Friday, December 9, 2016

AHOK TERSANGKA: Elektabilitas Ahok-Djarot Diyakini Semakin Anjlok [okezone.com]

JAKARTA - Kasus hukum dugaan penistaan agama yang menyeret Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), memasuki babak baru. Pagi tadi, Bareskrim Mabes Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka setelah penyidik melakukan gelar perkara selama lebih kurang 9 jam.

Pengamat politik dari Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki, menyakini status tersangka Ahok akan membuat elektabilitas pasangan Ahok-Djarot semakin merosot. "Belum ditetapkan sebagai tersangka saja elektabilitas Ahok terus anjok apalagi kini sudah ditetapkan sebagai tersangka," kata Masnur saat dihubungi Okezone, Rabu (16/11/2016).

Hasil suvei Lingkar Survei Indonesia (LSI) untuk November, elektabilitas pasangan Ahok-Djarot 24,6 persen atau turun 6,8 persen dari bulan sebelumnya. Elektabilitas ini terus turun karena awal 2016, elektabilitas Ahok cukup tinggi mencapai 60 persen.
"Saya makin yakin dengan prediksi banyak lembaga survei dengan kasus penistaan agama ini, nanti di putaran kedua Pilkada DKI, tidak ada nama Ahok-Djarot," tambannya.

Selain status tersangka, sambung Masnur, pencegahan ke luar negeri juga memberi konotasi negarif terhadap Ahok dan mempengaruhi sikap pemilih di Pilkada DKI.

Seperti diketahui, kasus penistaan agama muncul setelah Ahok memberi pernyataan kontroversi terkait Surat Almaidah ayat 51 di hadapan warga Pulau Seribu, beberapa waktu lalu. Menurut Bareskrim, ada 14 laporan terkait kasus dugaan penistaan agama yang ditujukan pada Ahok. (ris)

Thursday, November 17, 2016

Kasus Dugaan Penistaan Agama Pukulan Telak untuk Ahok (Okezone)

JAKARTA - Calon Gubernur DKI Jakarta dari kubu petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, mungkin tengah dilema. Di satu sisi, dugaan penistaan agama yang menyeret Ahok membuat pasangan ini terpojok. Sementara di sisi lain, denda Rp25 miliar mengancam bila calon mundur dari kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017.

Kegiatan kampanye yang diharapkan dapat mendulang simpati masyarakat ibu kota di tengah polemik "dugaan penistaan agama", beberapa di antaranya malah mendapat penolakan langsung dari warga. Sebut saja saat Ahok kampanye di Rawa Belong Jakarta Barat.
Ahok yang selama ini dikenal sebagai gubernur yang lantang dalam berbicara, harus dievakuasi menggunakan angkot oleh polisi dan timnya, demi menghindari massa yang mendekat. Ahok dibawa ke Polsek Kebon Jeruk kala itu.

"Ahok kini dihadapkan pada dilema akibat ucapan dan sikapnya, khususnya atas kasus dugaan penistaan agama. Di tengah keyakinan untuk terus maju pantang mundur, banyak yang memintanya untuk mempertimbangkan mundur," kata pengamat politik dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, saat berbincang dengan Okezone, Sabtu (12/11/2016).

Menurut Masnur, partai pendukung Ahok juga ikut menanggung beban. Elektabilitas Ahok-Djarot anjlok 10 persen lebih per bulan, hasil dari berbagai lembaga survei. Perbedaan suara kader di tubuh partai pengusung pun semakin kencang di tengah polemik ini.

"Golkar misalnya. Riaknya semakin kencang di tengah penolakan kader-kader muda Golkar untuk menarik dukungan. Meskipun menurut aturan UU dan KPU, parpol tidak bisa membatalkan dukungan atau merekom. Namun membaca perkembangan terkini, wajar suara mencabut dukungan muncul demi meraih simpati publik," tambahnya.

Penolakan warga dan menurunnya elektabilitas Ahok, tambah Masnur, menujukkan bahwa masyarakat sudah melek politik sekaligus gerah karena bukan baru kali ini Ahok membuat pernyataan kontroversi. Dari sekian banyak kontroversi, dugaan penistaan agama yang menjadi pukulan telak bagi Ahok.

"Inilah racun politik yang dibuat oleh Ahok sendiri. Apalagi sekarang pengamanan ditambah bahkan petugas menggunakan senjata lengkap dan water cannon. Ini makin melemahkan dan negatif, sebab Ahok bukan seperti mau kampanye tapi seperti menghadapi demonstran," pungkasnya. (ris)

Tuesday, November 8, 2016

"Melihat Demokrasi Amerika Lewat Hillary dan Trump"

Tanggal 8 November 2016 ini adalah hari bersejarah bagi Amerika karena akan memiliki Presiden baru yang hasilnya tidak saja berpengaruh pada warga Amerika tapi juga warga dunia. Bukan saja karena dampak kebijakan luar negeri AS yang akan berpengaruh tapi juga pada potret helat demokrasi yang konon telah lama didapuk menjadi negara kampiunnya Demokrasi.

Tapi demokrasi Amerika kini tengah diuji. Tulisan singkat ini akan memotret demokrasi Amerika melalui Hillary dan Trump dalam kontestasi pemilihan presiden yang akan mencapai puncaknya di minggu kedua November ini. Demokrasi sama-sama hadir di kedua kandidat ini baik Hillary maupun Trump meskipun demokrasi dengan cita rasa dan perspektif mereka sendiri.

Di satu sisi, Hillary jelas adalah seorang yang piawai dalam politik dan sosok yang kenyang pengalaman berdemokrasi. Dia sendiri adalah tokoh demokrat AS dengan partai yang juga bernama Demokrat. Pengalamannya menjadi ibu negara ketika mendampingi Clinton adalah bukti betapa ia sudah terasah oleh banyak cobaan politik. Begitu juga dalam sepak terjangnya di pemerintahan. Dalam catatan dunia, atas kepiawaian dan jasa diplomasi Hillary selaku Menteri Luar Negeri pula, kebijakan AS yang sebelumnya cenderung kaku terhadap Asia Tenggara kini menjadi lebih luwes dan proaktif.

Lalu bagaimana pandangan Hillary pada Indonesia? Yang jelas, ketika menjabat sebagai Secretary of the State, salah satu negara pertama yang dikunjungi Hillary adalah Indonesia. Kala itu Hillary dengan penuh keyakinan dan mantap menyatakan, "As I travel around the world over the next years, I will be saying to people, if you want to know whether Islam, democracy, modernity, and women's rights can co-exist, go to Indonesia." Bahasa diplomatik yang tentu amat menyentuh hati dan menguntungkan kita sebagai bangsa yang sedang bergerak menuju peyempurnaan demokrasi (consolidated democracy).

Namun, Hillary tidak hanya baik bagi Indonesia tapi juga ketertiban dunia karena secara konsisten membela kebhinekaan, pluralisme, toleransi. Dalam konsfigurasi dunia yang semakin dirundung konflik horizontal, pelanggaran HAM, dan Islamophobia, kehadiran Hillary tentu memberi nilai positif tersendiri tidak hanya bagi Indonesia namun juga dunia.

Di sisi lain, jika Hillary lebih mudah membaca tracking atau jejak rekam politik serta pemikirannya untuk dunia, Donald Trump masih gelap, penuh misteri dan bahkan penuh kontroversi. Dunia hanya tahu Donald Trump seorang pengusaha sukses yang mendunia. Dia juga mempunyai pelbagai proyek bisnis di Indonesia, salah satunya dengan bekerjasama dengan taipan media, Harry Tanoe S. Tapi meskipun terpilih menjadi presiden, Trump tentu tidak boleh lagi berbisnis dan mengurusi langsung kepentingan bisnisnya. Artinya, berbisnis di Indonesia bukan berarti Trump akan memihak pada kepentingan Indonesia di percaturan dunia.

Apa yang dipertontonkan Trump dalam pesta demokrasi Amerika jelas dikhawatirkan membangunkan semangat buruk dalam bathin negeri Paman Sam yakni naluri "the ugly American democracy", yang lekat dengan dengan sikap arogansi, ignorance, dan nasionalisme sempit seperti yang pernah diucapkan oleh mantan Dubes RI untuk AS, Dino Patti Djalal.

Singkatnya, Trump adalah seorang yang belum piawai dalam politik. Dia masih kering dalam pengalaman berdemokrasi. Tidak heran pernyataannya jauh dari esensi-esensi demokrasi. Bayangkan, belum pernah dalam sejarah Pilpres AS ada kandidat yang akan menolak hasil Pemilu bila dirinya dinyatakan kalah. Penolakan hasil Pemilu demokratis tentunya pengkhianatan atas demokrasi itu sendiri. Itulah nalar berdemokrasi!

Trump memang mengkhawatirkan sebagaimana mengkhawatirkannya Amerika dan kebijakan luar negerinya. Banyak yang bilang dalam beberapa dekade terakhir, naluri “jahat” ala Trump ini memang semakin menggejala dalam budaya politik AS yang semakin "vulgar". Dalam Pilpres 2016 ini, fenomena “naluri jahat” kini seolah mendapat ruang baru. Barangkali indikatornya amat sederhana. Semakin sering Trump membuat pernyataan yang tidak senonoh mengenai banyak hal baik Muslim, Hispanic, wanita maupun isu-isu lain-lain, popularitas dan elektabilitasnya justru semakin meroket hingga di akhir jelang pemilihan. Tidak hanya itu, milisi garis keras bahkan sudah melakukan latihan perang guna menyambut hasil Pemilu. Media Amerika menyebut mereka militia ekstrimis bukan “teroris” karena beruntung mereka bukan dengan identitas Islam atau Timur Tengah melainkan “bule” warga Amerika tempatan. Jelas, demokrasi Amerika dari wajah Trump makin menyeramkan dan gelap.

Akhirnya, sampailah pada simpulan akhir. Jika Pemilu 2016 ini benar-benar menjadi pertarungan reputasi demokrasi AS di abad-21, muncul satu pertanyaan penutup manakah yang akan menang naluri "bad democracy" atau "good democracy"? Pertarungan dua kandidat ini bergantung di bilik suara kemana mayoritas suara rakyat Amerika bermuara. Sambil bersabar menunggu hasil final Pilpres AS 8 November ini, satu hal yang pasti: Dunia dan demokrasi akan lebih teduh dan berwarna terang bersama Hillary, dan niscaya akan berwarna gelap bahkan (bisa) mati di tangan Trump. Semoga tidak!#

(Tulisan ini sudah dimuat sebelumnya di laman www.selasar.com)



Monday, November 7, 2016

Demokrasi


Berdemokrasi adalah terciptanya ruang dialogis nir-kekerasan pun termasuk kekerasan verbal. Umpatan apalagi anarki adalah LAKNAT bagi Demokrasi.

Yogyakarta, 08/11/2016 

Sebut Demo 4 November Ditunggangi, Siapa yang Dimaksud Jokowi? [Okezone]

JAKARTA - Unjuk rasa menuntut agar Gubernur non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) agar segera diadili atas kasus dugaan penistaan agama di depan Istana Negara pada 4 November malam, berujung bentrok. Massa yang memilih bertahan menyerang petugas setelah ditembaki gas air mata.

