Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) akan merekrut sejuta mahasiswa berbagai perguruan tinggi untuk
menjadi relawan pengawas Pemilihan Umum 2014. Relawan akan ditempatkan di tiap
tempat pemungutan suara di daerah. Artinya, Bawaslu berkeinginan kuat untuk
mewujudkan pemilu yang berwibawa, jujur dan bersih. Meskipun baru sebatas
wacana dan rencana, tidak ada salahnya pula Bawaslu Riau mencoba menerapkan
pendekatan tersebut pada Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Riau putaran
kedua yang akan datang. Bawaslu Riau bisa mengajukan proposal pilot project ke Bawaslu Pusat terkait rencana merekrut mahasiswa
menjadi relawan pengawas pemilukada Riau putaran kedua. Tentu tidak ada salahnya mengajukan wacana perlunya pelibatan mahasiswa sebagai mitra pengawas
pemilukada.
Sulit
membantah bahwa pemilukada dewasa ini dihadapkan pada banyaknya gugatan-gugatan
sengketa ke Mahkamah Konstitusi terkait adanya kecurangan yang bersifat
struktural, sistematis dan massif. Bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi, Muhamad
Akil Mocthar, kini ditahan KPK karena dugaan suap manipulasi putusan hasil
sengketa pemilukada di dua daerah, Lebak dan Gunung Mas.
Pelanggaran
dalam pemilukada bisa saja dilakukan oleh peserta pemilukada maupun oleh
penyelenggara pemilukada itu sendiri. Dengan begitu, keberadaan Bawaslu menjadi
strategis untuk mencegah dan menindak terjadinya pelanggaran demi pelanggaran
dalam Pemilukada. Terlebih bila kerja strategis Bawaslu tersebut ditopang oleh
komponen mahasiswa untuk ikut bersama-sama mengawasi seluruh rangkaian
pemilukada.
Belajar dari
Pemilukada putaran pertama, potensi kecurangan paling tinggi dan masif terjadi pada proses
pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan PPS. Menghadapi potensi tersebut,
tidak memungkinkan bagi Bawaslu Propinsi Riau mengawasi tiap TPS dengan satu
pengawas. Terlebih lagi Bawaslu Riau dihadapkan pada persoalan pendanaan yang
minim. Pada putaran pertama lalu dana Rp. 10 miliar sudah dinyatakan kurang oleh Bawaslu Riau, namun ternyata tidak ada penambahan dana dari APBD Perubahan 2013 ini. Karena itu,
Bawaslu Riau perlu memikirkan metode baru yang akan diimplementasikan oleh
Bawaslu Pusat yakni dengan merekrut mahasiswa menjadi relawan pengawasan
Pemilu. Sederhananya, strategi menempatkan mahasiswa sebagai mitra pengawas
pemilukada menjadi sesuatu yang penting nilainya demi mengangkat citra dan
kinerja Bawaslu Riau di tengah
keterbatasan sumber daya manusia dan minimnya anggaran. Bawaslu harus
kreatif menyusun formula apik sehingga keterbatasan sumber daya manusia dan
dana bukanlah menjadi hambatan melainkan batu pijakan untuk membuat
terobosan-terobosan dalam kerja pengawasan pemilukada.
Keberadaan
perguruan tinggi dan komponen mahasiswa adalah potensi besar yang harus
dimanfaatkan oleh Bawaslu Riau untuk memantapkan kinerja Bawaslu mengawasi
pelaksanaan Pemilukada. Jumlah 70 perguruan tinggi yang tersebar hampir merata di
12 Kabupaten/Kota di Riau bukanlah angka yang kecil bila Bawaslu membuka diri
dan komunikasi dengan simpul-simpul mahasiswa dan pimpinan perguruan tinggi.
Pertanyaannya,
apakah mahasiswa di Riau begitu saja
mau menyambut gayung rencana pemberdayaan mahasiswa sebagai
pengawas pemilukada? Untuk menjawab pertanyaan ini, Bawaslu perlu melakukan
pendekatan yang tepat dan mumpuni. Membangun kepercayaan mahasiswa untuk
terlibat aktif dalam pengawasan pemilukada tidak cukup dengan langkah-langkah konvensional seperti yang dilakukan Bawaslu
selama ini, yakni pemasangan iklan di media cetak, elektronik, pemasangan
spanduk dan upaya-upaya konvensional lain. Upaya konvensional tersebut justru
membangkitkan emosi mahasiswa untuk tidak mau terlibat aktif dalam proses
politik dan pemerintahan. Jangankan aktif mengawasi pemilukada, untuk
memberikan hak pilihnya saja mahasiswa masih banyak yang bersikap apatis.
Pasalnya mahasiswa yang menjadi agen sosial melihat apa yang dipublikasikan
tidak sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi masyarakat di lapangan. Mestinya
Bawaslu harus sadar bahwa mahasiwa sudah cerdas dalam memahami kondisi
politik dan pemerintahan serta dampak pemilukada dalam kehidupan yang
senyatanya.
Bawaslu seharusnya
mulai melakukan pendekatan kepada pengurus perguruan tinggi dengan membuat nota
kesepahaman dan nota kesepakatan kerjasama (MOU) pengawasan pelaksanaan
pemilukada. Dengan begitu, bisa saja perguruan tinggi mengalihkan kegiatan
Kuliah Kerja Nyata (KKN) menjadi kegiatan pengawasan pemilukada dengan menyebar
relawan mahasiswa untuk terlibat langsung mengawasi jalannya pemungutan dan
penghitungan suara di setiap TPS. Lagi pula tidak aturan yang melarang Bawaslu
untuk melibatkan komponen perguruan tinggi terlibat aktif mengawasi jalannya
pemilukada.
Sebenarnya
untuk Pemilukada tingkat Kabupaten/Kota, pelibatan mahasiswa sebagai pengawas
pemilukada bukanlah hal yang baru. Di Kabupaten Garut misalnya, Panitia Pengawas Pemilihan
Umum (Panwaslu) telah melibatkan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi lokal
untuk membantu mengawasi pencoblosan hingga perhitungan suara Pemilukada Garut,
8 September 2013 lalu. Alasan Panwaslu menggandeng mahasiswa karena terkendala
keterbatasan anggota pengawas. Hal yang serupa juga pernah dilakukan di
Pemilukada Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Serang.
Bola panas dan keputusan
itu kini ada di tangan Bawaslu Riau apakah institusi tersebut masih memiliki komitmen
kuat untuk mengawasi pemilukada putaran kedua dengan memberdayakan mahasiswa
dan perguruan tinggi atau tetap berpangku tangan di tengah keterbatasan sumber
daya manusia dan anggaran yang dimilikinya. Masyarakat Riau tentu menantikan
sikap ksatria Bawaslu Riau untuk bergandeng tangan bersama mewujudkan
Pemilukada yang jujur, bersih dan bermartabat. Semoga.#
Alumni Melbourne Law School,
The
University of Melbourne Australia.
Dosen Hukum Tata Negara
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta