Jika Riau berubah lebih baik lagi,
siapakah yang akan memulai dan membawa perubahan itu? Dengan cara
bagaimana? dan ke arah mana?
Pertanyaan seperti itu tidak bisa dielakkan ketika hingar bingar Pemilukada Riau yang kini berlanjut ke putaran kedua.
Suka
tidak suka, kita seolah berada di akhir sebuah tarikh. Sejarah selalu
bergerak sesuai dinamikanya. Dari pemilihan kepala daerah yang dulunya
kepala daerah disetir dari pusat, lalu berganti dengan proses
kepemimpinan yang dipilih oleh para wakil rakyat (DPRD), kemudian
politik berubah, pimpinan daerah dipilih langsung oleh masyarakat
(rakyat).
Di Riau, pemilukada Gubenur-Wakil Gubenur tengah
berlangsung. Tahapannya masuk pada putaran kedua dan pemungutan suara
akan berlangsung 30 Oktober 2013.
Di hadapan para pemilih kini
hadir putra-putra terbaik di Riau, pada putaran kedua ini, Herman
Abdullah-Agus Widayat yang akan bertarung dengan Annas Maamun-Arsyad
Juliandi Rahman.
Suatu suasana fin-de-sciecle (end of the cycle)
barangkali akan segera hadir dan mulailah kita menarik nafas
dalam-dalam melihat sesuatu yang baru, seakan-akan sebuah pergantian
akan segera menyembul bulat, seperti bulan purnama.
Arus
perubahan di Riau tentu tidak terjadi selekasnya. Di setiap pelosok
negeri ini, tinggal berbagai ragam etnis, suku, kelompok dan ragam
budaya.
Perubahan pun selalu hadir dengan corak dan motif yang
berbeda-beda. Satu yang tidak berbeda, masyarakat Riau terlihat permisif
ketika dua gubernur Riau telah terjerembab dalam pusaran kasus korupsi.
Penyebabnya bisa saja karena masyarakat sudah lelah
dipertontonkan dengan banyaknya kepala daerah mulai dari bupati dan
gubernur yang selalu mengakhiri karir politiknya di balik jeruji besi
karena kasus korupsi.
Lebih jauh, masyarakat pun apatis terhadap suksesi kepemimpinan di Riau.
Perhelatan
Pemilukada sejatinya bisa dijadikan momen terbaik untuk kembali bangun
dan bangkit mewujudkan Riau Baru yang progresif dan visioner.
Rakyat Riau harus berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk melakukan koreksi kepada calon-calon pemimpin Riau.
Rakyat
harus jeli melihat pasangan calon mana yang paling sedikit memiliki
cacat politik dan moral. Terlebih mengingat peran besar pemimpin sebagai
nakhoda, maka pilihan rakyat memiliki signifikansi yang tak
terbantahkan.
Kuncinya, masyarakat harus cerdas dan kritis dalam
memilih dan menentukan siapa yang akan jadi pemimpin Riau lima tahun ke
depan.
Jangan lagi dipilih pemimpin daerah yang bermental korupsi
serta pemimpin yang mereduksi makna pembangunan menjadi sekadar hadirnya
mal, pasar modern, supermarket, dan semacamnya.
Lalu ke arah
mana perubahan ini akan dibawa? Menjawab pertanyaan ini tidak
sesederhana membalikkan telapak tangan. Perbincangan Pemilukada di Bumi
Lancang Kuning semakin menghangat jeleng putaran kedua.
Lalu
mulailah orang-orang bicara tentang siapa yang akan menang dan siapa
yang akan kalah. Di sinilah letak soal kenapa pemilukada selalu
menghadirkan konflik.
Padahal pemilukada sejatinya tidak mencari
pemenang dan pihak yang kalah akan disingkirkan. Melainkan, pemilukada
yang bermarwah adalah pemilukada yang mencari sosok pemimpin yang diberi
mandat dan dipercaya oleh rakyat.
Maka ketika salah satu
kandidat lebih dipercaya memimpin Riau lima tahun ke depan, sudah
seharusnya kandidat yang belum dipercaya tetap menghormati hasil pilihan
rakyat itu dengan jiwa ksatria sembari memberikan masukan dan nasihat
guna mewujudkan Riau baru yang bermarwah dan bermartabat.