Sebenarnya sebagaian besar massa sudah membubarkan diri sejak sore. Namun ,ada massa yang memilih bertahan,karena ingin aspirasi mereka diterima langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurut pengamat politik Masnur Marzuki, keengganan Presiden Jokowi menemui massa berkontribusi pada kerusuhan semalam. "Jokowi malah pilih mewakilkan saja pada JK dan pembantunya. Ini patut disesalkan," kata Masnur saat dihubungi Okezone, Sabtu (5/11/2016).

Tindakan lain Presiden Joko Widodo yang menurutnya perlu disesalkan adalah pernyataan dalam konferensi pers, beberapa jam setelah demo rusuh berlangsung. Presiden Jokowi menyebut demo berujung bentrok karena ditunggangi aktor-aktor politik.

"Sungguh ini bukannya menyejukkan, tapi meninggalkan PR (pekerjaan rumah-red) besar siapa yang dimaksud Jokowi penunggang itu? Jokowi sedang berhadapan dengan siapa? Itulah yang butuh jawaban sebagai buntut pernyataan resmi Presiden pasca-rusuh," keluhnya.

"Pemicu bentrok kemarin pastilah ada dan wajib diusut, tapi cara mengusutnya bukan dengan cara Presiden menunjuk hidung kambing hitam yang tak jelas jenis kelaminnya," tambah Masnur yang merupakan pengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.

"Aksi damai kemarin ditunggangi masyarakat yang resah rule of law tak ditegakkan dengan tegas oleh negara terhadap Ahok! Sungguh keliru Presiden malah menyulut misteri tanya ada kepentingan dan aktor politik yang menunggangi aksi damai itu," pungkas Masnur.

(ris)


Sunday, October 30, 2016

Euforia Berdemokrasi dan Matinya Nalar Akademis; Sebuah Catatan

Tepat 17 Februari 2017 nanti gong Pemilukada DKI Jakarta 2017 berdentang ketika Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibuka dan warga ibukota datang menentukan pilihan. Ini menandai puncak prosesi selama hampir satu tahun sebelum pemilukada digelar. Dalam suasana gegap gempita itu kita disuguhi hiruk-pikuk demokrasi baik di dunia nyata dan dunia maya..

Faktanya media-media elektronik dan media sosial mendapat perhatian yang khusus karena perannya yang semakin lama semakin besar dalam membangun kesadaran, persepsi, opini, dan sikap publik terhadap segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum terutama dalam helat demokrasi.

Dalam mengamati bekerjanya demokrasi, paradigma klasik Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sering dibahas. Dewasa ini dengan tumbuh dan berkembang pesatnya peran media sosial dan pers, para pakar memperkenalkan adanya cabang kekuasaan keempat, sehingga doktrin ‘trias politica’ kini berubah menjadi ‘quadru politica’.

Selain itu sudah lama para ahli mengembangkan pengertian mengenai ‘trias politica’ baru yang disebut negara, masyarakat, dan pasar (state, civil society, and market) sebagai aktor yang berperan seimbang dalam kehidupan bersama dan ditambah satu dengan media. Singkatnya ada empat komponen penting yang kini berperan penting  yaitu negara (state), masyarakat (civil society), pasar (market), dan media (sosial).


Sayangnya euforia berdemokrasi lewat media apa pun namanya itu kini dihadapkan pada gejala yang sudah tidak sehat bahkan menjurus pada kematian nalar ilmiah dan logika akal sehat. Tidak sedikit yang menyalurkan kebencian, rasa tidak suka, penuh amarah hanya karena berbeda preferensi pilihan politik dan kesukaan pada satu atau dua tokoh dan isu yang berkembang.

Pegiat Forum Demokrasi Digital, Damar Juniarto, mengatakan situasinya mungkin akan bertambah sengit dalam beberapa bulan ke depan. Dia berujar bahwa "Yang kita akan masuki sampai dengan Februari 2017 adalah (ibarat) lautan kebencian ya. Jadi kita harus pintar-pintar berenang. Berenanglah di lautan ini agar tidak tenggelam," Perhatikan pula bagaimana publik melihat fenomena ini. Seorang netizen berkomentar soal konten media sosial belakangan ini. "(Isinya) soal serang-serang satu kandidat ke kandidat yang lain yang jauh dari kesan pintar. Meskipun mereka punya gelar master atau PhD dari Amerika, tapi yang keluar dari ketikan tangan mereka tidak mencerminkan itu."




Begitulah yang terjadi. euforia berdemokrasi seseorang apalagi melalui pendekatan pemujaan berlebihan pada tokoh idola atau calon pemimpin yang dipujanya secara berlebihan tak jarang mengikis aqidah dan mematikan nalar intelektual.

Semoga saja demokrasi tidak dipahami sedangkal itu. Karena demokrasi sejatinya adalah cita-cita yang menggerakkan dan mencerahkan. Demokrasi bukan merupakan konsep yang sekedar tercecer dalam referensi bacaan yang memenuhi rak-rak perpustakaan. Demorkasi bukan pula anarkisme verbal di media-media sosial yang bisa saja mejadi racun bagi demokrasi itu sendiri!

Masnur Marzuki,
Yogyakarta, 31 Oktober 2016.

Menulislah! [Kelas Inspirasi]

Menulis adalah pertanda nadi dan pikiran masih terus berdenyut, Alhasil, keabadian bakal mengiringi noktah perjalanan hidup. 

Mari niatkan menulis untuk ibadah dan pengabdian.


'

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”― Pramoedya Ananta Toer



Wednesday, October 26, 2016

Kasus Penistaan Agama Bakal Terus Diingat Warga Jakarta [SindoNews]

JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Islam Indonesia Masnur Marzuki mengatakan kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) masih akan terus diingat publik.

