Wednesday, December 10, 2014

[Pelantikan Digugat ke PTUN] Aktual.co


"Nanti hasil PTUN apa ya itu yang kita sepakati. Kita ngga mau ambil jalur 'liar'. Jadi menunggu Keppres turun karena sekarang belum dapat"


Jakarta, Aktual.co —Meskipun Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kemarin sudah dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Gubernur definitif, namun Fraksi Koalisi Merah Putih (KMP) di DPRD DKI tetap akan memperkarakan proses pelantikannya.

Besok, mereka akan mengirimkan surat gugatannya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Surat itu saat ini sedang digarap oleh dosen tata negara UII Yogyakarta Masnur Marzuki.

Ketua Presidium Koalisi Merah Putih (KMP) M. Taufik mengatakan gugatan akan mereka layangkan setelah mereka mengantongi surat Keputusan Presiden (Keppres) pelantikan Ahok.

"Nanti hasil PTUN apa ya itu yang kita sepakati. Kita ngga mau ambil jalur 'liar'. Jadi menunggu Keppres turun karena sekarang belum dapat," ujarnya di DPRD DKI Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (20/11).

Untuk proses gugatan atas pelantikan Ahok yang dianggap cacat prosedur itu, mereka juga sudah menyiapkan pengacara. "Yakni Pak Ilham Buana Bintang."

Selain surat pelantikan Ahok, bukti lain yang akan mereka sertakan di gugatan yakni surat dari Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan tertanggal 28 Oktober lalu ke pimpinan DPRD DKI.

"Karena konflik utama memang dimulai dari munculnya surat itu," ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana dari Fraksi PPP.

Bukti lainnya, yakni kesepakatan bersama para pimpinan DPRD DKI dalam rapat pimpinan untuk menunggu keputusan Mahkamah Agung lebih dulu untuk tafsiran atas Perpu no 1 tahun 2014. Yang ternyata malah ditahan Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi.

"Itu dilanggar (Prasetyo). Karena kesepakatan bersama kan itu ditandatangani untuk DPRD sambil menunggu putusan MA."
Sumber:

Wednesday, December 3, 2014

[Penggantian Busyro Ditunda Artinya Bangkang Putusan MK] Okezonenews.com


JAKARTA - Salah satu pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, akan habis masa jabatannya pada 10 Desember 2014. Namun, DPR belum menindaklanjuti penyeleksian pimpinan KPK berikutnya, karena konflik internal antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Di tengah 'macetnya' penyeleksian tersebut, empat pimpinan KPK lainnya berpendapat sebaiknya posisi Busyro dibiarkan kosong. Lembaga anti-rasuah itu menyarankan pergantian dilakukan pada 2015, bersamaan dengan pergantian empat lainnya.

Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, menilai saran KPK justru bertentangan dengan amanat rekruitmen dan pengangkatan pimpinan KPK yang bergulir sejak awal.

Terlebih, Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Hukum dan HAM, sudah memberikan dua nama calon, yakni Busyro Muqoddas (Pimpinan KPK periode 2010-2014) dan Roby Arya Brata (Staf Ahli Sekretaris Kabinet) pada 16 Oktober lalu.

"Pimpinan KPK tidak boleh pincang hanya karena ketegangan politik internal antara KIH dan KMP. Apalagi Komisi III sudah rapat kerja dengan Menkumham, sebagai bukti DPR sudah bekerja," ujarnya di Jakarta, Rabu (3/12/2014).

Penundaan tersebut juga berpotensi menjadi bentuk pembangkangan atas putusan MK pada Juni 2011 ketika Busyro pertama kali diangkat menjadi pimpinan KPK usai menggantikan kepemimpinan Antasari Azhar.

Untuk diketahui, Busyro Muqoddas menggantikan posisi Antasari pada 2010 yang masa jabatannya habis setahun kemudian. Namun oleh MK, masa jabatan Busyro tetap berlaku selama empat tahun atau berakhir tahun ini.

"DPR tetap memiliki legalitas konstitusional untuk menerukskan proses pemilihan pengganti pimpinan KPK," pungkasnya. (fmi)

Sumber:

http://news.okezone.com/read/2014/12/03/337/1073877/penggantian-busyro-ditunda-artinya-bangkang-putusan-mk

[Haram Hukumnya jika Revisi UU MD3 Hanya untuk Berbagi Kursi] Okezonenews.com


JAKARTA - Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dijadwalkan selesai pada 5 Desember 2014. Salah satu tujuan revisi tersebut adalah untuk menuntaskan konflik di DPR antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Menurut pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, Badan Legislasi (Baleg) harusnya melibatkan banyak pemangku kepentingan termasuk MPR, DPD, dan DPRD dalam pembahasan tersebut.

"Walaupun tidak ada kewajiban konstitusional melibatkan para pemangku kepentingan seperti MPR, DPD, dan DPRD, tidak ada salahnya DPR mendengarkan masukan dari DPD dan DPRD," ujar Masnur di Jakarta, Senin (1/12/2014).

Alasannya, banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan melalui revisi UU MD3 selain menengahi konflik antara dua kubu koalisi di DPR. Pertama, mengadopsi putusan MK khususnya mengenai peran dan fungsi legislasi DPD RI dalam pengajuan RUU usul inisiatif dan pembahasan bersama RUU antara DPR-Pemerintah dan DPD.

Kemudian, merevisi norma tata cara Pemilihan Ketua DPRD yang tidak paralel dengan tata cara pemilihan Ketua DPR. "Kenapa Ketua DPR dipilih sementara Ketua DPRD ditetapkan dari Parpol pemenang. Ini aturan yang bertabrakan dengan prinsip kesatuan norma dalam NKRI," tambahnya.

Ketiga, adalah norma pelibatan aktif DPD dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas). Sehingga momentum revisi UU MD3 bisa mewujudkan tata kelola parlemen yang berimbang dan akuntabel sesuai prinsip & mekanisme check and balances.

"Revisi UU MD3 haram hukumnya jika hanya dimaksudkan untuk mengakomodir upaya bagi-bagi kursi pimpinan Alat Kelengkapan Dewan di DPR," pungkasnya.

Sumber;
http://news.okezone.com/read/2014/12/01/337/1073146/haram-hukumnya-jika-revisi-uu-md3-hanya-untuk-berbagi-kursi

[Pengamat: Jangan Hambat Seleksi Pimpinan KPK] Media Report Aktual.co


Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengatakan tidak ada alasan tunda pemilihan calon pimpinan KPK.

Jakarta, Aktual.co — Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengatakan tidak ada alasan tunda pemilihan calon pimpinan KPK.

