Pilkada DKI Jakarta kian penuh hiruk pikuk. Salah satu yang cukup ramai adalah soal visi paslon nomor urut 3 Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang kerap difitnah akan mewujudkan "Jakarta Bersyariah". Kampanya hitam itu dilengkapi pula dengan narasi menakut-nakuti warga bahwa jika paslo 3 itu menang Jakarta akan akrab dengan radikalisme atas nama agama. Tulisan ini tak akan membahas soal polemik kampanye hitam tersebut tapi lebih fokus pada pertanyaan apakah membawa agama dalam perjuangan politik di Pilkada sebagai proses bernegara sah secara konstitusional?
Sebenarnya pertanyaan tersebut berkelindan dengan pertanyaan mendasar soal hubungan negara dan agama. Harus diakui di negara ini polemik tentang hubungan antara negara dan agama sudah ada sejak akhir tahun 1930-an. Dua tokoh nasional Soekarno dan M. Natsir pernah bersitegang pendapat soal hubungan negara dan agama yang kemudian melahirkan titik tengah dengan lahirnya Pancasila yang menegasikan negara kebangsaan-berketuhanan sebagai kesepakatan luhur (modus vivendi). Disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara dengan filosofi religious nation state menyudahi polemik berkepenjangan tentang mempertautkan entitas negara dengan agama. Belakangan isu itu mengemuka kembali setelah dalam pidatonya Jokowi menyebut perlunya agama dipisahkan dari politik.
Isu Agama dalam Pilgub DKI
Belakangan ini muncul pula satu propaganda hitam yang mempertentangkan antara dua poros; Jakarta Bersyariah versus Jakarta Berpancasila. Narasi jahat ini sengaja dikembangkan sebagai buah gencarnya isu agama dalam Pilkada DKI. Warga ditakut-takuti jika Jakarta Bersyariah terwujud maka radikalisme akan mewabah dan berkuasa penuh. Lalu konon katanya ibukota akan menjadi episentrum masalah toleransi dan pluralisme.
Padahal tidak ada satu pun pasangan calon peserta Pilkada DKI, baik Anies-Sandi maupun Ahok-Djarot yang membawa jargon Jakarta Bersyariah. Kedua paslon telah bersepakat untuk menegakkan pilar kebangsaan dalam pluralisme di ibukota.
Semua tahu bahwa Ahok beragama minoritas namun tetap mendapat tempat dalam kontestasi Pilkada DKI. Hal ini terbukti dengan menempatkan Ahok sebagai peraih suara terbanyak di putaran I. Meskipun persentase suara Ahok tersebut bertolak belakang dengan tingginya angka kepuasan warga pada kinerjanya. Ini menunjukkan bahwa pemilih tak hanya menilai kinerja melainkan faktor lain yang salah satunya bisa jadi adalah faktor keyakinan, etika dan kasus hukum pidana yang membelit Ahok terkait penodaan agama.
Singkatnya bisa jadi pemilih bukan melihat faktor agama Ahok tapi mempertimbangkan kasus hukum pidana penodaan agama. Agama Ahok dan kasus penodaan agama adalah dua hal yang berbeda satu sama lain.
Terlepas dari itu, isu agama tetap menjadi narasi yang hingar bingar dalam dinamika kontestasi Pilkada DKI Jakarta kali ini. Kedua paslon mau tak mau harus memanfaatkan sentimen agama agar mendapatkan simpati pemilih.
Perjuangan Politik Membawa Agama
Secara hukum yuridis konstitusional, sah jika agama dibawa-bawa dalam perjuangan politik sebagai proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidak ada aturan hukum yang melarang setiap penganut agama yang ingin memperjuangkan aspirasi keagamaannya melalui proses politik yang demokratis, misalnya merebut kemenangan dalam pemilu baik nasional maupun lokal (pilkada) agar para pemimpin dan wakil-wakil yang terpilih bisa membawa aspirasi keagamaan masing-masing dalam dan untuk pembuatan kebijakan negara atau daerah.
Perjuangan politik membawa-bawa agama sehingga sesuai dengan identitas keagamaan, seperti halnya memperjuangkan aspirasi berdasar identitas kedaerahan dilindungi oleh konstitusi dan sah secara hukum sepanjang dilakukan dalam koridor dasar ideologi negara yakni Pancasila. Yang tidak boleh adalah memaksakan digantinya ideologi bernegara sehingga mengancam keberadaan NKRI yang sudah final dan mengikat.
