Monday, April 10, 2017

Membawa-bawa Agama dalam Pilkada

Pilkada DKI Jakarta kian penuh hiruk pikuk. Salah satu yang cukup ramai adalah soal visi paslon nomor urut 3 Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang kerap difitnah akan mewujudkan "Jakarta Bersyariah". Kampanya hitam itu dilengkapi pula dengan narasi menakut-nakuti warga bahwa jika paslo  3 itu menang Jakarta akan akrab dengan radikalisme atas nama agama. Tulisan ini tak akan membahas soal polemik kampanye hitam tersebut tapi lebih fokus pada pertanyaan apakah membawa agama dalam perjuangan politik di Pilkada sebagai proses bernegara sah secara konstitusional?

Sebenarnya pertanyaan tersebut berkelindan dengan pertanyaan mendasar soal hubungan negara dan agama. Harus diakui di negara ini polemik tentang hubungan antara negara dan agama sudah ada sejak akhir tahun 1930-an. Dua tokoh nasional Soekarno dan M. Natsir pernah bersitegang pendapat soal hubungan negara dan agama yang kemudian melahirkan titik tengah dengan lahirnya Pancasila yang menegasikan negara kebangsaan-berketuhanan sebagai kesepakatan luhur (modus vivendi).  Disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara dengan filosofi religious nation state menyudahi polemik berkepenjangan tentang mempertautkan entitas negara dengan agama. Belakangan isu itu mengemuka kembali setelah dalam pidatonya Jokowi menyebut perlunya agama dipisahkan dari politik.

Isu Agama dalam Pilgub DKI

Belakangan ini muncul pula satu propaganda hitam yang mempertentangkan antara dua poros; Jakarta Bersyariah versus Jakarta Berpancasila. Narasi jahat ini sengaja dikembangkan sebagai buah gencarnya isu agama dalam Pilkada DKI. Warga ditakut-takuti jika Jakarta Bersyariah terwujud maka radikalisme akan mewabah dan berkuasa penuh. Lalu konon katanya ibukota akan menjadi episentrum masalah toleransi dan pluralisme.

Padahal tidak ada satu pun pasangan calon peserta Pilkada DKI, baik Anies-Sandi maupun Ahok-Djarot yang membawa jargon Jakarta Bersyariah. Kedua paslon telah bersepakat untuk menegakkan pilar kebangsaan dalam pluralisme di ibukota.

Semua tahu bahwa Ahok beragama minoritas namun tetap mendapat tempat dalam kontestasi Pilkada DKI. Hal ini terbukti dengan menempatkan Ahok sebagai peraih suara terbanyak di putaran I. Meskipun persentase suara Ahok tersebut bertolak belakang dengan tingginya angka kepuasan warga pada kinerjanya. Ini menunjukkan bahwa pemilih tak hanya menilai kinerja melainkan faktor lain yang salah satunya bisa jadi adalah faktor keyakinan, etika dan kasus hukum pidana yang membelit Ahok terkait penodaan agama.

Singkatnya bisa jadi pemilih bukan melihat faktor agama Ahok tapi mempertimbangkan kasus hukum pidana penodaan agama. Agama Ahok dan kasus penodaan agama adalah dua hal yang berbeda satu sama lain.

Terlepas dari itu, isu agama tetap menjadi narasi yang hingar bingar dalam dinamika kontestasi Pilkada DKI Jakarta kali ini. Kedua paslon mau tak mau harus memanfaatkan sentimen agama agar mendapatkan simpati pemilih.

Perjuangan Politik Membawa Agama

Secara hukum yuridis konstitusional, sah jika agama dibawa-bawa dalam perjuangan politik sebagai proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada aturan hukum yang melarang setiap penganut agama yang ingin memperjuangkan aspirasi keagamaannya melalui proses politik yang demokratis, misalnya merebut kemenangan dalam pemilu baik nasional maupun lokal (pilkada) agar para pemimpin dan wakil-wakil yang terpilih bisa membawa aspirasi keagamaan masing-masing dalam dan untuk pembuatan kebijakan negara atau daerah.