Menurut Masnur, publik akan mendukung penuh pemilihan calon pimpinan KPK segera dilakukan DPR tanpa harus menunggu tahun depan bersamaan dengan pimpinan KPK lainnya yang juga habis masa jabatannya.

"DPR harus menepikan konflik KMP-KIH demi mengisi lowongnya jabatan salah satu pimpinan KPK, Busyro Muqoddas yang berakhir 10 Desember 2014. Pimpinan KPK tidak boleh pincang hanya gara-gara ketegangan politik di DPR antara KMP dan KIH," kata Masnur Marzuki ,di Jakarta, selasa (2/12)

Mengingat, saat ini Komisi III DPR sudah melakukan raker dengan Menkumham sebagai bukti DPR sudah mulai bekerja.

Masnur menilai, Pilihan menunda pemilihan pimpinan KPK tersebut telah bertentangan dengan amanat rekrutmen dan pengangkatan pimpinan KPK yang sudah bergulir sejak awal.

Selain itu, kata dia, penundaan tersebut berpotensi menjadi bentuk pembangkangan atas putusan MK ketika Busyro Muqoddas pertama kali diangkat menjadi salah satu pimpinan KPK.

"Konflik KMP-KIH jangan sampai justeru menyandera proses rekrutmen dan pemilihan pengganti pimpinan KPK yang sudah terjadwal sejak awal, DPR tetap memiliki legalitas konstitusional untuk meneruskan proses pemilihan pengganti Wakil Pimpinan KPK," paparnya

Dia pun menambahkan pemilihan pemimpin KPK akan mubazir jika harus menunggu terbitnya perppu presiden menyikapi kemungkinan lowongnya salah satu kursi pimpinan KPK.

"Kalau sampai itu terjadi, ini preseden buruk bagi penegakan hukum dan agenda pemberantasan korupsi," pungkasnya.

Monday, December 1, 2014

[DPRD DKI Harus Menjelaskan Kepada Publik Mengenai Buruknya Pemerintah DKI Tahun Ini]


JAKARTA, Suarasenayan.com – Tahun 2014 merupakan tahun politik bagi Bangsa Indonesia. Karena ditahun ini pesta demokrasi digelar, yaitu pemilihan anggoya legislatif dan pelimilhan Presiden. Tanpa kecuali DKI Jakarta. Namun hendaknya Pemerintah Daerah tidak mengabaikan tanggung jawabnya dalam membangun kota Metropolitan.

“Tahun ini memang tahun politik tapi seharusnya mereka aparat Pemda bekerja maksimal. Kenyataannya hingga saat inj penyerapan anggaran hanya berkisar 28 persen. Ini artinya penyerapan anggaran terbiruk sepanjang 5 tahun.” Ungkap Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Universitas Islam Indonesia Masnur Marzuki kepada Suarasenayan.com.

Masnur juga menyayangkan adanya program yg dicanangkan tahun ini secara otomatis tidak berjalan.
“Program yang dicanangkan mereka mau diapakan dan dimana pertanggungjwaban Ahok sebagai Gubernur. Jika kondisinya seperti ini tentunya yang rugi masyarakat jakarta,” tegasnya.

Persoalan rendahnya penyerapan anggaran tahun ini nampaknya Gubernur DKI Jakarta lepas tanggung jawab dan menyalahi anak buahnya yang tidak benar bekerja.

“Ahok jangan hanya bisa lempar tanggung jawab dan menyalahkan anak buahnya karena semua adalah tanggung jawabnya sebagai Gubernur. Kalo boleh saya bilang sebenarnya tahun 2014 ini adalah auto pilot, tidak ada Gubernur pembangunan juga tetap berjalan,”ungkap Masnur.

Jika Ahok bisanya hanya lempar tanggung jawab sebaiknya akuntabilitas Ahok patut dipertanyakan dan DPRD DKI harus segera memanggil Ahok dan mempertanyakan tentang amburadulnya penyerapan tahun ini dan apa langkah Ahok disisa tahun anggaran ini pinta Masnur.

Setelah itu tambahnya,DPRD DKI harus menjelaskan kepada Publik tentang gagal dan buruknya penyerapan tahun ini. Bahkan Ahok jangan lupa terhadap kedudukan dan kepentingan masyarakat jakarta.

“Ahok harusnya jangan lupa dengan Prinsip Sallus Publica Suprema Legs. Dimana kepentingan rakyat itu adalah hukum tertinggi,” tegas Masnur.

Penulis. : Ricky Allen
Editor. : Andrian Setyo
 Sumber:

[Pembentukan Alat Kelengkapan Dewan Mandek, DPRD DKI Harusnya Malu]


Mandeknya pembentukan alat kelengkapan dewan, ujarnya, berpotensi besar mempengaruhi kinerja konstitusional DPRD sebagai wakil rakyat yang telah diberikan mandat pada Pileg 2014 lalu dan dilantik sejak 25 Agustus 2014.


Jakarta, Aktual.co —Pengamat hukum tata negara UII Yogyakarta Masnur Marzuki, menyayangkan masih mandeknya pembentukan alat kelengkapan dewan di DPRD DKI Jakarta.

Mandeknya pembentukan alat kelengkapan dewan, ujarnya, berpotensi besar mempengaruhi kinerja konstitusional DPRD sebagai wakil rakyat yang telah diberikan mandat pada Pileg 2014 lalu dan dilantik sejak 25 Agustus 2014.

Padahal, ada dua agenda besar di DKI yang harus diselesaikan DPRD melalui Alat Kelengkapan Dewan.

Pertama terkait penyusunan dan pembahasan RAPBD 2015. Dan yang kedua adalah pengisian jabatan Gubernur DKI yang masih lowong sepeninggal Joko Widodo yang melenggang ke Istana sebagai Presiden RI.

"Kedua agenda itu pun diperkirakannya akan terhambat pelaksanaannya," ujarnya saat dihubungi Aktual.co, Kamis (6/11).

Oleh karena itu, Masnur menilai mandeknya pembentukan Alat Kelengkapan Dewan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, dan harus segera dituntaskan dan disahkan.

"Kita menyayangkan berlarut-larutnya pengesahan ini," ujarnya.

Dia pun menyarankan ke-106 anggota DPRD DKI yang tak pernah absen menerima gaji dari APBD DKI sejak dilantik Agustus lalu, bisa berkaca pada DPRD di daerah yang justru sudah mulai bekerja sejak dilantik. Ujarnya, DPRD DKI seharusnya menjadi barometer DPRD daerah lain karen mengingat DKI adalah ibukota negara.

Ditambahkannya, jangan sampai DPRD DKI justru ditagih rakyat (civil society) karena tidak kunjung bekerja padahal setiap bulannya APBD sudah terpakai untuk membayar gaji wakil-wakil rakyat itu.

"Oleh karena itu ada baiknya setiap pimpinan fraksi di DPRD baik dari Koalisi Merah Putih (KMP) maupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bisa duduk satu meja menuntaskan pembentukan AKD DPRD DKI."

[Pengamat; Sidang Paripurna DPRD Melanggar Tatib]


Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki berpendapat seharusnya Paripurna DPRD tidak bisa diputuskan sepihak oleh Ketua DPRD saja, tanpa persetujuan dari keempat wakilnya.


Jakarta, Aktual.co —Tindakan Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi yang ngotot menyelenggarakan sidang paripurna DPRD DKI untuk mengumumkan persetujuan untuk pelantikan Plt Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI definitif, dianggap melanggar tata tertib DPRD.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki berpendapat seharusnya Paripurna DPRD tidak bisa diputuskan sepihak oleh Ketua DPRD saja, tanpa persetujuan dari keempat wakilnya.

"Ketua DPRD harusnya menghormati proses pengambilan keputusan pimpinan DPRD yang bersifat kolektif kolegial. DPRD bukan perusahaan atau CV yang bisa disetir sendirian. Ketua DPRD harus mengacu pada peraturan tata tertib DPRD yang telah disahkan sebagai aturan main selain Peraturan Pemerintah dan UU MD3," ujar Dosen Tata Negara UII tersebut, saat dihubungi Aktual.co, Jumat (14/11).

Dilanjutkan Masnur, jangan sampai publik menilai manuver Prasetyo sebagai Ketua DPRD hanya sebagai nafsu "kebelet" ingin mendudukkan Ahok jadi Gubernur DKI saja.

Padahal ada tugas lain yang lebih mendesak ketimbang mengumumkan posisi Gubernur. Yakni mengesahkan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DKI yang sampai saat ini masih terkatung-katung.

"Seharusnya DPRD baru bisa bekerja termasuk menyelenggarakan paripurna pelantikan gubernur definitif setelah Alat Kelengkapan Dewan sudah ditetapkan dan disahkan. Penyelenggaraan Pemerintahan dan pelayanan masyarakat akan terganggu bila AKD tak kunjung disahkan. Ketua DPRD tidak boleh menafikan keberadaan Tatib dan AKD yang tak kunjung ditetapkan sehingga kerja-kerja konstitusional DPRD DKI menjadi stagnan," pungkas Direktur Jakarta Monitoring Networks ini.

Seperti diberitakan sebelumnya, lewat sidang paripurna DPRD DKI hari ini telah menyatakan persetujuannya untuk mengumumkan pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI definitif sesuai arahan dari Kementerian Dalam Negeri.

"Dengan ini DPRD menyatakan setuju dilantiknya Plt Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama untuk dilantik menjadi Gubernur definitif, saya melakukan ini sesuai arahan kementerian dalam negeri," kata Ketua DPRD DKI, Prasetyo.

Namun sidang paripurna ini berlangsung tanpa persetujuan dari fraksi-fraksi DPRD yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Dan hanya dihadiri oleh Fraksi dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Sumber;

[Haram Hukumnya jika Revisi UU MD3 Hanya untuk Berbagi Kursi] Okezone.com


Senin, 1 Desember 2014 - 18:21 wib | Risna Nur Rahayu - Okezone

JAKARTA - Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dijadwalkan selesai pada 5 Desember 2014. Salah satu tujuan revisi tersebut adalah untuk menuntaskan konflik di DPR antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Menurut pengamat hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, Badan Legislasi (Baleg) harusnya melibatkan banyak pemangku kepentingan termasuk MPR, DPD, dan DPRD dalam pembahasan tersebut.

"Walaupun tidak ada kewajiban konstitusional melibatkan para pemangku kepentingan seperti MPR, DPD, dan DPRD, tidak ada salahnya DPR mendengarkan masukan dari DPD dan DPRD," ujar Masnur di Jakarta, Senin (1/12/2014).

Alasannya, banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan melalui revisi UU MD3 selain menengahi konflik antara dua kubu koalisi di DPR. Pertama, mengadopsi putusan MK khususnya mengenai peran dan fungsi legislasi DPD RI dalam pengajuan RUU usul inisiatif dan pembahasan bersama RUU antara DPR-Pemerintah dan DPD.

Kemudian, merevisi norma tata cara Pemilihan Ketua DPRD yang tidak paralel dengan tata cara pemilihan Ketua DPR. "Kenapa Ketua DPR dipilih sementara Ketua DPRD ditetapkan dari Parpol pemenang. Ini aturan yang bertabrakan dengan prinsip kesatuan norma dalam NKRI," tambahnya.

Ketiga, adalah norma pelibatan aktif DPD dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas). Sehingga momentum revisi UU MD3 bisa mewujudkan tata kelola parlemen yang berimbang dan akuntabel sesuai prinsip & mekanisme check and balances.

"Revisi UU MD3 haram hukumnya jika hanya dimaksudkan untuk mengakomodir upaya bagi-bagi kursi pimpinan Alat Kelengkapan Dewan di DPR," pungkasnya.

(ris)

Sumber:

[Pakar Tata Negara Sebut Pelantikan Ahok Cacat Hukum]

Gugatan yang dilayangkan Koalisi Merah Putih (KMP) DKI Jakarta terhadap pelantikan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dinilai sudah tepat. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) pun diharap segera memproses gugatan itu.

Jakarta, Aktual.co — Pakar hukum tata negara Masnur Marzuki mengatakan, pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI memang cacat hukum formil karena tidak ada dasar hukum pengangkatan gubernur melalui Peraturan Presiden (Perpres).

"Sebagaimana diamanatkan Perppu. Keppres pengangkatan Ahok adalah bukti Presiden telah memberi pelajaran buruk tata kelola pemerintahan dan kepatuhan pada UU/Perppu," kata Dosen Tata Negara UII Yogyakarta tersebut, ketika dihubungi aktual.co, Minggu (23/11).

Dia menjelaskan, seharusnya payung hukum teknis baik Peraturan Pemerintah maupun Perpres pengangkatan dan pelantikan gubernur diterbitkan terlebih dahulu sebelum dilantiknya Gubernur DKI Jakarta definitif. Apalagi pelantikan Ahok adalah pelantikan gubernur pertama dalam sejarah yang dilantik di istana sesuai amanat Perppu.

"Presiden seharusnya arif dan bijaksana dalam mengaplikasikan aturan konstitusi dan UU. Pasca dilantiknya Ahok jangan heran akan muncul gugatan dari berbagai pihak yang melihat celah hukum menggugatnya ke PTUN seperti yang dilakukan KMP DKI," tandas Masnur.