Akhirnya, Jakarta hanyalah satu bilik dalam rumah besar NKRI dengan penganut berbagai agama dan keyakinan, hidup tersebar di berbagai daerah dengan budaya dan adat istiadat masing-masing yang semuanya bersatu, diikat oleh Pancasila dengan semboyan bhinneka tunggal ika. Saatnya mewujudkan Jakarta yang ramah.#
Monday, April 10, 2017
Tuesday, April 4, 2017
Penistaan Hukum
“DPD RI Memalukan.” Begitulah tajuk utama yang diangkat Kompas, 04/04 setelah sehari sebelumnya sejumlah anggota DPD terlibat kericuhan terkait posisi pimpinan DPD di sidang paripurna lembaga yang lahir dari semangat reformasi itu. Kericuhan pada rapat paripurna DPD ketika menyikapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Tata Tertib (Tatib) DPD Nomor 1/2017 sungguh sangat memalukan.
Jauh hari sebelumnya kericuhan serupa juga terjadi dalam menyikapi perbedaan pandangan mengenai pengesahan perubahan tata tertib DPD utamanya menyangkut pengaturan masa jabatan Pimpinan DPD yang diubah dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun yang kemudian berbuah menjadi Tatib DPD Nomor 1/2017. Sebelumya, wajah DPD juga pernah tercoreng ketika pertama kalinya mantan Ketua DPD, Irman Gusman, dipenjara karena terjerat pidana korupsi.
Kini citra DPD kian tercoreng dan bisa jadi tambah bopeng bukan saja semata karena korupsi mantan ketuanya atau kericuhan rapat paripurna tapi juga akibat menistakan putusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan pemberlakuan Tatib DPD yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD. Ketika publik tengah menunggu kerja nyata DPD di tengah wacana yang dilontarkan oleh partai politik tertentu untuk meninjau kembali eksistensi DPD, lembaga itu justru melakukan akrobat politik dengan mengabaikan putusan Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman.
Alhasil, Selasa dini hari, paripurna DPD tetap melaksanakan pemilihan pimpinan dan menetapkan Osman Sapta sebagai ketua DPD 2017-2019 yang pada saat yang sama juga tengah menjabat sebagai Wakil Ketua MPR 2014-2019.
Polemik Hukum
Setidaknya ada dua polemik hukum yang memunculkan pertanyaan terkait pemilihan pimpinan DPD baru. Pertama, bagaimanakah pelantikan peresmian pimpinan DPD akan dilakukan MA sementara dasar Tatib pemilihan pimpinan DPD tersebut sebelumnya telah dibatalkan sendiri oleh MA? Kedua, apakah diperbolehkan ada rangkap jabatan antara pimpinan MPR dan DPD?
Terkait dengan pertanyaan pertama, rasa-rasanya sulit diterima akal sehat jika MA tetap melantik pimpinan DPD yang baru sebab MA sendiri yang telah membatalkan pemberlakuan Tatib DPD yang di dalamnya diatur soal pemilihan dan penggantian pimpinan DPD. Jika MA tetap melantik pimpinan DPD yang baru maka sama saja MA mengakui bahwa setiap putusan judicial review produk putusan MA boleh dikangkangi dan diabaikan begitu saja. Hal tersebut tentu menistakan MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD NRI 1945.
Dalam koridor negara hukum, tidak boleh ada satu pun aparatur negara atau lembaga negara yang boleh memunggungi putusan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang mengangkangi putusan MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman haruslah dilihat sebagai tindakan yang ilegal dan inskonstitusional.
Sayangnya MA justru tetap mengambil sumpah jabatan pimpinan DPD yang notabene dasar pemilihannya telah dibatalkan sendiri oleh MA. Memang urusan putusan adalah perkara yustisial sememtara pengambilan sumpah adalah tindakan fungsional administratif belaka. Namun dengan kehadiran MA tersebut memberikan justifikasi seolah-olah tidak ada yang salah dengan pemilihan pimpinan DPD baru yang mana MA telah membatalkan dasar hukumnya. Inilah yang menjadi polemik hukum baru yang akan menimbulkan tanda tanya. Beberapa kalangan justru secara kontra-produktif mengapresiasi kehadiran MA mengambil sumpah jabatan pimpinan DPD baru sementara menutup mata atas putusan uji materi MA yang membatalkan pemberlakuan Tatib yang menjadi alas hukum terpilihnya pimpinan DPD baru.
