Tuesday, October 8, 2013

[OPINI] "Panwaslu Dari Mahasiswa"

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan merekrut sejuta mahasiswa berbagai perguruan tinggi untuk menjadi relawan pengawas Pemilihan Umum 2014. Relawan akan ditempatkan di tiap tempat pemungutan suara di daerah. Artinya, Bawaslu berkeinginan kuat untuk mewujudkan pemilu yang berwibawa, jujur dan bersih. Meskipun baru sebatas wacana dan rencana, tidak ada salahnya pula Bawaslu Riau mencoba menerapkan pendekatan tersebut pada Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Riau putaran kedua yang akan datang. Bawaslu Riau bisa mengajukan proposal pilot project ke Bawaslu Pusat terkait rencana merekrut mahasiswa menjadi relawan pengawas pemilukada Riau putaran kedua. Tentu tidak ada salahnya mengajukan wacana perlunya pelibatan mahasiswa sebagai mitra pengawas pemilukada.

Sulit membantah bahwa pemilukada dewasa ini dihadapkan pada banyaknya gugatan-gugatan sengketa ke Mahkamah Konstitusi terkait adanya kecurangan yang bersifat struktural, sistematis dan massif. Bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi, Muhamad Akil Mocthar, kini ditahan KPK karena dugaan suap manipulasi putusan hasil sengketa pemilukada di dua daerah, Lebak dan Gunung Mas.

Pelanggaran dalam pemilukada bisa saja dilakukan oleh peserta pemilukada maupun oleh penyelenggara pemilukada itu sendiri. Dengan begitu, keberadaan Bawaslu menjadi strategis untuk mencegah dan menindak terjadinya pelanggaran demi pelanggaran dalam Pemilukada. Terlebih bila kerja strategis Bawaslu tersebut ditopang oleh komponen mahasiswa untuk ikut bersama-sama mengawasi seluruh rangkaian pemilukada.

Belajar dari Pemilukada putaran pertama, potensi kecurangan paling tinggi dan masif terjadi pada proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan PPS. Menghadapi potensi tersebut, tidak memungkinkan bagi Bawaslu Propinsi Riau mengawasi tiap TPS dengan satu pengawas. Terlebih lagi Bawaslu Riau dihadapkan pada persoalan pendanaan yang minim. Pada putaran pertama lalu dana Rp. 10 miliar sudah dinyatakan kurang oleh Bawaslu Riau, namun ternyata tidak ada penambahan dana dari APBD Perubahan 2013 ini. Karena itu, Bawaslu Riau perlu memikirkan metode baru yang akan diimplementasikan oleh Bawaslu Pusat yakni dengan merekrut mahasiswa menjadi relawan pengawasan Pemilu. Sederhananya, strategi menempatkan mahasiswa sebagai mitra pengawas pemilukada menjadi sesuatu yang penting nilainya demi mengangkat citra dan kinerja Bawaslu Riau di tengah keterbatasan sumber daya manusia dan minimnya anggaran. Bawaslu harus kreatif menyusun formula apik sehingga keterbatasan sumber daya manusia dan dana bukanlah menjadi hambatan melainkan batu pijakan untuk membuat terobosan-terobosan dalam kerja pengawasan pemilukada.

Keberadaan perguruan tinggi dan komponen mahasiswa adalah potensi besar yang harus dimanfaatkan oleh Bawaslu Riau untuk memantapkan kinerja Bawaslu mengawasi pelaksanaan Pemilukada. Jumlah 70 perguruan tinggi yang tersebar hampir merata di 12 Kabupaten/Kota di Riau bukanlah angka yang kecil bila Bawaslu membuka diri dan komunikasi dengan simpul-simpul mahasiswa dan pimpinan perguruan tinggi.

Pertanyaannya, apakah mahasiswa di Riau begitu saja mau menyambut gayung rencana pemberdayaan mahasiswa sebagai pengawas pemilukada? Untuk menjawab pertanyaan ini, Bawaslu perlu melakukan pendekatan yang tepat dan mumpuni. Membangun kepercayaan mahasiswa untuk terlibat aktif dalam pengawasan pemilukada tidak cukup dengan langkah-langkah konvensional seperti yang dilakukan Bawaslu selama ini, yakni pemasangan iklan di media cetak, elektronik, pemasangan spanduk dan upaya-upaya konvensional lain. Upaya konvensional tersebut justru membangkitkan emosi mahasiswa untuk tidak mau terlibat aktif dalam proses politik dan pemerintahan. Jangankan aktif mengawasi pemilukada, untuk memberikan hak pilihnya saja mahasiswa masih banyak yang bersikap apatis. Pasalnya mahasiswa yang menjadi agen sosial melihat apa yang dipublikasikan tidak sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi masyarakat di lapangan. Mestinya Bawaslu harus sadar bahwa mahasiwa sudah cerdas dalam memahami kondisi politik dan pemerintahan serta dampak pemilukada dalam kehidupan yang senyatanya.