Masnur memberi contoh kasus Keppres pengangkatan hakim konstitusi Patrialis Akbar yang pernah digugat ke PTUN oleh koalisi ornop karena menganggap Keppresnya dibuat dengan mengabaikan amanat UU.
"Nah, jangan sampai Keppres pengangkatan dan pelantikan Ahok akan bernasib serupa dengan Keppres pengangkatan hakim konstitusi Patrialis Akbar. Presiden harus jadi contoh penyelenggara negara yang tertib dan patuh pada aturan hukum," tukas Masnur.

Sumber:
http://www.aktual.co/jakartaraya/pakar-tata-negara-sebut-pelantikan-ahok-cacat-hukum

[Mendagri Tak Paham Aturan] Media Report Aktual.co


Pengamat hukum tata negara Masnur Marzuki menyatakan bahwa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tak paham penerapan aturan hukum dan prinsip hirarki hukum.

Jakarta, Aktual.co — Pengamat hukum tata negara Masnur Marzuki menyatakan bahwa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tak paham penerapan aturan hukum dan prinsip hirarki hukum.

"Apakah Mendagri tidak paham bahwa UU 23/2014 telah diubah melalui penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2014? UU Pemda no. 23/2014 telah diubah melalui terbitnya Perppu. Di saat yang sama Presiden juga terbitkan Perppu no. 1/2014," kata Dosen Tata Negara UII tersebut, ketika dihubungi aktual.co, Sabtu (15/11)

Menurut dia, Mahkamah Konstitusi juga sudah menolak memeriksa perkara uji materi dua UU tersebut karena mengingat sudah adanya Perppu Pilkada. Itulah sebabnya Perppu Pilkada juga dimohonkan gugatan judicial reviewnya ke MK.
Masnur mempertanyakan mengapa menteri dalam negeri Tjahjo Kumolo menganggap sidang paripurna DPRD DKI Jakarta tidak perlu kuorum, terkait pasal 79 (1) undang-undang 23 tahun 2014.

Hal tersebut dianggap sebagai kelucuan politik yang dilakukan Ketua DPRD DKI Jakarta pada jumat(14/11) kemarin.

"Soal syarat kuorum DPRD pada paripurna DPRD DKI kemarin adalah bentuk kelucuan politik karena kabarnya paripurna hanya membacakan surat Mendagri yang dasar hukumnya masih jadi polemik apakah mengacu pada Pasal 203 ataukah Pasal 174 Perppu Pilkada yakni Perppu No. 1 Tahun 2014. Peristiwa kemarin belum pernah terjadi dalam sejarah politik Indonesia dan menjadi polemik ketatanegaraan," kata dia.

Selaku Mendagri, Tjahjo diminta berhati-hati mengeluarkan kebijakan dan pernyataan apalagi pernyataan tersebut memiliki dampak politik dan dampak hukum. Mendagri memaksa diberlakukannya Pasal 203 Perppu Pilkada sebagai Dasar hukum penetapan Ahok dan mengabaikan Pasal 174 yang kekuatan normanya sama dengan Pasal 203.

Sebelumnnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa pengesahan plt gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama sebagai gubernur memakai dasar hukum Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 tentang pilkada yang baru disahkan oleh DPR.

"Sidang paripurna DPRD DKI (pengumuman Ahok) tidak perlu quorum karena bukan pengambilan keputusan sesuai pasal 79 (1) UU 23 tahun 2014," kata Tjahjo Kumolo kepada Aktual.co, Jum'at (14/11).

Friday, October 24, 2014

[Masnur Marzuki: Gubernur DKI Jakarta Dipilih DPRD]



Publicapos.com - Pengamat hukum tata negara UII Yogyakarta, Masnur Marzuki menafsirkan, jika mekanisme pergantian Gubernur DKI Jakarta dilakukan melalui pemilihan oleh DPRD. Hal itu sebagaimana tersirat Perpu Nomor 1 tahun 2014, Pasal 174 ayat (2) yang menjelaskan, bahwa gubernur yang berhenti atau diberhentikan dan sisa jabatannya lebih dari 18 bulan maka proses penggantiannya dilakukan oleh DPRD.

"Perpu No.1 Tahun 2014 sudah sah dan ditandatangani oleh mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono, artinya Perpu itu sudah bisa digunakan, dan semestinya untuk Gubernur DKI Jakarta bisa segera di pilih melalui DPRD," kata Masnur Marzuki, di Kebon sirih, Jakarta Pusat, Kamis (23/10)

Dengan diterbitkanya Perpu tersebut, Plt Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bakal terhambat untuk menempati kursi gubernur secara sah demi hukum. Menurut Masnur Marzuki, untuk melaksanakan Perpu itu tidak usah menunggu di sahkan oleh DPR, sebab Perpu itu sudah ditandatangan oleh presiden saat itu.

Menurutnya, jika dibiarkan lebih lama kekosongan gubernur DKI Jakarta maka salah satunya berdampak pada terganggunya pelayanan sosial atau pun menganggu penyerapan anggaran.

"DPRD secepatnya harus menggelar rapat paripurna untuk membahas Perpu itu, sebab tidak boleh ada ke vakuman hukum," katanya.

Gubernur DKI Jakarta sempat mengalami kekosongan dan digantikan oleh wakil gubernur menjadi pejabat sementara. Seperti diketahui bersama, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengundurkan diri dari jabatanya karena terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.(Dedy)


Sumber: http://www.publicapos.com/nasional/2481-masnur-marzuki-gubernur-dki-jakarta-dipilih-dprd#.VEi43k7YutA.twitter

[Ahok Tak Otomatis Jadi Gubernur Gantikan Jokowi]



JAKARTA - Perjalanan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi orang nomor satu di DKI menggantikan posisi Joko Widodo (Jokowi) yang kini sudah menjadi Presiden RI, dinilai tak akan berjalan mulus.

Pasalnya sesuai Perppu Nomor 1 Tahun 2014 pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati, melalui sidang paripurna DPRD.

Demikian disampaikan Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Masnur Marzuki kepada Okezone, Kamis (23/10/2014).

Dia menerangkan secara rinci pemilihan kepala daerah lewat DPRD tertuang dalam Pasal 174 ayat (2) Perppu tersebut.

"Dalam pasal itu disebutkan apabila sisa masa jabatan gubernur berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan di atas 18 bulan, makan dilakukan pemilihan gubernur melalui DPRD provinsi," terangnya.