Kini jawabannya ada di MA sendiri yang berkewajiban menjelaskan ke publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mulai dari kesalahan ketik draft putusan, penegakan amar putusan hingga maksud kehadiran MA tetap mengambil sumpah pimpinan baru.
Alternatif lain adalah bisa pula dimintakan fatwa ke MA apakah pemilihan pimpinan DPD baru Selasa dini hari telah sesuai dengan koridor hukum dan putusan MA.
Soal rangkap jabatan juga memunculkan polemik tersendiri sebab tidak ada aturan yang pasti yang melarang adanya rangkap jabatan antara pimpinan MPR dan pimpinan DPD. Merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak pernah diatur boleh tidaknya seseorang menjabat dua pimpinan lembaga perwakilan politik sekaligus, dalam hal ini menjadi pimpinan MPR dan DPD sekaligus. Namun dalam adagium hukum yang berlaku umum, segala sesuatu sah dan boleh saja dilakukan sampai ada aturan yang melarang perbuatan tersebut. Tentu saja perspektifnya akan berbeda jika yang digunakan adalah kacamata etika sebab hukum dan etika adalah dua hal yang tak sama. Sesuatu yang salah menurut etika belum tentu juga salah di mata hukum.
Absennya pengaturan rangkap jabatan di cabang lembaga kekuasaan legislatif kini telah menjadi pekerjaan rumah baru untuk nanti disempurnakan melalui revisi UU MD3. Kosntruksi hukum pengaturan rangkap jabatan harus disusun sedemikian rupa agar menjadi jelas dan tegas kebolehan dan larangan tentang rangkap jabatan dimaksud.
Sayangnya selama ini revisi UU MD3 justru hanya berkisar pada bagi-bagi jatah kekuasaan. Dari beberapa kali penyempurnaan UU MD3 semuanya bermuara pada pembagian jatah kursi (kekuasaan) demi menurunkan tensi politik. Bila ini terus terjadi maka bukan tidak mungkin hukum justru menjadi alat politik semata.#
Jauh hari sebelumnya kericuhan serupa juga terjadi dalam menyikapi perbedaan pandangan mengenai pengesahan perubahan tata tertib DPD utamanya menyangkut pengaturan masa jabatan Pimpinan DPD yang diubah dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun yang kemudian berbuah menjadi Tatib DPD Nomor 1/2017. Sebelumya, wajah DPD juga pernah tercoreng ketika pertama kalinya mantan Ketua DPD, Irman Gusman, dipenjara karena terjerat pidana korupsi.
Kini citra DPD kian tercoreng dan bisa jadi tambah bopeng bukan saja semata karena korupsi mantan ketuanya atau kericuhan rapat paripurna tapi juga akibat menistakan putusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan pemberlakuan Tatib DPD yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD. Ketika publik tengah menunggu kerja nyata DPD di tengah wacana yang dilontarkan oleh partai politik tertentu untuk meninjau kembali eksistensi DPD, lembaga itu justru melakukan akrobat politik dengan mengabaikan putusan Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman.
Alhasil, Selasa dini hari, paripurna DPD tetap melaksanakan pemilihan pimpinan dan menetapkan Osman Sapta sebagai ketua DPD 2017-2019 yang pada saat yang sama juga tengah menjabat sebagai Wakil Ketua MPR 2014-2019.
Polemik Hukum
Setidaknya ada dua polemik hukum yang memunculkan pertanyaan terkait pemilihan pimpinan DPD baru. Pertama, bagaimanakah pelantikan peresmian pimpinan DPD akan dilakukan MA sementara dasar Tatib pemilihan pimpinan DPD tersebut sebelumnya telah dibatalkan sendiri oleh MA? Kedua, apakah diperbolehkan ada rangkap jabatan antara pimpinan MPR dan DPD?
Terkait dengan pertanyaan pertama, rasa-rasanya sulit diterima akal sehat jika MA tetap melantik pimpinan DPD yang baru sebab MA sendiri yang telah membatalkan pemberlakuan Tatib DPD yang di dalamnya diatur soal pemilihan dan penggantian pimpinan DPD. Jika MA tetap melantik pimpinan DPD yang baru maka sama saja MA mengakui bahwa setiap putusan judicial review produk putusan MA boleh dikangkangi dan diabaikan begitu saja. Hal tersebut tentu menistakan MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD NRI 1945.