Perjuangan politik membawa-bawa agama sehingga sesuai dengan identitas keagamaan, seperti halnya memperjuangkan aspirasi berdasar identitas kedaerahan dilindungi oleh konstitusi dan sah secara hukum sepanjang dilakukan dalam koridor dasar ideologi negara yakni Pancasila. Yang tidak boleh adalah memaksakan digantinya ideologi bernegara sehingga mengancam keberadaan NKRI yang sudah final dan mengikat.

Akhirnya, Jakarta hanyalah satu bilik dalam rumah besar NKRI dengan penganut berbagai agama dan keyakinan, hidup tersebar di berbagai daerah dengan budaya dan adat istiadat masing-masing yang semuanya bersatu, diikat oleh Pancasila dengan semboyan bhinneka tunggal ika. Saatnya mewujudkan Jakarta yang ramah.#

Tuesday, April 4, 2017

Penistaan Hukum

“DPD RI Memalukan.” Begitulah tajuk utama yang diangkat Kompas, 04/04 setelah sehari sebelumnya sejumlah anggota DPD terlibat kericuhan terkait posisi pimpinan DPD di sidang paripurna lembaga yang lahir dari semangat reformasi itu. Kericuhan pada rapat paripurna DPD ketika menyikapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Tata Tertib (Tatib) DPD Nomor 1/2017 sungguh sangat memalukan.

Jauh hari sebelumnya kericuhan serupa juga terjadi dalam menyikapi perbedaan pandangan mengenai pengesahan perubahan tata tertib DPD utamanya menyangkut pengaturan masa jabatan Pimpinan DPD yang diubah dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun yang kemudian berbuah menjadi Tatib DPD Nomor 1/2017. Sebelumya, wajah DPD juga pernah tercoreng ketika pertama kalinya mantan Ketua DPD, Irman Gusman, dipenjara karena terjerat pidana korupsi.

Kini citra DPD kian tercoreng dan bisa jadi tambah bopeng bukan saja semata karena korupsi mantan ketuanya atau kericuhan rapat paripurna tapi juga akibat menistakan putusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan pemberlakuan Tatib DPD yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD. Ketika publik tengah menunggu kerja nyata DPD di tengah wacana yang dilontarkan oleh partai politik tertentu untuk meninjau kembali eksistensi DPD, lembaga itu justru melakukan akrobat politik dengan mengabaikan putusan Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman.

Alhasil, Selasa dini hari, paripurna DPD tetap melaksanakan pemilihan pimpinan dan menetapkan Osman Sapta sebagai ketua DPD 2017-2019 yang pada saat yang sama juga tengah menjabat sebagai Wakil Ketua MPR 2014-2019.

Polemik Hukum

Setidaknya ada dua polemik hukum yang memunculkan pertanyaan terkait pemilihan pimpinan DPD baru. Pertama, bagaimanakah pelantikan peresmian pimpinan DPD akan dilakukan MA sementara dasar Tatib pemilihan pimpinan DPD tersebut sebelumnya telah dibatalkan sendiri oleh MA? Kedua, apakah diperbolehkan ada rangkap jabatan antara pimpinan MPR dan DPD?

Terkait dengan pertanyaan pertama, rasa-rasanya sulit diterima akal sehat jika MA tetap melantik pimpinan DPD yang baru sebab MA sendiri yang telah membatalkan pemberlakuan Tatib DPD yang di dalamnya diatur soal pemilihan dan penggantian pimpinan DPD. Jika MA tetap melantik pimpinan DPD yang baru maka sama saja MA mengakui bahwa setiap putusan judicial review produk putusan MA boleh dikangkangi dan diabaikan begitu saja. Hal tersebut tentu menistakan MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD NRI 1945.

Dalam koridor negara hukum, tidak boleh ada satu pun aparatur negara atau lembaga negara yang boleh memunggungi putusan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang mengangkangi putusan MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman haruslah dilihat sebagai tindakan yang ilegal dan inskonstitusional.

