diwajibkan membayar sejumlah kredit SKS yang diikutinya akan mendatangkan asmumsi bahwa institusi pendidikan tinggi yang seharusnya mencetak intelektual-intelektual hati nurani bangsa justeru hanya mampu menjadi pengabdi kapitalisme. Dalam kondisi yang demikian, akan sangat sulit  mengharapkan lahirnya intelektual dengan kesadaran transformatif dari pendidikan tinggi yang demikian kapitalistik.

Belum lagi mengingat Tridarma Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan jenjang terakhir dari hirarki pendidikan formal. Tiga misi yang diemban yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian harus direalisasikan secara paralel. Tapi, lebih dari segalanya, yang menggetarkan atas tiga misi perguruan tinggi ialah pengabdian, pengabidan, pengabdian. Pendidikan dan penilitian tak berdampak apa-apa bila pengabdian diabaikan dan mahasiswa hanya berjibaku menjadi generasi terdidik dan peneliti.
 
Akhirnya, remediasi yang hanya dimaknai sebagai ujian susulan sekedar memperbaiki nilai akademik akan mengalami cacat yang makin mengenaskan sebab pendidik/dosen tak diberi kesempatan menggugah minat, merangsang keasyikan menalar bagi peserta didik. Peserta didik pun tidak memiliki kesempatan untuk memperkaya dan menguasai materi ilmu yang lebih banyak dan mendalam. Sekian. Wallahua'lambisshowab.

Timbang-Timbang Soal Ujian Remediasi Bag. 1


Akhir tahun 2011 lalu civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) mendapat kado istimewa dari Rekrotiat. Ya, tepat pertengahan Desember 2011 lalu Rektor UII mengeluarkan Peraturan Rektor No. 32/Rek/PR/20/DA/XII/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Ujian Remediasi. Intinya Remediasi dimaksudkan untuk peningkatan kualitas lulusan UII yang salah satu indikasinya ketepatan masa studi dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Setelah dihapuskannya sistem Semester Pendek, Remediasi kini menjadi semacam formula baru di lingkungan UII yang dianggap memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memperbaiki prestasi akademiknya. 

Berkaca pada rumusan peraturan Rektor tersebut dapat dipahami beberapa prinsip pelaksanaan Remediasi. Pertama, Remediasi murni ujian (susulan) yang dilaksanakan dua kali dalam satu tahun. Ujian Remediasi tersebut diselenggarakan tiap setelah semester berakhir. Sederhananya, ujian Remediasi merupakan ujian ulangan yang diselenggarakan pada semester yang sama. Kedua, ujian Remediasi pada dasarnya bersifat opsional dan fakultatif. Artinya, ujian Remediasi merupakan peruntukan bagi mahasiswa yang merasa perlu untuk memperbaiki nilai mata kuliah tertentu pada setiap semester yang telah diikuti. Ketiga,  Ujian Remediasi hanya untuk mengulang ujian mata kuliah yang ditempuh pada semester bersangkutan dengan persyaratan antara lain; Ujian Remediasi itu dibuka hanya untuk mata kuliah yang ditawarkan fakultas, diselenggarakan di kelas (tidak mandiri) dan mahasiswa disyaratkan kehadiran minimal 75% pada mata kuliah bersangkutan pada semester reguler. 

Tulisan berikut akan menganalisa Ujian Remediasi sebagai sebuah sistem dan kebijakan. Akan dikupas pula aspek positif dan kelemahan sistem Remediasi dengan mengaitkannya pada teori intelektual Gramsci. Gramsci sendiri merupakan pemikir besar khususnya dalam bidang kajian politik dan filsafat pendidikan. Gramsci memang lebih populer sebagai pemikir bidang politik, namum gagasannya soal intelektual dan upaya membangun generasi berkualitas layak dijadikan bahan renungan. Pada bagian akhir tulisan dikemukakan beberapa kesimpulan dan rekomendasi soal langkah terbaik untuk memparalelkan kebijakan Remediasi dengan upaya memantapkan kualitas intelektual mahasiswa.
 
 Baik dan Buruk Ujian Remediasi


Sebagai sebuah sistem, idealnya remediasi memiliki beberapa fungsi, yaitu: pertama, fungsi korektif yang memungkinkan terjadinya perbaikan hasil belajar dan perbaikan segi-segi kepribadian peserta didik. Kedua, fungsi pemahaman yang memungkinkan peserta didik memahami kemampuan dan kelemahannya serta memungkinkan dosen/pendidik menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai dengan kondisi peserta didik. Ketiga, fungsi penyesuaian yang memungkinkan peserta didik menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan memungkinkan dosen menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai dengan kemampuannya. Keempat, fungsi pengayaan yang memungkinkan peserta didik menguasai materi lebih banyak dan mendalam serta memungkinkan pendidik mengembangkan berbagai metode yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. Kelima, fungsi akseleratif yang memungkinkan peserta didik mempercepat proses belajarnya dalam menguasai materi yang disajikan. Keenam, fungsi terapeutik yang memungkinkan terjadinya perbaikan segi-segi kepribadian yang menunjang keberhasilan belajar.  

