Wednesday, November 4, 2015

Pengamat: Ahok Panik BPK Temukan Kasus Sumber Waras [ SINDONEWS]



JAKARTA - Pakar Hukum dan Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, menilai sikap Ahok yang menuduh Kepala BPK DKI Efdinal tendensius merupakan bentuk ‎pembangkangan dan contoh buruk penyelenggara negara yang tidak menghormati kewenangan BPK.‎

Bahkan, Masnur menyimpulkan bahwa Ahok tengah panik menanggapi laporan dan temuan BPK dalam kasus Sumber Waras. Sehingga Ahok bertindak di luar kebiasaan dirinya yang biasa tergambar dalam perjalanan dirinya jadi Gubernur DKI.

"Biasanya kan pak Ahok yang dilaporkan kenapa sekarang dia yang main lapor-laporkan gitu?, Atau jangan-jangan memang ada potensi pelanggaran hukum dalam pembelian lahan itu?," ujarnya ketika dihubungi, Senin (2/11/2015).

Kepada penegak hukum, Masnur berharap agar dapat segera menyelidiki kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. (Baca: Ahok Tantang BPK DKI ke Pengadilan)

"Penegak hukum harus jeli dan jernih melihat kisruh RS Sumber Waras ini karena episentrum kasus ini harusnya murni soal hukum yang pangkalnya temuan BPK itu," pungkasnya.

source: http://metro.sindonews.com/read/1058314/171/pengamat-ahok-panik-bpk-temukan-kasus-sumber-waras-1446477197

Friday, October 23, 2015

Pengamat Soroti Kinerja Menteri Siti Soal Asap [RepublikaOnline]


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dinilai layak untuk masuk dalam reshuffle Kabinet Kerja tahap II yang diprediksi dilakukan Presiden Jokowi tak lama lagi. “Kinerja menteri dari Partai Nasdem ini relatif belum memuaskan. Layak di-reshuffle,” tegas pengamat politik Masnur Marzuki di Jakarta, Selasa (20/10).

Menurut dia, penanganan asap yang belum memuaskan turut menambah catatan rapor merah setahun pemerintahan Jokowi-JK. “Jangan lupa, persoalan asap yang kian belarut-larut telah merampok hak rakyat untuk menikmati udara yang sehat dan hidup yang layak sesuai amanah Konstitusi. Menteri Siti gagal dalam penanganan asap ini, belum lagi bicara mitigasi bencana,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Siti telah mengumumkan 10 entitas (perusahaan) dikenakan sanksi administrasi, meliputi paksaan pemerintah, pembekuan dan pencabutan izin. Hal itu menambah daftar sanksi terkait izin tiga perusahaan yang dibekukan dan satu dicabut. Sehingga, sudah ada 14 perusahaan yang diumumkan.

Siti hanya mengungkap jelas dua nama perusahaan yang mendapat sanksi pencabutan izin, sementara delapan lainnya hanya diumumkan inisial saja. Sanksi pencabutan izin adalah sanksi administrasi terberat dari KemenLHK.

Namun, langkah pengumuman tersebut dikritik anggota Komisi IV DPR Fraksi Golkar Firman Subagyo yang meminta pemerintah menunggu kepastian hukum, sebelum mengumumkan nama-nama perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran hutan dan lahan.

Pemerintah juga diharapkan tidak terjebak dalam euforia penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dengan memberikan opini terhadap korporasi yang belum ditetapkan bersalah. “Mengumumkan nama-nama korporasi yang belum menjalani proses peradilan, berpotensi merusak iklim investasi sekaligus tidak menyelesaikan persoalan kebakaran itu sendiri,” kata Firman.

1 Tahun Pemerintahan Jokowi | Masnur: Kabut Asap Menambah Rapor Merah Pemerintah [Media Report]

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Masnur Marzuki menilai, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)Siti Nurbaya memiliki kinerja yang belum memuaskan dan sepatutnya masuk dalam reshuffle Kabinet Kerja Tahap II.

“Kinerja menteri ini belum memuaskan. Layak di-reshuffle,” kata Masnur saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (20/10/2015).