Sayangnya MA justru tetap mengambil sumpah jabatan pimpinan DPD yang notabene dasar pemilihannya telah dibatalkan sendiri oleh MA. Memang urusan putusan adalah perkara yustisial sememtara pengambilan sumpah adalah tindakan fungsional administratif belaka. Namun dengan kehadiran MA tersebut memberikan justifikasi seolah-olah tidak ada yang salah dengan pemilihan pimpinan DPD baru yang mana MA telah membatalkan dasar hukumnya. Inilah yang menjadi polemik hukum baru yang akan menimbulkan tanda tanya. Beberapa kalangan justru secara kontra-produktif mengapresiasi kehadiran MA mengambil sumpah jabatan pimpinan DPD baru sementara menutup mata atas putusan uji materi MA yang membatalkan pemberlakuan Tatib yang menjadi alas hukum terpilihnya pimpinan DPD baru.

Kini jawabannya ada di MA sendiri yang berkewajiban menjelaskan ke publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mulai dari kesalahan ketik draft putusan, penegakan amar putusan hingga maksud kehadiran MA tetap mengambil sumpah pimpinan baru.

Alternatif lain adalah bisa pula dimintakan fatwa ke MA apakah pemilihan pimpinan DPD baru Selasa dini hari telah sesuai dengan koridor hukum dan putusan MA.

Soal rangkap jabatan juga memunculkan polemik tersendiri sebab tidak ada aturan yang pasti yang melarang adanya rangkap jabatan antara pimpinan MPR dan pimpinan DPD. Merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak pernah diatur boleh tidaknya seseorang menjabat dua pimpinan lembaga perwakilan politik sekaligus, dalam hal ini menjadi pimpinan MPR dan DPD sekaligus. Namun dalam adagium hukum yang berlaku umum, segala sesuatu sah dan boleh saja dilakukan sampai ada aturan yang melarang perbuatan tersebut. Tentu saja perspektifnya akan berbeda jika yang digunakan adalah kacamata etika sebab hukum dan etika adalah dua hal yang tak sama. Sesuatu yang salah menurut etika belum tentu juga salah di mata hukum.

Absennya pengaturan rangkap jabatan di cabang lembaga kekuasaan legislatif kini telah menjadi pekerjaan rumah baru untuk nanti disempurnakan melalui revisi UU MD3. Kosntruksi hukum pengaturan rangkap jabatan harus disusun sedemikian rupa agar menjadi jelas dan tegas kebolehan dan larangan tentang rangkap jabatan dimaksud.

Sayangnya selama ini revisi UU MD3 justru hanya berkisar pada bagi-bagi jatah kekuasaan. Dari beberapa kali penyempurnaan UU MD3 semuanya bermuara pada pembagian jatah kursi (kekuasaan) demi menurunkan tensi politik. Bila ini terus terjadi maka bukan tidak mungkin hukum justru menjadi alat politik semata.#

Monday, April 3, 2017

Teruntuk Justicia Salsabiela Marzuki di Harlah yang ke 6


"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu.

Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.

Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,

Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi.

Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu.

Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu.

Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan.


Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh.


Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan.

Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan."



Anakku, sayang... Syair Kahlil Gibran ini papa kagumi jauh sebelum dirimu mewujud ke dunia ini. Syair itu papa yakini sebagai pelajaran dan kini usiamu sudah injak tahun ke enam.

Namamu sengaja disematkan Justicia karena sebagai anak pertama tugas berat menantimu; menegakkan keadilan dan berbuat adil, tidak hanya pada adik-adikmu kelak tapi juga pada siapa saja. Keadilan yang menyejukkan bagaikan mata air surga yang salah satu namanya adalah Salsabiela. Dari situlah namamu ditasbihkan.

Engkau adalah anak panah. Melesatlah! Menuju satu tujuan yakni Dzat yang jiwamu ada dalam genggamanNya.

Papa love you!

Gambiran, Maret 2017.


