Wednesday, February 11, 2015

[Pembentukan Tim Independen Bukan Solusi Konflik KPK Vs Polri] DetikNews

Ray Jordan - detikNews

Jakarta - Pembentukan Tim Independen atau Tim 7 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memediasi konflik KPK dan Polri bukan memberikan solusi tetapi menambah polemik dan masalah menjadi rumit.

"Pembentukan tim independen bukanlah solusi tapi akan membuat polemik ini makin kusut dan berliku," tegas Pengamat Politik Masnur Marzuki di Jakarta, Selasa (27/1).

Menurutnya, terdapat beberapa alasan Tim Independen tak dibutuhkan. Pertama, belum ada dasar hukum yang jelas pembentukan tim tersebut apakah keppres atau dasar hukum teknis lainnya. "Karena bila tidak dibekali dasar hukum yang jelas, tim tidak akan efektif bekerja menggali fakta dan memanggil para pihak," katanya.

Kedua, Presiden seperti tidak belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa selama ini pengelolaan negara menjadi tidak efektif karena terlalu banyak tim-tim yang nomenklaturnya tidak jelas dan justru tumpang tindih dengan lembaga atau institusi yang sudah ada.

"Misalnya tim 7 ini 'kan nantinya ditunggu pertimbangan dan masukannya, sementara sudah ada Wantimpres yang juga secara konstitusional ditugasi memberi pertimbangan kepada Presiden. Akan lebih efektif Presiden mendengarkan tuntutan publik dan merespon cepat masalah ini agar krisis ketatanegaraan ini tidak berlarut-larut. Hulunya tetap pada Presiden. Apapun hasil kesimpulan tim independen ini, tetap saja putusan finalnya ada pada Presiden sebagai kepala negara," katanya.

Sebelumnya, Jokowi mengumpulkan sejumlah tokoh dan berencana membentuk Tim Independen untuk memediasi konflik KPK vs Polri. Langkah ini diluar harapan publik karena terkesan Jokowi memelihara konflik dengan partai pendukungnya dan terkesan membenturkan arus bawah dengan elit dari partai pendukunganya.


Akhiri hari anda dengan menyimak beragam informasi penting dan menarik sepanjang hari ini, di "Reportase Malam" pukul 01.30 WIB, hanya di Trans TV

(jor/kff)
Sumber: http://news.detik.com/read/2015/01/28/065217/2815996/10/pembentukan-tim-independen-bukan-solusi-konflik-kpk-vs-polri

[Tim Independen Tambah Polemik] INDOPOS


JAKARTA- Aksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat Tim Independen untuk memidiasi konflik KPK dan Polri bukan memberikan solusi tetapi menambah polemik dan masalah menjadi rumit.

"Pembentukan tim independen bukanlah solusi tapi akan membuat polemik ini makin kusut dan berliku," tegas Pengamat Politik Masnur Marzuki di Jakarta, Selasa (27/1).

Menurutnya, terdapat beberapa alasan Tim Independen tak dibutuhkan. Pertama, belum ada dasar hukum yang jelas pembentukan tim tersebut apakah keppres atau dasar hukum teknis lainnya. "Karena bila tidak dibekali dasar hukum yang jelas, tim tidak akan efektif bekerja menggali fakta dan memanggil para pihak," katanya.

Kedua, Presiden seperti tidak belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa selama ini pengelolaan negara menjadi tidak efektif karena terlalu banyak tim-tim yang nomenklaturnya tidak jelas dan justru tumpang tindih dengan lembaga atau institusi yang sudah ada.

"Misalnya tim 7 ini 'kan nantinya ditunggu pertimbangan dan masukannya, sementara sudah ada Wantimpres yang juga secara konstitusional ditugasi memberi pertimbangan kepada Presiden. Akan lebih efektif Presiden mendengarkan tuntutan publik dan merespon cepat masalah ini agar krisis ketatanegaraan ini tidak berlarut-larut. Hulunya tetap pada Presiden. Apapun hasil kesimpulan tim independen ini, tetap saja putusan finalnya ada pada Presiden sebagai kepala negara," katanya.

Sebelumnya, Jokowi mengumpulkan sejumlah tokoh dan berencana membentuk Tim Independen untuk memediasi konflik KPK vs Polri. Langkah ini diluar harapan publik karena terkesan Jokowi memelihara konflik dengan partai pendukungnya dan terkesan membenturkan arus bawah dengan elit dari partai pendukunganya. (jpnn)

[Bentuk Pengadilan Adhoc DPR Perlu Perhatikan Ini] GatraNews


Jakarta, GATRAnews-Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengatakan, wacana Komisi II DPR-RI dalam membentuk pengadilan adhoc untuk menyelesaikan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pildada) sah-sah saja dilakukan.

Namun, DPR harus memikirkan relevansi pelaksanaan Pilkada serentak dengan pembentukan perangkat pengadilan adhoc. Pasalnya, masalah suprastruktur dan infrastrukturnya termasuk rekrutmen hakim adhoc akan bermasalah apabila menunjuk pengadilan adhoc.