Dalam koridor negara hukum, tidak boleh ada satu pun aparatur negara atau lembaga negara yang boleh memunggungi putusan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang mengangkangi putusan MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman haruslah dilihat sebagai tindakan yang ilegal dan inskonstitusional.
Sayangnya MA justru tetap mengambil sumpah jabatan pimpinan DPD yang notabene dasar pemilihannya telah dibatalkan sendiri oleh MA. Memang urusan putusan adalah perkara yustisial sememtara pengambilan sumpah adalah tindakan fungsional administratif belaka. Namun dengan kehadiran MA tersebut memberikan justifikasi seolah-olah tidak ada yang salah dengan pemilihan pimpinan DPD baru yang mana MA telah membatalkan dasar hukumnya. Inilah yang menjadi polemik hukum baru yang akan menimbulkan tanda tanya. Beberapa kalangan justru secara kontra-produktif mengapresiasi kehadiran MA mengambil sumpah jabatan pimpinan DPD baru sementara menutup mata atas putusan uji materi MA yang membatalkan pemberlakuan Tatib yang menjadi alas hukum terpilihnya pimpinan DPD baru.
Kini jawabannya ada di MA sendiri yang berkewajiban menjelaskan ke publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mulai dari kesalahan ketik draft putusan, penegakan amar putusan hingga maksud kehadiran MA tetap mengambil sumpah pimpinan baru.
Alternatif lain adalah bisa pula dimintakan fatwa ke MA apakah pemilihan pimpinan DPD baru Selasa dini hari telah sesuai dengan koridor hukum dan putusan MA.
Soal rangkap jabatan juga memunculkan polemik tersendiri sebab tidak ada aturan yang pasti yang melarang adanya rangkap jabatan antara pimpinan MPR dan pimpinan DPD. Merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak pernah diatur boleh tidaknya seseorang menjabat dua pimpinan lembaga perwakilan politik sekaligus, dalam hal ini menjadi pimpinan MPR dan DPD sekaligus. Namun dalam adagium hukum yang berlaku umum, segala sesuatu sah dan boleh saja dilakukan sampai ada aturan yang melarang perbuatan tersebut. Tentu saja perspektifnya akan berbeda jika yang digunakan adalah kacamata etika sebab hukum dan etika adalah dua hal yang tak sama. Sesuatu yang salah menurut etika belum tentu juga salah di mata hukum.
Absennya pengaturan rangkap jabatan di cabang lembaga kekuasaan legislatif kini telah menjadi pekerjaan rumah baru untuk nanti disempurnakan melalui revisi UU MD3. Kosntruksi hukum pengaturan rangkap jabatan harus disusun sedemikian rupa agar menjadi jelas dan tegas kebolehan dan larangan tentang rangkap jabatan dimaksud.
Sayangnya selama ini revisi UU MD3 justru hanya berkisar pada bagi-bagi jatah kekuasaan. Dari beberapa kali penyempurnaan UU MD3 semuanya bermuara pada pembagian jatah kursi (kekuasaan) demi menurunkan tensi politik. Bila ini terus terjadi maka bukan tidak mungkin hukum justru menjadi alat politik semata.#
Monday, April 3, 2017
Teruntuk Justicia Salsabiela Marzuki di Harlah yang ke 6
"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu.
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi.
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu.
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu.
Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan.
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh.
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan.
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan."
Anakku, sayang... Syair Kahlil Gibran ini papa kagumi jauh sebelum dirimu mewujud ke dunia ini. Syair itu papa yakini sebagai pelajaran dan kini usiamu sudah injak tahun ke enam.
Namamu sengaja disematkan Justicia karena sebagai anak pertama tugas berat menantimu; menegakkan keadilan dan berbuat adil, tidak hanya pada adik-adikmu kelak tapi juga pada siapa saja. Keadilan yang menyejukkan bagaikan mata air surga yang salah satu namanya adalah Salsabiela. Dari situlah namamu ditasbihkan.
Engkau adalah anak panah. Melesatlah! Menuju satu tujuan yakni Dzat yang jiwamu ada dalam genggamanNya.
Papa love you!
Gambiran, Maret 2017.
