Sunday, October 30, 2016

Euforia Berdemokrasi dan Matinya Nalar Akademis; Sebuah Catatan

Tepat 17 Februari 2017 nanti gong Pemilukada DKI Jakarta 2017 berdentang ketika Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibuka dan warga ibukota datang menentukan pilihan. Ini menandai puncak prosesi selama hampir satu tahun sebelum pemilukada digelar. Dalam suasana gegap gempita itu kita disuguhi hiruk-pikuk demokrasi baik di dunia nyata dan dunia maya..

Faktanya media-media elektronik dan media sosial mendapat perhatian yang khusus karena perannya yang semakin lama semakin besar dalam membangun kesadaran, persepsi, opini, dan sikap publik terhadap segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum terutama dalam helat demokrasi.

Dalam mengamati bekerjanya demokrasi, paradigma klasik Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sering dibahas. Dewasa ini dengan tumbuh dan berkembang pesatnya peran media sosial dan pers, para pakar memperkenalkan adanya cabang kekuasaan keempat, sehingga doktrin ‘trias politica’ kini berubah menjadi ‘quadru politica’.

Selain itu sudah lama para ahli mengembangkan pengertian mengenai ‘trias politica’ baru yang disebut negara, masyarakat, dan pasar (state, civil society, and market) sebagai aktor yang berperan seimbang dalam kehidupan bersama dan ditambah satu dengan media. Singkatnya ada empat komponen penting yang kini berperan penting  yaitu negara (state), masyarakat (civil society), pasar (market), dan media (sosial).


Sayangnya euforia berdemokrasi lewat media apa pun namanya itu kini dihadapkan pada gejala yang sudah tidak sehat bahkan menjurus pada kematian nalar ilmiah dan logika akal sehat. Tidak sedikit yang menyalurkan kebencian, rasa tidak suka, penuh amarah hanya karena berbeda preferensi pilihan politik dan kesukaan pada satu atau dua tokoh dan isu yang berkembang.

Pegiat Forum Demokrasi Digital, Damar Juniarto, mengatakan situasinya mungkin akan bertambah sengit dalam beberapa bulan ke depan. Dia berujar bahwa "Yang kita akan masuki sampai dengan Februari 2017 adalah (ibarat) lautan kebencian ya. Jadi kita harus pintar-pintar berenang. Berenanglah di lautan ini agar tidak tenggelam," Perhatikan pula bagaimana publik melihat fenomena ini. Seorang netizen berkomentar soal konten media sosial belakangan ini. "(Isinya) soal serang-serang satu kandidat ke kandidat yang lain yang jauh dari kesan pintar. Meskipun mereka punya gelar master atau PhD dari Amerika, tapi yang keluar dari ketikan tangan mereka tidak mencerminkan itu."




Begitulah yang terjadi. euforia berdemokrasi seseorang apalagi melalui pendekatan pemujaan berlebihan pada tokoh idola atau calon pemimpin yang dipujanya secara berlebihan tak jarang mengikis aqidah dan mematikan nalar intelektual.

Semoga saja demokrasi tidak dipahami sedangkal itu. Karena demokrasi sejatinya adalah cita-cita yang menggerakkan dan mencerahkan. Demokrasi bukan merupakan konsep yang sekedar tercecer dalam referensi bacaan yang memenuhi rak-rak perpustakaan. Demorkasi bukan pula anarkisme verbal di media-media sosial yang bisa saja mejadi racun bagi demokrasi itu sendiri!

Masnur Marzuki,
Yogyakarta, 31 Oktober 2016.

Menulislah! [Kelas Inspirasi]

Menulis adalah pertanda nadi dan pikiran masih terus berdenyut, Alhasil, keabadian bakal mengiringi noktah perjalanan hidup. 

Mari niatkan menulis untuk ibadah dan pengabdian.


'

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”― Pramoedya Ananta Toer



Wednesday, October 26, 2016

Kasus Penistaan Agama Bakal Terus Diingat Warga Jakarta [SindoNews]

JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Islam Indonesia Masnur Marzuki mengatakan kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) masih akan terus diingat publik.

"Tentu akan kuat dalam memori publik sampai nanti hari H di masa pencoblosan Pilkada," kata Masnur saat dihubungi SINDOnews,  Selasa (25/10/2016).

Akibat ucapan Ahok terkait surat Al Maidah ayat 51 itu, seluruh umat Islam tak hanya di Jakarta namun juga di Indonesia turun ke jalan untuk meminta kepada para penegak hukum supaya kasus tersebut bisa diproses.

