"The
greatest patriotism is to tell your country when it is behaving dishonorably,
foolishly, viciously.”
(Julian Barnes)
Seperti sudah terprogram, setiap
tahun pahlawan diperingati. Dan itu dikhidmati di setiap November. Bukan karena pada
bulan itu kemerdekaan berhasil diraih tapi lebih karena momentum
November itu pahlawan-pahlawan Indonesia pernah menggoreskan sejarah heroik
perlawanan atas penindasan kaum penjajah, tepatnya di Surabaya.
Tapi rentetan dari
semua itu, termasuk elemen-elemen pendukung
khidmat peringatannya, belum akan
menghentikan peristiwa kepahlawanan itu sendiri. Artinya romantisme
sejarah kepahlawanan itu boleh saja
berakhir. Namun pemantapan nilai kepahlawanan
manusia Indonesia harus tetap
berlanjut sebagai proses tanpa ujung
terutama kelompok intelektual yang diwakili oleh mahasiswa. Bagaimanapun kini layar sudah terkembang. Di depan para mahasiswa kaum terdidik itu kini
sedang menanti sekian banyak dialektika akademik dan sosial baik di dalam maupun di
luar kampus yang dapat mengggiring bangsa pada
kehancuran atau kemajuan.
Pertanyaannya, sejauh manakah
seorang terdidik
–dalam hal ini mahasiswa– dapat berkontribusi bagi keberlanjutan nilai-nilai patriotisme[1] yang digelorakan sudah sejak lama oleh para pahlawan
bangsa? Tulisan ringkas ini dimaksudkan
untuk memberikan wacana umum bagi para
mahasiswa dan kontribusinya terhadap
masa depan Indonesia di tengah langkanya isu patriotisme bangsa di kalangan
mahasiswa.
Kalangan
akademisi saat ini dinilai sudah malas menggelorakan semangat patriotisme.
Padahal dunia kampus termasuk di dalamnya para akademisi menjadi motor untuk
sebuah gagasan, pemikiran yang bisa menjadi inspirasi sosial.
Patriotisme biasanya menyeruak ketika identitas dan
eksistensi sebuah bangsa mengalami ancaman. Ia tumbuh seiring magma
nasionalisme tengah
membara, membuncah ketika
gelora revolusi dihembuskan. Seperti yang pernah diutarakan budayawan Goenawan Mohamad, Patriotisme bisa
mendapatkan artikulasinya dengan gelora hati, dan gelora hati memang sering
mendorong muncul kalimat-kalimat yang menggetarkan. Maka, dibutuhkan ingatan
kolektif dan renungan sekiranya nilai dan semangat patriotisme itu mulai redup. Tentu, tidaklah cukup sebuah monumen pahlawan
atau sekedar peringatan hari pahlawan akan signifikan menumbuhkan sikap
patriotisme.
Antonio Gramsci,
seorang filosuf Italia, mengatakan bahwa intelektual bukan dicirikan oleh
aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang atau individu, melainkan
oleh fungsi yang mereka jalankan. Gramsci menulis “oleh karena itu, kita bisa
mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang
mempunyai fungsi intelektual”. (Roger Simon; 1999, 140) Catatan dan ide
intelektual Garmsci itu bisa dilihat dalam Prison Notebooks yang dia
tulis semasa di penjara antara tahun 1929 dan tahun 1935 setelah divonis
bersalah oleh pemerintahan fasis Mussolini.
Salah satu gagasan Gramsci adalah diskursus yang
dikembangkannya mengenai konsep intelektual. Gramsci membagi intelektual ke
dalam dua kategori: tradisional dan organik. Menurutnya, intelektual
tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual
menara gading yang melakukan perselingkuhan dan aliansi dengan kelompok penguasa. Karena itu,
intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial.
Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik merupakan kategori yang bisa
dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok intelektual yang
mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial
masyarakatnya. Kaum intelektual yang demikian ini sejatinya muncul secara
alamiah dari dalam diri dan seiring dengan pergerakan masyarakat, bukan
dipaksakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakatnya. Atau, dalam
bahasa Gramsci, muncul dari kelompok pekerja (the working class). Karena itu, mereka
cenderung revolusioner dan tidak konservatif. (Selections from the Prison
Notebooks of Antonio Gramsci; 1971).