5 Risalah Sarang Ulama NU


5 Risalah Sarang Silatnas Alim Ulama NU

Bismillahirrahmanirrahim

1. Nahdlatul Ulama senantiasa mengawal Pancasila dan NKRI serta keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan NKRI itu sendiri. Nahdlatul Ulama mengajak seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia untuk senantiasa mengedepankan pemeliharaan negara dengan menjaga sikap moderat dan bijaksana dalam menanggapi berbagai masalah. Toleransi, demokrasi dan terwujudnya akhlakul karimah dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat harus terus diperjuangkan bukan hanya demi keselamatan dan harmoni kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di Indonesia ini saja tetapi juga sebagai inspirasi bagi dunia menuju solusi masalah-masalah yang dihadapi dewasa ini.

2. Lemahnya penegakan hukum dan kesenjangan ekonomi merupakan sumber-sumber utama kegelisahan masyarakat selain masalah-masalah sosial seperti budaya korupsi, rendahnya mutu pendidikan, dan sumberdaya manusia, meningkatnya kekerasan dan kemerosotan moral secara umum. Pemerintah diimbau agar menjalankan kebijakan-kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi masalah-masalah tersebut termasuk dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada yang lemah (afirmatif) seperti reformasi agraria, pajak progresif, pengembangan strategi pembangunan ekonomi yang lebih menjamin pemerataan serta pembangunan hukum ke arah penegakan hukum yang lebih tegas dan adil dengan tetap menjaga prinsip praduga tak bersalah dalam berbagai kasus yang muncul. Penyelenggaraan oleh pemerintah dan unsur-unsur lainnya harus senantiasa selaras dengan tujuan mewujudkan maslahat bagi seluruh rakyat (tasharruful imam manutun bi maslahatirroiyyah).

3. Perkembangan teknologi informasi, termasuk internet dan media-media sosial serta peningkatan penggunaannya oleh masyarakat membawa berbagai manfaat, seperti sebagai sarana silaturahmi nasrul ilmi taawwun alal birri dan sebagainya, tetapi juga mendatangkan dampak-dampak negatif seperti cepatnya penyebaran fitnah dan seruan seruan kebencian, propaganda radikalisme, pornografi, dan hal-hal lain yang dapat merusak moral dan kerukunan masyarakat. Pemerintah diimbau untuk mengambil langkah-langkah yang lebih efektif baik dalam mengatasi dampak-dampak negatif tersebut maupun pencegahan-pencegahannya. Pada saat yang sama para pemimpin masyarakat diimbau untuk terus membina dan mendidik masyarakat agar mampu menyikapi informasi-informasi yang tersebar secara lebih cerdas dan bijaksana sehingga terhindar dari dampak-dampak negatif tersebut.

4. Para pemimpin negara, pemimpin masyarakat, termasuk pemimpin Nahdlatul Ulama agar senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat dengan senantiasa arif dan bijaksana dalam menjalankan tugas masing-masing dengan penuh tanggungjawab adil dan amanah dengan menomorsatukan kemaslahatan masyarakat dan NKRI.

5. Para ulama dalam majelis ini mengusulkan diselenggarakannya forum silaturahmi di antara seluruh elemen-elemen bangsa untuk mencari solusi berbagai permasalahan yang ada, mencari langkah-langkah antisipatif terhadap kecenderugan-kecenderungan perkembangan di masa depan serta rekonsiliasi di antara sesama saudara sebangsa. Nahdlatul Ulama diminta untuk mengambil inisiatif bagi terwujudnya forum tersebut.#

Wednesday, March 15, 2017

Tentang Hak Jawab

Hak Jawab.
Sudah saya muat ya. :)
Sekian terimakasih. 🌠


Btw, momentum silaturrahmi Ulama khas Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang Jawa Tengah pada Kamis (16/3/2017) telah melahirkan Risalah Sarang. Kiranya relevan pulalah dikutip 1 Ayat Suci Al-Quran pembuka Risalah tersebut, tentang pentingnya menyeru dengan hikmah dan memberi bantahan dengan cara baik (wa jaadilhum billati hiya ahsan). Ayat tersebut relevan sekali dengan Hak Jawab. Salam.


Tuesday, March 14, 2017

"Karena Masnur Marzuki ini Dosen Bloon.."