"Bayangkan tumpukan perkara itu secara serentaknya Pilkada," jelas Masnur saat ditemui wartawan di DPR-RI, Senayan, Jakarta, Selasa (3/2).

Selain itu, DPR-Pemerintah juga harus memikirkan apakah sistem peradilan adhoc yang dibentuk mempunyai prinsip putusan final dan mengikat. Sebab, menurut Masnur, putusan pengadilan dalam menangani sengketa Pilkada harus final dan mengikat.

"Saya juga kritik soal nama nomenklaturnya karena yang namanya AdHoc berarti sementara. Harusnya didefinitifkan langsung nomenklaturnya menjadi Pengadilan Pilkada," tegas Masnur.

Tidak hanya itu, perekrutan hakim di pengadilan itu harus dari kalangan hakim karier dan nonkarier yang berjiwa kenegaraan agar wibawa peradilan pilkada dapat terjaga marwahnya. Masnur meminta materi tersebut harus segera dimasukkan menjadi materi RUU revisi UU Pilkada yang akan digodok oleh Komisi II DPR.

"Revisi tersebut menurut saya tak boleh melewatkan penuntasan pembentukan pengadilan pilkada," demikian Masnur.

Reporter: Wem Fernandez
Editor: Arief Prasetyo

[Ahok Harus Transparan Ganti Dirut BUMD] Majalah Visioner



Jakarta Monitoring Network (JMN) meminta Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat harus terbuka dan transparan dalam melakukan mutasi besar-besaran jajaran direksi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta. Akuntabilitas proses mutasi adalah prasyarat mutlak agar dirut-dirut BUMD dan pengelola BUMD DKI dapat bekerja maksimal meningkatkan PAD dan pelayanan masyarkat.

“JMN menuntut dilakukannya uji publik dan presentasi program pengembangan BUMD sebelum menentukan nama-nama yang akan menempati posisi strategis di BUMD. Seleksinya tidak hanya ketat dan cermat, tapi Ahok harus terbuka dan transparan, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan sebagai bentuk bagi-bagi jabatan,” kata Masnur Marzuki, SH, LLM, Direktur JMN.

Mutasi pengelola BUMD, lanjut Masnur, juga harus mengacu pada evaluasi kinerja. Bagi BUMD yang kinerjanya sudah baik, bukan berarti harus digeser. “Artinya, Ahok tidak boleh gegabah dan serampangan dalam melakukan penggantian dirut BUMD. Prinsip penerapan reward and punishment harus ditegakkan dengan konsisten. Ahok tidak bisa seenaknya menerapkan prinsip punishment tanpa penerapan reward bagi BUMD yang berkinerja baik,” paparnya.

Selain itu, Masnur menambahkan, untuk mendukung akuntabilitas perlu juga memikirkan pelibatan PPATK dan KPK dalam menelusuri jejak rekam kandidat dirut BUMD.

Menggenjot Kinerja BUMD

Sebelumnya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akan melakukan perombakan besar-besaran dalam tubuh jajaran direksi BUMD DKI Jakarta. Langkah ini dilakukan setelah Ahok, sapaan akrab Basuki, melakukan perombakan besar-besaran terhadap 4.676 pegawai negeri sipil (PNS) dengan golongan eselon II, III dan IV.

"Sehabis ganti PNS besar-besaran, kita juga akan ganti direktur utama BUMD DKI secara besar-besaran juga," kata Ahok, Senin 19 Januari 2014.

Ahok menyampaikan, pergantian direksi BUMD DKI dilakukan dengan tujuan menggenjot kinerja BUMD DKI yang seharusnya memberikan kontribusi besar bagi pendapatan daerah DKI Jakarta. Karena selama ini kontribusi BUMD DKI terhadap pendapatan daerah sangat kurang.

"Banyak target deviden yang ditargetkan BUMD tidak tercapai," ungkap Ahok.

Ahok mengatakan, dia akan mencari sosok dirut BUMD yang memiliki integritas tinggi dan jujur dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. “Tes seleksi jabatan dirut dan jajaran direksi BUMD DKI telah dilaksanakan. Saat ini, sudah ada beberapa nama calon dirut dan direktur untuk memimpin salah satu BUMD DKI sudah ada ditangan saya,” kata Ahok.

Calon dirut dan direktur BUMD DKI ini, dijamin Ahok dapat bekerja dengan cepat. Serta dapat mengikuti ritme kerjanya yang juga cepat. Dia pun ternyata sudah melakukan seleksi beberapa orang untuk posisi direktur utama. "Sudah final. Saya jamin, orang-orangnya bisa bekerja dengan kencang," terangnya. (Rief/Herkis)

[Dewan Pembina Relawan Riau Baru Minta Audit Keuangan Badan Penghubung Riau Jakarta] RiauOne.Com

riauonecom, Jakarta, roc, - Masnur Marzuki, Dewan Pembina Relawan Riau Baru (RRB) meminta Audit Kinerja dan Audit Badan Penghubung Riau di Jakarta. Kepada riauone.com, Rabu, 11/02/15 Masnur menegaskan harus segera diaudit terkait dengan Keberadaan Mess Riau di Slipi Jakarta tersebut.

