Wednesday, January 20, 2016

GBHN, DPD RI dan Gagasan Amandemen

Salah satu poin penting pidato yang disampaikan Ketua Umum PDIP, Megawati SP dan Presiden Jokowi di Rakernas PDIP beberapa waktu lalu di Jakarta adalah kesepahaman dan sikap politik PDIP yang mendorong perlunya dihidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Gagasan PDIP yang didukung Presiden bukan tanpa alasan. Sejatinya sikap itu didorong oleh kondisi kekinian di mana pembangunan nasional untuk mencapai tujuan negara (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial) sepeti bergerak tanpa arah. Dewasa ini di segala sekotr kehidupan tidak hanya muncul ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial, tetapi juga kegaduhan politik dan potensi kemunduran berdemokrasi.

Gagasan menghidupkan kembali GHBN memang merupakan pintu pembuka alternatif dimulainya agenda perubahan UUD 1945. Meskipun gagasan menghidupkan GBHN tersebut membuka celah besar akan terjadinya amandemen, namun berbagai respon publik baik dukungan dan juga resistensi sudah mulai bermunculan. 

Setidaknya ada empat kluster respon publik terkait wacana menghidupkan kembali GBHN dan gagasan amendemen UUD. Pertama, kelompok yang setuju GBHN dihidupkan dengan cara amandemen sekaligus mengubah beberapa isu krusial yang selama ini masih jadi “pekerjaan rumah” akibat dinamika ketatanegaraan. Kedua, fakta adanya suara yang setuju dihidupkan GBHN namun mewanti-wanti jangan sampai amandemen sampai “kebablasan”. Kelompok ini mendukung GBHN dan amandemen tapi ekslusif hanya soal menghidupkan GBHN, tidak menyentuh substansi lain di luar itu.

Ketiga, suara yang setuju adanya GBHN tapi tidak menginginkan adanya amandemen. Kelompok ini memandang tidak perlu amandemen karena keinginan menghidupkan kembali GBHN bisa diakali dengan perubahan di level UU saja. Terakhir, kelompok yang lebih frontal yakni mereka yang sama sekali tidak merasa perlu adanya gagasan menghidupkan kembali GBHN dan menolak dilakukannya amandemen terhadap UUD NRI 1945.

Tentu saja bagi PDIP, membuka lembaran politik baru dengan memulai langkah amandemen bukanlah hal yang mustahil bahkan berpotensi akan berlangsung mulus menggelinding jadi agenda politik nasional. Secara hitungan matematika politis penilain tersebut wajar sebab PDIP kini memimpin Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang menguasai mayoritas DPR, setelah PAN bergabung bahkan kini ditambah Golkar dan kemungkinan besar PKS. 

Kehendak PDIP itu harus direspons dengan sangat hati-hati oleh berbagai pihak terutama DPD RI. Apalagi kehendak itu sudah menjadi agenda partai pemenang Pemilu: amandemen terbatas yang akan sulit diganjal kekuatan politik di luar PDIP. Artinya, sudah tergambar nyata politik kebijakan yang disuarakan PDIP dimulainya kerja konstitusional MPR untuk melakukan amandemen terbatas terhadap UUD NRI 1945, dengan memasukkan kembali pasal tentang wewenang MPR menetapkan GBHN.

Poin penting lainnya, DPD harus mengedepankan sikap kenegarawan demi kepentingan bangsa dan negara dengan melepaskan kepentingan sektoral termasuk menggadang-gadangkan secara berlebihan seruan PDIP untuk melakukan amandemen karena celah absennya GBHN. Publik hari ini berkesimpulan bahwa ada potensi gagasan PDIP menghidupkan GBHN dan mendorong amandemen akan ditunggangi pihak-pihak tertentu termasuk DPD. Apalagi sudah bukan rahasia lagi bahwa DPD memang adalah lembaga negara yang jauh hari setuju mengubah undang-undang dasar. Lagi pula publik terlanjur menasbihkan bahwa agenda amandemen DPD tersebut membawa misi utama: memperkuat wewenang DPD. Di sinilah titik kritis perjuangan amandemen UUD yang didorong oleh DPD RI mendapatkan ujian berat.

DPD RI harus jadi lokomotif yang dapat meyakinkan publik bahwa amandemen UUD 1945 murni untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan politik kekuasaan. Sudah jamak diketahui publik bahwa andai nantinya PDIP dan koalisinya memaksakan amandemen, dicurigai energi bangsa akan terbuang percuma akibat perdebatan, pertarungan, pengkhianatan, dan kongkalikong akan mewarnai amandemen konstitusi. Sebagian mengkhawatirkan jangan-jangan hasil dari amandemen nantinya bukan sekadar menghidupkan kembali GBHN, tetapi juga hilang dan munculnya pasal-pasal baru yang merugikan kepentingan rakyat dan kedaulatannya akibat amandemen yang politik-transaksional. 

Artinya, DPD RI harus mampu menumbuhkan optimisme publik bahwa dinamika ketatanegaraan hari ini memang sudah mensyaratkan perlunya amandemen lanjutan. Ketimbang menyuarakan gagasan memperkuat kewenangan DPD, akan lebih baik DPD lebih banyak mengisi ruang wacana publik dengan isu-isu strategis lain. Misalnya soal kewenangan MK yang perlu dibenahi dalam pasal-pasal UUD serta tindak lanjut putusan MK dalam kaitanya dengan penataan Pemilu Nasional yang menggabungkan antara Pilpres dan Pileg. Sebagai penafsir tunggal konstitusi, MK punya legitimasi untuk ikut mewarnai politik hukum amandemen dan dinamikanya memang ada beberapa poin yang perlu dimasukkan menjadi materi muatan konstitusi. 

Di saat yang bersamaan, DPD RI juga harus bekerja keras sekaligus mengikis pesimisme publik akan kentalnya aroma politik transaksional dalam amandemen UUD. Oleh karenanya, DPD RI harus menunjukkan sikap bersabar dan hati-hati meniti langkah demi langkah proses politik amandemen. Pesimisme publik bahwa amandemen bukanlah agenda rakyat harus dipatahkan dengan langkah-langkah cerdas dan edukatif sembari memastikan secara konsolodatif di internal DPD bahwa isu amandemen adalah sejatinya agenda rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Untuk itu jembatan komunikasi demi mengikis pesimisme publik ini tidak boleh lagi menunggu kelahirannya. Jembatan itu harus diciptakan sendiri oleh DPD melalui pelbagai cara yang dapat menimbulkan simpati dan kepercayaan publik. Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa meredhoi DPD dalam perjuangan amandemen lanjutan.Wallahu a’lam bisshowab.#

Oleh: Masnur Marzuki, SH, LLM (Staf Ahli Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan DPD RI)

Ahok Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat DPRD DKI