Berkaca pada fungsi remediasi tersebut, yang dikedepankan sesungguhnya adalah hasil akhir dengan memperhatikan aspek-aspek kognitif dan non-kognitif yang tidak an sich memusatkan pada penyelenggaraan ujian (susulan) namun dibarengi dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya evaluatif, strategis dan interaktif demi penguasaan ilmu dan mengasah kemampuan intelektual peserta didik.



Boleh dikatakan aspek positif dari sistem ujian Remediasi adalah terbukanya peluang untuk mengakselerasi peserta didik untuk meraih nilai maksimal pada setiap bidang atau mata kuliah yang ditempuh. Dalam pemahaman yang sederhana, orientasinya adalah nilai bukan proses memperoleh nilai akademik tersebut.  Jika mengacu pada urgensi proses pencapaian nilai dan keilmuan, maka bisa dikatakan ujian remediasi bukanlah hal yang bagus. Ujian remediasi hanya akan memunculkan disorientasi pada proses pemahaman intelektual akademis. Apalagi bila dikaitkan dengan konsep yang pernah dikemukakan seorang sejarawan Perancis, Pierre De Coubertin, bahwa yang terpenting dalam hidup itu adalah bagaimana proses pencapaiannya (The most important thing in life is not the triumph but the struggle).  

Pada level perguruan tinggi, kebijakan remedial atau remediasi pada umumnya diterapkan oleh pihak kampus berdasar kebijakan masing-masing. Tidak semua perguruan tinggi menerapkan sistem remediasi. Di kampsu yang tidak menerapkan kebijakan Remidiasi dan semester pendek, misalnya, jika ada mahasiswa yang ingin memperbaiki nilai akademiknya tidak ada kesempatan memperbaiki nilai kecuali dengan mengulang perkuliahan pada semester berikutnya. Meski dampak dari sistem ini akan membuat waktu tempuh studi semakin panjang dan bertambah. 

Ada pula kampus yang menerapkan pola Remediasi kombinasi sistem Remediasi dengan menambahkan tatap muka dan praktikum serta tugas-tugas menulis makalah sehingga remediasi tidak hanya penyelenggaraan ujian susulan dimana pesertanya diwajibkan membayar jumlah SKS sesuai dengan bobot mata kuliah yang diujikan pada Remediasi. Pola seperti ini lebih mendekati pola yang ideal dimana fungsi remediasi sebagai fungsi pengayaan yang memungkinkan peserta didik menguasai materi lebih banyak dan mendalam serta memungkinkan pendidik mengembangkan berbagai metode yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. Dengan begitu, konsepnya bukan pada apa yang diraih dari remediasi, melainkan bagaimana peserta didik berjuang dan mendapatkan materi keilmuan yang cukup agar proses remediasi bisa mengembalikan mindset berorientasi pada proses pembelajaran. Alhasil, implikasi dari remediasi tak sekedar perbaikan nilai, akan tetapi dapat mempertajam daya analisis dan pemahaman materi yang ditempuh. Bukankah pendidik yang ideal itu adalah pendidik yang mampu menggugah minat dan merangsang keasyikan menalar ilmu pengetahuan peserta didik ketimbang sekedar memberi nilai dan memastikan satu per satu peserta didik berada di kelas ketika kuliah diberikan? 

Sejatinya, ada beberapa pendekatan dalam kebijakan remediasi yang bisa dikembangkan di perguruan tinggi ke dalam berbagai strategi, antara lain: Pertaman, Pendekatan kuratif yakni pendekatan yang dilakukan setelah diketahui adanya beberapa peserta didik yang gagal mencapai tujuan pembelajaran.  Strategi yang dapat dikembangkan dalam hal ini, adalah strategi pengulangan, pengayaan dan pengukuhan serta strategi percepatan.  

Kedua, pendekatan preventif yaitu pendekatan yang ditujukan kepada peserta didik yang pada awal kegiatan belajar-mengajar telah diduga akan mengalami kesulitan belajar. Strategi pengajaran yang dapat dilakukan, yaitu kelompok homogen, individual, kelas khusus. Ketiga, pendekatan yang bersifat pengembangan, pendekatan yang didasarkan pada pemikiran bahwa kesulitan peserta didik harus diketahui tenaga edukatif sedini mungkin agar dapat diberikan bantuan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

Yogyakarta, jelang Ramadhan.