Thursday, January 13, 2011

Menghakimi Mahkamah

Dalam Kompas edisi 12 Oktober 2010 Donal Fariz, Peneliti Hukum ICW menulis artikel berjudul “Mahkamah Anggodo”. Dalam satu bagian tulisannya Fariz menyarankan MA untuk melakukan contra legem, dengan menyingkirkan ketentuan Pasal 45 Huruf a Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA dan pada saat bersamaan menciptakan hukum baru. Sebagaimana diketahui Mahkamah Agung memutuskan Peninjauan Kembali (PK) terhadap surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) kasus Bibit dan Chandra tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Fariz beranggapan bahwa MA gagal “melindungi” KPK dan menciptakan hukum baru. Alasannya, MA terlalu mengedepankan formalitas UU dan enggan menjadi corong keadilan. Akibatnya, keadilan substantif menjadi sulit tercapai. Pertanyaannya, apakah MA sudah salah langkah memutuskan PK tersebut? Bolehkah Mahkamah Agung (MA) membuat vonis di luar ketentuan UU?

Menurut penulis, teori maupun secara politik hukum konstitusi, MA memang diperbolehkan membuat vonis di luar ketentuan atau kewenangan formal yang diberikan UU. Kebolehan MA untuk membuat vonis di luar ketentuan UU sepanjang untuk menegakkan keadilan substansial. Namun yang juga harus dicatat, dalam hukum, sesuatu yang diperbolehkan dalam melakukan, belum tentu benar dalam melakukannya. MA dalam konteks ini sudah benar mengambil keputusan untuk tidak melakukan yang diperbolehkan itu. MA mendalilkan bahwa pengajuan PK atas SKPP tersebut tidak memenuhi syarat formalitas sebagaimana diatur dalam UU tentang MA.

MA sebagai Corong Keadilan

MA sebagai lembaga peradilan tentu saja harus bebas, termasuk menggali nilai keadilan di dalam masyarakat tanpa harus terbelenggu atau mengikuti mentah-mentah bunyi UU. Namun dalam kasus putusan MA yang menyatakan tak dapat menerima pengajuan PK oleh Kejaksaan tidak selamanya berarti bahwa MA tidak menggali nilai-nilai keadilan. Keadilan menurut hakim MA dalam perkara ini bahwa kasasi tidak dapat dilakukan untuk keputusan praperadilan sesuai ketentuan Pasal 45 Huruf a Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA. Dalam pasal itu tegas mengatakan tak ada ketentuan upaya hukum lanjutan untuk praperadilan yang sudah ditolak di Pengadilan Tinggi.

Ketika MA menyatakan tidak dapat menerima PK atas putusan praperadilan yang diajukan Kejaksaan, kita harus menerimanya sebagai "vonis keadilan" yang mengikat dan MA sudah menjalankan fungsinya sebagai corong hukum sekaligus corong keadilan. Untuk putusan yang menyimpangi undang-undang semisal ketika MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat atas sengketa Pilkada Depok melalui PK publik bisa mengatakan sebagai vonis keadilan, kenapa kita sulit menerima putusan MA yang jelas-jelas menuruti kehendak undang-undang?

Memaknai Keadilan Substantif

Donal Fariz lebih lanjut menulis bahwa gagal memainkan peran menegakkan keadilan substantif. Menurut penulis memaksa MA untuk melakukan contra legem atas pengajuan PK sama saja mencederai nilai keadilan itu sendiri. Sebab, asas hukum yang mendalilkan bahwa peraturan yang tidak adil tidak perlu dipatuhi (ius contra legem) harus disinergikan dengan nilai-nilai normatif hukum. Hal inilah yang kurang diperhatikan secara mendalam oleh Fariz.

Mengukur suatu peristiwa dengan takaran keadilan substantif tidak semudah memperbincangkannya. Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum memiliki spektrum yang luas dan bisa diperdebatkan. Sayangnya, publik selalu memberi konotasi bahwa keadilan substantif hanya akan terwujud bila hakim menyimpang atau mengabaikan bunyi undang-undang. Padahal, dalam konteks putusan PK atas SKPP Bibit-Chandra justru sebaliknya. Kita harus meyakini bahwa keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang.
Pasal 45 Huruf a Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA tidak bisa begitu saja dinyatakan sebagai peraturan yang tidak adil. Sebab, aturan tersebut menyatakan bahwa upaya kasasi pada putusan praperadilan tidak dapat diajukan kepada MA. Kalau pun ada yang menafsirkan aturan itu tidak adil, terbuka kemungkinan untuk diajukan ke hadapan Mahkamah Konstitusi tentang konstitusionalitas aturan tersebut (judicial review).

Menurut penulis, seandainya MA menerima gugatan PK atas penerbitan SKPP Kejaksaan akan timbul yuresprudensi baru bahwa kasasi bisa diajukan atas putusan praperadilan. Selain akan mengacaukan sistem dan prosedur hukum acara, kredibilitas MA sebagai benteng hukum akan turut tercoreng. MA bisa saja dianggap menistakan aturan hukum itu sendiri.

Potensi Tirani Peradilan

Instrumen yurisprudensi pada dasarnya digunakan untuk mengisi kevakuman hukum. Hasil akhir yurisprudensi tersebut tidak jarang menganulir materi peraturan setingkat undang-undang. Hal ini sah-sah saja sebab dalam hukum dikenal dalil ius contra legem.

Ada pula pakar hukum berpendapat bahwa yurisprudensi yang kontradiksi dengan undang-undang dengan sendirinya batal demi hukum (null and avoid). Lagi pula UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan tegas tidak mengenal nomenklatur yurisprudensi di dalam konfigurasi hirarki perundang-undangan. Yurisprudensi sejatinya bersifat komplementer, bukan elementer. Yurisprudensi baru bisa menjadi sumber hukum manakala undang-undang tidak atau belum mengaturnya (rechtsvacuum), dan bukannya sebagai penganulir undang-undang.

Secara jujur harus dipertimbangkan bahwa yurisprudensi merupakan produk hukum yang berkarakter regeling dan bersifat mengikat. Persoalannya, produk hukum semacam ini tidak memberikan peluang bagi cabang kekuasaan lain untuk mengawasi dan memberi kontrol. Alhasil, yurisprudensi yang dihasilkan MA dengan melabrak aturan undang-undang bisa jadi berpotensi memunculkan tirani peradilan. Kita tentu tidak ingin MA menjadi lembaga yang seharusnya mematuhi hukum menjadi lembaga tirani yang menistakan hukum itu sendiri.

Oleh: Masnur Marzuki
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Alumnus The Melbourne Law School
The University of Melbourne, Australia