Mungkin sudah banyak yang kenal dan mafhum dengan nama Nadirsyah Hosen, dosen asal Indonesia yang cukup lama menetap di Australia. Keilmuannya cukup mumpuni dengan melahirkan banyak artikel di jurnal dan beberapa buku. Bahkan di buku terbaru yanv saya tulis (Introduction to Indonesian Constitutional Law:2016) saya kutip beberapa pendapat Nadir tentang Assiasah.

Selain akademisi kontemporer, Nadir juga adalah Ketua PCI NU Australia-Newzealand. Sayang waktu saya di Melbourne 2006-2008 saya tak sempat bersua dengannya. Setahu saya waktu di Melbourne komunitas Muhammdiyah yang lebih aktif gelar acara. Kalau NU saya tak banyak tahu dan tidak pula mencari tahu. Studi LLM di Melbourne Law School sangat menyita waktu dan pikiran nggak sempat bersosialisasi apalagi dengan tokoh sehebat Nadir. Seingat saya saya juga bergaul dengan beberapa Nahdiyin yang sedang studi di sana. Awal semester 1 saya tinggal serumah dengan tokoh NU Jambi yang kini jadi Wakil Rektor UIN Jambi Dr. Suadi Asyari. Dunia sempit, ketika balik ke Jogja mengabdi jadi dosen UII, putera Pak Suaidi menjadi salah satu mahasiswa saya di International Program.

Di dunia sosial media Nadir cukup aktif berbagi informasi dan sahut menyahut dengan netizen, termasuk saya. Dalam sebuah kultwit saya yang berjudul "Jangan Belokkan Fatwa NU 1999 tentang Memilih Pemimpin Non Muslim" tampaknya dibaca oleh Nadirsyah dan lantas merespon dengan nalar yang cukup mengernyitkan dahi. Nadirsyah yang kerap dipanggil Professor ini langsung menghardik dan menyerang profesi dosen. "Karena Masnur Marzuki ini dosen bloon.... dst" yang jauh dari adab kesopanan dan moralitas. Padahal tradisi akademis seharusnya telah tertempa dalam diri Profesor yang dulu berambut gondrong ini dan sangat terkenal berkat karya-karya akademiknya. Saya sempat shocked juga awalnya.

Saya tak sekalipun membalas hardikannya. Saya masih mengedepankan adab kesopanan dan moral khawatir dicontoh oleh anak didik saya. Ya intinya sangat menyayangkan bila dosen di Monash Law School ini ternyata mempertontonkan tabiat preman sosmed yang biasa menggunakan narasi kasar, menghardik dan mencela lawan berdebat. Bahkan Nadirsyah sampai membawa perkara umur saya segala. Di tahun 1999 ketika fatwa NU dibuat saya memang masih nyantri di PPDN Thawalib Bangkinang, sementara Nadir sudah jadi tokoh di NU dan ikut di Muktamar tersebut. Tentu ilmu dan kedalaman pengetahuannya soal fatwa NU itu luar biasa. Tapi sayangnya yang bergulir malah makin tak beraturan menjadi semacam twitwar. Padahal tak ada twitwar sama sekali.

Beberapa netizen turut menyayangkan dan merespon "twitwar" kami dengan beragam. Termasuk oleh akun berikut

Akhirnya yang terjadi tak ada perdebatan sama sekali antara saya dengan Nadir karena ybs lebih sibuk meretweet respon hardikan serupa dari followernya terhadap cuitan saya. Ini contohnya.


Padahal ada ruang terbuka perdebatan yang tersedia dan tentu dengan tema yang cukup relevan soal fatwa NU 1999 itu dengan bidang keilmuan saya, tata negara. Nadir memang sempat menyebut bahwa fatwa NU 1999 soal konteks legislatif (DPR) bukan eksekutif. Saya membantahnya dengan mengatakan fatwa Mukatamar NU 1999 itu relevan untuk konteks memilih pemimpin eksekutif semisal Pilgub. Gubernur memang eksekutif tapi jangan lupa sebagai kepala daerah Gubernur juga punya kewenangan legislatif melahirkan Perda bersama DPRD.