Ia menilai, penanganan asap yang belum memuaskan turut menambah catatan rapor merah setahun pemerintahan yang ada.

“Jangan lupa, persoalan asap yang kian belarut-larut telah mengambil hak rakyat untuk menikmati udara yang sehat dan hidup yang layak sesuai amanah konstitusi. Menteri Siti gagal dalam penanganan asap ini, belum lagi bicara mitigasi bencana,” katanya.

Ia menyebut, kebakaran penyebab kabut asap juga terjadi di lahan hutan dan lahan negara. Atas logika ini, katanya, Kementrian LHK seharusnya juga ikut bertanggung jawab.

Seperti diberitakan, Menteri Siti Nurbaya telah mengumumkan 10 entitas (perusahaan) dikenakan sanksi administrasi, ada 3 kategori yaitu sanksi paksaan pemerintah, sanksi pembekuan dan pencabutan izin terkait pembakaran hutan dan lahan.

Sebelum pengumuman itu, diketahui izin dari 3 perusahaan dibekukan dan satu izin perusahaan dicabut. Secara keseluruhan, sudah ada 14 perusahaan yang diumumkan ke publik.

Monday, October 5, 2015

[Kabinet Kerja Jokowi Menjelma Jadi Kabinet "Gaduh"]

JAKARTA - Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, menyayangkan performance kabinet Presiden Joko Widodo yang menjelma dari Kabinet Kerja menjadi Kabinet "Gaduh". Menurutnya, kondisi itu sangat memperihatinkan di tengah melambatnya perekonomian Tanah Air.

"Alih-alih bekerja keras untuk melayani rakyat, kabinet yang dinamai Kabinet Kerja malah mewujud menjadi Kabinet Gaduh. Ini sungguh disayangkan. Tak heran banyak yang tadinya memilih Jokowi berbalik hilang harapan dan kecewa karena kegaduhan demi kegaduhan yang tercipta dari episentrum pemegang tahta," katanya saat dihubungi Okezone di Jakarta, Jumat (21/8/2015).

Menurutnya, pelambatan ekonomi yang turut dipengaruhi kondisi global serta lambannya kerja kabinet bisa jadi berpangkal dari suasana gaduh di tubuh kabinet. "Bagaimana negara ini diurus dengan baik dan kesejahteraan rakyat segera terwujud kalau kabinetnya hanya memproduksi kegaduhan?" sindir Masnur.

Dia berharap Presiden Jokowi tidak mengulang apa yang sudah terjadi sehingga gesekan di internal kabinet dapat diakhiri dan para menteri lebih fokus bekerja. Pasalnya, publik menanti betul janji-janji politik Jokowi-JK segera terealisasi.

"Kalau akhirnya para menteri sibuk dalam kegaduhan, kapan bisa bekerja untuk rakyat? Belum lagi kewibawaan pemerintah akan makin tercoreng nantinya. Investor pun makin khawatir karena stabilitas politik tidak kondusif," tambahnya.
Kabinet Jokowi memang kerap diwarnai polemik saling tuding dan saling serang di internal kabinet. Sebelumnya, Mendagri Tjahyo Kumolo menyebut ada menteri menjelekkan Jokowi di belakang. Terbaru, Menko Maritim Rizal Ramli yang baru dilantik bersitegang dengan Wapres dan Menteri BUMN.

"Kita sangat sayangkan kejadian ini. Di tengah badai cobaan ekonomi, kekompakan kabinet sejatinya jadi harga mati. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya," pungkasnya.
(ris)

[Perlu Penyempurnaan UUD Demi Parlemen Modern] Okezone.news.com

JAKARTA - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengatakan perlunya langkah revolusioner agar cita-cita parlemen modern dapat segera terwujud. Salah satunya adalah dengan melakukan penyempurnaan UUD.