Lebih lanjut Masnur mengatakan, Audit Kinerja dan Audit keuangan harus segera dilakukan agar kinerja Badan Penghubung Riau di Jakarta dapat dipertanggungjawabkan. Biro Perlengkapan Setdaprov tidak boleh berpangku tangan dan berlaku pasif menerima laporan keuangan Mess Riau yang saban tahun merugi.

"Bagaimana mungkin kebutuhan pegawai dan gedung mencapai Rp500 juta lebih sementara pemasukan dari uang sewa kamar Mess hanya Rp200 juta. Oleh sebab itu, pertama, saya mengimbau SekdaProv dan Komisi A untuk segera menunjuk auditor independen mengaudit kinerja dan keuangan Badan Pengelola Mess Riau di Jakarta. Kedua, haram hukumnya jika kegunaan Mess Pemda menjadi bancakan korupsi dan penyelewengan keuangan. DPRD melalui Komisi A harus segara proaktif melakukan monitoring dan pengawasan." Katanya.

Selama ini Komisi A DPRD masih memble dalam melakukan monitoring dan pengawasan terhada aset-aset Riau yang tersebar di seluruh Indonesia termasuk Mess Riau di Jakarta.

"Kita berharap aset-aset Riau jangan sampai jadi bancakan proyek dan ladang korupsi. DPRD harus segera bertindak memanggil stakeholder terkait untuk menelusuri timbunan masalah tata kelola aset milik rakyat Riau. Kalau tidak, patut dicurigai Pemprov dan DPRD main mata dalam pusaran masalah pengelolaan aset rakat Riau tersebut." Tegas Masnur Marzuki, Pengamat Hukum UII dan alumni Daarun Nahdhah ini. (abu)

[Parpol Tak Dipercaya, Calon Independen Penuhi Hak Warga Negara] HARIAN TERBIT 28/01

Jakarta, HanTer - Kalangan pengamat menilai pencalonan perseorangan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) atau calon presiden (Capres) Independent dalam artian tidak diusung oleh partai politik (parpol), merupakan bagian dari pemenuhan hak warga negara untuk memilih dan dipilih. Belum lagi partai politik (parpol) saat ini sudah tidak dipercaya oleh masyarakat karena korupsi dan konflik internal.

Sehingga, usulan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengatur capres independent dapat ikut Pilpres dengan amandemen terbatas kelima UUD 1945, patut didukung. Demikian dikatakan oleh Pakar Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta, Heri Budianto dan Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki saat dihubungi di Jakarta, Rabu (28/1/2015).

Menurut Heri, diperlukan celah dalam konstitusi untuk mengatur calon perseorangan dapat mengikuti Pilpres bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih. Sehingga, lanjutnya, calon independen diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada putra-putri terbaik bangsa yang tidak menempuh jalur Parpol.

"Apalagi saat ini kondisi parpol yang banyak masalah mulai dari track record parpol dengan kasus korupsi dan juga konflik internal," kata Heri Budianto.

Masnur menambahkan, selama ini absennya pengaturan capres independent dalam UUD telah menghambat hak memilih dan dipilih warga negara dalam kontestasi Pilpres. "Tidak mengherankan bila beberapa kali Undang-Undang (UU) Pilpres dan UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan hak konstitusional warga negara," kata Masnur.

Meskipun MK menolak gugatan uji materi tersebut karena memang kedua UU Pilpres dan UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD, dia menilai putusan tersebut wajar karena memang konstitusi tidak mengadopsi adanya capres independent. "Tapi dalam negara hukum yang demokratis, capres independen sah-sah saja diadopsi dalam konstitusi," ujarnya.

Dia mencontohkan, di Amerika Serikat (AS) terdapat capres independent. Namun potensi memenangkan kontestasi Pilpres sangatnya kecil bahkan belum pernah terjadi dalam praktek politik di AS. "Jadi penegasan capres independen dalam konstitusi AS lebih pada pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih," jelasnya.

Di Indonesia, sambungnya, pengalaman calon independen sudah cukup baik meskipun baru pada level kepala daerah. Apabila dilihat perbandingan capres independen dengan negara lain, hal itu hanya sebagai unsur penguat praktek demokrasi modern. "Tidak ada salahnya Indonesia adopsi capres Independent tapi harus diamandemen dulu konstitusinya," tegasnya.

Dia mengakui, capres independent akan sulit meraih dukungan di parlemen karena tidak didukung oleh Parpol yang berdampak kinerja pemerintah menjadi terhambat. Namun, katanya, hal itu dapat diatur dalam UU Pilpres dan UU Pemilu. "Syarat-syaratnya teknis diatur oleh UU. Misalnya harus mendapat dukungan tanda tandan dan KTP minimal 1 persen di lebih dari separuh total jumlah provinsi di Indonesia," tuturnya.

(Robbi)

http://www.harianterbit.com/2015/read/2015/01/28/17988/25/25/Parpol-Tak-Dipercaya-Calon-Independen-Penuhi-Hak-Warga-Negara