Tapi sayang debat itu tak berlanjut sebab Nadirsyah Hosein ini lebih senang menyebar konten hardikan dalam merespon standing position saya soal fatwa NU 1999 itu. Tampaknya Nadir tersinggung dengan tagar #jangantertipu dalam kultwit saya. Saya tak menyerang atau bahkan ada menyebut 100 ulama GP Anshor telah menipu. Fokus saya bukan soal itu tapi menjelaskan sederhana fatwa 1999 bukan hasil diskusi lain-lain soal fatwa tersebut. Tapi ya sudahlah kalau memang tagar #jangantertipu itu mengganggu Nadir semoga ini jadi tabayun dan ybs sudi lebih rendah hati memaafkan saya. Sesama muslim tak baik saling menghardik dan suudz zhon.

Ke depan semoga ini jadi iktibar bagi diri saya dan khalayak untuk lebih bijak lagi berdiskusi terutama di sosial media.

Saya tutup catatan ini dengan menampilkan potongan cuitan lama saya tahun lalu. Wallahu muwaffiq ila aqwamith Thoriq..

Tuesday, February 28, 2017

Hak Angket Ahok Gate Bikin Partai Pendukung Pemerintah Terpecah

JAKARTA - Fraksi di DPR kini terbelah menyusul digulirkannya hak angket "Ahok Gate" terkait posisi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ada fraksi yang mendukung ada pula yang menolak hak angket tersebut.

Ahok Gate digulirkan oleh sejumlah fraksi di DPR setelah Menteri Dalam Negeri tidak (Mendagri) Tjahjo Kumolo tidak memberhentikan sementara Ahok dari jabatannya, meski sudah jadi terdakwa kasus dugaan penistaan agama.

Partai yang menginisiasi hak angket Ahok Gate adalah Gerindra, Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Sementara yang menolak merupakan partai pendukung pemerintah yakni Yakni PDIP, PKB, PPP, Golkar, NasDem, dan Hanura.

Pengamat politik dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, mengatakan yang menarik perhatian dari hak angket Ahok Gate ini, adalah posisi PAN yang justru ada di kubu Gerindra, Demokrat, dan PKS yang bukan partai pendukung pemerintah.

Padahal, PAN adalah salah satu partai pendukung pemerintah di mana salah satu kadernya menduduki kursi menteri di Kabinet Kerja Jilid II.

"Jadi pertarungan politik angket ini tak lagi jadi medan tempur antara parpol pendukung pemerintah atau bukan, tapi lebih ke konstelasi Pilgub DKI yang kemudian menjalar ke Senayan," kata Masnur saat berbincang dengan Okezone, Sabtu (25/2/2017).

Dia menilai, Ahok Gate ini akan jadi bola panas di DPR antara dua kutub, yakni yang berjuang agar hak angket ini terealisasi dan yang mau hak angket ini gagal. "Nantinya angket bukan tidak mungkin jadi alat tawar menawar politik," pungkasnya.

(ris)

Sunday, February 26, 2017

Tolak Reklamasi Saat Debat, Anies-Sandi Perjelas Posisi Politiknya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengatakan, pasangan cagub-cawagub DKI nomor urut tiga, Anies Baswedan-Sandiaga Uno telah secara tegas menolak kebijakan reklamasi dalam debat putaran kedua. Menurut dia, serangan Anies-Sandi terhadap pasangan nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat terkait kebijakan itu memperjelas posisi politik Anies-Sandi.

"Anies dapat menjelaskan posisi politiknya menolak reklamasi yang menjadi pembedanya dengan petahana," ujar Masnur saat dihubungi, Sabtu (28/1).

Sementara, lanjut dia, Ahok justru bersikukuh dengan kebijakan reklamasi dengan dalih melanjutkan kebijakan yang telah dilakukan di era Presiden Soeharto. "Anies bagus juga saat mengkritik pernyataan Ahok yang menyatakan reklamasi merupakan warisan era Pak Harto bahwa tidak semua hal di masa lalu harus dilanjutkan," kata dia.