“Agenda penataan sistem ketatanegaraan kita dalam mewujudkan parlemen modern memerlukan penyusunan road map atau peta jalan yang terstruktur dan terukur. Tentu hal ini hanya bisa dilakukan dengan penyempurnaan UUD. Jadi tidak cukup hanya dengan merevisi UU saja,” ujar Masnur kepada Okezone di Jakarta, Minggu (7/6/2015).

Dia juga mengatakan perlunya sikap kenegarawanan elit bangsa dalam menyikapi usulan penyempurnaan UUD 1945. “Saya kira sudah banyak yang menawarkan konsep penataan ketatanegaraan yang berdedikasi pada perbaikan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan khususnya soal format dan sistem parlemen modern. Kini tergantung MPR apa berkeinginan untuk duduk bersama mewujudkan gagasan parlemen modern yang efektif sabagai salah satu langkah penataan sistem ketatanegaraan Indonesia,” katanya.

Masnur juga mengingatkan MPR untuk tidak mengabaikan adanya keputusan atau rekomendasi yang telah ditetapkan MPR periode sebelumnya terutama berkaitan dengan penyempurnaan sistem ketatanegaraan Indonesia.

“Sampai sekarang Badan Pengkajian MPR belum begitu terdengar gaungnya di publik khususnya dalam menyuarakan agenda penataan sistem ketatanegaraan kita yang memang belakangan ini dihadapkan pada kompleksitas permasalahan. Bagaimanapun, MPR perlu dukungan publik untuk penyempurnaan konstitusi. Tanpa itu saya kira akan sulit,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, MPR periode lalu telah menghasilkan Keputusan MPR RI No. 4/MPR/2014 tentang Rekomendasi MPR RI periode 2009-2014. Rekomendasi MPR tersebut antara lain perlunya melaksanakan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945 dengan tetap berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara dan kesepakatan dasar untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan bentuk NKRI, mempertegas sistem pemerintahan presidensial serta melakukan perubahan dengan cara adendum.
(ris)

Wednesday, February 11, 2015

[Pembentukan Tim Independen Bukan Solusi Konflik KPK Vs Polri] DetikNews

Ray Jordan - detikNews

Jakarta - Pembentukan Tim Independen atau Tim 7 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memediasi konflik KPK dan Polri bukan memberikan solusi tetapi menambah polemik dan masalah menjadi rumit.

"Pembentukan tim independen bukanlah solusi tapi akan membuat polemik ini makin kusut dan berliku," tegas Pengamat Politik Masnur Marzuki di Jakarta, Selasa (27/1).

Menurutnya, terdapat beberapa alasan Tim Independen tak dibutuhkan. Pertama, belum ada dasar hukum yang jelas pembentukan tim tersebut apakah keppres atau dasar hukum teknis lainnya. "Karena bila tidak dibekali dasar hukum yang jelas, tim tidak akan efektif bekerja menggali fakta dan memanggil para pihak," katanya.

Kedua, Presiden seperti tidak belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa selama ini pengelolaan negara menjadi tidak efektif karena terlalu banyak tim-tim yang nomenklaturnya tidak jelas dan justru tumpang tindih dengan lembaga atau institusi yang sudah ada.

"Misalnya tim 7 ini 'kan nantinya ditunggu pertimbangan dan masukannya, sementara sudah ada Wantimpres yang juga secara konstitusional ditugasi memberi pertimbangan kepada Presiden. Akan lebih efektif Presiden mendengarkan tuntutan publik dan merespon cepat masalah ini agar krisis ketatanegaraan ini tidak berlarut-larut. Hulunya tetap pada Presiden. Apapun hasil kesimpulan tim independen ini, tetap saja putusan finalnya ada pada Presiden sebagai kepala negara," katanya.

Sebelumnya, Jokowi mengumpulkan sejumlah tokoh dan berencana membentuk Tim Independen untuk memediasi konflik KPK vs Polri. Langkah ini diluar harapan publik karena terkesan Jokowi memelihara konflik dengan partai pendukungnya dan terkesan membenturkan arus bawah dengan elit dari partai pendukunganya.


