Saturday, December 8, 2007

Kaki Langit Kota Cinta

Jika tuan berdiri di salah satu sudut kota itu, tuan akan tahu bagaimana pelbagai perbedaan menyeruak, lalu membentuk mozaik nan indah. Di situ tuan akan melihat orang yang serba hitam, yang putih, yang cokelat hingga kemerah-merahan. Semuanya terkumpul menjadi satu, memindai kota itu menjadi surga para pengembara. Di situ banyak pelabuhan, pantai dan anak sungai yang meliuk, pasar malam, hingga bandar yang ramai dengan pendatang.

Tuan tak perlu bingung jika di sepanjang perjalanan tuan menemukan sebuah tulisan yang terpahat rapi berupa prasasti. “Vires acquirit eundo”. Kami akan semakin kuat seiring perjalanan kami. Semboyan itulah yang tertanam di lubuk hati setiap jiwa penduduk kota. Di kalimat itu ada makna bersama dan khidmat. Bersama sebab Tuan tak mungkin hidup sendiri. Khidmat karena hidup akan terus berjalan, berdetak seiring waktu. Kenangan baik dan buruk sudah menggumpal menjadi asa. Di situ Tuan tidak akan seperti penambang yang memilah mana emas dan mana yang bukan. Semuanya harus dipungut untuk dibungkus jadi pelajaran. Sebab hidup tentu akan makin berarti dengan mencari.

Begitu juga ketika tuan menjumpai banyak patung di kota itu. Jangan dulu takjub ataupun bersyak sangka. Patung-patung itu bukan sesembahan melainkan sejarah yang sedang bertutur dengan sahaja. Maukah tuan ditunjukkan sebuah patung berwujud seorang pejuang kemanusiaan? Jika tuan sempat berkunjung Queen Victoria Park, di situ tuan akan berjumpa dengan seorang pahlawan kemanusiaan yang rendah hati. Konon, ia enggan di sebut pahlawan sebab ia meyakini bahwa dirinya hanyalah satu dari sekian ribu orang pejuang kemanusian di zaman perang.

Lalu tahukah tuan bagaimana kota itu dihidupkan? Seperti banyak kota di dunia, kota itu dihidupkan oleh kematian para pahlawannya. Mereka tak mati sia-sia tapi penuh makna. Selain itu, tahukah tuan apa sebenarnya yang paling menghidupkan kota itu? Cinta. Ya, cinta pada sesama. Bukan saja sesama manusia tapi sesama ciptaan-Nya. Jika tuan sempatkan diri menghabiskan pagi di sebuah taman, maka akan banyak yang tersenyum. Tak hanya mereka penduduk tempatan, tapi juga dari pendatang seperti tuan. Tak hanya dari kembang taman, tapi juga burung-burung camar yang bernyanyi tiada henti.

Maka bathin tuan pasti tersentak jika mendengarkan seorang pecinta suatu ketika bertutur seperti ini; hanya ada satu kalimat yang paling tepat menggambarkan kota ini: the lovely city where I found my love. Jika sudah begitu, bisakah tuan mencari padanan kata lainnya selain kata mengharu biru?

Di tepi jalan yang meriah di kota itu, di dekat trotoar tak jauh dari sebuah bulevar, tuan akan merasa seperti tinggal di surga. Segalanya ada, tinggal minta. Maka ketika tuan harus melangkah pergi meninggalkan kota itu, bisakah tuan menyegerakannya? Bukankah tuan harus cepat-cepat menampiknya? Percayalah tuan, kota itu hendak bermetamorfosa menjadi prasasti hidup bagi yang hidup di dalamnya. Kaki, tangan dan jiwa Tuan akan ikut terpaku bersamanya.

Jika kota itu semisal sosok ibu, ia masih cekatan sekali. Bahkan dalam tidurnya pun ia masih sempat menyusui para pecinta malam. Pun dalam terlelapnya, ia masih bisa memandu para pengembara tentang bagaimana memahat hari untuk besok pagi. Lebih dari itu, ia masih paiwai menyulap letupan-letupan besar dan kecil dalam hidup untuk kemudian berwujud kenangan manis. Dan kini, saat harus terucap sebuah kalimat pada kota itu “Selamat tinggal kota, aku harus pergi untuk tak kembali”, maka mata mana yang tak akan basah? Bisakah tuan pilihkan kata-kata yang paling tepat menggambarkan pilu hati sebab perpisahan?

Percayalah Tuan. Sulit hendak memberi nama perasaan saat tuan harus mengemas koper untuk beranjak pergi dari kota itu. Akan tampak jelas ada paralisis yang bertaut erat satu sama lain; lumpuh sebab tak mampu menanggung pahit getir perpisahan dan lumpuh karena tak kuasa mencari alasan kenapa harus diakhiri dengan perpisahan.
Saat Tuan sudah tak berdaya menahan isak tangis perpisahan, saat dada sesak menghitung berapa langkah lagi yang tersisa, pergilah ke pelabuhan. Di situ Tuan bisa menangis sejadi-jadinya. Debur ombak dan kilau cahaya senja akan mengantarkan pesan perpisahan Tuan pada kota itu. Menangislah, sebab kota ini tak pernah menangis.

Tuan pasti sudah tak sabar kota manakah yang dimaksud hikayat ini. Itulah kota Melbourne Tuan, kota cinta di mana Tuhan mempertemukan saya dengan cinta.

Masnur Marzuki
Alumnus Melbourne Law School
Pada Program Master of Laws The University of Melbourne.