"Maka tak heran Ahok kini mulai sadar kekeliruannya dengan lebih irit bicara di depan media. Ahok tengah puasa bicara karena khawatir sifat aslinya yang sering kasar dan jauh dari etika makin terkuak di depan publik," tutupnya.
(ysw)

Dipicu Penistaan Agama, Pengamat Nilai Elektabilitas Ahok Jatuh [SINDONEWS]

JAKARTA - Ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu berdampak pada tingkat elektabilitasnya.

"Saya kira dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok akan berdampak signifikan terhadap elektabilitasnya. Ini terlihat dari semakin jatuhnya elektibilitas Ahok dalam beberapa lembaga survey resmi dan polling-polling di media sosial," kata pengamat politik dari Universitas Islam Indonesia Masnur Marzuki saat dihubungi SINDOnews, Selasa (25/10/2016).

Sebagai pejabat negara, sangat disayangkan ucapan Ahok yang telah melukai umat Islam. Tidak hanya di Jakarta namun juga di seluruh Nusantara.

"Berkaca pada itu maka sudah bisa dipastikan dugaan penistaan agama itu akan berdampak pada perolehan suara nanti pada hari H Pilgub DKI," tambahnya.

Apa yang dilakukan Ahok, lanjutnya, telah berdampak luas dan tertanam dalam memori publik. Ditambah lagi penistaan itu mendapat reaksi tidak hanya oleh warga Jakarta.

"Di beberapa daerah terjadi gelombang aksi mengecam sikap Ahok tersebut," tuturnya.#

Masnur Marzuki (UII)

Friday, October 21, 2016

Book; Introduction to Indonesian Constitutional Law

Judul : Introduction to Indonesian Constitutional Law 
Author : Masnur Marzuki
Publisher : Pustaka Pelajar & UII Press
Page : xxxvii + 248 pages
Preface : Prof. Mahfud MD 
Price : customed @tokopedia Rp. 54.000 




Thursday, October 20, 2016

Pelarangan Capres dari Partai Baru Bisa Pengaruhi Motivasi Pemilih ke TPS [Okezone.com]

JAKARTA - Partai politik baru yang belum punya kursi di Parlemen terancam tidak bisa mengusung calon presiden pada Pemilu Serentak 2019, karena pemerintah mengusulkan hasil Pemilihan Legislatif 2014 digunakan parpol untuk mengusung calon presiden pada 2019.

Pembatasan partai baru peserta pemilu yang belum punya kursi di DPR untuk mengusung calon presiden, dikhawatirkan berdampak pada keinginan masyarakat dalam menyalurkan suara saat Pemilu Serentak 2019.
"Tentunya pembatasan itu bisa berpengaruh ke motivasi pemilih ke TPS, khususnya simpatisan parpol yang bisa saja punya capres idamannya sendiri," ujar pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Masnur Marzuki saat berbincang dengan Okezone, Kamis (6/10/2016).

Oleh sebab itu, sambungnya, UU Pemilu harusnya tidak menyandera aspirasi konstitusional partai politik dan suara rakyat pemilih. Selanjutnya, UU Pemilu diharapkan mampu memperkuat sistem pemerintahan presidensiil sekaligus mempercepat konsolodasi demokrasi di Indonesia.

"Selama ini PR kita adalah sistem presidensial yang masih setengah hati, makanya itu melalui penyusunan RUU Pemilu, agenda penyempurnaan sistem presidensial dapat terealisasi," pungkasnya.

RUU Pemilu Harusnya Memperlakukan Semua Parpol Secara Adil [Oezone.com]

JAKARTA - Pemerintah bersama DPR akan segera membahas Revisi Undang-Undang Pemilu yang akan menjadi dasar hukum Pemilu Serentak 2019, di mana salah satu poinnya melarang partai politik baru mengusung calon presiden.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengaku tidak setuju dengan pelarangan parpol baru mengusung calon presiden. Alasannya, putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilu serentak baik pemilu legislatif maupun pemilihan presiden 2019 telah memberikan ruang kepada partai politik peserta pemilu, baik yang baru maupun lama, untuk mengajukan calon presiden tanpa ada batasan.

"Putusan MK itu menegaskan hak konstitusional parpol sebagai peserta pemilu termasuk mengajukan capres sendiri. Oleh sebab itu, RUU Pemilu yang segara dibahas oleh pemerintah dan DPR seharusnya memperlakukan semua parpol peserta pemilu dengan adil dan setara dalam pencalonan presiden," kata Masnur saat berbincang dengan Okezone, Kamis (6/10/2016).