Sementara dalam Pasal 174 ayat 2 tercantum bahwa gubernur hasil pemilihan melalui DPRD provinsi meneruskan sisa masa jabatan gubernur yang berhenti atau yang diberhentikan. Dia menambahkan, dalam Pasal 199 Kententuan Lain-Lain, ketentuan dalam undang-undang itu juga berlaku bagi penyelenggara pemilihan di daerah khusus seperti Aceh, DIY, termasuk DKI.

Menurutnya, kondisi tersebuat membuat Ahok sulit menjadi Gubernur DKI definitif. Apalagi, dia saat ini tidak bernaungan di bawah partai setelah memutuskan keluar dari Partai Gerindra. "Ya bisa saja dia menyesal keluar dari partai pengusungnya dulu," ujar Masnur.

Masnur menambahkan, UU Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan DKI yang merupakan lex specialis pun tak bisa dijadikan pegangan. Alasannya, undang-undang itu tidak mengatur khusus mengenai mekanisme pergantian jabatan gubernur dan wakil gubernur baik berhenti maupun diberhentikan.

"Oleh sebab itu, norma dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dijadikan payung hukum untuk menentukan pengganti Gubernur DKI Jakarta definitif," pungkasnya.

Sumber; http://news.okezone.com/read/2014/10/23/338/1056228/ahok-tak-otomatis-jadi-gubernur-gantikan-jokowi

[Jalan Terjal Basuki Gantikan Posisi Jokowi]



Jakarta, BeresNews.com - Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Masnur Marzuki memperkirakan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan menemui jalan terjal untuk menggantikan posisi Joko Widodo sebagai orang nomor wahid di Ibu Kota.

Menurut Masnur, Perppu Nomor 1 Tahun 2014 pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati, secara tegas dikatakan melalui sidang paripurna DPRD. Dia menerangkan secara rinci pemilihan kepala daerah lewat DPRD tertuang dalam Pasal 174 ayat (2) Perppu tersebut.

"Dalam pasal itu disebutkan apabila sisa masa jabatan gubernur berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan di atas 18 bulan, makan dilakukan pemilihan gubernur melalui DPRD provinsi," terangnya.

Sementara dalam Pasal 174 ayat 2 tercantum bahwa gubernur hasil pemilihan melalui DPRD provinsi meneruskan sisa masa jabatan gubernur yang berhenti atau yang diberhentikan. Dia menambahkan, dalam Pasal 199 Kententuan Lain-Lain, ketentuan dalam undang-undang itu juga berlaku bagi penyelenggara pemilihan di daerah khusus seperti Aceh, DIY, termasuk DKI.

Menurutnya, kondisi tersebuat membuat Ahok sulit menjadi Gubernur DKI definitif. Apalagi, dia saat ini tidak bernaungan di bawah partai setelah memutuskan keluar dari Partai Gerindra. "Ya bisa saja dia menyesal keluar dari partai pengusungnya dulu," ujar Masnur.

Masnur menambahkan, UU Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan DKI yang merupakan lex specialis pun tak bisa dijadikan pegangan. Alasannya, undang-undang itu tidak mengatur khusus mengenai mekanisme pergantian jabatan gubernur dan wakil gubernur baik berhenti maupun diberhentikan.

"Oleh sebab itu, norma dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dijadikan payung hukum untuk menentukan pengganti Gubernur DKI Jakarta definitif," pungkasnya.




Sumber; http://www.beresnews.com/menu-detail-artikel.php?idart=6087&diel=c0870e93e231972010abaa21c169533d

Thursday, September 11, 2014

[Hina DPRD, Ahok Bisa Dimakzulkan]

JAKARTA - Pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menuding anggota DPRD sebagai tukang palak bisa berujung pemakzulan.
 
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, menyebut pernyataan Ahok mengenai  DPRD sebagai tindakan contempt of parliament atau penghinaan terhadap institusi parlemen yang berdampak pada konsekuensi hukum dan politik.
 
Konsekuensi hukum bisa muncul ke permukaan bila anggota dewan mengadukan Ahok ke polisi atas tudingan penghinaan. Sedangkan konsekuensi politik, Ahok bisa dimakzulkan sesuai Pasal 29 ayat 1 dan 2 UU Nomor 32 tahun 2004.
 
"Dalam undang undang itu disebut, kepala daerah dan wakil berhenti karena tiga hal, meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan. Nah, kepala daerah  dapat diberhentikan karena melanggar sumpah jabatan, korupsi, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah, salah satunya melakukan perbuatan tercela," ujar Masnur kepadaOkezone, Kamis (11/9/2014).
 
Masnur mencontohkan, nasib mantan Bupati Garut, Aceng Fikri sebagai korban pemakzulan karena perbuatan tercela. "Aceng dimakzulkan karena dianggap melecehkan perempuan. Nasib serupa bisa didapat Ahok karena pernyataannya yang menghina DPRD," tambah Masnur.
 
Menurut Masnur, tindakan Ahok yang terkesan memusuhi DPRD dapat menganggu roda pemerintahan di daerah yang ia pimpim. Apalagi DKI Jakarta memiliki Undang Undang Nomor 29 tahun 2009 tentang Pemerintahan DKI Jakarta.
 
"Inti dari Undang-Undang tersebut, gubernur, wakil gubernur dan DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah. Jadi kalau hubungan antara keduanya buruk, bisa mengganggu jalannya pemerintahan. Otonomi di DKI diletakkan di tingkat provinsi. Beda dengan pelaksanaan otonomi di luar DKI dimana otonomi diletakkan di kabupaten dan kota," pungkas Direktur Internasional Program FH UII tersebut.
 
Pernyataan 'nyeleneh' Ahok terhadap kinerja DPRD terlontar seiring tengah digodoknya RUU Pilkada di Senayan. Ahok tak sepakat pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Bahkan Ahok sampai keluar dari Gerindra yang merupakan partai pendukung disahkannya RUU Pilkada tersebut.
(ful)

Sumber; www.okezone.com
http://news.okezone.com/read/2014/09/11/339/1037799/hina-dprd-ahok-bisa-dimakzulkan

Sunday, September 7, 2014

Politik Hukum Pengangkatan Hakim MK

Setelah kegaduhan lambatnya MK mengumumkan vonis tentang ”pemilu legislatif dan presiden serentak” kini MK kembali menimbulkan polemik terkait putusan atas perkara uji materi atau judicial review atas UU No 14 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK (UU/ Perppu MK). Kamis, 13/2, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Salah satu substansi UU Nomor 4 Tahun 2014 yang dibatalkan tersebut adalah menyangkut pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli.
Banyak pihak mengecam putusan MK tersebut. Komisioner KY, Imam Anshori Saleh bahkan mengatakan putusan tersebut sebagai tragedi penegakan hukum. Namun tak sedikit pula yang mendukung langkah MK membatalkan  UU Nomor 4 Tahun 2014 tersebut. Sebagai peradilan atas sistem hukum (court of law) putusan MK sudah tepat dan konstitusional termasuk soal dibatalkannya ketentuan pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli.
Pasca tertangkapnya mantan Ketua MK, Akil Mochtar, pengangkatan hakim konstitusi menjadi salah satu isu sentral yang disorot publik terutama transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses rekrutmen hakim konstitusi. UUD 1945 telah menggariskan bahwa perekrutan sembilan hakim konstitusi dilakukan melalui model split and quota yaitu memberi “jatah” Presiden, DPR dan MA untuk “mengajukan” tiga hakim konstitusi. Pasal 23C ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.”

