Friday, November 2, 2012

Perubahan Kelima UUD 1945; Antara Optimisme dan Pesimisme

Dalam sebuah diskusi "Urgensi Perubahan Kelima UUD 1945" di Kampus UII Yogyakarta yang ditaja HMI FH UII dimana saya bersama Zainal Arifin Mochtar (PUKAT UGM) didapuk sebagai pemateri, seorang peserta diskusi bertanya sejauh mana optimisme perubahan kelima akan terwujud tahun ini. Pertanyaan itu menggelitik saya sebagai pengamat sekaligus dosen HTN.

Saya memang meyakini bahwa tahun 2012 ini adalah momentum terbaik perubahan kelima UUD 1945. Momentum tersebut tentu mensyaratkan strategi jitu para pendorong perubahan yang sejauh ini masih didominasi oleh Kelompok Dewan Perwakilan Daerah Di MPR. Kelompok DPD Di MPR memang sudah lama memfokuskan energi untuk mendorong perubahan kelima dengan mendekati fraksi-fraksi partai politik di MPR antara lain Golkar, Hanura, PKB, dan Gerindra. Bahkan, konon Fraksi Golkar sudah akan menunjuk Prof. Jimly Asshiddiqie menjadi tim ahli Fraksi Golkar untuk mengawal materi perubahan konstitusi. Meskipun belakangan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut menilai, usul dari DPD-RI untuk perubahan kelima UUD 1945, sudah terlambat. Terlepas dari itu semua, lebih jauh Kelompok DPD Di MPR juga sudah melakukan uji sahih naskah perubahan di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia.

Namun keyakinan tersebut tergerus beberapa hal yang akhirnya membuat saya berbalik ragu bahwa amandemen lanjutan atas UUD 1945 tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Akibatnya muncul pertanyaan mendasar. Kenapa perubahan kelima yang diusulkan DPD RI begitu sulit terwujud? 

Berulang kali di banyak kesempatan saya tegaskan sulitnya amandemen lanjutan lebih karena momentum dan kemauan elit bangsa saat ini. Momentum perubahan konstitusi belum bertemu dengan kepentingan penyusun konstitusi (MPR). Betul bahwa DPD adalah bagian dari MPR tapi dengan jumlah yang hanya 132 anggota dari total lebih dari 700 anggota MPR maka suara DPD tenggelam dalam hiruk pikuk tarik-menarik kepentingan di DPR yang menurut konstitusi juga otomatis menjadi anggota MPR.

Selain soal momentum dan kepentingan elit partai politik di DPR, agenda perubahan konstitusi juga dibusuki dari dalam. Indikasinya sebagian besar anggota DPD masih banyak yang belum memahami apa yang sedang mereka perjuangkan lewat perubahan konstitusi. Dalam sebuah seminar yang digagas Kelompok DPD Di MPR, Irman Putera Sidin yang juga tim ahli dan perumus naskah perubahan kelima Kelompok DPD Di MPR mengungkapkan kekecewaannya atas pemahaman anggota-anggota DPD atas butir-butir perubahan kelima yang diusung DPD. Belum lagi ditambah adanya gesekan internal antar anggota DPD sendiri. Akibatnya, inti dan makna perubahan kelima yang diusung DPD masih belum mengakar menjadi ruh perjuangan bersama DPD.

Walhasil, perubahan konstitusi yang diinisiasi DPD bak air bah yang tumpah ke laut. Tak berdampak apa-apa dan tak mempengaruhi jarum sejarah perubahan kelima UUD 1945. Mungkin harus menunggu rezim ini usai dan di timur matahari menyembul fajar baru semangat perubahan dari rezim baru pasca 2014. Kita tak boleh menyerah untuk meretas perubahan konstitusi yang memang perlu ditata agar mewujud menjadi kitab bernegara yang dapat menjawab tantangan ketatanegaraan ke depan. Wallahu'alam bisshowab.


Yogyakarta, 2 November 2012.