Ketika Rancangan
Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) sedang akan digodok bersama oleh
Pemerintah dan DPR, kontan RUU tersebut mendapat penolakan dari beragam
kalangan mulai dari mahasiswa, pemerhati HAM hingga pegiat LSM. Penolakan
tersebut belakangan juga muncul dari dalam DPR sendiri antara lain Fraksi
PDIP, Hanura dan PPP. Beberapa Fraksi DPR tersebut secara bulat menolak RUU Kamnas
untuk dilanjutkan pembahasannya. Pasca penolakan berbagai kalangan tersebut, Naskah
RUU Kamnas kemudian disempurnakan oleh Pemerintah yang
disertai dengan beberapa revisi.[1] Namun,
ternyata revisi tersebut tidak mengandung signifikansi jika dibandingkan dengan naskah sebelumnya. Alhasil, substansi RUU Kamnas dianggap tetap
beresiko mengancam kebebasan dan
supremasi sipil.[2]
Ada banyak isu yang
mewarnai kelanjutan masa depan RUU Kamnas. Mereka yang menolak berargumen bahwa RUU Kamnas akan menabrak
tertib sipil dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang
sedang terbangun pasca reformasi. Bahkan, RUU Kamnas dianggap sebagai palu
godam bagi kebebasan dan independensi pers. Sebaliknya, ada pula pihak yang
mendukung pengesahan RUU Kamnas sebab dianggap sebagai senjata ampuh untuk
menangkis potensi ancaman serangan asing terhadap kedaulatan bangsa dan negara.[3]
Pertanyaannya, kenapa RUU Kamnas begitu “sensitif” dan menarik perhatian
publik? Nomenklatur apa saja yang menjadi polemik sehingga RUU Kamnas harus disikapi
dengan ekstra hati-hati? Tulisan ringkas
ini dimaksudkan untuk memberikan wacana mendasar tentang masa
depan RUU Kamnas dari aspek legislasi dan pentingnya mengawal pembahasan RUU Kamnas sehingga nantinya tidak mengancam keberlangsungan demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia.
Beberapa pasal krusial yang menjadi episentrum perdebatan
dalam RUU Kamnas antara lain, pertama[4], rumusan tentang kamnas dan
ancaman terhadap kamnas yang masih
sangat luas
dan multitafsir (Pasal 1 Ayat 1 dan 2). Rumusan tentang kamnas dan ancaman terhadap kamnas
dianggap potensial disalahgunakan karena rumusan “tujuan kamnas” ditekankan pada ”keberlangsungan pembangunan
nasional” (Pasal 3). Nomenklatur kamnas, ancaman terhadap kamnas dan tujuan
kamnas akan sangat “elastis” sehingga memberikan ruang yang leluasa bagi
penguasa untuk menafsirkan secara subyektif demi kepentingan
kekuasaan.
Sebagai analogi, ketika mahasiswa atau sekelompok masyarakat melakukan kritik atau unjuk rasa
memprotes kebijakan pemerintah maka
bisa dikategorikan ancaman dan dapat dilakukan tindakan represif.
Kedua, pengaturan mengenai jenis ancaman sebagaimana
diatur pada Pasal 17 draft RUU yang terdiri dari ancaman militer, ancaman bersenjata, dan ancaman tidak bersenjata. Pada
jenis ancaman tidak bersenjata, definisi ancaman yang multi tafsir menyebabkan
problematika tersendiri bila dikaitkan dengan jenis ancaman dimaksud. Apalagi
mengingat jenis ancaman tidak bersenjata mencakup jenis ancaman aktual, seperti
pelanggaran wilayah perbatasan, konflik horizontal dan komunal, serta
anarkisme. Menariknya, selain jenis ancaman tersebut dimasukkan pula jenis
ancaman lain yang cenderung absurd dan bahkan abstraktif seperti ideologi
radikalisme, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, hingga
diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi.
Terkait idiologi radikalisme,
dalam politik global dewasa ini memang idiologi tersebut menjadi tema penting
yang hampir dijadikan musuh bersama dan dianggap sebagai bibit terorisme. Tentu
tidak sepenuhnya tesis ini benar sebab akan muncul banyak perdebatan filosofis.
