Saturday, June 29, 2013

"Tuhan; Menulis dan Menjadi"

Pada mulanya adalah Kata. Kata itu mengada bersama Tuhan, serupa dengan kata "Tuhan", kata itu merupakan "kreasi". (Nadine Gordimer)

Saya tersentak dengan ucapan Nadine yang menukilkan kalimat sederhana soal menulis. Sebagai orang yang selama ini bergelut dengan tulis-menulis, saya merasa disindir dengan kalimat tersebut. Ya, sebagai dosen maka tulis-menulis adalah hal yang tak bisa terhindarkan. Tapi apa sebenarnya inti dari ungkapan Nadine ini?

Menulis adalah soal menciptakan sesuatu. Bagi saya, ungkapan Nadine dalam bahasa yang sederhana berarti bahwa menulis itu berkreasi, menciptakan sesuatu sebagai bentuk pemujaan kita terhadap eksistensi Tuhan.

Saya kemudian mencoba menghubungkan ungkapan Nadine Gordimer dengan apa yang ditulis oleh bung Pram (Pramoedya Ananta T.); "menulis adalah pekerjaan untuk keabadian". Bukankah hanya Tuhan yang abadi? Oleh karenanya, ungkapan Nadine Gordimer seiring sejalan dengan apa yang dikemukakan bung Pram. Menulis sesungguhnya merupakan cara kita manusia untuk mengekor pada apa yang merupakan esensi sifat Tuhan; Abadi dan Maha Mencipta. Makna sebaliknya, mereka yang enggan menulis sebenarnya enggan pula  untuk mengekor pada Tuhan atau setidak-tidaknya menolak menjadi hamba  Tuhan yang sebenar-benarnya.

Dari kedua penulis yang sama-sama saya kagumi ini saya kemudian punya kesimpulan sendiri. Kesimpulan yang saya jadikan pelecut motivasi  diri; "menulislah maka engkau akan menjadi." Ungkapan ini tidaklah berlebihan. Kenapa begitu? Dari hal yang sederhana saja; begitu banyak tokoh-tokoh di dunia yang namanya abadi karena apa yang ditulisnya. Kahlil Gibran masih berkibar sampai berabad-abad karena karya tulisannya yang menggugah para pencinta. Sir Mohammad Iqbal kesohor sampai hari ini karena buku-bukunya yang mengejutkan dunia Barat tentang Islam. Serupa juga dengan kita yang pernah kuliah, pasti guru-guru yang pernah menulis buku akan lebih kita kenal dan hidup namanya di alam pikiran. Semuanya karena mereka menulis. 

Mereka yang bergelut dengan dunia musik juga tak bisa lepaskan diri dari aktivitas tulis-menulis. Lagu atau musik legendaris bermula dari menuliskan bait atau syair yang memang berpusat pada kegiatan mengkreasikan sesuatu yang nantinya enak didengar dan bertahan sampai lama.

Mereka yang terbiasa menulis pasti paham apa maksud saya soal "menulislah maka engkau akan menjadi." Menulis pada akhirnya adalah wujud kecintaan kita pada Tuhan. Di sana ada komitmen kemanusiaan untuk mewariskan sesuatu yang mungkin berguna suatu hari nanti, setidaknya bagi diri-pribadi kita masing-masing.

Mulai dari sekarang, menulislah. Setidak-tidaknya mulailah menulis hal-hal sederhana. Diamkan beberapa hari, kemudian lihat lagi apa yang sudah ditulis itu, pasti akan ada kejutan-kejutan di dalamnya. Siapa tahu ada kejutan dari Tuhan untuk kita. Selamat mencoba!

Gambiran, 30 Juni 2013.

Thursday, June 27, 2013

Masa Depan Presidensialisme; Berharap Pada Setgab yang Gagap

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah tegas menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.  Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak kunjung mendepak PKS dari kabinet. PKS pun tidak menunjukkan kejelasan sikap apakah akan menarik tiga kadernya di kabinet SBY jilid II ataukah menyerahkan sepenuhnya pada sikap politik SBY. Apa yang salah dengan format setgab koalisi dan hubungannya dengan sistem pemerintah presidensial yang dianut UUD 1945 hasil amandemen?

Sebelumnya, pada RUU Kamnas yang kini sedang diajukan Pemerintah kepada DPR, hal serupa juga terjadi. Hanya saja kali ini bukan PKS yang tegas melawan sikap pemerintah (kemenhan) melainkan PPP yang menentang keras RUU Kamnas inisiatif Pemerintah. Hanya saja manuver PPP dalam RUU Kamnas ini tidak terpublikasi luas sebagaimana halnya PKS yang menjadi bulan-bulanan media karena memilih opsi yang berseberangan dengan Pemerintah dan setgab koalisi. 

