JAKARTA - Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 sudah
memasuki masa kampanye. Tidak lebih dari tiga minggu ke depan, tepatnya 9
April, rakyat Indonesia dipersilahkan memilih wakil rakyat yang akan
duduk di bangku legislatif. Tingkat kerawanan pun diprediksi akan tinggi
dari pemilu sebelumnya. Hal ini disebabkan transparansi anggaran baik
dari penyelenggara maupun pengawas serta partai politik peserta pemilu
masih dipertanyakan.
Pengamat Pemilu yang juga Dosen Hukum Tata
Negara di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Masnur Marzuki SH,
LLM menyatakan potensi pelanggaran pemilu di Pileg 2014 sangat tinggi.
Pelanggaran sudah terjadi pada masa penetapan Daftar Pemilih Tetap
(DPT), massa kampanye, dan nantinya proses pemberian dan pemungutan
suara.
“Tingkat kerawanan yang dikhawatirkan ada di semua level
atau tingkatan, dimana independent dan netralitas penyelenggara
dipertanyakan,” katanya di Jakarta, Rabu (26/3/2014).
Menurut
Masnur untuk meminimalisir kecurangan pemilu, perlu dilakukan
peningkatan pengawasan di tingkat TPS dan Kecamatan selama proses
pemberian hingga penghitungan suara berlangsung. Dari pengalaman pemilu
sebelumnya, KPPS dan penyelenggara lainnya sering terlibat jual beli
suara.
"Itu terjadi karena proses seleksi di tingkat TPS sudah
didesain atau terskenario. Orang-orang yang duduk di tingkat
penyelenggara sudah disusun dengan catatan orang yang duduk sebagai
penyelenggara adalah orang yang bisa diajak bekerja sama oleh pihak
tertentu dengan imbalan sejumlah uang atau janji," ungkapnya.
Biasanya,
lanjut Masnur, penyelenggara di tingkat TPS dan seterusnya akan
membantu mengamankan suara calon legislatif (caleg) di semua tingkatanm,
bila memiliki hubungan keluarga atau lantaran imbalan. Makanya tidak
heran bila nantinya ada caleg yang tidak melakukan kampanye dan kurang
dikenal masyarakat tapi mendapatkan suara dan akhirnya duduk sebagai
wakil rakyat.
“Biasanya, sebelum penghitungan suara atau dua hari
sebelum pelaksanaan pemilu, KPU sudah ketemu dengan caleg yang
membutuhkan suara di lobi-lobi hotel. Itulah yang disebut suara siluman
dalam proses jual beli,” papar Masnur.
Kata Masnur, langkah yang
harus dilakukan Bawaslu sebagai pengawas pemilu yakni dengan melibatkan
universitas. Perlu dilakukan MoU dengan pihak kampus dengan melibatkan
mahasiswa, apalagi Bawaslu saat ini kesulitan dalam hal pendanaan.
“Ya,
formatnya seperti KKN (kuliah kerja nyata) lah untuk mahasiswa,
sehingga dana bisa diminimalisir dan tingkat kecurangan bisa ditekan,”
imbuhnya.
Hal yang sama disampaikan Ketua Forum Masyarakat Peduli
Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Dibandingkan pemilu
2004 dan 2009, tingkat pelanggaran di 2014 akan semakin tinggi. Beragam
pelanggaran yang akan terjadi seperti mobilisasi pemilih, politik uang,
dan jual beli suara saat proses rekapitulasi.
“Yang paling rawan itu jual beli suara saat rekapitulasi baik saat di TPS, Kecamatan maupun tingkat KPUD,” paparnya.
Alasannya,
KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu mempunyai keterbatasan dan
kedua lembaga tersebut tidak lagi memikirkan cara menutup atau
memperkecil tingkat pelanggaran, tapi sudah fokus kepada distribusi dan
penghitungan (rekapitulasi) suara nantinya.
“Peredaran uang
sangat besar dalam pemilu ini. Banyak caleg yang berlatar belakang
pengusaha maupun artis yang tidak mempunyai basis massa, sehingga
kekuatan uang sangat berperan dan menetukan,” ujarnya.
Langkah
yang harus dilakukan KPU untuk meminimalisir kecurangan, tekan
Sebastian, dengan melakukan sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat
untuk berperan aktif dalam melakukan pengawasan. Selain itu, meminta
kepada peserta pemilu yakni partai politik untuk berlaku jujur dan adil
dan mengedepankan aturan main. (ris)
Sumber: http://pemilu.okezone.com/read/2014/03/26/568/961200/pemilu-rawan-kecurangan-sebaiknya-libatkan-mahasiswa
No comments:
Post a Comment