Inti dari
pemikiran Gramsci soal intelektual adalah intelektual fungsional. Intelektual
fungsional berarti bahwa kaum intelektual harus mampu menjalankan fungsi
sebagai organisator dalam segala aspek kehidupan masyaraat. Artinya, kualitas
intelektualitas tidak diukur dari kapasitas prestasi yang ditentukan melalui
nilai-nilai akademik semata namun lebih dari itu kualitas intelektual harus
diukur dari sejauh mana kaum intelektual mampu memfungsikan diri di
lingkungannya, hidup dan berkembang bersama masyarakat serta berkontribusi
nyata.
Terdapat korelasi
tentang gagasan intelektual fungsional Gramsci dengan pentingnya memfasilitasi
intelektual muda (baca; mahasiswa) agar dapat pula menjadi insan yang
kontributif. Dengan begitu mahasiswa tidak hanya berjibaku dengan kehadiran di
bangku kuliah dan mengejar perbaikan nilai akademik, tetapi lebih dari itu
mahasiswa harus mampu memahami virtues of life, mengembangkan gagasan
dan jiwa kritisnya. Virtues yang berarti kemuliaan, kewibawaan,
kehormatan dan keutamaan akan sulit tercapai bila mahasiswa hanya didoktrin untuk
mendongkrak nilai akademik tanpa diberikan peluang dialektis untuk tumbuh dan
berkembang menjalankan fungsi intelektualnya.
Padahal sebagai
aktor dalam social
development, mahasiswa harus berperan sebagai tenaga-tenaga
terdidik yang dapat menyalurkan keterampilan dan keilmuannya untuk masyarakat
terhadap isu-isu kemasyarakatan, misalnya dengan memberikan pelatihan,
penyuluhan, advokasi masyarakat, program pendampingan masyarakat, dan lain-lain.
Artikulasi Patriotisme: Gelora Hati
Apa yang membuat patriotisme menggelora khususnya pada
kalangan mahasiswa menguat sekaligus mengendur? Mungkin butuh pemikiran dan
waktu panjang menyebutnya satu persatu. Orang menuduh globalisasi, teknologi
informasi sebagai pemicu lemahnya patriotisme. Tapi sepertinya, lebih tepat
menjawabnya karena ketiadaan musuh tunggal milik bersama mahasiswa yang hadap
berhadapan dengan isu patriotisme itu sendiri. Musuh mahasiswa dewasa ini
adalah tuntutan untuk cepat selesai kuliah, mendapatkan pekerjaan,
kesejahteraan setelah itu mati.
Padahal ternyata patriotisme membutuhkan musuh bersama
yang harus diperangi. Dan musuh haruslah diidentifikasi dengan bijaksana bukan
dengan mereka-reka dalam kalkulasi yang keliru dan tanpa analisa intelektual.
Kenapa gerakan mahasiswa 1998 begitu monumental ketika menjatuhkan rezim Orde
Baru? Jawabannya karena mahasiswa sadar akan musuhnya yang satu, rezim Suharto
yang otoriter!
Sekali lagi, layak dikutip kembali apa yang pernah
ditulis Goenawan Mohamad, “Bila Anda seorang pengikut Carl Schmitt, pemikir
politik anggota Partai Nazi, Anda akan mengatakan bahwa dalam das Politische,
musuh adalah keniscayaan. Kelanjutan hidup sebuah
bangunan politik ditentukan dari permusuhan itu. Negara diatur oleh kemungkinan
konflik yang tak pernah hilang dan selamanya berada di tengah ketidakpastian.
"Tantangan kita," tulis Menteri Pertahanan Rumsfeld dalam majalah
Foreign Affairs, "adalah untuk mempertahankan bangsa kita menghadapi yang
tak diketahui, yang tak pasti, tak terlihat dan tak terduga-duga."
Di belakang itu semua, patriotisme mensyaratkan komitmen
dan gelora hari. Gelora hati menyiratkan niat dan komitmen. Maka mempertanyakan
patriotisme di kalangan kaum terdidik (baca: mahasiswa) adalah mempertanyakan
apa tujuan dan maksud hati kaum intelektual tersebut ketika menjejakkan kaki di perguruan tinggi?
Wallahua’lam bisshowab.#
# Makalah
Disampaikan pada Acara Diskusi “Refleksi Dalam Rangka Memperingati Hari
Pahlawan", Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Jumat, 09 November
2012.
[1] Patriotisme adalah sikap untuk selalu mencintai atau membela tanah air yang mempunyai semangat, sikap dan
perilaku cinta tanah air, dimana tercakup sikap untuk sudi mengorbankan segala-galanya bahkan
jiwa sekalipun demi kemajuan, kejayaan dan kemakmuran tanah air.