JAKARTA - Pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menuding anggota DPRD sebagai tukang palak bisa berujung pemakzulan.
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, menyebut pernyataan Ahok mengenai DPRD sebagai tindakan contempt of parliament atau penghinaan terhadap institusi parlemen yang berdampak pada konsekuensi hukum dan politik.
Konsekuensi hukum bisa muncul ke permukaan bila anggota dewan mengadukan Ahok ke polisi atas tudingan penghinaan. Sedangkan konsekuensi politik, Ahok bisa dimakzulkan sesuai Pasal 29 ayat 1 dan 2 UU Nomor 32 tahun 2004.
"Dalam undang undang itu disebut, kepala daerah dan wakil berhenti karena tiga hal, meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan. Nah, kepala daerah dapat diberhentikan karena melanggar sumpah jabatan, korupsi, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah, salah satunya melakukan perbuatan tercela," ujar Masnur kepadaOkezone, Kamis (11/9/2014).
Masnur mencontohkan, nasib mantan Bupati Garut, Aceng Fikri sebagai korban pemakzulan karena perbuatan tercela. "Aceng dimakzulkan karena dianggap melecehkan perempuan. Nasib serupa bisa didapat Ahok karena pernyataannya yang menghina DPRD," tambah Masnur.
Menurut Masnur, tindakan Ahok yang terkesan memusuhi DPRD dapat menganggu roda pemerintahan di daerah yang ia pimpim. Apalagi DKI Jakarta memiliki Undang Undang Nomor 29 tahun 2009 tentang Pemerintahan DKI Jakarta.
"Inti dari Undang-Undang tersebut, gubernur, wakil gubernur dan DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah. Jadi kalau hubungan antara keduanya buruk, bisa mengganggu jalannya pemerintahan. Otonomi di DKI diletakkan di tingkat provinsi. Beda dengan pelaksanaan otonomi di luar DKI dimana otonomi diletakkan di kabupaten dan kota," pungkas Direktur Internasional Program FH UII tersebut.
Pernyataan 'nyeleneh' Ahok terhadap kinerja DPRD terlontar seiring tengah digodoknya RUU Pilkada di Senayan. Ahok tak sepakat pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Bahkan Ahok sampai keluar dari Gerindra yang merupakan partai pendukung disahkannya RUU Pilkada tersebut.
(ful)
Sumber; www.okezone.com
http://news.okezone.com/read/2014/09/11/339/1037799/hina-dprd-ahok-bisa-dimakzulkan
Thursday, September 11, 2014
Sunday, September 7, 2014
Politik Hukum Pengangkatan Hakim MK
Setelah kegaduhan lambatnya MK mengumumkan vonis tentang ”pemilu
legislatif dan presiden serentak” kini
MK kembali menimbulkan polemik terkait putusan atas perkara uji
materi atau judicial review atas UU No 14 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua UU MK (UU/ Perppu MK). Kamis, 13/2, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2014 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Salah satu substansi UU Nomor 4 Tahun
2014 yang dibatalkan tersebut adalah menyangkut pengangkatan hakim konstitusi melalui
panel ahli.
Banyak pihak mengecam putusan MK tersebut. Komisioner
KY, Imam Anshori Saleh bahkan mengatakan putusan tersebut sebagai tragedi
penegakan hukum. Namun tak sedikit pula yang mendukung langkah MK
membatalkan UU Nomor 4 Tahun 2014
tersebut. Sebagai peradilan atas sistem hukum (court of law) putusan MK
sudah tepat dan konstitusional termasuk soal dibatalkannya ketentuan
pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli.
Pasca tertangkapnya mantan Ketua MK, Akil Mochtar,
pengangkatan hakim konstitusi menjadi salah satu isu sentral yang disorot
publik terutama transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses rekrutmen
hakim konstitusi. UUD 1945 telah menggariskan bahwa perekrutan sembilan hakim konstitusi
dilakukan melalui model split and quota yaitu memberi “jatah” Presiden,
DPR dan MA untuk “mengajukan” tiga hakim konstitusi. Pasal 23C ayat (3) UUD
1945 menyatakan “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga
orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga
orang oleh Presiden.”
Politik Hukum
Politik hukum adalah pilihan tentang hukum-hukum yang akan
diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara. Dalam
konteks mekanisme pengangkatan hakim konstitusi, politik hukum berarti sistem seperti apa
yang diharapkan sehingga dapat mencapai tujuan utama kekuasaan kehakiman, yakni
tegaknya hukum dan keadilan.