Politik Hukum

Politik hukum adalah pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara. Dalam konteks mekanisme pengangkatan hakim konstitusi, politik hukum berarti sistem seperti apa yang diharapkan sehingga dapat mencapai tujuan utama kekuasaan kehakiman, yakni tegaknya hukum dan keadilan.
Politik hukum pengangkatan hakim konstitusi telah mengalami perkembangan yang cukup dramatis dan dinamis terutama setelah MK membatalkan UU 4/2014. Salah satu materi yang dibatalkan MK tersebut adalah perihal pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli oleh KY. Selain membatalkan UU tersebut, dalam amar putusannya, MK juga menegaskan berlakunya kembali Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sebelum terbitnya UU 4/2014, pengangkatan hakim konstitusi dilakukan tanpa terlebih dahulu diseleksi oleh panel ahli yang dibentuk KY. Seleksi hakim konstitusi dilakukan secara internal oleh masing-masing lembaga pengusul. Menindaklanjuti krisis MK pasca tertangkapnya Akil Mochtar, Pemerintah bersama DPR membuat terobosan hukum baru (legal policy) berupa kebijakan pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli KY sebagaimana ditentukan Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU 4/2014. Kini dengan dibatalkannya keseluruhan materi UU 4/2014, pengangkatan hakim konstitusi kembali ke format lama yakni diajukan masing-masing tiga orang oleh DPR, Presiden dan MA. 
Sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) MK sepertinya tidak mau ketinggalan untuk turut serta menentukan arah politik hukum pengangkatan hakim konstitusi. MK berpendapat bahwa pelibatan KY dalam membentuk panel ahli sebagaimana ketentuan dalam UU 4/2014 merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa hakim MK tidak terkait dengan KY yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945.
Jika dilihat dari substansi pengaturannya dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU 4/2014 keberadaan panel ahli yang dibentuk oleh KY memang lebih tepat dijadikan materi dalam pasal konstitusi atau UUD ketimbang hanya diatur sebatas pasal dalam undang-undang. Keputusan MK sudah tepat ketika memutuskan inskonstitusionalitas panel ahli dalam proses pengangkatan hakim konstitusi. Pasal 24B UUD 1945 yang mengatur kewenangan KY tidak menyebutkan sedikitpun tentang keberadaan panel ahli dalam pengangkatan hakim konstitusi. KY hanya berwenang mengusulkan calon hakim agung dan kewenangan lain yang ditentukan oleh undang-undang. Putusan MK tersebut seolah menyindir para elit di Senayan untuk segera merevisi (amandemen) UUD 1045 yang masih mengandung banyak kelemahan agar politik hukum pengangkatan hakim konstitusi memiliki kejelasan konstitusional (clear constitutional arrangements). Ke depan, MK tidak akan dapat lagi membatalkan ketentuan pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli KY jika ketentuan tersebut telah termaktub jelas dalam UUD.

Opened Legal Policy versus Negative Legislature

Mantan Ketua MK, Mahfud MD pernah mengatakan pengangkatan hakim konstitusi adalah materi yang bersifat ”opened legal policy”.  Artinya, materi-materi tersebut terkait masalah yang sepenuhnya menjadi wewenang lembaga legislatif untuk menentukannya. M. Fajrul Falakh dalam kesaksiannya sebagai saksi ahli dari Pemerintah dalam sidang pengujian UU 4/2014 juga mendalilkan bahwa suatu model proses perekrutan yudikatif (model of judicial recruitment process) dapat ditentukan dalam Undang-Undang (kebijakan politik atau legal policy).
Merujuk pada pendapat kedua pakar Hukum Tata Negara tersebut, keberadaan panel ahli dan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi panel ahli dalam UU 4/2014 ini dapat disimpulkan sebagai sebuah terobosan dalam proses pengisian hakim konstitusi. Karena itu, pembentukan panel ahli tidak dapat dimaknai sebagai bentuk upaya menambah kewenangan Komisi Yudisial (KY). Merujuk substansi dalam UU 4/2014, KY hanya "sebatas" memilih sebagian calon panel ahli. Lalu, Panel Ahli yang akan melakukan segala macam proses dalam menentukan calon Hakim Konstitusi. Dalam berbagai perspektif, desain yang dibuat UU 4/2014 adalah upaya untuk menjadikan proses pengisian calon Hakim Konstitusi lebih terbuka dan demokratis.
DPR sebagai pihak termohon mendalilkan bahwa ketentuan tentang panel ahli yakni Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU 4/2014 merupakan legal policy DPR bersama Pemerintah sebagai pembentuk Undang-Undang dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 dan untuk menghasilkan hakim-hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara sebagaimana diamanatkan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945.
Namun MK berkata lain. Menurut delapan hakim konstitusi, pembentukan panel ahli KY sebagai pintu pertama rekrutmen hakim konstitusi bertentangan dengan konstitusi yakni Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Selain itu, MK berpendapat bahwa keberadaa panel ahli bertentangan dengan filosofi yang mendasari perlunya hakim konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang berbeda. Hal ini didasari pada tafsir MK atas Pasal 24C UUD 1945 bahwa pasal tersebut memberikan kewenangan atributif yang bersifat mutlak kepada masing-masing lembaga negara mengajukan calon hakim konstitusi.
Terlepas dari apakah panel ahli dan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi panel ahli merupakan opened legal policy atau tidak, MK memiliki  tiga alasan dalam mengadili permohonan pengujian UU 4/2014 yaitu: pertama, tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan tersebut. Kedua, MK tidak boleh menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya. Ketiga, perkara tersebut merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi MK sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat.
Dalam banyak buku bacaan umumnya mencatat bahwa kewenangan MK dalam pengujian undang-undangan adalah sebagai negative legislature dan bukan menjadi positive legislature. Melalui putusan atas judicial review UU 4/2014, MK kembali menasbihkan dirinya sebagai peradilan konstitusi yang berwenang hanya sebatas membatalkan norma atau membiarkan norma dalam undang-undang berlaku (negative legislature). Hans Kelsen pernah mengatakan bahwa lembaga peradilan hanya berwenang membatalkan suatu undang-undang atau mengatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum. (... a court which is competent to abolish laws-invidually or generally- function as a negative legislator). Dalam kaitannya dengan UU 4/2014, DPR bersama Pemerintah telah menjalankan fungsinya sebagai positive legisator. Di lain poros, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, MK kemudian menganulir pemberlakuan UU 4/2014 dalam kapasitasnya sebagai negative legislator. Di sinilah mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan dapat jelas terlihat implementasinya secara paralel. 
Terlepas pro-kontra atas judicial riview UU 4/2014, publik tetap harus menghormati putusan MK membatalkan pemberlakuan UU tersebut. Bukankah sebagai peradilan konstitusi, MK diikat oleh keberadaan azas res judicata proveritate habetur bahwa putusan MK yang sudah berkekuatan hukum harus dianggap benar, bersifat mengikat sehingga harus diikuti dan dilaksanakan.#