Masnur menambahkan, agar menghindari banjirnya gugatan uji materi UU Pemilu yang baru nantinya, DPR dan pemerintah harusnya mendengar aspirasi semua pihak termasuk parta-partai yang baru pertama kali ikut pemilu. Karena idelanya, undang-undang pemilu harus bisa mengantisipasi potensi masalah penyelenggaraan pemilu serentak 2019.

Apalagi, sambungnya, pemilu 2019 adalah yang pertama di mana Pilpres dan Pileg digelar serentak. Tentu akan muncul segudang masalah. "Nah, menjadi tugas DPR dan Pemerintah memastikan landasan hukum yang komprehensif yang bebas dari kepentingan politik jangka pendek. Tidak bagus kalau setiap pemilu UUnya diganti, sehingga tidak mendorong stabilitas paket hukum politik," pungkasnya.

Aturan Parpol Baru Dilarang Ajukan Capres Tak Sesuai Logika Berpikir [OKEZONE]


JAKARTA - Pemerintah berencana melakukan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Salah satu pasal dalam draft revisi UU Pemilu yang bakal menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019 itu dibatasinya partai politik mengusung calon presiden dan wakil presiden, yakni hanya partai politik hasil pemilu legislatif pada 2014 saja yang boleh mengajukan calon presiden.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki
menilai, usulan aturan itu bertentangan dengan logika berpikir.

Hal ini lantaran sebuah partai politik bisa mengikuti pemilu, namun tak bisa menyalonkan presiden, padahal Pemilu pada 2019 nanti berlangsung serentak antara Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres).

"Bertentangan dengan logika berpikir. Boleh ikut pemilu, tapienggak boleh ikut nyapres, padahal ini kan konsekuensi serentaknya Pileg dan Pilpres," ujar Masnur kepada Okezone, Kamis (6/10/2016).

Masnur juga menjelaskan usulan aturan ini berpotensi diuji materikan di Mahkamah Konstitusi (MK) karena menyandera hak politik partai politik.

"Ya bisa (uji materi), ini kan enggak benar dia baru bisa nyalon di 2024, itu justru bertentangan dengan putusan MK," pungkasnya.

Pelarangan Parpol Baru Usung Capres Tak Sejalan dengan Demokrasi [http://news.okezone.com]


JAKARTA - Pemerintah berencana merevisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Salah satu pasal dalam draf revisi yang bakal menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019 yakni dilarangnya partai politik baru untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Menurut pengamat politik dari Universitas Islam Indonesia, Masnur Marzuki, hal tersebut tidak sah dari segi hukum. "Ya. Pembatasannya tidak sah. Inkonstitusional dan tidak sejalan dengan nalar negara hukum dan demokrasi," ujarnya kepadaOkezone, Sabtu (16/10/2016).\

Selain itu, Masnur menilai jika UU Pemilu nantinya disahkan, maka hal tersebut dapat melanggar kedaulatan rakyat. "Bukan hak seseorang tapi kedaulatan rakyat dilanggar dan jadi tergadai kalau pemerintah memaksakan pembatasan parpol baru ajukan capres," jelasnya.

"Dan kalau nantinya DPR dan pemerintah setuju pembatasan parpol baru ajukan capres maka langkah lanjutan gugat ke Mahkamah Konsitusi (MK) melalui judicial review," tukasnya.

Untuk diketahui, dalam draf revisi RUU Pemilu Pasal 190 termuat aturan yang intinya membatasi partai baru atau partai yang tidak memiliki kursi di DPR untuk mengajukan capres-cawapres. Pasal ini hanya membuka ruang pengajuan capres kepada parpol yang saat ini memiliki kursi parlemen hasil pemilu 2014.

Pasal tersebut berbunyi, ”pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.”

Wednesday, October 19, 2016

Dukungan PPP Kubu Djan Dinilai hanya ‘Cek Kosong’ [Krminalitas.com]

KRIMINALITAS.COM, Jakarta – Pengamat Politik Masnur Marzuki menuturkan dukungan yang diberikan PPP kubu Djan Faridz hanya sebuah kesia-siaan. Pasalnya secara sah dan resmi dukungan PPP jatuh ke pasangan calon Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.