Politik hukum pengangkatan hakim konstitusi
telah mengalami perkembangan yang cukup dramatis dan dinamis terutama setelah
MK membatalkan UU 4/2014. Salah satu materi yang dibatalkan MK tersebut adalah
perihal pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli oleh KY. Selain
membatalkan UU tersebut, dalam amar putusannya, MK juga menegaskan berlakunya
kembali Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sebelum terbitnya UU 4/2014, pengangkatan hakim konstitusi
dilakukan tanpa terlebih dahulu diseleksi oleh panel ahli yang dibentuk KY.
Seleksi hakim konstitusi dilakukan secara internal oleh masing-masing lembaga
pengusul. Menindaklanjuti krisis MK pasca tertangkapnya Akil Mochtar,
Pemerintah bersama DPR membuat terobosan hukum baru (legal policy)
berupa kebijakan pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli KY
sebagaimana ditentukan Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU
4/2014. Kini dengan dibatalkannya keseluruhan materi UU 4/2014, pengangkatan
hakim konstitusi kembali ke format lama yakni diajukan masing-masing tiga orang
oleh DPR, Presiden dan MA.
Sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the
constitution) MK sepertinya tidak mau ketinggalan untuk turut serta
menentukan arah politik hukum pengangkatan hakim konstitusi. MK berpendapat
bahwa pelibatan KY dalam membentuk panel ahli sebagaimana ketentuan dalam UU
4/2014 merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas
bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus
2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa hakim MK tidak terkait dengan
KY yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945.
Jika dilihat dari substansi pengaturannya dalam
Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU 4/2014 keberadaan panel
ahli yang dibentuk oleh KY memang lebih tepat dijadikan materi dalam pasal
konstitusi atau UUD ketimbang hanya diatur sebatas pasal dalam undang-undang.
Keputusan MK sudah tepat ketika memutuskan inskonstitusionalitas panel ahli dalam
proses pengangkatan hakim konstitusi. Pasal 24B UUD 1945 yang mengatur
kewenangan KY tidak menyebutkan sedikitpun tentang keberadaan panel ahli dalam
pengangkatan hakim konstitusi. KY hanya berwenang mengusulkan calon hakim agung
dan kewenangan lain yang ditentukan oleh undang-undang. Putusan MK tersebut
seolah menyindir para elit di Senayan untuk segera merevisi (amandemen) UUD
1045 yang masih mengandung banyak kelemahan agar politik hukum pengangkatan
hakim konstitusi memiliki kejelasan konstitusional (clear constitutional
arrangements). Ke depan, MK tidak akan dapat lagi membatalkan ketentuan
pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli KY jika ketentuan tersebut
telah termaktub jelas dalam UUD.
Opened Legal Policy versus Negative
Legislature
Mantan Ketua MK, Mahfud MD pernah mengatakan pengangkatan
hakim konstitusi adalah materi yang bersifat ”opened
legal policy”. Artinya,
materi-materi tersebut terkait masalah yang sepenuhnya menjadi wewenang lembaga
legislatif untuk menentukannya. M. Fajrul Falakh dalam kesaksiannya sebagai
saksi ahli dari Pemerintah dalam sidang pengujian UU 4/2014 juga mendalilkan
bahwa suatu model proses perekrutan yudikatif (model of judicial recruitment
process) dapat ditentukan dalam Undang-Undang (kebijakan politik atau legal
policy).
Merujuk pada pendapat kedua pakar Hukum Tata Negara
tersebut, keberadaan panel ahli dan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi
panel ahli dalam UU 4/2014 ini dapat disimpulkan sebagai sebuah terobosan dalam
proses pengisian hakim konstitusi. Karena itu, pembentukan panel ahli tidak
dapat dimaknai sebagai bentuk upaya menambah kewenangan Komisi Yudisial (KY).
Merujuk substansi dalam UU 4/2014, KY hanya "sebatas" memilih
sebagian calon panel ahli. Lalu, Panel Ahli yang akan melakukan segala macam
proses dalam menentukan calon Hakim Konstitusi. Dalam berbagai perspektif,
desain yang dibuat UU 4/2014 adalah upaya untuk menjadikan proses pengisian
calon Hakim Konstitusi lebih terbuka dan demokratis.
DPR sebagai pihak termohon mendalilkan bahwa ketentuan
tentang panel ahli yakni Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU
4/2014 merupakan legal policy DPR bersama Pemerintah sebagai pembentuk
Undang-Undang dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 dan
untuk menghasilkan hakim-hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara sebagaimana
diamanatkan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945.