Bawaslu seharusnya mulai melakukan pendekatan kepada pengurus perguruan tinggi dengan membuat nota kesepahaman dan nota kesepakatan kerjasama (MOU) pengawasan pelaksanaan pemilukada. Dengan begitu, bisa saja perguruan tinggi mengalihkan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) menjadi kegiatan pengawasan pemilukada dengan menyebar relawan mahasiswa untuk terlibat langsung mengawasi jalannya pemungutan dan penghitungan suara di setiap TPS. Lagi pula tidak aturan yang melarang Bawaslu untuk melibatkan komponen perguruan tinggi terlibat aktif mengawasi jalannya pemilukada.

Sebenarnya untuk Pemilukada tingkat Kabupaten/Kota, pelibatan mahasiswa sebagai pengawas pemilukada bukanlah hal yang baru. Di Kabupaten Garut misalnya, Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) telah melibatkan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi lokal untuk membantu mengawasi pencoblosan hingga perhitungan suara Pemilukada Garut, 8 September 2013 lalu. Alasan Panwaslu menggandeng mahasiswa karena terkendala keterbatasan anggota pengawas. Hal yang serupa juga pernah dilakukan di Pemilukada Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Serang.

Bola panas dan keputusan itu kini ada di tangan Bawaslu Riau apakah institusi tersebut masih memiliki komitmen kuat untuk mengawasi pemilukada putaran kedua dengan memberdayakan mahasiswa dan perguruan tinggi atau tetap berpangku tangan di tengah keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran yang dimilikinya. Masyarakat Riau tentu menantikan sikap ksatria Bawaslu Riau untuk bergandeng tangan bersama mewujudkan Pemilukada yang jujur, bersih dan bermartabat. Semoga.#

Alumni Melbourne Law School,
The University of Melbourne Australia.
Dosen Hukum Tata Negara
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

http://suluhriau.com/readopini-186-2013-10-06-panwaslu--dari-mahasiswa-.html

Friday, October 4, 2013

[OPINI] "Memilih Gubernur dan Masa Depan Riau"

Jika Riau berubah lebih baik lagi, siapakah yang akan memulai dan membawa perubahan itu? Dengan cara bagaimana? dan ke arah mana?
Pertanyaan seperti itu tidak bisa dielakkan ketika hingar bingar Pemilukada Riau yang kini berlanjut ke putaran kedua.

Suka tidak suka, kita seolah berada di akhir sebuah tarikh. Sejarah selalu bergerak sesuai dinamikanya. Dari pemilihan kepala daerah yang dulunya kepala daerah disetir dari pusat, lalu berganti dengan proses kepemimpinan yang dipilih oleh para wakil rakyat (DPRD), kemudian politik berubah, pimpinan daerah dipilih langsung oleh masyarakat (rakyat).

Di Riau, pemilukada Gubenur-Wakil Gubenur tengah berlangsung. Tahapannya masuk pada putaran kedua dan pemungutan suara akan berlangsung 30 Oktober 2013.

Di hadapan para pemilih kini hadir putra-putra terbaik di Riau, pada putaran kedua ini, Herman Abdullah-Agus Widayat yang akan bertarung dengan Annas Maamun-Arsyad Juliandi Rahman.

Suatu suasana fin-de-sciecle (end of the cycle) barangkali akan segera hadir dan mulailah kita menarik nafas dalam-dalam melihat sesuatu yang baru, seakan-akan sebuah pergantian akan segera menyembul bulat, seperti bulan purnama.

Arus perubahan di Riau tentu tidak terjadi selekasnya. Di setiap pelosok negeri ini, tinggal berbagai ragam etnis, suku, kelompok dan ragam budaya.

Perubahan pun selalu hadir dengan corak dan motif yang berbeda-beda. Satu yang tidak berbeda, masyarakat Riau terlihat permisif ketika dua gubernur Riau telah terjerembab dalam pusaran kasus korupsi.

Penyebabnya bisa saja karena masyarakat sudah lelah dipertontonkan dengan banyaknya kepala daerah mulai dari bupati dan gubernur yang selalu mengakhiri karir politiknya di balik jeruji besi karena kasus korupsi.

Lebih jauh, masyarakat pun apatis terhadap suksesi kepemimpinan di Riau.
Perhelatan Pemilukada sejatinya bisa dijadikan momen terbaik untuk kembali bangun dan bangkit mewujudkan Riau Baru yang progresif dan visioner.

Rakyat Riau harus berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk melakukan koreksi kepada calon-calon pemimpin Riau.

Rakyat harus jeli melihat pasangan calon mana yang paling sedikit memiliki cacat politik dan moral. Terlebih mengingat peran besar pemimpin sebagai nakhoda, maka pilihan rakyat memiliki signifikansi yang tak terbantahkan.

Kuncinya, masyarakat harus cerdas dan kritis dalam memilih dan menentukan siapa yang akan jadi pemimpin Riau lima tahun ke depan.
Jangan lagi dipilih pemimpin daerah yang bermental korupsi serta pemimpin yang mereduksi makna pembangunan menjadi sekadar hadirnya mal, pasar modern, supermarket, dan semacamnya.

Lalu ke arah mana perubahan ini akan dibawa? Menjawab pertanyaan ini tidak sesederhana membalikkan telapak tangan. Perbincangan Pemilukada di Bumi Lancang Kuning semakin menghangat jeleng putaran kedua.

Lalu mulailah orang-orang bicara tentang siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Di sinilah letak soal kenapa pemilukada selalu menghadirkan konflik.
Padahal pemilukada sejatinya tidak mencari pemenang dan pihak yang kalah akan disingkirkan. Melainkan, pemilukada yang bermarwah adalah pemilukada yang mencari sosok pemimpin yang diberi mandat dan dipercaya oleh rakyat.

Maka ketika salah satu kandidat lebih dipercaya memimpin Riau lima tahun ke depan, sudah seharusnya kandidat yang belum dipercaya tetap menghormati hasil pilihan rakyat itu dengan jiwa ksatria sembari memberikan masukan dan nasihat guna mewujudkan Riau baru yang bermarwah dan bermartabat.

Pemimpin Masa Depan Riau dan Beban Sejarah


Siapapun yang bakal memenangkan Pemilukada Riau putaran kedua, beban berat telah menunggu di dermaga stagnansi pembangunan multidimensi Riau.

Citra Riau yang sempat tercoreng akibat makin maraknya kasus korupsi akan menjadi beban tersendiri di pundak pemimpin Riau ke depan. Ditambah lagi beban sejarah karena kemasyhuran Riau sebagai bumi melayu yang kemasyhurannya bahkan jauh hari sebelum nusantara ini bernama Indonesia.

Kelak di pundak pemimpin Riau lima tahun ke depan terhampar beban sejarah yang tidak ringan. Membawa Bumi Lancang Kuning kembali kepada masa kejayaannya adalah pekerjaan yang tidak ringan. Riau harus berpacu dengan waktu untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari propinsi tetangga.

Belum lagi ditambah dengan tantangan pemimpin untuk mengayomi ragam heterogenitas masyarakat Riau yang tak terelakkan. Sejarah masa lalu memang telah membentuk sedimen yang tebal di negeri di mana hikayat Hang Tuah ini bermula.

Seperti yang pernah diutarakan oleh guru besar UI, Prof. Sri-Edi Swasono, pembangunan semestinya merupakan pemberdayaan, bukan pelumpuhan terhadap rakyat. Pembangunan harus merupakan improvisasi kehidupan, bukan pemiskinan terhadap rakyat.

Bagi petarung Pemilukada yang culas, politik uang atau money politics akan dijadikan sebagai satu strategi utama pemenangan. Upaya memenangkan hati rakyat dianggap sepele dan perkara mudah. Padahal upaya politik uang tersebut sesungguhnya adalah lingkaran setan pola korupsi yang kini marak terjadi.

Mereka yang membeli suara pastinya akan berpikir keras memulangkan "modalnya" ketika nanti berkuasa. Alhasil, terpilihnya pemimpin daerah bukan berkat pakem vox populi vox dei, melainkan sekadar vox populi vox argentum alias suara rakyat suara uang receh.

Kita tentu mengidamkan pemimpin yang bersih dari korupsi, berjiwa melayani dan bukan dilayani. Oleh sebab itu, kita harus ramai-ramai mengutuk setiap calon pemimpin yang berusaha membodohi rakyat dengan membeli suara dan memobilisasi rakyat untuk memilih bukan karena kecakapan intelektual tapi karena imbalan materi.

Intinya, kita harus mewujudkan pemilih yang cerdas dan bermartabat. Tanggungjawab ini tidak hanya di pundak penyelenggara pemilukada dan Bawaslu tetapi juga tokoh masyarakat, LSM, media dan para generasi muda Riau.

Akhirnya, membangun dan membesarkan Riau bukanlah sesederhana pekerjaan menjadikan kayu seonggok abu. Membuat Riau kembali berjaya juga bukan berarti menjadikan pemimpin-pemimpinnya sebagai pribadi yang hanya menanti sanjung dan puji.

Membangun dan membesarkan Riau adalah upaya untuk menjadikan pemimpin dan rakyatnya sebagai pribadi pekerja keras dan baik budi.
Untuk menutup tulisan ini, ada baiknya terlebih dahulu menyimak penggalan sajak budayawan Emha Ainun Nadjib; "Aku nantikan, kami rindukan telinga yang mendengarkan, hati yang mengerti, di negeri ini berpuluh tahun terasa ngun-ngun kami mencari dan bingung, pemimpin yang paham dan melapangkan tak kunjung datang, ataukah memang tak dilahirkan oleh Tuhan." Wallahua'lam bisshawab!    

Penulis adalah Almuni Melbourne Law School, The Univerity of Melbourne Australia. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia.


Note: Opini ini dimuat di laman http://www.suluhriau.com/readopini-185-2013-09-21-memilih-gubernur-dan-masa-depan-riau.html