Parlemen yang berdiri menandai politik yang tak
punya lagi birahi. Baudlidard menyebut demokrasi sebagai monopoause masyarakat
Barat. Tapi tiap politik pasca-revolusi mengandung sikap yang jera kepada
gairah; Kita tak bisa mencintai yang sana habis-habisan, tapi juga tak bisa
memeranginya habis-habisan. (Goenawan Mohamad)
Jika dibuka risalah sidang perdebatan dalam pembahasan rapat Panitia Khusus RUU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, terlihat satu perdebatan mengenai model kerja sama
DPR-DPD khususnya dalam fungsi legilasi. Beberapa fraksi di DPR kala itu menginginkan model L di mana DPD hanya diberi ruang dalam pembahasan
rancangan undang-undang (RUU) dalam rapat kerja khusus sebelum DPR membahasnya
bersama pemerintah. Di sisi lain ada pula yang menginginkan model segitiga. Model
segitiga berarti DPD dapat ikut bersama DPR dan pemerintah membahas RUU sebelum
sampai pada paripurna atau pengambilan keputusan.
Sebetulnya kedua model tersebut sama-sama tidak
menguntungkan DPD dalam menjalankan fungsi legislasinya. Secara subtansial
kedua model tersebut masih mengadopsi UU Susduk sebelumnya. Hal itu mengingat
dalam UU tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD yang berlaku saat ini (Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009), fungsi legislasi DPD
hanya terbatas pada dua hal. Pertama, pengajuan
kepada DPR RI rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua, ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kendala Fungsi Legislasi DPD
Banyak pihak menilai keberadaan DPD tidak lebih sebagai staf ahli DPR. Dari
aspek keterwakilan, DPD sejauh ini hanya memainkan peran sebatas perwakilan
dalam bentuk kehadiran utusan daerah di pusat (representation in present)
bukan perwakilan ideal dalam format diperjuangkannya aspirasi daerah di tingkat
pusat. Padahal dari aspek legitimasi kelembagaan sebenarnya DPD mempunyai
legitimasi yang lebih kuat ketimbang DPR dalam hal dukungan riil politik dari
rakyat sebab anggota DPD dipilih secara langsung. Tidak mengherankan bila
seorang peneliti dari Australian National
University, Stephen Sherlock, berpendapat bahwa DPD merupakan contoh yang
tidak lazim dalam praktek bikameral sebab meskipun punya legitimasi yang kuat,
kewenangan legislasinya amatlah terbatas.
Ada beberapa faktor penyebab lemahnya DPD dalam menjalankan fungsi
legislasi. Pertama, adanya kenyataan
bahwa komposisi anggota DPD umunya diisi muka-muka baru dalam dunia politik
yang belum terasah kemampuan dan kapabilitasnya sebagai legislator. Kedua, realitas konstitusional yang
mentasbihkan monopoli DPR dalam hal fungsi legislasi. Ketiga, lemahnya political
will DPR untuk melibatkan DPD dalam setiap proses legislasi nasioanal. Pengalaman
di lapangan menunjukkan kecenderungan DPR yang enggan merangkul DPD agar
berperan aktif dalam perumusan dan pembahasan setiap RUU yang berkaitan dengan
kepentingan daerah. Akibatnya kepentingan daerah yang diamanatkan di pundak DPD
dalam prakteknya tidak diintegrasikan ke ranah pengambilan keputusan legislasi
nasional.
Fungsi Legislasi Ideal DPD
Untuk menempatkan DPD dalam posisi ideal
menjalankan fungsi legislasi, lembaga itu semestinya diposisikan sebagai salah
satu bagian dalam badan kekuasaan legislatif yang berhak dan berwenang
merancang, membahas, dan mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan kepentingan dan aspirasi yang bersifat kedaerahan dengan
memperhatikan penolakan dari Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden. Terhadap
RUU yang diajukan Pemerintah dan DPR yang berkaitan dengan kepentingan dan
aspirasi yang bersifat kedaerahan, DPD RI juga seharusnya berhak dan berwenang
menolak rancangan dan usul amandemen atas suatu Undang-Undang dan Rancangan
Undang-Undang tertentu yang berkaitan erat dengan kepentingan dan aspirasi lokal
(hak veto).
Rumusan tersebut barangkali sulit terwujud
mengingat kuatnya peran DPR sebagai lembaga legislatif yang sudah mapan. Di
samping itu DPR juga memiliki landasan konstitusional yang kuat sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 20A bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan pengawasan. Ketentuan itu tidak saja berarti melemahkan fungsi
legislasi presiden namun juga memunculkan superioritas DPR terhadap DPD dalam
hal fungsi legislasi.
Untuk itu setidaknya DPD semestinya diberikan
kewenangan legislasi dengan hak penundaan pengesahan sebuah RUU menjadi
undang-undang. Dalam praktek lembaga perwakilan sistem dua kamar (bikameral),
hak itu lazim digunakan oleh Majelis Tinggi untuk mewujudkan proses mekanisme check and balances dalam lembaga
parlemen.
Jika kewenangan DPD diletakkan dalam gagasan menciptakan
sistem bikameral yang ideal maka
seharusnya DPD juga turut memberi kontribusi bagi terwujudnya mekanisme check and balances dalam lembaga parlemen.
Hal ini mengingat pembenaran utama kenapa perlu ada dua kamar dalam satu sistem
keparlemenan adalah untuk menegaskan perbedaan kepentingan dalam masyarakat dan
memastikan adanya mekanisme check and
balance dalam cabang kekuasaan legislative (R. Hogue dan Martin Harrop, 1989).
Perjuangan mewujudkan DPD yang ideal dalam
fungsi legislasinya masih panjang. Untuk itu DPD harus terus mengoptimalkan
kemampuan lobi dan komunikasi politiknya dengan DPR dalam rangka mewujudkan
harmonisasi kelembagaan antara dua lembaga perwakilan tersebut. Superioritas
DPR terhadap DPD semestinya disikapi dengan meningkatkan kemampuan sumber daya
yang ada. Di samping itu DPD juga perlu membuktikan kinerja nyata dan
hasil-hasil kerja politik yang selama ini belum begitu terlihat di hadapan DPR
dan publik. Tapi sepertinya DPD sedang glau. Kegalauan yang
menimpa DPD saat ini terbaca ketika sebut saja misalnya tentang penyebutan nama
lembaga. Baru-baru ini, DPD sampai harus melakukan sidang paripurna yang kemudian
mengesahkan nama populer DPD menjadi Senat Republik Indonesia.#