Akhiri hari anda dengan menyimak beragam informasi penting dan menarik sepanjang hari ini, di "Reportase Malam" pukul 01.30 WIB, hanya di Trans TV

(jor/kff)
Sumber: http://news.detik.com/read/2015/01/28/065217/2815996/10/pembentukan-tim-independen-bukan-solusi-konflik-kpk-vs-polri

[Tim Independen Tambah Polemik] INDOPOS


JAKARTA- Aksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat Tim Independen untuk memidiasi konflik KPK dan Polri bukan memberikan solusi tetapi menambah polemik dan masalah menjadi rumit.

"Pembentukan tim independen bukanlah solusi tapi akan membuat polemik ini makin kusut dan berliku," tegas Pengamat Politik Masnur Marzuki di Jakarta, Selasa (27/1).

Menurutnya, terdapat beberapa alasan Tim Independen tak dibutuhkan. Pertama, belum ada dasar hukum yang jelas pembentukan tim tersebut apakah keppres atau dasar hukum teknis lainnya. "Karena bila tidak dibekali dasar hukum yang jelas, tim tidak akan efektif bekerja menggali fakta dan memanggil para pihak," katanya.

Kedua, Presiden seperti tidak belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa selama ini pengelolaan negara menjadi tidak efektif karena terlalu banyak tim-tim yang nomenklaturnya tidak jelas dan justru tumpang tindih dengan lembaga atau institusi yang sudah ada.

"Misalnya tim 7 ini 'kan nantinya ditunggu pertimbangan dan masukannya, sementara sudah ada Wantimpres yang juga secara konstitusional ditugasi memberi pertimbangan kepada Presiden. Akan lebih efektif Presiden mendengarkan tuntutan publik dan merespon cepat masalah ini agar krisis ketatanegaraan ini tidak berlarut-larut. Hulunya tetap pada Presiden. Apapun hasil kesimpulan tim independen ini, tetap saja putusan finalnya ada pada Presiden sebagai kepala negara," katanya.

Sebelumnya, Jokowi mengumpulkan sejumlah tokoh dan berencana membentuk Tim Independen untuk memediasi konflik KPK vs Polri. Langkah ini diluar harapan publik karena terkesan Jokowi memelihara konflik dengan partai pendukungnya dan terkesan membenturkan arus bawah dengan elit dari partai pendukunganya. (jpnn)

[Bentuk Pengadilan Adhoc DPR Perlu Perhatikan Ini] GatraNews


Jakarta, GATRAnews-Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengatakan, wacana Komisi II DPR-RI dalam membentuk pengadilan adhoc untuk menyelesaikan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pildada) sah-sah saja dilakukan.

Namun, DPR harus memikirkan relevansi pelaksanaan Pilkada serentak dengan pembentukan perangkat pengadilan adhoc. Pasalnya, masalah suprastruktur dan infrastrukturnya termasuk rekrutmen hakim adhoc akan bermasalah apabila menunjuk pengadilan adhoc.

"Bayangkan tumpukan perkara itu secara serentaknya Pilkada," jelas Masnur saat ditemui wartawan di DPR-RI, Senayan, Jakarta, Selasa (3/2).

Selain itu, DPR-Pemerintah juga harus memikirkan apakah sistem peradilan adhoc yang dibentuk mempunyai prinsip putusan final dan mengikat. Sebab, menurut Masnur, putusan pengadilan dalam menangani sengketa Pilkada harus final dan mengikat.

"Saya juga kritik soal nama nomenklaturnya karena yang namanya AdHoc berarti sementara. Harusnya didefinitifkan langsung nomenklaturnya menjadi Pengadilan Pilkada," tegas Masnur.

Tidak hanya itu, perekrutan hakim di pengadilan itu harus dari kalangan hakim karier dan nonkarier yang berjiwa kenegaraan agar wibawa peradilan pilkada dapat terjaga marwahnya. Masnur meminta materi tersebut harus segera dimasukkan menjadi materi RUU revisi UU Pilkada yang akan digodok oleh Komisi II DPR.

"Revisi tersebut menurut saya tak boleh melewatkan penuntasan pembentukan pengadilan pilkada," demikian Masnur.

Reporter: Wem Fernandez
Editor: Arief Prasetyo

[Ahok Harus Transparan Ganti Dirut BUMD] Majalah Visioner



Jakarta Monitoring Network (JMN) meminta Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat harus terbuka dan transparan dalam melakukan mutasi besar-besaran jajaran direksi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta. Akuntabilitas proses mutasi adalah prasyarat mutlak agar dirut-dirut BUMD dan pengelola BUMD DKI dapat bekerja maksimal meningkatkan PAD dan pelayanan masyarkat.

“JMN menuntut dilakukannya uji publik dan presentasi program pengembangan BUMD sebelum menentukan nama-nama yang akan menempati posisi strategis di BUMD. Seleksinya tidak hanya ketat dan cermat, tapi Ahok harus terbuka dan transparan, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan sebagai bentuk bagi-bagi jabatan,” kata Masnur Marzuki, SH, LLM, Direktur JMN.

Mutasi pengelola BUMD, lanjut Masnur, juga harus mengacu pada evaluasi kinerja. Bagi BUMD yang kinerjanya sudah baik, bukan berarti harus digeser. “Artinya, Ahok tidak boleh gegabah dan serampangan dalam melakukan penggantian dirut BUMD. Prinsip penerapan reward and punishment harus ditegakkan dengan konsisten. Ahok tidak bisa seenaknya menerapkan prinsip punishment tanpa penerapan reward bagi BUMD yang berkinerja baik,” paparnya.

Selain itu, Masnur menambahkan, untuk mendukung akuntabilitas perlu juga memikirkan pelibatan PPATK dan KPK dalam menelusuri jejak rekam kandidat dirut BUMD.

Menggenjot Kinerja BUMD

Sebelumnya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akan melakukan perombakan besar-besaran dalam tubuh jajaran direksi BUMD DKI Jakarta. Langkah ini dilakukan setelah Ahok, sapaan akrab Basuki, melakukan perombakan besar-besaran terhadap 4.676 pegawai negeri sipil (PNS) dengan golongan eselon II, III dan IV.

"Sehabis ganti PNS besar-besaran, kita juga akan ganti direktur utama BUMD DKI secara besar-besaran juga," kata Ahok, Senin 19 Januari 2014.

Ahok menyampaikan, pergantian direksi BUMD DKI dilakukan dengan tujuan menggenjot kinerja BUMD DKI yang seharusnya memberikan kontribusi besar bagi pendapatan daerah DKI Jakarta. Karena selama ini kontribusi BUMD DKI terhadap pendapatan daerah sangat kurang.

"Banyak target deviden yang ditargetkan BUMD tidak tercapai," ungkap Ahok.

Ahok mengatakan, dia akan mencari sosok dirut BUMD yang memiliki integritas tinggi dan jujur dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. “Tes seleksi jabatan dirut dan jajaran direksi BUMD DKI telah dilaksanakan. Saat ini, sudah ada beberapa nama calon dirut dan direktur untuk memimpin salah satu BUMD DKI sudah ada ditangan saya,” kata Ahok.

Calon dirut dan direktur BUMD DKI ini, dijamin Ahok dapat bekerja dengan cepat. Serta dapat mengikuti ritme kerjanya yang juga cepat. Dia pun ternyata sudah melakukan seleksi beberapa orang untuk posisi direktur utama. "Sudah final. Saya jamin, orang-orangnya bisa bekerja dengan kencang," terangnya. (Rief/Herkis)

[Dewan Pembina Relawan Riau Baru Minta Audit Keuangan Badan Penghubung Riau Jakarta] RiauOne.Com

riauonecom, Jakarta, roc, - Masnur Marzuki, Dewan Pembina Relawan Riau Baru (RRB) meminta Audit Kinerja dan Audit Badan Penghubung Riau di Jakarta. Kepada riauone.com, Rabu, 11/02/15 Masnur menegaskan harus segera diaudit terkait dengan Keberadaan Mess Riau di Slipi Jakarta tersebut.