"Tentu akan kuat dalam memori publik sampai nanti hari H di masa pencoblosan Pilkada," kata Masnur saat dihubungi SINDOnews,  Selasa (25/10/2016).

Akibat ucapan Ahok terkait surat Al Maidah ayat 51 itu, seluruh umat Islam tak hanya di Jakarta namun juga di Indonesia turun ke jalan untuk meminta kepada para penegak hukum supaya kasus tersebut bisa diproses.

"Maka tak heran Ahok kini mulai sadar kekeliruannya dengan lebih irit bicara di depan media. Ahok tengah puasa bicara karena khawatir sifat aslinya yang sering kasar dan jauh dari etika makin terkuak di depan publik," tutupnya.
(ysw)

Dipicu Penistaan Agama, Pengamat Nilai Elektabilitas Ahok Jatuh [SINDONEWS]

JAKARTA - Ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu berdampak pada tingkat elektabilitasnya.

"Saya kira dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok akan berdampak signifikan terhadap elektabilitasnya. Ini terlihat dari semakin jatuhnya elektibilitas Ahok dalam beberapa lembaga survey resmi dan polling-polling di media sosial," kata pengamat politik dari Universitas Islam Indonesia Masnur Marzuki saat dihubungi SINDOnews, Selasa (25/10/2016).

Sebagai pejabat negara, sangat disayangkan ucapan Ahok yang telah melukai umat Islam. Tidak hanya di Jakarta namun juga di seluruh Nusantara.

"Berkaca pada itu maka sudah bisa dipastikan dugaan penistaan agama itu akan berdampak pada perolehan suara nanti pada hari H Pilgub DKI," tambahnya.

Apa yang dilakukan Ahok, lanjutnya, telah berdampak luas dan tertanam dalam memori publik. Ditambah lagi penistaan itu mendapat reaksi tidak hanya oleh warga Jakarta.

"Di beberapa daerah terjadi gelombang aksi mengecam sikap Ahok tersebut," tuturnya.#

Masnur Marzuki (UII)

Friday, October 21, 2016

Book; Introduction to Indonesian Constitutional Law

Judul : Introduction to Indonesian Constitutional Law 
Author : Masnur Marzuki
Publisher : Pustaka Pelajar & UII Press
Page : xxxvii + 248 pages
Preface : Prof. Mahfud MD 
Price : customed @tokopedia Rp. 54.000 




Thursday, October 20, 2016

Pelarangan Capres dari Partai Baru Bisa Pengaruhi Motivasi Pemilih ke TPS [Okezone.com]

JAKARTA - Partai politik baru yang belum punya kursi di Parlemen terancam tidak bisa mengusung calon presiden pada Pemilu Serentak 2019, karena pemerintah mengusulkan hasil Pemilihan Legislatif 2014 digunakan parpol untuk mengusung calon presiden pada 2019.

Pembatasan partai baru peserta pemilu yang belum punya kursi di DPR untuk mengusung calon presiden, dikhawatirkan berdampak pada keinginan masyarakat dalam menyalurkan suara saat Pemilu Serentak 2019.
"Tentunya pembatasan itu bisa berpengaruh ke motivasi pemilih ke TPS, khususnya simpatisan parpol yang bisa saja punya capres idamannya sendiri," ujar pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Masnur Marzuki saat berbincang dengan Okezone, Kamis (6/10/2016).

Oleh sebab itu, sambungnya, UU Pemilu harusnya tidak menyandera aspirasi konstitusional partai politik dan suara rakyat pemilih. Selanjutnya, UU Pemilu diharapkan mampu memperkuat sistem pemerintahan presidensiil sekaligus mempercepat konsolodasi demokrasi di Indonesia.

"Selama ini PR kita adalah sistem presidensial yang masih setengah hati, makanya itu melalui penyusunan RUU Pemilu, agenda penyempurnaan sistem presidensial dapat terealisasi," pungkasnya.

RUU Pemilu Harusnya Memperlakukan Semua Parpol Secara Adil [Oezone.com]

JAKARTA - Pemerintah bersama DPR akan segera membahas Revisi Undang-Undang Pemilu yang akan menjadi dasar hukum Pemilu Serentak 2019, di mana salah satu poinnya melarang partai politik baru mengusung calon presiden.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengaku tidak setuju dengan pelarangan parpol baru mengusung calon presiden. Alasannya, putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilu serentak baik pemilu legislatif maupun pemilihan presiden 2019 telah memberikan ruang kepada partai politik peserta pemilu, baik yang baru maupun lama, untuk mengajukan calon presiden tanpa ada batasan.

"Putusan MK itu menegaskan hak konstitusional parpol sebagai peserta pemilu termasuk mengajukan capres sendiri. Oleh sebab itu, RUU Pemilu yang segara dibahas oleh pemerintah dan DPR seharusnya memperlakukan semua parpol peserta pemilu dengan adil dan setara dalam pencalonan presiden," kata Masnur saat berbincang dengan Okezone, Kamis (6/10/2016).

Masnur menambahkan, agar menghindari banjirnya gugatan uji materi UU Pemilu yang baru nantinya, DPR dan pemerintah harusnya mendengar aspirasi semua pihak termasuk parta-partai yang baru pertama kali ikut pemilu. Karena idelanya, undang-undang pemilu harus bisa mengantisipasi potensi masalah penyelenggaraan pemilu serentak 2019.

Apalagi, sambungnya, pemilu 2019 adalah yang pertama di mana Pilpres dan Pileg digelar serentak. Tentu akan muncul segudang masalah. "Nah, menjadi tugas DPR dan Pemerintah memastikan landasan hukum yang komprehensif yang bebas dari kepentingan politik jangka pendek. Tidak bagus kalau setiap pemilu UUnya diganti, sehingga tidak mendorong stabilitas paket hukum politik," pungkasnya.

