Remediasi dan Gagasan Intelektual Gramsci
Antonio Gramsci, seorang filosuf Italia, mengatakan bahwa intelektual bukan
dicirikan oleh aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang atau
individu, melainkan oleh fungsi yang mereka jalankan. Gramsci menulis “oleh
karena itu, kita bisa mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun
tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual”. (Roger Simon; 1999, 140)
Catatan dan ide intelektual Garmsci itu bisa dilihat dalam Prison Notebooks yang
dia tulis semasa di penjara antara tahun 1929 dan tahun 1935 setelah divonis
bersalah oleh pemerintahan fasis Mussolini.
Salah satu gagasan Gramsci adalah diskursus yang dikembangkannya mengenai konsep intelektual. Gramsci
membagi intelektual ke dalam dua kategori: tradisional dan organik. Menurutnya,
intelektual tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur
intelektual menara gading yang melakukan perselingkuhan dan aliansi dengan kelompok penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif
terhadap perubahan sosial. Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik
merupakan kategori yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok
intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan
kelompok sosial masyarakatnya. Kaum intelektual yang demikian ini sejatinya
muncul secara alamiah dari dalam diri dan seiring dengan pergerakan masyarakat,
bukan dipaksakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakatnya. Atau, dalam
bahasa Gramsci, muncul dari kelompok pekerja (the working class). Karena
itu, mereka cenderung revolusioner dan tidak konservatif. (Selections from the Prison Notebooks
of Antonio Gramsci; 1971)
Inti dari pemikiran Gramsci soal intelektual adalah intelektual fungsional.
Intelektual fungsional berarti bahwa kaum intelektual harus mampu menjalankan
fungsi sebagai organisator dalam segala aspek kehidupan masyaraat. Artinya,
kualitas intelektualitas tidak diukur dari kapasitas prestasi yang ditentukan
melalui nilai-nilai akademik semata namun lebih dari itu kualitas intelektual
harus diukur dari sejauh mana kaum intelektual mampu memfungsikan diri di
lingkungannya, hidup dan berkembang bersama masyarakat serta berkontribusi
nyata.
Terdapat korelasi tentang gagasan intelektual fungsional Gramsci dengan
pentingnya memfasilitasi intelektual muda (baca; mahasiswa) agar dapat pula
menjadi insan yang kontributif. Dengan begitu mahasiswa tidak hanya berjibaku
dengan kehadiran di bangku kuliah dan mengejar perbaikan nilai akademik lewat
Remediasi, tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu memahami virtues of
life, mengembangkan gagasan dan jiwa kritisnya. Virtues yang berarti
kemuliaan, kewibawaan, kehormatan dan keutamaan akan sulit tercapai bila
mahasiswa hanya didoktrin untuk mendongkrak nilai akademik lewat remediasi
tanpa diberikan peluang dialektis untuk tumbuh dan berkembang menjalankan
fungsi intelektualnya.
Padahal sebagai aktor dalam social development, mahasiswa harus
berperan sebagai tenaga-tenaga terdidik yang dapat menyalurkan keterampilan dan
keilmuannya untuk masyarakat terhadap isu-isu kemasyarakatan, misalnya dengan
memberikan pelatihan, penyuluhan, advokasi, program pendampingan masyarakat,
atau kuliah kerja nyata (KKN).
Oleh karenanya jika remediasi hanya dibatasi pemaknaannya sebatas perbaikan
nilai akademik melalui metode ujian ulangan semata, sulit untuk mengembangkan
peran intelektual yang fungsional. Terlebih jika untuk mengikuti ujian
remediasi mahasiswa disyaratkan untuk memenuhi daftar hadir maksimal di bangku
kuliah sehingga tak cukup waktu berdialektika di kehidupan sosial yang memiliki
titik singgung erat dengan kehidupan akademik.
Selain itu, seandainya prestasi hanya dimaknai sebagai deretan angka-angka
dan nilai akademik berupa Indeks Prestasi Kumulatif bisa jadi remediasi adala
solusi. Namun, prestasi dalam dunia akademik seharusnya tidak boleh berhenti
pada bagus atau tidaknya Indeks Prestasi Kumulatif. Sistem Remediasi yang
demikian hanya akan mencetak lulusan dengan kualitas intelektual seadanya tanpa
memiliki fungsi intelektual.
Dari kacamata pendidik, remediasi setidaknya memiliki beberapa impact.
jika Remediasi hanya dimaknai sebagai ujian susulan dalam rangka memperbaiki
nilai maka kebijakan remediasi yang demikian hanya akan mengalami cacat yang
makin mengenaskan terlebih karena pendidik/dosen tak diberi kesempatan
menggugah minat, merangsang keasyikan menalar bagi peserta didik lebih lanjut.
Mahasiswa tidak terstimulus untuk melakukan sesuatu untuk memahami proses
pembelajaran dan menggapai cita-cita yang diinginkan.
Benarlah kiranya barangkali yang pernah diutarakan oleh Prof. Van Bemmelen
(The Liang Gie; 1985, 9);
“Di kota Leiden
pada tiap permualaan tahun pelajaran baru muncul muka-muka baru, yang segar,
penuh kesungguhan, keberanian dan kepastian, tapi pada akhir tahun antaranya
kurang lebih 40% karena satu atau lain alasan, jatuh dari cita-citanya.”
Melalui remediasi yang kebijakannya hanya menitikberatkan pada pencapaian
nilai akademik dan peserta didik diwajibkan membayar sejumlah kredit SKS yang
diikutinya akan mendatangkan asmumsi bahwa institusi pendidikan tinggi yang
seharusnya mencetak intelektual-intelektual hati nurani bangsa justeru hanya
mampu menjadi pengabdi kapitalisme. Dalam kondisi yang demikian, akan sangat sulit mengharapkan lahirnya intelektual dengan kesadaran
transformatif dari pendidikan tinggi yang demikian kapitalistik.
Belum lagi mengingat Tridarma Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan
jenjang terakhir dari hirarki pendidikan formal. Tiga misi yang diemban yaitu
pendidikan, penelitian dan pengabdian harus direalisasikan secara paralel. Tapi, lebih dari segalanya, yang menggetarkan atas tiga
misi perguruan tinggi ialah pengabdian, pengabidan, pengabdian. Pendidikan dan
penilitian tak berdampak apa-apa bila pengabdian diabaikan dan mahasiswa hanya
berjibaku menjadi generasi terdidik dan peneliti.
Akhirnya, remediasi yang hanya dimaknai sebagai ujian susulan sekedar memperbaiki nilai akademik akan mengalami cacat yang makin mengenaskan sebab pendidik/dosen tak diberi kesempatan menggugah minat, merangsang keasyikan menalar bagi peserta didik. Peserta didik pun tidak memiliki kesempatan untuk memperkaya dan menguasai materi ilmu yang lebih banyak dan mendalam. Sekian. Wallahua'lambisshowab.
No comments:
Post a Comment