Lebih lanjut Masnur mengatakan, Audit Kinerja dan Audit keuangan harus segera dilakukan agar kinerja Badan Penghubung Riau di Jakarta dapat dipertanggungjawabkan. Biro Perlengkapan Setdaprov tidak boleh berpangku tangan dan berlaku pasif menerima laporan keuangan Mess Riau yang saban tahun merugi.

"Bagaimana mungkin kebutuhan pegawai dan gedung mencapai Rp500 juta lebih sementara pemasukan dari uang sewa kamar Mess hanya Rp200 juta. Oleh sebab itu, pertama, saya mengimbau SekdaProv dan Komisi A untuk segera menunjuk auditor independen mengaudit kinerja dan keuangan Badan Pengelola Mess Riau di Jakarta. Kedua, haram hukumnya jika kegunaan Mess Pemda menjadi bancakan korupsi dan penyelewengan keuangan. DPRD melalui Komisi A harus segara proaktif melakukan monitoring dan pengawasan." Katanya.

Selama ini Komisi A DPRD masih memble dalam melakukan monitoring dan pengawasan terhada aset-aset Riau yang tersebar di seluruh Indonesia termasuk Mess Riau di Jakarta.

"Kita berharap aset-aset Riau jangan sampai jadi bancakan proyek dan ladang korupsi. DPRD harus segera bertindak memanggil stakeholder terkait untuk menelusuri timbunan masalah tata kelola aset milik rakyat Riau. Kalau tidak, patut dicurigai Pemprov dan DPRD main mata dalam pusaran masalah pengelolaan aset rakat Riau tersebut." Tegas Masnur Marzuki, Pengamat Hukum UII dan alumni Daarun Nahdhah ini. (abu)

[Parpol Tak Dipercaya, Calon Independen Penuhi Hak Warga Negara] HARIAN TERBIT 28/01

Jakarta, HanTer - Kalangan pengamat menilai pencalonan perseorangan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) atau calon presiden (Capres) Independent dalam artian tidak diusung oleh partai politik (parpol), merupakan bagian dari pemenuhan hak warga negara untuk memilih dan dipilih. Belum lagi partai politik (parpol) saat ini sudah tidak dipercaya oleh masyarakat karena korupsi dan konflik internal.

Sehingga, usulan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengatur capres independent dapat ikut Pilpres dengan amandemen terbatas kelima UUD 1945, patut didukung. Demikian dikatakan oleh Pakar Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta, Heri Budianto dan Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki saat dihubungi di Jakarta, Rabu (28/1/2015).

Menurut Heri, diperlukan celah dalam konstitusi untuk mengatur calon perseorangan dapat mengikuti Pilpres bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih. Sehingga, lanjutnya, calon independen diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada putra-putri terbaik bangsa yang tidak menempuh jalur Parpol.

"Apalagi saat ini kondisi parpol yang banyak masalah mulai dari track record parpol dengan kasus korupsi dan juga konflik internal," kata Heri Budianto.

Masnur menambahkan, selama ini absennya pengaturan capres independent dalam UUD telah menghambat hak memilih dan dipilih warga negara dalam kontestasi Pilpres. "Tidak mengherankan bila beberapa kali Undang-Undang (UU) Pilpres dan UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan hak konstitusional warga negara," kata Masnur.

Meskipun MK menolak gugatan uji materi tersebut karena memang kedua UU Pilpres dan UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD, dia menilai putusan tersebut wajar karena memang konstitusi tidak mengadopsi adanya capres independent. "Tapi dalam negara hukum yang demokratis, capres independen sah-sah saja diadopsi dalam konstitusi," ujarnya.

Dia mencontohkan, di Amerika Serikat (AS) terdapat capres independent. Namun potensi memenangkan kontestasi Pilpres sangatnya kecil bahkan belum pernah terjadi dalam praktek politik di AS. "Jadi penegasan capres independen dalam konstitusi AS lebih pada pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih," jelasnya.