Aturan Parpol Baru Dilarang Ajukan Capres Tak Sesuai Logika Berpikir [OKEZONE]


JAKARTA - Pemerintah berencana melakukan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Salah satu pasal dalam draft revisi UU Pemilu yang bakal menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019 itu dibatasinya partai politik mengusung calon presiden dan wakil presiden, yakni hanya partai politik hasil pemilu legislatif pada 2014 saja yang boleh mengajukan calon presiden.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki
menilai, usulan aturan itu bertentangan dengan logika berpikir.

Hal ini lantaran sebuah partai politik bisa mengikuti pemilu, namun tak bisa menyalonkan presiden, padahal Pemilu pada 2019 nanti berlangsung serentak antara Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres).

"Bertentangan dengan logika berpikir. Boleh ikut pemilu, tapienggak boleh ikut nyapres, padahal ini kan konsekuensi serentaknya Pileg dan Pilpres," ujar Masnur kepada Okezone, Kamis (6/10/2016).

Masnur juga menjelaskan usulan aturan ini berpotensi diuji materikan di Mahkamah Konstitusi (MK) karena menyandera hak politik partai politik.

"Ya bisa (uji materi), ini kan enggak benar dia baru bisa nyalon di 2024, itu justru bertentangan dengan putusan MK," pungkasnya.

Pelarangan Parpol Baru Usung Capres Tak Sejalan dengan Demokrasi [http://news.okezone.com]


JAKARTA - Pemerintah berencana merevisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Salah satu pasal dalam draf revisi yang bakal menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019 yakni dilarangnya partai politik baru untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Menurut pengamat politik dari Universitas Islam Indonesia, Masnur Marzuki, hal tersebut tidak sah dari segi hukum. "Ya. Pembatasannya tidak sah. Inkonstitusional dan tidak sejalan dengan nalar negara hukum dan demokrasi," ujarnya kepadaOkezone, Sabtu (16/10/2016).\

Selain itu, Masnur menilai jika UU Pemilu nantinya disahkan, maka hal tersebut dapat melanggar kedaulatan rakyat. "Bukan hak seseorang tapi kedaulatan rakyat dilanggar dan jadi tergadai kalau pemerintah memaksakan pembatasan parpol baru ajukan capres," jelasnya.

"Dan kalau nantinya DPR dan pemerintah setuju pembatasan parpol baru ajukan capres maka langkah lanjutan gugat ke Mahkamah Konsitusi (MK) melalui judicial review," tukasnya.

Untuk diketahui, dalam draf revisi RUU Pemilu Pasal 190 termuat aturan yang intinya membatasi partai baru atau partai yang tidak memiliki kursi di DPR untuk mengajukan capres-cawapres. Pasal ini hanya membuka ruang pengajuan capres kepada parpol yang saat ini memiliki kursi parlemen hasil pemilu 2014.

Pasal tersebut berbunyi, ”pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.”

Wednesday, October 19, 2016

Dukungan PPP Kubu Djan Dinilai hanya ‘Cek Kosong’ [Krminalitas.com]

KRIMINALITAS.COM, Jakarta – Pengamat Politik Masnur Marzuki menuturkan dukungan yang diberikan PPP kubu Djan Faridz hanya sebuah kesia-siaan. Pasalnya secara sah dan resmi dukungan PPP jatuh ke pasangan calon Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.

“Dukungan PPP kubu Djan kepada pasangan Ahok-Djarot hanya cek kosong,” kata Masnur kepada wartawan, Rabu (19/10/2016).

Berdasarkan putusan Kementerian Hukum dan HAM, negara hanya mengakui PPP yang resmi. Selain itu KPUD DKI Jakarta telah menyebut dukungan partai yang masuk tidak bisa ditarik kembali.

“Sebab secara hukum, PPP yang sah sudah mengusung dan mendukung paslon Agus-Sylviana,” lanjutnya.

“Berdasarkan PKPU hanya partai yang terdaftar dan pemegang SK Menkumham yang berhak mengusung dan mendukung paslon,” pungkasnya.

Ini Penyumbang Anjloknya Elektabilitas Ahok [SindoNews]

JAKARTA - Pengamat politik Masnur Marzuki memprediksi elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan terus merosot. Hal itu diakibatkan oleh sejumlah kasus yang kerap dilakukan bakal cagub petahana itu.

"Saya kira elektabilitas Ahok akan terus anjlok meluncur deras, sederas ucapan demi ucapan sang gubernur petahana yang lebih banyak menyakiti ketimbang mengayomi," kata Masnur kepadaSINDOnews, Senin (10/10/2016).

Selain itu, lanjut Masnur, absennya proses dialog antara Ahok dengan warga terkait penggusuran di beberapa lokasi. Kedua, publik melihat langkah tidak populis Ahok yang mengajukan uji materi UU Pilkada karena enggan cuti.

"Hal inilah yang kemudian ikut menyumbang anjloknya popularitas Ahok di mata publik. Keengganan cuti dengan alasan pengawalan pembahasan RABPD seolah-olah memposisikan Ahok satu-satunya pejabat publik paling bersih. Padahal ada SKPD dan Plt yang akan ditunjuk Mendagri nantinya untuk mengawal kebijakan semasa non-aktifnya petahana yang sedang cuti kampanye," tuturnya.

Faktor ketiga, munculnya kedua pasangan calon penantang Ahok yakni Anies-Sandi dan Agus-Silvy yang sejauh ini berhasil meraih simpati publik dengan menampilkan performance berbeda. Karena, kedua penantang Ahok selama ini menunjukkan pernyataan yang menyejukkan dan menenangkan.