[Pengamat Hukum Tata Negara UII Sepakat Pilpres Satu Putaran]

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 berlangsung satu putaran, masih asumsi meski hanya diikuti oleh dua pasangan calon. KPU masih harus melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak menyangkut pasal dalam Undang Undang yang mengatur pemenang pemilu.

Ketentuan pemenang pemilu tercantum dalam bunyi Pasal 6A ayat 3 UUD 1945, yaitu pasangan yang berhak dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dalam pemilu dengan sebaran 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Menyikapi itu, pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki, berpendapat Pilpres dengan dua peserta pasangan calon tak harusnya berlangsung dua putaran. Ini karena Pasal 6A ayat 3 serangkaian dengan Pasal 6A ayat 4.

Pasal 6A ayat 4 menyebut, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.   

"Karena norma Pasal 6A ayat 3 masih satu rangkaian dengan dengan Pasal 6A norma ayat 4. Nah, Pasal 6A ayat 4 terang-terangan menyatakan bahwa pemenang adalah yang memperoleh suara terbanyak. Untuk saat ini (terdapat dua pasangan calon), maka ketentuan 50 persen suara plussebaran 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi tidak berlaku," terangnya kepada Okezone, Senin (9/6/2014).

Dia juga berpendapat, KPU tidak bisa meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hal itu karena ketentuan Pasal 6A ayat 3 termaktub dalam Undang Undang Dasar."Fatwa MA memang bisa diminta, tapi dalam konteks meminta pendapat MA terkait penerapan norma yang dibuat oleh KPU melalui peraturan KPU," jelasnya.

Selain itu, upaya KPU meminta pendapat para ahli Hukum Tata Negara juga tidak perlu dilakukan karena hanya buang-buang anggaran dan energi. Ini lantaran pendapat para ahli tidak berlaku mengikat. "Lebih tepat ya mengajukan judicial review ke MK atas Pasal 159 ayat 1 Nomor 42 tahun 2008, hanya saja terlalu sempit waktu pengajuannya karena sudah menjelang Pilpres dan MK juga sibuk memutus sengketa Pileg," pungkasnya. (ris)


Sumber:  http://pemilu.okezone.com/read/2014/06/09/568/996225/pengamat-hukum-tata-negara-uii-sepakat-pilpres-satu-putaran

[Pimpinan DPR Tak Harus dari Parpol Pemenang Pemilu] | http://news.okezone.com/


JAKARTA - Sejumlah fraksi di DPR mengusulkan agar pimpinan dewan tidak otomatis berasal dari partai pemenang pemilu seperti yang berlaku selama ini, melainkan lewat mekanisme pemilihan. Wacana tersebut dibahas dalam revisi UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Menanggapi itu, dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Masnur Marzuki menyambut baik. Menurutnya otomatisasi pemenang pemilu menjadi pimpinan dewan bertentangan dengan nilai dan hak konstitusional anggota dewan sebagai wakil rakyat sekaligus wakil partai politik.

"Ketika terpilih menjadi anggota dewan, maka secara hukum setiap anggota dewan memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih tanpa membedakan posisi rangking partai hasil pemilu," ujarnya saat dihubungiOkezone di Jakarta, Kamis (5/6/2014).

Menurutnya, posisi pimpinan dewan memang sebaiknya ditentukan lewat mekanisme pemilihan terbuka di DPR, seperti yang terjadi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ini karena lembaga itu sama-sama perwakilan rakyat sehingga format pemilihan pimpinan juga selayaknya sama.

"Di MPR bisa terjadi pemilihan pimpinan secara terbuka seperti periode 2009-2014. Saat itu yang menjadi pemenang pemilu adalah Partai Demokrat tapi yang mengisi posisi ketua MPR justru kader PDI Perjuangan," terangnya.

Dia juga beranggapan, posisi pimpinan dewan yang secara langsung diisi oleh kader partai politik pemenang pemilu sangat bertentangan dengan demokrasi. "Intinya, format ketua dewan harus dari partai pemenang pemilu itu membajak esensi demokrasi dan melanggar hak konstitusional anggota dewan terpilih," tegasnya.

Disinggung kemungkinan akan terjadi polemik karena Fraksi PDI Perjuangan yang merupakan pemenang Pemilu 2014-2019 menolak usulan tersebut, ia tak menampik hal itu. Ini karena partai besutan Megawati Soekarnoputri itu jelas menjadi pihak yang paling dirugikan. 

"Tapi kabarnya mayoritas fraksi di DPR sepakat mengubah ketentuan (pimpinan dewan berasal dari partai pemenang pemilu) tersebut. Golkar dan PKS sudah bersikap secara terbuka," pungkasnya. (ris)

http://news.okezone.com/read/2014/06/05/339/994542/pimpinan-dpr-tak-harus-dari-parpol-pemenang-pemilu

Sunday, March 30, 2014

Pemilu Rawan Kecurangan, Sebaiknya Libatkan Mahasiswa

JAKARTA - Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 sudah memasuki masa kampanye. Tidak lebih dari tiga minggu ke depan, tepatnya 9 April, rakyat Indonesia dipersilahkan memilih wakil rakyat yang akan duduk di bangku legislatif. Tingkat kerawanan pun diprediksi akan tinggi dari pemilu sebelumnya. Hal ini disebabkan transparansi anggaran baik dari penyelenggara maupun pengawas serta partai politik peserta pemilu masih dipertanyakan.