Di Indonesia, sambungnya, pengalaman calon independen sudah cukup baik meskipun baru pada level kepala daerah. Apabila dilihat perbandingan capres independen dengan negara lain, hal itu hanya sebagai unsur penguat praktek demokrasi modern. "Tidak ada salahnya Indonesia adopsi capres Independent tapi harus diamandemen dulu konstitusinya," tegasnya.

Dia mengakui, capres independent akan sulit meraih dukungan di parlemen karena tidak didukung oleh Parpol yang berdampak kinerja pemerintah menjadi terhambat. Namun, katanya, hal itu dapat diatur dalam UU Pilpres dan UU Pemilu. "Syarat-syaratnya teknis diatur oleh UU. Misalnya harus mendapat dukungan tanda tandan dan KTP minimal 1 persen di lebih dari separuh total jumlah provinsi di Indonesia," tuturnya.

(Robbi)

http://www.harianterbit.com/2015/read/2015/01/28/17988/25/25/Parpol-Tak-Dipercaya-Calon-Independen-Penuhi-Hak-Warga-Negara

Saturday, January 3, 2015

[Terkait Musibah AirAsia, Jokowi tak Keluarkan Kata Innalillahi] SUARANASIONAL.COM

Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak mengeluarkan kata-kata yang mengandung nilai spiritual terkait musibah jatuhnya pesawat AirAsia.

“Mungkin akan sangat elok Jokowi memulai & menutup press conference dengan ucap Salam, atau sekedar “Innalillahi..” Jadi ingat Preambule UUD,” kicau dosen hukum UII Masnur Marzuki di akun Twitter-nya, @MasnurMarzuki.

Masnur pun melihat, Jokowi belum mengeluarkan beberapa kalimat yang menunjukkan sikap religiusnya di saat terjadi musibah.

“Apa saya yang kurang detail menyimak, tak sekalipun keluar kata Allah, Tuhan atau dimensi theologis lainnya dari press conference Jokowi. Bahkan mengucapkan sekedar penutup wassalamualakum warohmatullah saja tak keluar dari mulut Presiden di negara dengan mayoritas muslim ini,” tulis @MasnurMarzuki.

Masnur pun membandingkan religiusitas Jokowi saat bertarung dalam kontestasi Pilpres. “Kita masih ingat debat Capres, kata demi kata begitu detail diamati pakar komunikasi. Waktu itu Jokowi ucap sholawat. Kini? Kita kena musibah.Kita tengah ditempa musibah, dan sayangnya ini bukan musim kampanye. Dan presiden hanya menampilkan religiusitasnya saat kontestasi Pilpres,” tulis @MasnurMarzuki.

Sumber: http://suaranasional.com/2014/12/31/terkait-musibah-airasia-jokowi-tak-keluarkan-kata-innalillahi/

[Sistem Negara Indonesia Kini di Antara Presidensial dan Parlementer] GATRANEWS

Jakarta, GATRAnews - Pengamat hukum tata negara Masnur Marzuki menilai, sistem negara Indonesia masih belum jelas karena secara tertulis Indonesia menganut sistem presidensial, sementara pada praktiknya banyak menerapkan sistem parlementer. "Indonesia mempraktekan sistem parlementer karena presiden dan eksekutif lainnya bergantung pada legislatif atau DPR," kata Masnur, dalam acara diskusi Sistem Presidensial dan Realitas Politik Pasca-Pilpres 2014 di Hotel Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/12).

Masnur menjelaskan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sangat tersandera dalam kekuatan DPR, hal itu terlihat jelas ketika SBY berencana menaikan bahan bakar minyak pada 2012. Begitu juga dengan pemerintahan Joko Widodo yang bergantung besarpada dua kekuatan di DPR yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat. "Jadi negara ini tidak jelas presidensial atau parlementer. Saya melihat Indonesia itu cenderung mengambil sistem tengah, tidak ke barat dan tidak ke timur," ujarnya.

Meskipun demikian, Masnur mengakui jika keberadaan KMP di DPR memang diperlukan untuk mengawasi pemerintah jika ada kebijakan yang tidak pro-rakyat. KMP ini, lanjutnya, juga menjadi sejarah dimana oposisi lebih besar dibanding koalisi pemerintah. "Baru kali ini oposisi lebih besar dibanding pemerintah, jaman Soeharto eksekutif yang dominan, jaman Mega dan SBY legislatif yang dominan," imbuhnya.