Namun MK berkata lain. Menurut delapan hakim
konstitusi, pembentukan panel ahli KY sebagai pintu pertama rekrutmen hakim
konstitusi bertentangan dengan konstitusi yakni Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Selain itu,
MK berpendapat bahwa keberadaa panel ahli bertentangan dengan filosofi yang
mendasari perlunya hakim konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang berbeda. Hal
ini didasari pada tafsir MK atas Pasal 24C UUD 1945 bahwa pasal tersebut memberikan
kewenangan atributif yang bersifat mutlak kepada masing-masing lembaga negara
mengajukan calon hakim konstitusi.
Terlepas dari apakah panel ahli dan syarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi panel ahli merupakan opened legal policy atau
tidak, MK memiliki tiga alasan dalam
mengadili permohonan pengujian UU 4/2014 yaitu: pertama, tidak ada forum
lain yang bisa mengadili permohonan tersebut. Kedua, MK tidak boleh menolak
mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak
jelas mengenai hukumnya. Ketiga, perkara tersebut merupakan kepentingan
konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi MK
sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat.
Dalam banyak buku bacaan umumnya mencatat bahwa kewenangan
MK dalam pengujian undang-undangan adalah sebagai negative legislature dan
bukan menjadi positive legislature. Melalui putusan atas judicial review
UU 4/2014, MK kembali menasbihkan dirinya sebagai peradilan konstitusi yang
berwenang hanya sebatas membatalkan norma atau membiarkan norma dalam
undang-undang berlaku (negative legislature). Hans Kelsen pernah mengatakan
bahwa lembaga peradilan hanya berwenang membatalkan suatu undang-undang atau
mengatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum. (... a court
which is competent to abolish laws-invidually or generally- function as a
negative legislator). Dalam kaitannya dengan UU 4/2014, DPR bersama
Pemerintah telah menjalankan fungsinya sebagai positive legisator. Di
lain poros, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, MK kemudian menganulir
pemberlakuan UU 4/2014 dalam kapasitasnya sebagai negative legislator.
Di sinilah mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan dapat jelas
terlihat implementasinya secara paralel.
Terlepas
pro-kontra atas judicial riview UU 4/2014, publik tetap harus
menghormati putusan MK membatalkan pemberlakuan UU tersebut. Bukankah sebagai
peradilan konstitusi, MK diikat oleh keberadaan azas res judicata
proveritate habetur bahwa putusan MK yang sudah berkekuatan hukum harus
dianggap benar, bersifat mengikat sehingga harus diikuti dan dilaksanakan.#
[Pengamat Hukum Tata Negara UII Sepakat Pilpres Satu Putaran]
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 berlangsung satu putaran, masih asumsi meski hanya diikuti oleh dua pasangan calon. KPU masih harus melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak menyangkut pasal dalam Undang Undang yang mengatur pemenang pemilu.
Ketentuan pemenang pemilu tercantum dalam bunyi Pasal 6A ayat 3 UUD 1945, yaitu pasangan yang berhak dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dalam pemilu dengan sebaran 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Menyikapi itu, pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki, berpendapat Pilpres dengan dua peserta pasangan calon tak harusnya berlangsung dua putaran. Ini karena Pasal 6A ayat 3 serangkaian dengan Pasal 6A ayat 4.
Pasal 6A ayat 4 menyebut, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
"Karena norma Pasal 6A ayat 3 masih satu rangkaian dengan dengan Pasal 6A norma ayat 4. Nah, Pasal 6A ayat 4 terang-terangan menyatakan bahwa pemenang adalah yang memperoleh suara terbanyak. Untuk saat ini (terdapat dua pasangan calon), maka ketentuan 50 persen suara plussebaran 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi tidak berlaku," terangnya kepada Okezone, Senin (9/6/2014).
Dia juga berpendapat, KPU tidak bisa meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hal itu karena ketentuan Pasal 6A ayat 3 termaktub dalam Undang Undang Dasar."Fatwa MA memang bisa diminta, tapi dalam konteks meminta pendapat MA terkait penerapan norma yang dibuat oleh KPU melalui peraturan KPU," jelasnya.
Selain itu, upaya KPU meminta pendapat para ahli Hukum Tata Negara juga tidak perlu dilakukan karena hanya buang-buang anggaran dan energi. Ini lantaran pendapat para ahli tidak berlaku mengikat. "Lebih tepat ya mengajukan judicial review ke MK atas Pasal 159 ayat 1 Nomor 42 tahun 2008, hanya saja terlalu sempit waktu pengajuannya karena sudah menjelang Pilpres dan MK juga sibuk memutus sengketa Pileg," pungkasnya. (ris)
Sumber: http://pemilu.okezone.com/read/2014/06/09/568/996225/pengamat-hukum-tata-negara-uii-sepakat-pilpres-satu-putaran
Ketentuan pemenang pemilu tercantum dalam bunyi Pasal 6A ayat 3 UUD 1945, yaitu pasangan yang berhak dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dalam pemilu dengan sebaran 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Menyikapi itu, pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki, berpendapat Pilpres dengan dua peserta pasangan calon tak harusnya berlangsung dua putaran. Ini karena Pasal 6A ayat 3 serangkaian dengan Pasal 6A ayat 4.