"Berbeda dengan Ahok yang sering memicu kemarahan dan kekecewaan akibat ucapan-ucapannya sendiri sebagai pejabat publik," katanya.

PPP Djan Faridz Dukung Ahok Hanya untuk Ambil Hati Jokowi [SindoNews]

JAKARTA - Pengamat Politik Masnur Marzuki menilai  dukungan yang diberikan PPP kubu Djan Faridz kepada Ahok-Djarot merupakan manuver politik saja.

"Dukungan PPP Djan itu sifatnya hanya manuver politik karena ingin berbeda dengan PPP Romi yang sudah duluan mendukung Agus-Sylvi," kata Masnur saat dihubungi Sindonews, Rabu (19/10/2016).

Masnur melanjutkan, diduga dibalik skenario Djan Faridz mendukung Ahok, ada keinginan untuk mengambil hati Presiden Jokowi. "Jika ada pertanyaan kalaupun ingin berbeda dengan PPP Romi, kenapa sebagai parpol Islam PPP Djan Faridz justru mendukung Ahok dan bukan Anies-Sandi? Jawabannya saya kira inilah manuver Djan untuk mengambil hati Presiden Jokowi yang dianggap ada di belakang Ahok-Djarot yang diusung oleh PDIP," ujarnya.

Hal itu, lanjut Masnur, terlihat dari langkah lain Djan Faridz yang bersamaan dengan deklarasi dukungan itu untuk meminta Menkumham mengesahkan kepengurusan PPP Djan Faridz. "Toh PPP Djan juga sudah menyatakan keluar dari KMP dan mendukung pemerintah," ucapnya.

Aturan Parpol Baru Dilarang Ajukan Capres Tak Sesuai Logika Berpikir [Okezone.com]

JAKARTA - Pemerintah berencana melakukan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Salah satu pasal dalam draft revisi UU Pemilu yang bakal menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019 itu dibatasinya partai politik mengusung calon presiden dan wakil presiden, yakni hanya partai politik hasil pemilu legislatif pada 2014 saja yang boleh mengajukan calon presiden.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki menilai, usulan aturan itu bertentangan dengan logika berpikir.

More detail at this HTML class. Value is http://m.okezone.com

Friday, September 16, 2016

Beda Pendapat Soal Reklamasi

KRIMINALITAS.COM, Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki mempertanyakan rasionalitas langkah Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan yang memutus agar reklamasi Pulau G kembali dilanjutkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Padahal, berdasarkan keputusan Menko Maritim sebelumnya Rizal Ramli, telah ditentukan jika reklamasi Pulau G dihentikan. Namun semua berubah dengan mudahnya setelah Kemenko Maritim dipegang Luhut.

“Persoalannya dalam kasus ini kan soal kajian-kajian, kenapa bisa berbeda 180 derajat,” kata Masnur kepadaKriminalitas.com, Kamis (15/9/2016).

Untuk diketahui, saat Menko Maritim dijabat Rizal Ramli keluar surat penghentian reklamasi Pulau G. Setelah hasil kajian reklamasi itu menuai beberapa pelanggaran. Disebutkan, reklamasi Pulau G merusak ekosistem laut, berdiri di atas kabel PLN, hingga mengganggu lalu lintas nelayan.

Karenanya Menteri Luhut harus membuka seterangnya alasan memutus reklamasi Pulau G dilanjutkan. Otomatis langkah Luhut memperbolehkan ini berbenturan langsung dengan hasil kajian tim yang bentukan Rizal Ramli.

“Itulah keanehannya. Maka kini publik menunggu apakah Menko Luhut akan membuka seterang-terangnya hasil kajian yang mementahkan hasil tim bentukan Menko Rizal,” pungkas Masnur.

Source: www.kriminalitas.com

Thursday, April 7, 2016

LAUNCHING BUKU "INTRODUCTION TO INDONESIAN CONSTITUTIONAL LAW"


INTRODUCTION TO INDONESIAN
CONSTITUTIONAL LAW


Masnur Marzuki
Acknowledgment by
Prof. Moh. Mahfud MD
Prof. John Pieris

Cetakan Pertama, Maret 2016

xxxviii + 248 hlm

Desain Cover: Rano
Lay Out: M. Hasbi Ash Shidiki

Penerbit
FH UII Press
Jl. Tamansiswa 158 Yogyakarta
PO BOX. 1133 Phone: 379178
penerbitan.fh@uii.ac.id
ISBN: 978-602-1123-11-9

Monday, March 7, 2016

Komisioner KPK Dinilai Keliru Soal Sumber Waras [Media Report]


INILAHCOM, Jakarta - Pengamat Hukum Masnur Marzuki angkat bicara terkait pernyataan Komisioner KPK, Basaria Panjaitan terkait RS Sumber Waras belum ada unsur korupsi.

Menurut Masnur, penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam tiga wujud. Pertama, penyalahgunaan kewenangan dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan. "Kedua, meski ditujukan untuk kepentingan umum, tapi menyimpang dari tujuan kewenangan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan," katanya saat dihubungi wartawan, Rabu (2/3/2016) 
Terakhir, menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan mencapai tujuan tertentu, namun menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

"Nah, penyalahgunaan yang ketika cocok dengan enam penyimpangan yang ada dalam audit investigasi BPK," tegas Akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) ini.

Adapun enam penyimpangan tersebut adalah tahap perencanaan, penganggaran, tim, pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras, penentuan harga, dan penyerahan hasil.

Masnur menegaskan, Penyalahgunaan wewenang dalam korupsi tak selalu berupa keputusan yang bertentangan atau menyalahi aturan.