Pengamat Pemilu yang juga Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Masnur Marzuki SH, LLM menyatakan potensi pelanggaran pemilu di Pileg 2014 sangat tinggi. Pelanggaran sudah terjadi pada masa penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), massa kampanye, dan nantinya proses pemberian dan pemungutan suara.

“Tingkat kerawanan yang dikhawatirkan ada di semua level atau tingkatan, dimana independent dan netralitas penyelenggara dipertanyakan,” katanya di Jakarta, Rabu (26/3/2014).

Menurut Masnur untuk meminimalisir kecurangan pemilu, perlu dilakukan peningkatan pengawasan di tingkat TPS dan Kecamatan selama proses pemberian hingga penghitungan suara berlangsung. Dari pengalaman pemilu sebelumnya, KPPS dan penyelenggara lainnya sering terlibat jual beli suara.

"Itu terjadi karena proses seleksi di tingkat TPS sudah didesain atau terskenario. Orang-orang yang duduk di tingkat penyelenggara sudah disusun dengan catatan orang yang duduk sebagai penyelenggara adalah orang yang bisa diajak bekerja sama oleh pihak tertentu dengan imbalan sejumlah uang atau janji," ungkapnya.

Biasanya, lanjut Masnur, penyelenggara di tingkat TPS dan seterusnya akan membantu mengamankan suara calon legislatif (caleg) di semua tingkatanm, bila memiliki hubungan keluarga atau lantaran imbalan. Makanya tidak heran bila nantinya ada caleg yang tidak melakukan kampanye dan kurang dikenal masyarakat tapi mendapatkan suara dan akhirnya duduk sebagai wakil rakyat.

“Biasanya, sebelum penghitungan suara atau dua hari sebelum pelaksanaan pemilu, KPU sudah ketemu dengan caleg yang membutuhkan suara di lobi-lobi hotel. Itulah yang disebut suara siluman dalam proses jual beli,” papar Masnur.

Kata Masnur, langkah yang harus dilakukan Bawaslu sebagai pengawas pemilu yakni dengan melibatkan universitas. Perlu dilakukan MoU dengan pihak kampus dengan melibatkan mahasiswa, apalagi Bawaslu saat ini kesulitan dalam hal pendanaan.
“Ya, formatnya seperti KKN (kuliah kerja nyata) lah untuk mahasiswa, sehingga dana bisa diminimalisir dan tingkat kecurangan bisa ditekan,” imbuhnya.

Hal yang sama disampaikan Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Dibandingkan pemilu 2004 dan 2009, tingkat pelanggaran di 2014 akan semakin tinggi. Beragam pelanggaran yang akan terjadi seperti mobilisasi pemilih, politik uang, dan jual beli suara saat proses rekapitulasi.

“Yang paling rawan itu jual beli suara saat rekapitulasi baik saat di TPS, Kecamatan maupun tingkat KPUD,” paparnya.

Alasannya, KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu mempunyai keterbatasan dan kedua lembaga tersebut tidak lagi memikirkan cara menutup atau memperkecil tingkat pelanggaran, tapi sudah fokus kepada distribusi dan penghitungan (rekapitulasi) suara nantinya.

“Peredaran uang sangat besar dalam pemilu ini. Banyak caleg yang berlatar belakang pengusaha maupun artis yang tidak mempunyai basis massa, sehingga kekuatan uang sangat berperan dan menetukan,” ujarnya.

Langkah yang harus dilakukan KPU untuk meminimalisir kecurangan, tekan Sebastian, dengan melakukan sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat untuk berperan aktif dalam melakukan pengawasan. Selain itu, meminta kepada peserta pemilu yakni partai politik untuk berlaku jujur dan adil dan mengedepankan aturan main. (ris)

 
Sumber: http://pemilu.okezone.com/read/2014/03/26/568/961200/pemilu-rawan-kecurangan-sebaiknya-libatkan-mahasiswa

Wednesday, February 5, 2014

Herman Center Akan Legowo Apapun Putusan MK [KATAKABAR]

Pekanbaru (katakabar) Menjelang penyampaian putusan MK atas persidangan gugatan Herman Abdullah pada Pilkada Riau putaran 2 yang akan dibacakan pada 21 Januari nanti, kedua belah kubu mengaku pasrah dan akan legowo dengan semua kemungkinan yang bakal terjadi. 

Ketua Herman Center, Masnur Marzuki mengatakan, jelang penyampaian putusan oleh MK pada Selasa (21/1) depan, pihaknya tetap optimis MK akan mengabulkan gugatan pasangan Herman Abdullah-Agus Widayat. Ia kembali merunut saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan, yang dianggap bisa memberikan keterangan yang cukup kepada hakim, bahwa memang terjadi pelanggaran dalam proses Pilkada Riau putaran kedua.

“Kita tetap optimis MK akan kabulkan permohonan kita. Karena berdasarkan saksi dan bukti-bukti yang kita hadirkan cukup menjelaskan kepada hakim bahwa terjadi pelanggaran oleh piohak terkait (Aman). Kita tak masalah seandainya MK memerintahkan PSU di 7 atau 8 kabupaten/kota saja, dari 11 yang kita ajukan (kecuali Kuantan Singingi). Bahkan kita juga mengajukan di daerah yang kita menangkan, Pekanbaru dan Kampar,” kata Masnur.

Masnur juga menyampaikan pesan Herman Abdullah sebelum keberangkatannya ke Pekanbaru pada Kamis kemarin. Menurut Masnur, Herman menyampaikan bahwa, Herman akan menghormati proses hukum seandainya MK menyatakan permohonannya ditolak.

“Pak Herman mengatakan akan legowo dan lapang dada menerrima keputusan MK, jika memang MK menolak permohonan tersebut. tapi beliau tetap optimis akan menang,” tutupnya.

Sementara itu, ketua tim advokasi pasangan Aman, Eva Nora mengatakan, apa pun yang akan diputuskan hakim nantinya, sebagai pihak terkait pihaknya juga akan siap menerima dua kemungkinan, diterima atau ditolaknya gugatan tersebut. Namun menurut Eva Nora, dengan runutan sidang, dari keterangan saksi-saksi yang dihadirkan ketiga pihak, pihaknya berharap hakim menolak gugatan tersebut.

“Bagaimana pun kita harus siap untuk diterima atau ditolaknya gugatan tersebut. Namun, dari fakta-fakta di persidangan, baik dari saksi pemohon, termohon, dan pihak terkait, kita harapkan MK dapat menolak permohonan tersebut. Karena menurut kami, keterangan saksi-saksi itu cukup mengungkapkan fakta-fakta yang sebenarnya,” tutupnya.

Sumber: http://katakabar.com/2014/01/18/herman-anas-mengaku-akan-legowo-apapun-putusan-mk