Pasal 6A ayat 4 menyebut, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
"Karena norma Pasal 6A ayat 3 masih satu rangkaian dengan dengan Pasal 6A norma ayat 4. Nah, Pasal 6A ayat 4 terang-terangan menyatakan bahwa pemenang adalah yang memperoleh suara terbanyak. Untuk saat ini (terdapat dua pasangan calon), maka ketentuan 50 persen suara plussebaran 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi tidak berlaku," terangnya kepada Okezone, Senin (9/6/2014).
Dia juga berpendapat, KPU tidak bisa meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hal itu karena ketentuan Pasal 6A ayat 3 termaktub dalam Undang Undang Dasar."Fatwa MA memang bisa diminta, tapi dalam konteks meminta pendapat MA terkait penerapan norma yang dibuat oleh KPU melalui peraturan KPU," jelasnya.
Selain itu, upaya KPU meminta pendapat para ahli Hukum Tata Negara juga tidak perlu dilakukan karena hanya buang-buang anggaran dan energi. Ini lantaran pendapat para ahli tidak berlaku mengikat. "Lebih tepat ya mengajukan judicial review ke MK atas Pasal 159 ayat 1 Nomor 42 tahun 2008, hanya saja terlalu sempit waktu pengajuannya karena sudah menjelang Pilpres dan MK juga sibuk memutus sengketa Pileg," pungkasnya. (ris)
Sumber: http://pemilu.okezone.com/read/2014/06/09/568/996225/pengamat-hukum-tata-negara-uii-sepakat-pilpres-satu-putaran
[Pimpinan DPR Tak Harus dari Parpol Pemenang Pemilu] | http://news.okezone.com/
JAKARTA - Sejumlah fraksi di DPR mengusulkan agar pimpinan dewan tidak otomatis berasal dari partai pemenang pemilu seperti yang berlaku selama ini, melainkan lewat mekanisme pemilihan. Wacana tersebut dibahas dalam revisi UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Menanggapi itu, dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Masnur Marzuki menyambut baik. Menurutnya otomatisasi pemenang pemilu menjadi pimpinan dewan bertentangan dengan nilai dan hak konstitusional anggota dewan sebagai wakil rakyat sekaligus wakil partai politik.
"Ketika terpilih menjadi anggota dewan, maka secara hukum setiap anggota dewan memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih tanpa membedakan posisi rangking partai hasil pemilu," ujarnya saat dihubungiOkezone di Jakarta, Kamis (5/6/2014).
Menurutnya, posisi pimpinan dewan memang sebaiknya ditentukan lewat mekanisme pemilihan terbuka di DPR, seperti yang terjadi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ini karena lembaga itu sama-sama perwakilan rakyat sehingga format pemilihan pimpinan juga selayaknya sama.
"Di MPR bisa terjadi pemilihan pimpinan secara terbuka seperti periode 2009-2014. Saat itu yang menjadi pemenang pemilu adalah Partai Demokrat tapi yang mengisi posisi ketua MPR justru kader PDI Perjuangan," terangnya.
Dia juga beranggapan, posisi pimpinan dewan yang secara langsung diisi oleh kader partai politik pemenang pemilu sangat bertentangan dengan demokrasi. "Intinya, format ketua dewan harus dari partai pemenang pemilu itu membajak esensi demokrasi dan melanggar hak konstitusional anggota dewan terpilih," tegasnya.
Disinggung kemungkinan akan terjadi polemik karena Fraksi PDI Perjuangan yang merupakan pemenang Pemilu 2014-2019 menolak usulan tersebut, ia tak menampik hal itu. Ini karena partai besutan Megawati Soekarnoputri itu jelas menjadi pihak yang paling dirugikan.
"Tapi kabarnya mayoritas fraksi di DPR sepakat mengubah ketentuan (pimpinan dewan berasal dari partai pemenang pemilu) tersebut. Golkar dan PKS sudah bersikap secara terbuka," pungkasnya. (ris)
http://news.okezone.com/read/2014/06/05/339/994542/pimpinan-dpr-tak-harus-dari-parpol-pemenang-pemilu
Subscribe to:
Posts (Atom)