Sementara, terkait berlangsungnya debat putaran kedua itu Masnur menilai lebih baik dan menarik dibandingkan debat sebelumnya. "Debatnya lebih cair dan seru jika dibanding debat pertama mungkin karena format yang berbeda dengan yang sebelumnya," kata dia.

Selain itu, kata Masnur, masyarakat juga terlihat sangat antusias, sehingga ia berharap hal itu dapat meningkatkan partisipasi politik ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan dapat mengurangi golput. Mansur menambahkan, format debat kali ini juga telah membuat perdebatan antarpasangan jadi lebih seru dan cair, sehingga paslon punya kesempatan menguraikan secara rinci perihal program unggulannya.

"Warga DKI yang memiliki hak pilih pastinya makin mantap memilih calon pemimpinnya. Melalui debat ini warga DKI juga telah merekam janji politik yang akan ditagih ketika nanti sudah terpilih jadi pemimpin ibu kota," kata dia.

Rep: Muhyiddin / Red: Ilham

Monday, February 20, 2017

Pakar HTN: Ahok itu Gubernur Ilegal di Mata Hukum!

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dipastikan bakal berlaga di putaran kedua Pilgub DKI 2017, setelah dalam hitungan sementara sejumlah lembaga survei unggul tipis di atas perolehan suara pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Lalu, bagaimana posisi Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang berstatus terdakwa? Pakar hukum tata negara (HTN) dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menegaskan bahwa selama kampanye Ahok akan cuti kembali.

Namun demikian, Masnur menegaskan bahwa Ahok adalah gubernur ilegal di mata hukum. “Cuti kan masa kampanye. Saya tegas katakan Ahok itu gubernur ilegal di mata hukum,” tegas Masnur di akun Twitter @MasnurMarzuki menanggapi pertanyaan akun @SubhanDanil.

Bagaimana jika Ahok menang di putaran kedua, tetapi kemudian divonis empat tahun penjara? “Ya tetap diberhentikan sementara karena yang jadi ukuran terdakwa atas pidana yang diancam hukuman pidana. Diberhentikan tetap setelah inkracht,” tegas @MasnurMarzuki.

Sebelumya, dalam kultwit panjang, @MasnurMarzuki membeberkan status ilegal Ahok sebagai Gubernur DKI.

“Ahok itu kini menjelma jadi Gubernur ilegal di mata hukum. Namun, Ahok tetaplah Gubernur di mata kekuasaan. Ini negara mau jadi negara apa? Sebagai orang hukum, di mata saya Ahok adalah Gubernur ilegal, tak sah. Tapi dari kacamata politik kekuasaan, mau apa apalagi, ia Gubernur,” tegas @MasnurMarzuki.

Menurut Masnur, setelah menyandang status terdakwa, pemberhentian Ahok berkait erat dengan soal hukum tata negara, HAN dan juga pidana.

Berdasarkan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, posisi Ahok mempunyai dua masalah. Yakni, kapan pemberhentian sementara Ahok dilakukan? Dalam hal ini Mendagri punya dua sikap. Kedua, apa tindakan pidana dan perbuatan lain yang dapat menyebabkan seorang kepala daerah diberhentikan sementara menurut aturan UU yang ada?

Sedangkan menurut Pasal 83 ayat (1) ada enam point. Apa yang menimpa Ahok masuk kategori poin 1 dan 6. Terjerat pidana dan perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI. “Saya berpendapat dakwaan Ahok masuk klasifikasi butir 1 Pasal 83 soal ancaman hukuman 5 tahun. Begitu Ahok terdakwa, dia wajib diberhentikan,” tegas @MasnurMarzuki.

Di sisi politik, menurut Masnur langkah Mendagri Tjahjo Kumolo adalah langkah politik. “Dia boleh saja ‘bohong’ sebagai politisi, tapi tak boleh salah. (Salah) blunder politik Mendagri adalah ketika dia putuskan akan berhentikan Ahok sehabis masa cuti habis. Kini dia ubah keputusannya,” tulis @MasnurMarzuki.

throw back memories

This picture was taken in 2002 when Masnur Marzuki was recruited to get involved in student board of UII Yogyakarta.