"Cukup perbuatan itu melanggar aturan tertulis sebagai dasar kewenangannya, memiliki maksud yang menyimpang, dan berpotensi merugikan negara, maka sudah tergolong menyalahgunakan wewenang," paparnya.

Bagi Masnur, penjelasan Basaria yang benar hanya terkait Penjelasan Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor, dimana korupsi merupakan delik formil. Yaitu, adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

"Tapi, Basaria keliru kalau hanya menafsirkan unsur pidana dalam tindak pidana korupsi sebatas pembelian saja. Kan untuk membeli diperlukan kewenangan, dan itu diatur secara rigid oleh peraturan," tutup Masnur. Komisioner KPK, Basaria Panjaitan, sebelumnya mengklaim, belum ada unsur korupsi pada kasus pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI melalui APBD-P 2014.[jat]

- See more at: http://nasional.inilah.com/read/detail/2278131/komisioner-kpk-dinilai-keliru-soal-sumber-waras#sthash.nDSA1bZv.dpuf

Wednesday, February 10, 2016

Diminta Dibubarkan, DPD RI Harus Berterima Kasih Ke PKB [Suara Pembaruan]

Selasa, 9 Februari 2016 | 9:15 | SuaraPembaruan]

[JAKARTA] Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki menilai masukan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terhadap perlu tidaknya penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI melalui amandemen UUD 1945, merupakan sebagai ikhtiar penyadaran publik atas eksistensi lembaga perwakilan daerah ini. DPD perlu berterima kasih kepada PKB yang telah turut membuka mata publik selama ini bahwa ada lembaga negara dibiarkan hidup tanpa kewenangan.

“Harus dicarikan solusi segera agar DPD RI tidak jadi lembaga yang seolah hidup enggan mati tak mau. Perlu perbaikan sistem ketatanegaraan kita,” kata Masnur Senin (8/2).

Menurutnya, solusi yang dimaksud adalah DPD RI perlu ditambahkan kewenangan dalam hal legislasi, pengawasan serta anggaran yang selama ini menjadi subordinasi DPR yang harus direkonstruksi menjadi kewenangan legislasi dan pengawasan serta anggaran yang mandiri. Sehingga, DPD tidak perlu bergantung lagi pada DPR dalam jalankan tugas konstitusionalnya. Ia menjelaskan, konstitutional battle-field DPD adalah agar daerah diberi tempat untuk mempengaruhi kebijakan di pusat untuk kepentingan NKRI.

Apabila DPD tetap dibiarkan tanpa kewenangan, tambahnya, pilihan membubarkan DPD akan jadi opsi paling akhir meskipun akan pahit

“Tapi lihatlah wajah DPD hari ini. Ibarat prajurit tempur, pasukan tempur DPD tidak dibekali senjata apa-apa. Publik tak mendengar apa yang sudah diperjuangkan DPD,” katanya.

Senator asal DKI Jakarta, Abdul Azis Khafia menilai ‎wacana yang dimunculkan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) tidak produktif dan sangat melemahkan demokratisasi yang tumbuh subur di Indonesia. Seharusnya, Cak Imin lebih cerdas lagi dalam membuat isu. ‎

“Saya berharap Cak Imin lebih cerdas lagi mencari isu yang produktif, kreatif dan tentunya mendidik buat generasi bangsa,” kata Abdul Azis. Anggota Komite I DPD RI ini memaklumi jika pandangan pribadi Cak Imin tersebut merupakan bagian dari sekedar upaya membangun brand partainya yang sedang sepi dari pemberitaan prestisius. Sebab eksistensi DPD seperti menjadi pengetahuan umum bahwa ia merupakan anak kandung reformasi dan amanat konstitusi,

‎Sementara itu, atas tidak berjalannya fungsi DPD yang seharusnya menjadi setara dengan DPR atau Bikameral sebagai lembaga parlemen, Sekretaris Fraksi PKB di DPR Jazilul Fuwaid‎ mengusulkan DPD dilebur menjadi fraksi utusan daerah.
Sudahlah DPD ini ditutup dan menjadi fraksi utusan golongan atau daerah. Ini lebih nyata, yakni mereka punya hak pengawasan, legislasi dan budgeting kan. DPR juga sama-sama dipilih langsung.

“Kami akan terus memperjuangkan usulan ini melalui amandemen UUD. ‎Akan kami bawa menjadi keputusan partai dan akan kami perjuangkan di amendemen konstitusi,” tandasnya.[H-14/L-8]

Sumber:
http://sp.beritasatu.com/nasional/diminta-dibubarkan-dpd-ri-harus-berterima-kasih-ke-pkb/108099

Wednesday, January 20, 2016

GBHN, DPD RI dan Gagasan Amandemen

Salah satu poin penting pidato yang disampaikan Ketua Umum PDIP, Megawati SP dan Presiden Jokowi di Rakernas PDIP beberapa waktu lalu di Jakarta adalah kesepahaman dan sikap politik PDIP yang mendorong perlunya dihidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Gagasan PDIP yang didukung Presiden bukan tanpa alasan. Sejatinya sikap itu didorong oleh kondisi kekinian di mana pembangunan nasional untuk mencapai tujuan negara (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial) sepeti bergerak tanpa arah. Dewasa ini di segala sekotr kehidupan tidak hanya muncul ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial, tetapi juga kegaduhan politik dan potensi kemunduran berdemokrasi.

Gagasan menghidupkan kembali GHBN memang merupakan pintu pembuka alternatif dimulainya agenda perubahan UUD 1945. Meskipun gagasan menghidupkan GBHN tersebut membuka celah besar akan terjadinya amandemen, namun berbagai respon publik baik dukungan dan juga resistensi sudah mulai bermunculan. 