5 Risalah Sarang Ulama NU
5 Risalah Sarang Silatnas Alim Ulama NU
Bismillahirrahmanirrahim
1. Nahdlatul Ulama senantiasa mengawal Pancasila dan NKRI serta keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan NKRI itu sendiri. Nahdlatul Ulama mengajak seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia untuk senantiasa mengedepankan pemeliharaan negara dengan menjaga sikap moderat dan bijaksana dalam menanggapi berbagai masalah. Toleransi, demokrasi dan terwujudnya akhlakul karimah dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat harus terus diperjuangkan bukan hanya demi keselamatan dan harmoni kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di Indonesia ini saja tetapi juga sebagai inspirasi bagi dunia menuju solusi masalah-masalah yang dihadapi dewasa ini.
2. Lemahnya penegakan hukum dan kesenjangan ekonomi merupakan sumber-sumber utama kegelisahan masyarakat selain masalah-masalah sosial seperti budaya korupsi, rendahnya mutu pendidikan, dan sumberdaya manusia, meningkatnya kekerasan dan kemerosotan moral secara umum. Pemerintah diimbau agar menjalankan kebijakan-kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi masalah-masalah tersebut termasuk dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada yang lemah (afirmatif) seperti reformasi agraria, pajak progresif, pengembangan strategi pembangunan ekonomi yang lebih menjamin pemerataan serta pembangunan hukum ke arah penegakan hukum yang lebih tegas dan adil dengan tetap menjaga prinsip praduga tak bersalah dalam berbagai kasus yang muncul. Penyelenggaraan oleh pemerintah dan unsur-unsur lainnya harus senantiasa selaras dengan tujuan mewujudkan maslahat bagi seluruh rakyat (tasharruful imam manutun bi maslahatirroiyyah).
3. Perkembangan teknologi informasi, termasuk internet dan media-media sosial serta peningkatan penggunaannya oleh masyarakat membawa berbagai manfaat, seperti sebagai sarana silaturahmi nasrul ilmi taawwun alal birri dan sebagainya, tetapi juga mendatangkan dampak-dampak negatif seperti cepatnya penyebaran fitnah dan seruan seruan kebencian, propaganda radikalisme, pornografi, dan hal-hal lain yang dapat merusak moral dan kerukunan masyarakat. Pemerintah diimbau untuk mengambil langkah-langkah yang lebih efektif baik dalam mengatasi dampak-dampak negatif tersebut maupun pencegahan-pencegahannya. Pada saat yang sama para pemimpin masyarakat diimbau untuk terus membina dan mendidik masyarakat agar mampu menyikapi informasi-informasi yang tersebar secara lebih cerdas dan bijaksana sehingga terhindar dari dampak-dampak negatif tersebut.
4. Para pemimpin negara, pemimpin masyarakat, termasuk pemimpin Nahdlatul Ulama agar senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat dengan senantiasa arif dan bijaksana dalam menjalankan tugas masing-masing dengan penuh tanggungjawab adil dan amanah dengan menomorsatukan kemaslahatan masyarakat dan NKRI.
5. Para ulama dalam majelis ini mengusulkan diselenggarakannya forum silaturahmi di antara seluruh elemen-elemen bangsa untuk mencari solusi berbagai permasalahan yang ada, mencari langkah-langkah antisipatif terhadap kecenderugan-kecenderungan perkembangan di masa depan serta rekonsiliasi di antara sesama saudara sebangsa. Nahdlatul Ulama diminta untuk mengambil inisiatif bagi terwujudnya forum tersebut.#
Wednesday, March 15, 2017
Tentang Hak Jawab
Hak Jawab.
Sudah saya muat ya. :)
Sekian terimakasih. ðŸŒ
Btw, momentum silaturrahmi Ulama khas Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang Jawa Tengah pada Kamis (16/3/2017) telah melahirkan Risalah Sarang. Kiranya relevan pulalah dikutip 1 Ayat Suci Al-Quran pembuka Risalah tersebut, tentang pentingnya menyeru dengan hikmah dan memberi bantahan dengan cara baik (wa jaadilhum billati hiya ahsan). Ayat tersebut relevan sekali dengan Hak Jawab. Salam.
Sudah saya muat ya. :)
Sekian terimakasih. ðŸŒ
Btw, momentum silaturrahmi Ulama khas Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang Jawa Tengah pada Kamis (16/3/2017) telah melahirkan Risalah Sarang. Kiranya relevan pulalah dikutip 1 Ayat Suci Al-Quran pembuka Risalah tersebut, tentang pentingnya menyeru dengan hikmah dan memberi bantahan dengan cara baik (wa jaadilhum billati hiya ahsan). Ayat tersebut relevan sekali dengan Hak Jawab. Salam.
Subscribe to:
Posts (Atom)