“Dukungan PPP kubu Djan kepada pasangan Ahok-Djarot hanya cek kosong,” kata Masnur kepada wartawan, Rabu (19/10/2016).

Berdasarkan putusan Kementerian Hukum dan HAM, negara hanya mengakui PPP yang resmi. Selain itu KPUD DKI Jakarta telah menyebut dukungan partai yang masuk tidak bisa ditarik kembali.

“Sebab secara hukum, PPP yang sah sudah mengusung dan mendukung paslon Agus-Sylviana,” lanjutnya.

“Berdasarkan PKPU hanya partai yang terdaftar dan pemegang SK Menkumham yang berhak mengusung dan mendukung paslon,” pungkasnya.

Ini Penyumbang Anjloknya Elektabilitas Ahok [SindoNews]

JAKARTA - Pengamat politik Masnur Marzuki memprediksi elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan terus merosot. Hal itu diakibatkan oleh sejumlah kasus yang kerap dilakukan bakal cagub petahana itu.

"Saya kira elektabilitas Ahok akan terus anjlok meluncur deras, sederas ucapan demi ucapan sang gubernur petahana yang lebih banyak menyakiti ketimbang mengayomi," kata Masnur kepadaSINDOnews, Senin (10/10/2016).

Selain itu, lanjut Masnur, absennya proses dialog antara Ahok dengan warga terkait penggusuran di beberapa lokasi. Kedua, publik melihat langkah tidak populis Ahok yang mengajukan uji materi UU Pilkada karena enggan cuti.

"Hal inilah yang kemudian ikut menyumbang anjloknya popularitas Ahok di mata publik. Keengganan cuti dengan alasan pengawalan pembahasan RABPD seolah-olah memposisikan Ahok satu-satunya pejabat publik paling bersih. Padahal ada SKPD dan Plt yang akan ditunjuk Mendagri nantinya untuk mengawal kebijakan semasa non-aktifnya petahana yang sedang cuti kampanye," tuturnya.

Faktor ketiga, munculnya kedua pasangan calon penantang Ahok yakni Anies-Sandi dan Agus-Silvy yang sejauh ini berhasil meraih simpati publik dengan menampilkan performance berbeda. Karena, kedua penantang Ahok selama ini menunjukkan pernyataan yang menyejukkan dan menenangkan.

"Berbeda dengan Ahok yang sering memicu kemarahan dan kekecewaan akibat ucapan-ucapannya sendiri sebagai pejabat publik," katanya.

PPP Djan Faridz Dukung Ahok Hanya untuk Ambil Hati Jokowi [SindoNews]

JAKARTA - Pengamat Politik Masnur Marzuki menilai  dukungan yang diberikan PPP kubu Djan Faridz kepada Ahok-Djarot merupakan manuver politik saja.

"Dukungan PPP Djan itu sifatnya hanya manuver politik karena ingin berbeda dengan PPP Romi yang sudah duluan mendukung Agus-Sylvi," kata Masnur saat dihubungi Sindonews, Rabu (19/10/2016).

Masnur melanjutkan, diduga dibalik skenario Djan Faridz mendukung Ahok, ada keinginan untuk mengambil hati Presiden Jokowi. "Jika ada pertanyaan kalaupun ingin berbeda dengan PPP Romi, kenapa sebagai parpol Islam PPP Djan Faridz justru mendukung Ahok dan bukan Anies-Sandi? Jawabannya saya kira inilah manuver Djan untuk mengambil hati Presiden Jokowi yang dianggap ada di belakang Ahok-Djarot yang diusung oleh PDIP," ujarnya.

Hal itu, lanjut Masnur, terlihat dari langkah lain Djan Faridz yang bersamaan dengan deklarasi dukungan itu untuk meminta Menkumham mengesahkan kepengurusan PPP Djan Faridz. "Toh PPP Djan juga sudah menyatakan keluar dari KMP dan mendukung pemerintah," ucapnya.

Aturan Parpol Baru Dilarang Ajukan Capres Tak Sesuai Logika Berpikir [Okezone.com]

JAKARTA - Pemerintah berencana melakukan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Salah satu pasal dalam draft revisi UU Pemilu yang bakal menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019 itu dibatasinya partai politik mengusung calon presiden dan wakil presiden, yakni hanya partai politik hasil pemilu legislatif pada 2014 saja yang boleh mengajukan calon presiden.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki menilai, usulan aturan itu bertentangan dengan logika berpikir.

More detail at this HTML class. Value is http://m.okezone.com