Setidaknya ada empat kluster respon publik terkait wacana menghidupkan kembali GBHN dan gagasan amendemen UUD. Pertama, kelompok yang setuju GBHN dihidupkan dengan cara amandemen sekaligus mengubah beberapa isu krusial yang selama ini masih jadi “pekerjaan rumah” akibat dinamika ketatanegaraan. Kedua, fakta adanya suara yang setuju dihidupkan GBHN namun mewanti-wanti jangan sampai amandemen sampai “kebablasan”. Kelompok ini mendukung GBHN dan amandemen tapi ekslusif hanya soal menghidupkan GBHN, tidak menyentuh substansi lain di luar itu.

Ketiga, suara yang setuju adanya GBHN tapi tidak menginginkan adanya amandemen. Kelompok ini memandang tidak perlu amandemen karena keinginan menghidupkan kembali GBHN bisa diakali dengan perubahan di level UU saja. Terakhir, kelompok yang lebih frontal yakni mereka yang sama sekali tidak merasa perlu adanya gagasan menghidupkan kembali GBHN dan menolak dilakukannya amandemen terhadap UUD NRI 1945.

Tentu saja bagi PDIP, membuka lembaran politik baru dengan memulai langkah amandemen bukanlah hal yang mustahil bahkan berpotensi akan berlangsung mulus menggelinding jadi agenda politik nasional. Secara hitungan matematika politis penilain tersebut wajar sebab PDIP kini memimpin Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang menguasai mayoritas DPR, setelah PAN bergabung bahkan kini ditambah Golkar dan kemungkinan besar PKS. 

Kehendak PDIP itu harus direspons dengan sangat hati-hati oleh berbagai pihak terutama DPD RI. Apalagi kehendak itu sudah menjadi agenda partai pemenang Pemilu: amandemen terbatas yang akan sulit diganjal kekuatan politik di luar PDIP. Artinya, sudah tergambar nyata politik kebijakan yang disuarakan PDIP dimulainya kerja konstitusional MPR untuk melakukan amandemen terbatas terhadap UUD NRI 1945, dengan memasukkan kembali pasal tentang wewenang MPR menetapkan GBHN.

Poin penting lainnya, DPD harus mengedepankan sikap kenegarawan demi kepentingan bangsa dan negara dengan melepaskan kepentingan sektoral termasuk menggadang-gadangkan secara berlebihan seruan PDIP untuk melakukan amandemen karena celah absennya GBHN. Publik hari ini berkesimpulan bahwa ada potensi gagasan PDIP menghidupkan GBHN dan mendorong amandemen akan ditunggangi pihak-pihak tertentu termasuk DPD. Apalagi sudah bukan rahasia lagi bahwa DPD memang adalah lembaga negara yang jauh hari setuju mengubah undang-undang dasar. Lagi pula publik terlanjur menasbihkan bahwa agenda amandemen DPD tersebut membawa misi utama: memperkuat wewenang DPD. Di sinilah titik kritis perjuangan amandemen UUD yang didorong oleh DPD RI mendapatkan ujian berat.

DPD RI harus jadi lokomotif yang dapat meyakinkan publik bahwa amandemen UUD 1945 murni untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan politik kekuasaan. Sudah jamak diketahui publik bahwa andai nantinya PDIP dan koalisinya memaksakan amandemen, dicurigai energi bangsa akan terbuang percuma akibat perdebatan, pertarungan, pengkhianatan, dan kongkalikong akan mewarnai amandemen konstitusi. Sebagian mengkhawatirkan jangan-jangan hasil dari amandemen nantinya bukan sekadar menghidupkan kembali GBHN, tetapi juga hilang dan munculnya pasal-pasal baru yang merugikan kepentingan rakyat dan kedaulatannya akibat amandemen yang politik-transaksional. 

Artinya, DPD RI harus mampu menumbuhkan optimisme publik bahwa dinamika ketatanegaraan hari ini memang sudah mensyaratkan perlunya amandemen lanjutan. Ketimbang menyuarakan gagasan memperkuat kewenangan DPD, akan lebih baik DPD lebih banyak mengisi ruang wacana publik dengan isu-isu strategis lain. Misalnya soal kewenangan MK yang perlu dibenahi dalam pasal-pasal UUD serta tindak lanjut putusan MK dalam kaitanya dengan penataan Pemilu Nasional yang menggabungkan antara Pilpres dan Pileg. Sebagai penafsir tunggal konstitusi, MK punya legitimasi untuk ikut mewarnai politik hukum amandemen dan dinamikanya memang ada beberapa poin yang perlu dimasukkan menjadi materi muatan konstitusi. 

Di saat yang bersamaan, DPD RI juga harus bekerja keras sekaligus mengikis pesimisme publik akan kentalnya aroma politik transaksional dalam amandemen UUD. Oleh karenanya, DPD RI harus menunjukkan sikap bersabar dan hati-hati meniti langkah demi langkah proses politik amandemen. Pesimisme publik bahwa amandemen bukanlah agenda rakyat harus dipatahkan dengan langkah-langkah cerdas dan edukatif sembari memastikan secara konsolodatif di internal DPD bahwa isu amandemen adalah sejatinya agenda rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Untuk itu jembatan komunikasi demi mengikis pesimisme publik ini tidak boleh lagi menunggu kelahirannya. Jembatan itu harus diciptakan sendiri oleh DPD melalui pelbagai cara yang dapat menimbulkan simpati dan kepercayaan publik. Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa meredhoi DPD dalam perjuangan amandemen lanjutan.Wallahu a’lam bisshowab.#

Oleh: Masnur Marzuki, SH, LLM (Staf Ahli Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan DPD RI)

Ahok Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat DPRD DKI