Namun, Masnur menjelaskan, meskipun ada perubahan kekuatan tapi ada juga perpindahan lahan "korupsi" yang dilakukan. "Kalau dulu jaman Soeharto eksekutifnya yang banyak korupsi, sekarang pindah legislatifnya yang banyak korupsi," tutupnya.

Penulis: Ervan Bayu
Editor: Edward Luhukay

[Jokowi Terkepung Kisruh Politik] KastaraNews

Jakarta, Kastaranews.com – Perseteruan Koalisi Merah Putih (KPM) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dinilai menjadi salah satu pemicu Persiden Jokowi tidak akan berhasil dalam menjalankan pemerintahannya.

Belum adanya kejelasan sistem pemerintahan yang ada melainkan penafsiran. Hal ini dsisampaikan pengamat Hukum tata Negara, Masnur Marzuki dalam dialog mahasiswa yang bertajuk ” Sistem Presidensial Dan Realitas Politik Pasca Pilpres 2014″. di Hotel Menteng 1 Jln. Gondangdia – Menteng Jakarta pusat (18/12/14).

“Sistem pemerintahan yang presidensil tidak dalam pelaksanaannya dan tidak ada dalam konstitusi sebenarnya melainkan hasil penafsiran,” jelasnya.

Dikatakan Masnur, SBY tidak dapat melakukan kebijakan pemerintah dengan baik karena DPR memblockingnya, misalnya ketika ia hendak menaikan harga BBM namun DPR menolak sehingga kebijakan batal dilakukan karena adanya intervensi DPR.

“Suharto pemecah rekor presiden yang berkuasa paling lama. Dia menjadi king of the king,” tuturnya.

Masnur menambahkan, Jokowi tidak akan berhasil menjalankan pemerintahan jika perseteruan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat terus terjadi.

“Adanya kelompok dominan dalam DPR yang mengoreksi kebijakan pemerintah/presiden sebenarnya cukup bagus sebagai pengimbang/check and balances antara eksekutif dan yudikatif,” terangnya.

Dalam pandangan Masnur Jokowi merupakaan seorang presiden galau karena terombang- ambing dengan kekuatan eksekutif dan legislatif.

“Dalam mensosialisasikan sebuah undang-undang juga membutuhkan dana banyak bahkan hingga milyaran karena itu kita perlu mengawasinya,” ajaknya.

Dalam kesempatan yang sama pengamat politik/staf ahli ESDM Muhammad Harris Indra mengatakan, untuk sistem presidensial atau bukan tidak ada istilah voting dalam menentukan kebijakan. Saya termasuk orang yang setuju dengan UUD 45 asli bukan pilkada langsung.

“Kenapa saya menolaknya silahkan anda membaca buku skripsi Marsilam Simanjuntak tentang sistem negara dan buku catatan mr. Moh Yamin terbitan tahun 1985 berjudul Badan Penyelidikan Usaha Kemerdekaan Indonesia tentang BPUPKI,” ujarnya.

Menurut Harris kenapa Sukarno dan Suharto mampu berkuasa lama dengan baik karena mereka tahu bagaimana cara memimpin dengan baik.

“Sukarno dengan kerongkongannya, Suharto dengan kekuatan senjatanya. Indonesia selalu memilih untuk berada ditengah-tengah karena itu merupakan watak pemimpin-pemimpin di Republik ini yang berusaha untuk mencari aman,” tuturnya.

Harris mengajak para mahasiswa agar belajar dengan baik untuk bisa menyusun konsep pemikiran yang lebih baik bagi bangsa Indonesia dalam 50 tahun kedepan.

” Jokowi terkepung oleh kubu KMP dan kekuatan Mega-Paloh, karena itu kita perlu menyelamatkan Jokowi dari kepungan yang ada,” tandasnya. (BAS/BK)