Sejak dibentuk pada 15 Oktober 2009, harus diakui format koalisi parpol pendukung pemerintah adalah bentuk kegagapan politik dan sistem pemerintahan yang berjalan selama ini. Meskipun format koalisi sudah ditata ulang menjadi Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Politik Pendukung Pemerintah yang dipimpin Aburizal Bakrie (dari Partai Golkar), tetap saja kegagapan itu tak kunjung sirna. Kegagapan serupa terus terjadi meskipun butir-butir kesepakatan koalisi telah dilakukan pembaruan pada Mei 2011. kala itu Golkar dan PKS membangkang dan memilih berada di luar sikap barisan mayoritas anggota setgab dalam penggunaan hak angket soal pajak. 

Butir kesepakatan baru ditegaskan bahwa: ”Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, maka parpol yang bersangkutan mengundurkan diri dari koalisi partai dan selanjutnya menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden untuk mengambil keputusan menyangkut keberadaan perwakilan partai yang berada dalam kabinet.” Diktum kesepakatan ini sekilas mengaburkan sistem pemerintah presidensial. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi?

Presidensialisme yang Berbasis Konstitusi Legislative Heavy


Sudah jamak diketahui bahwa konstitusi hasil amandemen adalah konstitusi yang terlalu menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif atau DPR. Boleh disimpulkan bahwa pembentukan setgab koalisi adalah respon SBY (Partai Demokrat) atas realitas konstitusi yang memberikan porsi kewenangan sangat kuat kepada DPR. Meskipun Partai Demokrat memenangkan Pemilu, namun jumlah kursi PD di DPR belumlah cukup dalam mengawal setiap kebijakan yang diambil Pemerintah. Alhasil, SBY yang terpilih sebagai Presiden dengan kemenangan sangat signifikan tak bisa berbuat banyak tanpa dukungan dari barisan partai lain di luar Demokrat.

Dalam perspektif konstitusi, memang tidak ada satupun pasal dalam UUD 1945 hasil amandemen menegaskan bahwa sistem presidensial adalah sistem pemerintahan yang dianut Indonesia. Pemahaman sistem presidensial tersebut hanya disarikan dari penafsiran terhadap pasal demi pasal dalam UUD 1945. 

Salah satu pasal yang menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial adalah pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Un­dang Dasar 1945 dimana Presiden merupakan kepala eksekutif, sedangkan menteri-menteri adalah pembantu Presiden.

Von Martinheim berpendapat bahwa sistem presidensial memiliki ciri sebagai berikut;
1. Adanya pemilihan presiden yang kemudian berwenang menjalankan pemerintahan (popular elections of the Presiden who directs the goverenment and makes appointments to it.)
2. Adanya periodeisasi jabatan yang jelas ( fixed terms of offices for the Presiden and the assembly, neither or which can be brought down by the other (to forestall arbitrary use of powers).
3. Tidak bersentuhan posisinya dengan keanggotaan di eksekutif dan legislatif. (no overlaping in membership between the executive and the legislature.)

Jimly Asshiddiqie dalam buku “Sruktur Ketatanegaraan Indonesia" mengatakan bahwa presidensialisme lazimnya bercorak;

(1) Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan esekutif negara yang tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar. 
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilih. 
(3) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi.
 (4) Para menteri adalah pembantu Presiden. 
(5) Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem Presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintah, ditentukan pula masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Kelima ciri tersebut merupakan ciri sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan.

Sayangnya, pemurnian sistem presidensial Indonesia yang digadang-gadang melalui amandemen konstitusi menemui kebuntuan konstitusional sebab UUD 1945 terlalu memberi porsi kewenangan yang amat luas dan kuat kepada lembaga legislatif dalam hal ini DPR. Alhasil, pemerintahan presidensial Indonesia berkutat pada penyeimbangan kekuasaan yang dimiliki presiden dengan peta kekuataan politik di DPR. Presiden dalam mengangkat menteri-menteri misalnya tidak bisa semaunya dan terpaksa melalukan kalkulasi politik dengan peta kekuatan partai di DPR. 

Hal itulah yang dialami oleh SBY dalam pemerintahan jilid II-nya. Koalisi merupakan formula yang kemudian membuat SBY tersandera dengan kepentingan politik yang multi-dimensi dari partai-partai politik. Memang pengangkatan dan pemberhentian menteri adalah hak proregatif SBY selaku Presiden, namun SBY tidak bisa menutup mata dengan peta partai politik yang mengharuskannnya mengikutkan anggota partai koalisi (elit partai di luar partai SBY sendiri) untuk bergabung ke dalam kabinet. Itulah kenapa juga SBY tidak bisa berbuat apa-apa terhadap PKS ketika PKS membangkang terhadap kebijakan setgab koalisi yang dimotori SBY untuk menaikkan harga BBM.