Pemimpin Masa Depan Riau dan Beban Sejarah
Siapapun
yang bakal memenangkan Pemilukada Riau putaran kedua, beban berat telah
menunggu di dermaga stagnansi pembangunan multidimensi Riau.
Citra
Riau yang sempat tercoreng akibat makin maraknya kasus korupsi akan
menjadi beban tersendiri di pundak pemimpin Riau ke depan. Ditambah lagi
beban sejarah karena kemasyhuran Riau sebagai bumi melayu yang
kemasyhurannya bahkan jauh hari sebelum nusantara ini bernama Indonesia.
Kelak di pundak pemimpin Riau lima tahun ke depan terhampar
beban sejarah yang tidak ringan. Membawa Bumi Lancang Kuning kembali
kepada masa kejayaannya adalah pekerjaan yang tidak ringan. Riau harus
berpacu dengan waktu untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari
propinsi tetangga.
Belum lagi ditambah dengan tantangan pemimpin
untuk mengayomi ragam heterogenitas masyarakat Riau yang tak
terelakkan. Sejarah masa lalu memang telah membentuk sedimen yang tebal
di negeri di mana hikayat Hang Tuah ini bermula.
Seperti yang
pernah diutarakan oleh guru besar UI, Prof. Sri-Edi Swasono, pembangunan
semestinya merupakan pemberdayaan, bukan pelumpuhan terhadap rakyat.
Pembangunan harus merupakan improvisasi kehidupan, bukan pemiskinan
terhadap rakyat.
Bagi petarung Pemilukada yang culas, politik
uang atau money politics akan dijadikan sebagai satu strategi utama
pemenangan. Upaya memenangkan hati rakyat dianggap sepele dan perkara
mudah. Padahal upaya politik uang tersebut sesungguhnya adalah lingkaran
setan pola korupsi yang kini marak terjadi.
Mereka yang membeli
suara pastinya akan berpikir keras memulangkan "modalnya" ketika nanti
berkuasa. Alhasil, terpilihnya pemimpin daerah bukan berkat pakem vox
populi vox dei, melainkan sekadar vox populi vox argentum alias suara
rakyat suara uang receh.
Kita tentu mengidamkan pemimpin yang
bersih dari korupsi, berjiwa melayani dan bukan dilayani. Oleh sebab
itu, kita harus ramai-ramai mengutuk setiap calon pemimpin yang berusaha
membodohi rakyat dengan membeli suara dan memobilisasi rakyat untuk
memilih bukan karena kecakapan intelektual tapi karena imbalan materi.
Intinya,
kita harus mewujudkan pemilih yang cerdas dan bermartabat.
Tanggungjawab ini tidak hanya di pundak penyelenggara pemilukada dan
Bawaslu tetapi juga tokoh masyarakat, LSM, media dan para generasi muda
Riau.
Akhirnya, membangun dan membesarkan Riau bukanlah
sesederhana pekerjaan menjadikan kayu seonggok abu. Membuat Riau kembali
berjaya juga bukan berarti menjadikan pemimpin-pemimpinnya sebagai
pribadi yang hanya menanti sanjung dan puji.
Membangun dan
membesarkan Riau adalah upaya untuk menjadikan pemimpin dan rakyatnya
sebagai pribadi pekerja keras dan baik budi.
Untuk menutup tulisan
ini, ada baiknya terlebih dahulu menyimak penggalan sajak budayawan Emha
Ainun Nadjib; "Aku nantikan, kami rindukan telinga yang mendengarkan,
hati yang mengerti, di negeri ini berpuluh tahun terasa ngun-ngun kami
mencari dan bingung, pemimpin yang paham dan melapangkan tak kunjung
datang, ataukah memang tak dilahirkan oleh Tuhan." Wallahua'lam
bisshawab!
Penulis adalah Almuni Melbourne Law School,
The Univerity of Melbourne Australia. Dosen Hukum Tata Negara
Universitas Islam Indonesia.
Note: Opini ini dimuat di laman http://www.suluhriau.com/readopini-185-2013-09-21-memilih-gubernur-dan-masa-depan-riau.html
No comments:
Post a Comment