Thursday, April 30, 2009

[Lagi, Soal Nara]

Dilara, kau sedang apa? Jakarta masih beraroma basah setelah hujan turun deras sekali tadi pagi. Badanku pun sepertinya tak cukup asupan tidur hingga muka menjadi pucat pasi. Mungkin lantaran terlambat naik ke dipan semalam. Kemarin malam bersama seorang teman aku pergi menonton pertunjukan Teater Padhang Bulan di Taman Ismail Marzuki. Pementasnya Emha Ainun Nadjib dan kawan-kawan.

Entah kenapa tiba-tiba aku teringat kata-kata Emha dalam pementasan yang amat menyentuh itu:

"Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan."

Aku harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Emha itu ada benarnya, Dilara. Aku jatuh cinta pada Nara. Tapi aku tidak tahu apakah dia membalas cintaku. Toh kalau pun cintaku ini bertepuk sebelah tangan aku masih bisa mengatakan bahwa aku ini bisa menjadi sang kekasih. Dan aku betul-betul merasakan apa yang dikatakan Emha di atas. Aku selalu berprasangka baik pada Nara. Berpikir bahwa ketidak-sediaan Nara menjawab pintaku waktu itu hanya soal momen dan kesempatan. Toh ia pernah berjanji akan membalas kunjunganku suatu hari nanti. Dan aku kan setia menanti.

Kau pasti belum kenal betul siapa itu Nara 'kan Dilara? Jujur, banyak hal yang membuatku selalu mengingat Nara.

Pintar, puitis, romantis, sungai Naryn, Kyrgystan, Yogyakarta, Indomie, a-mild, clinique happy for men, "cicak didinding"-ya Dee, Pramudya, kaos biru university of melbourne, bantal hati warna biru, hujan, taxi bluebird, Plaza Semanggi, Pengacara, Salak pondoh, Soe Hoek Gie, "enyak...enyaK..enyak...", Friendster, facebook, kodok...(hehe), deasy, "baby, don't you break my heart slow"-nya vonda shepard, "love song" 311, "seperated" usher, "unintended" muse, radio biru blue sky, bandara soekarno-hatta, MC Cafe thamrin, Ramadhan, wanna dance?

Semua yang aku lihat, dengar dan rasa sungguh mengingatkanku padanya.

Tapi ada yang salah dengan diriku saat ini Dilara. Bagiku saat ini hal ikhwal keinginan mencintai Nara adalah sebuah paham dan opini yang sudah terpatri di hati. Dan bodohnya lagi aku justeru tersiksa oleh opiniku tentang hal ikhwal itu dan bukan oleh hal ikhwal itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Descartes dulu sekali Dilara; orang selalu tersiksa oleh opininya tentang hal ikhwal, bukan oleh hal ikhwal itu sendiri.

Ada opini yang beragam muncul di benak-ku dengan apa yang dipikirkan Nara saat pertama kali aku hendak mengatakan bahwa aku jatuh hati padanya. Nara mungkin kecewa kenapa aku sebodoh itu dan tergesa-gesa mengungkapkan perasaan padahal kenal dekat pun belum. Nara mungkin juga bingung akan diapakan perasaanku ini. Dan aku tidak tahu persis mana yang sedang dipikirkan Nara saat ini. Dan aku betul-betul tersiksa oleh opiniku tentang apa yang bakal dan sedang dilakukan Nara terhadap perasaanku itu. Kau bersedia membantuku Dilara?

Kenapa diam Dilara? Kau marah sebab aku mulai mengabaikanmu? Kau kesal karena aku hanya dan selalu mengingat Nara? Nara itu belum pasti menerimaku, sayang. Tak ada yang pasti dalam hidup ini kecuali ketidakpastian itu sendiri, bukan?

Kau pernah bilang padaku bahwa kau akan cemburu jika ada satu saja perempuan yang menaruh hati padaku atau aku yang menaruh hati padanya. Ternyata kau tidak hanya romantis Dilara, tapi juga pencemburu. Dan kini kau sedang cemburu pada Nara padahal kau tak tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi antara aku dan Nara.

Nara itu gadis pendiam, Dilara. Tak banyak kata-kata yang keluar dari mulutnya. Mungkin sikap pendiamnya itu banyak diilhami dari hobinya memanjat tebing. Dulu saat aku di Kyrgystan Nara menunjukkan padaku sekian gunung dan tebing yang sudah dia daki. Katanya seorang pendaki atau pemanjat handal harus menjadikan pendiam itu sebagai guru sekaligus kawan. Sebab, diam itulah yang akan mengajarkan bagaimana cara berpikir cepat, mengambil keputusan serta mengalahkan rasa takut.

"Kalau aku bosan dengan suasana sidang pengadilan, maka panjat tebing adalah pelarian paling mengesankan.." katanya suatu ketika padaku. Aku sempat protes waktu itu. Bagaimana mungkin seorang pengacara seperti Nara bisa mewujud menjadi gadis pendiam? Bukankah banyak omong adalah satu dari sekian keahlian dan ciri dari seorang lawyer?

Kini aku makin larut dalam ingatanku pada Nara. Nara. Nara. Nara dan Nara. Kau pasti pernah mengalami hal yang sama 'kan Dilara? Kau pernah linglung saking kangennya kau padaku. Kau malah menuduhku memakai guna-guna waktu itu. Ya, kau benar sayang. Aku taruh guna-guna itu di setiap sudut telinga, mata, mulut dan hidungmu. Ku taruh di sepasang telingamu agar setiap kabar yang kau dengar adalah kabar tentangku. Ku letakkan di matamu agar setiap laki-laki yang kau jumpai yang terlihat hanya wajahku. Ku taruh di mulutmu agar setiap kata yang sebut adalah namaku. Ku taruh di hidungmu agar setiap aroma yang kau cium adalah aroma tubuhku. Bukankah begitu, sayang..?

Dan tahukah kau Dilara? Itulah yang aku rasakan saat ini tentang Nara. Sepertinya aku juga diguna-guna oleh Nara.. Semoga saja. Alangkah senangnya hatiku.



Arqan Kamaruzzaman