Namun yang patut dicatat adalah bahwa bukanlah perkara sederhana untuk
mengkualifikasi idiologi radikalisme sebagai sebuah ancaman yang benar-benar
ancaman. Apalagi mengingat idiologi erat kaitannya dengan alam pikiran yang
sulit diukur kadarnya apakah yang menjadi ukuran bahwa suatu idiologi patut
disimpulkan sebagai idiologi radikalisme. Absurditas semacam inilah yang justru
bisa menjadi satu “alat” bagi pemegang kekuasaan untuk kemudian mengontrol alam
pikiran atau idiologi seseorang (warganegara). Padahal konstitusi menjamin kebebasan
berpendapat dan berorganisasi sebagaimana diatur Pasal 29E ayat (3) UUD NRI
1945.[5]
Ketiga, penempatan posisi TNI
sebagai unsur utama penyelenggara kamnas sebagaimana diatur Pasal 20 RUU ini.
TNI diposisikan lebih utama dibandingkan Polri dalam penyelenggaraan kamnas.
Banyak kemudian yang mencurigai bahwa paradigma ini akan mengembalikan peran
militer dalam penanganan persoalan sosial kemasyarakatan. Bayang-bayang Orde
Baru yang militeristik seketika muncul ke muka.
Keempat, masih berkaitan dengan
posisi TNI, RUU Kamnas mencantumkan salah satu status keadaan kamnas yakni
tertib sipil dimana Presiden sewaktu-waktu dapat mengerahkan TNI tanpa perlu
persetujuan DPR (Pasal 10). Persoalannya bukan pada perlu tidaknya persetujuan
DPR dalam hal Presiden mengerahkan TNI dalam konteks menjaga tertib sipil,
tetapi, persoalan yang muncul adalah terpinggirkannya fungsi Polri yang
sejatinya bertanggungjawab dalam menjaga dan mengawal status tertib sipil.
Sebab, lazimnya dalam kondisi tertib sipil, Polri berposisi sebagai leading
institution karena tertib sipil belum sampai pada tahap kondisi luar biasa
yang mengharuskan militer untuk turun tangan.
Kelima, keberadaan Dewan Keamanan
Nasional (DKN) yang dipimpin langsung oleh Presiden sehingga besar kemungkinan
Presiden dapat bertindak sewenang-wenang karena Presiden sendiri yang
merumuskan strategi kamnas sekaligus mengendalikan kamnas terutama dalam
konteks status tertib sipil. Bila hal ini tetap dipaksakan maka yang terjadi
kemudian otoriterianisme yang mengancam supremasi sipil dan hak asasi manusia.
Dalam konteks kamnas, layak barangkali mengutip kembali
apa yang pernah ditulis Goenawan Mohamad, “...negara diatur oleh kemungkinan
konflik yang tak pernah hilang dan selamanya berada di tengah ketidakpastian. "Tantangan kita,"
tulis Menteri Pertahanan Rumsfeld dalam majalah Foreign Affairs, "adalah
untuk mempertahankan bangsa kita menghadapi yang tak diketahui, yang tak pasti,
tak terlihat dan tak terduga-duga."
RUU Kamnas:
Problematika Sistem dan Fungsi Legislasi
Ibarat pertarungan tinju, RUU
Kamnas kini makin memanas. Sikap DPR yang tidak seragam dan Pemerintah yang
cenderung memaksakan kehendak membuat pembahasan dan pengesahan RUU Kamnas
seperti perjalanan tak berujung. Apalagi jika dikaitkan dengan sistem legislasi
yang dianut dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Dalam dimensi tantangan penataan sistem legislasi dan
kelembagaan pembentuk undang-undang, sistem legislasi yang kini berlaku masih
belum paralel dengan sistem pemerintahan yang dianut sehingga seringkali hal
ini memunculkan masalah dalam implementasi pembentukan hukum. Jika sistem
pemerintahan adalah sistem presidensial, namun sistem legislasi cenderung
bercorak parlementer dimana eksekutif dan legislatif sama-sama saling
berkepentingan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sekali lagi,
Indonesia dihadapkan pada anomali presidensial dalam dimensi praktek dan sistem
legislasi. Saldi Isra mencatat bahwa telah terjadi pergeseran fungsi legislasi yang
diindikasikan dengan menguatnya
model legislasi parlementer dalam sistem presidensial Indonesia.[6] Lebih lanjut
Saldi Isra mencatat bahwa akar
persoalannya ada
pada
Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 hasil amendemen. Kedua pasal ini
memberi peran eksekutif terlibat dari tahap pengajuan (inisiatif), pembahasan,
persetujuan, pengesahan, hingga pengundangan. Singkatnya, eksekutif terlibat di
semua tahapan.[7]
Dalam
hal legislasi, idealnya skema presidensial memposisikan Presiden hanya pada tahap pengesahan dengan
menandatangani RUU yang telah disetujui kedua kamar Parlemen (DPR dan Senat). Artinya
Presiden tidak terlibat sama sekali dalam pembahasan dan pengambilan keputusan
persetujuan atas RUU. Amerika Serikat adalah contoh negara yang sudah mapan
dalam menerapkan sistem legislasi yang parelel dengan sistem presidensialnya.