Gambiran, 28 juni 2013.
Wallahua'lam bisshowab.
(to be continued)


Friday, June 7, 2013

[The Problem of Presidential-Multiparty System] Hanta Yudha Jakarta | Opinion | Tue, August 03 2010

The discourse on the need to increase the level of parliamentary threshold — the minimum threshold that is required to gain seats in the parliament — from 2.5 percent in the 2009 legislative elections to 5 percent in the 2014 elections in the revised elections law has been increasingly discussed.

The main argument to increase the parliamentary threshold is to simplify the number of political parties, while at the same time improving the quality of democracy and the effectiveness of the presidential government.The problem is that the extreme multiparty system is considered as one culprit that inhibits the workings of the presidential government and disrupts the quality of democracy.

This condition raises important questions. First, how does the fragmented multiparty system influence the political stability and the work of the presidential system in Indonesia? Juan Linz and Arturo Velenzuela (1994) build an interesting thesis that the presidential system  applied over a multiparty political structure tends to result in a conflict between presidential and parliamentary institutions and will present an unstable democracy.

This view is also strengthened by Scott Mainwaring and Matthew Soberg Shugart (1997), who believe that this combination will give birth to a minority president and a divided government, a condition in which the president is very difficult to get political support in the parliament. In 1998, the reform has led to democracy and  the purification of the presidential system in Indonesia. 

However, the formulation of the purer presidentialism  mandated is also difficult to implement when it is combined with the multiparty political structure.The combination of the vulnerable presidential system and the multiparty system had been proven strong enough in the five years of the administration of Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) — Jusuf Kalla (JK), as well as in the one-year of the era of the SBY-Boediono administration.

At least, there are three political facts that portrait the instability and vulnerability of the government. First, the control of the parliament over the government is so strong,  so the policies of the President is very difficult  to gain political support in the parliament. The questionnaire rights and the threat of withdrawing support for example have always been tools for the parties in the House to negotiate with the President. The second fact, in the process of forming and reshuffling the Cabinet, the political parties — especially the parties in the House of Representatives — have cut the prerogative right of the President to intervene. The third fact, the support of the government coalition of political parties is not effective. 

Although quantitatively the percentage of a coalition of parties supporting the government is very high — 75 percent of the seats in the House — it is very fragile and easily cracked. The Bank Century case becomes the clearest portrait of the fragility.This political reality is proof of the vulnerability of the combination of presidential and multiparty systems. Moreover, the personality and leadership style of Yudhoyono are ones that are compromising and accommodating.

This is what has caused the presidentialism in the era of the SBY-JK and SBY-Boediono administrations be run half-heartedly (the half-hearted presidentialism). Then, is there any compromise that still allows the establishment of parties and that ensures the government runs effectively and stable? The multiparty extreme (the high number of political parties), as it is now, needs to be pushed into a simple multiparty system, especially in regards to the number of parties in the parliament, on a daily basis, the President deals with the parties in the parliament, not the parties participating in the elections. 

Therefore, what needs to be simplified is the number of parties in the parliament, not the number participating in the elections, to guarantee democracy and freedom.At least, there is a five-tiered strategy of simplifying the parliament through institutional engineering: to apply the district electoral system (plurality/majority system) or mixed systems (mixed proportional); to minimize the number of electoral districts (district magnitude); to apply the threshold of seats in the parliament (parliamentary threshold); to simplify the number of factions in the parliament through the tightening of requirements for the formation of a faction (factional threshold), as well as making regulations to be directed to the formation of two political blocs (supporters and opposition).
The implementation of the electoral system — the First Past The Post system (FPTP), in which one representative is elected from each electoral district — based on proven experience of some countries will limit the number of parties.

An alternative solution if the district system still experiences resistance is to combine the district system and the proportional to become the mixed system. The German experience provides some lessons that are interesting enough for Indonesia. Strategies to reduce the scope of electoral districts will also be a catalyst toward the simplification of political parties. Because the smaller the scale of electoral districts and the less number of seats contested, the smaller also the opportunity for small parties to gain seats.

The increase of the parliamentary threshold in the 2014 elections will also simplify the parliament. If the parliamentary threshold, is consistently applied, the number of political parties will continue to decrease until the ideal number, approximately five political parties in parliament. After that, the need to simplify the number of factions through the tightening of requirements for the formation of factions.

Ideally, there are only about three or four factions in the House so that the government can run more effectively. The next stage, the factions in the House need to be engineered institutionally into the “two- party system” in the parliament, that is, the two blocs of permanent coalitions in the parliament, the coalition government and opposition supporters. The main objective is to simplify the polarization of political forces in the parliament to make the political process more efficient and stable.


Hanta Yuda A.R., Jakarta | Opinion | Tue, August 03 2010
The writer is a political analyst at The Indonesian Institute.

[PS: For Constitutional Law IP Students, Submit your summary based on this article. Due date is 28 of JUne 2013]