Persoalan lain terkait penataan sistem legislasi adalah
ketimpangan legislasi antara kamar-kamar parlemen yakni antara DPR dan DPD.
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memang tegas
menyatakan kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Artinya DPD
bukanlah lembaga legislasi sehingga tidak memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Tetapi di lain
pihak, DPD yang masuk dalam poros kekuasaan legislatif menjadi bagian tak
terpisahkan dari MPR yang terintegrasi secara institusional dalam format
parlemen kita.[8] Ketimpangan fungsi
legislasi ini berpotensi melemahkan mekanisme saling kontrol antar lembaga
negara (check and balances).
Persoalan sistem legislasi
tersebut kini juga terjadi pada RUU Kamnas. Trimedya Panjaitan, Wakil Ketua
Pansus RUU Kamnas F-PDIP mengatakan bahwa "DPR, dalam hal ini Pansus RUU
Kamnas, seharusnya bisa langsung mengembalikan lagi RUU tersebut kepada
pemerintah pada awal pembahasan RUU Kamnas. Namun, konstelasi politik berubah.
Jika dalam rapat pleno tanggal 20 Maret 2012 ada tujuh fraksi setuju mengembalikan
RUU Kamnas kepada pemerintah dan hanya dua fraksi yang sepakat RUU dibahas,
dalam rapat pleno 10 Juli 2012 tinggal tiga fraksi yang konsisten untuk
mengembalikan RUU Kamnas."[9]
Kekisruhan RUU Kamnas dalam konteks sistem legislasi sebetulnya tidak
akan terjadi jika saja sistem legislasi beriring jalan dengan sistem
pemerintahan yang dianut. Artinya, efek domino dari kekisruhan sistem legislasi berdampak pula
pada setiap subjek peraturan perundang-undangan yang akan dilahirkan. Namun, di belakang itu semua, setiap RUU yang
dilahirkan oleh DPR-Pemerintah sejatinya mensyaratkan komitmen kerakyatan
(kepentingan rakyat). Apakah DPR-Pemerintah benar-benar menyadari hal itu? Wallahua’lam
bisshowab.#
[1] Naskah
RUU Keamanan Nasional (Kamnas) tertanggal 16 Oktober 2012 yang diterima Panitia Khusus
(Pansus) RUU Kamnas, Selasa, 23 Oktober 2012 memang terdapat perubahan dibandingkan naskah
RUU sebelumnya, yaitu semula terdiri atas 60
pasal jadi 55 pasal.
[2] Lihat Trimedya Panjaitan, “Quo Vadis
RUU Kamnas” Artikel pada Harian
Kompas 12 November 2012.
[3] Menariknya, dukungan justru muncul dari sebagian kalangan aktivis mahasiswa
termasuk HMI. Ketua Bidang PTKP PBHMI bahkan menyatakan dukungannya atas
pengesahan draft RUU Kamnas karena dianggap efektif melindungi kedaulatan
bangsa dari segenap ancaman. Lihat artikel berita
http://news.okezone.com/read/2012/10/31/339/711785/pb-hmi-dukung-ruu-kamnas
diakses 20 November 2012.
[4] Makalah ini tidak membahas bab demi bab tetapi lebih pada menitikberatkan
pada bagian-bagian krusial dalam RUU Kamnas.
[5] Pasal 28E Ayat (3) lengkapnya berbunyi;
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.**)
[6] Lihat Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi:Menguatnya Model
Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010. Hlm. 121.
[7] Ibid.
[8] MPR dikatakan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih lewat
Pemilu. Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945.
[9] Lihat Trimedya Panjaitan, “Quo Vadis
RUU Kamnas” Artikel pada Harian
Kompas 12 November 2012.
#Makalah dipresentasikan pada Diskusi RUU Kamnas yang diselenggarakan oleh Badan eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Jakarta, 22 November 2012