Wednesday, June 15, 2011

Gratifikasi dan Solidaritas Paranoid

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bersama Sekjend MK akhirnya mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan laporan pemberian uang oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin Selasa, (Republika, 25/05). Atas laporan itu, KPK kini tengah menelusuri motif pemberian uang oleh politikus Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin ke Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, Janedjri M Gaffar dengan membentuk tim pengkaji untuk mengkaji motif pemberian uang tersebut.

Tulisan berikut mengupas bagaimana pengertian gratifikisi serta unsur-unsur delik gratifikasi dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain itu akan dibahas pula mengenai paranoid solidarity yang kini melanda hampir semua penyelenggara negara ketika berhadapan dengan kasus-kasus hukum termasuk pidana korupsi.

Memahami Gratifikasi

Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”. Dari pengertian ini gratifikasi dapat dibagi menjadi dua, positif dan negatif. Gratifikasi positif artinya pemberian hadiah dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan imbalan balik apapun. Gratifikasi negatif artinya pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini biasanya dilakukan karena adanya interaksi kepentingan atau mufakat jahat untuk melakukan pelanggaran hukum dan tindak pidana korupsi.
Bila dilihat penjelasan pasal 12B UU Tipikor gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan, dan cuma-cuma. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tidak.

Pasal 12B dan 12C UU Tipikor mengatur pula bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, serta jika penerima tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Dalam kasus Sekjend MK, walaupun tidak melapor langsung ke KPK, upaya terbebas dari delik pidana korupsi sudah dilakukan yang bersangkutan dengan mengembalikan uang tersebut kepada Nazaruddin tiga hari setelah uang tersebut diterima. Pertanyaannya, apakah tanpa melapor KPK perihal gratifikasi itu Sekjend MK masih dapat dijerat dengan delik gratifikasi sesuai UU Tipikor atau hanyalah menyangkut soal etika semata?

Upaya pengembalian uang yang dilakukan Sekjend MK dapat dilihat sebagai langkah tepat agar terbebas dari delik gratifikasi. Secara prinsipil Sekjend MK adalah pegawai negeri atau pejabat negara yang bisa terkena delik suap dengan catatan pemberian itu berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai pejabat negara. Tindakan tidak melapor kepada KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima tidak serta merta menyebabkan Sekjend MK melanggar ketentuan gratifikasi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Sebab, tindakan melapor kepada KPK menurut UU Tipikor dimaksudkan apabila si penerima berkeinginan menguasai atau mengambil pemberian tersebut. Inilah yang oleh ketua MK dimaksudkan sebagai pelanggaran etika semata dan tidak memiliki unsur pidana dalam kasus pemberian uang oleh Nazaruddin kepada Sekjend MK.

Sayangnya, UU Tipikor tidak mengatur tegas soal jerat hukum terhadap gratifikasi yang dilakukan oleh penyelenggara yang bertindak selaku pemberi uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan, dan cuma-cuma.

Pelajaran dari MK

Langkah Mahfud MD selaku Ketua MK tidak boleh dilihat dari kacamata politik semata seperti yang banyak dituduhkan oleh politisi Partai Demokrat sebagai upaya mencari panggung menjelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 mendatang. Sejatinya, langkah Mahfud MD adalah sebuah teladan yang harus ditiru oleh pimpinan lembaga negara lain yang cenderung terjangkit penyakit solidaritas paranoid (paranoid solidarity).

Secara jujur harus diakui di negeri ini kalau ada institusi tertentu disinyalir terlilit kasus korupsi maka ramai-ramai para pejabat bersangkutan membantah dan melakukan pembelaan atas nama solidaritas. Terkait kasus gratifikasi oleh Muhammad Nazarudding kepada Sekjend MK, menurut hemat penulis, selaku ketua MK Mahfud MD ingin menegaskan kepada publik bahwa MK terbebas dari penyakit paraoid solidarity atau solidaritas kalap aparatur negara. Indikasinya, Ketua MK bersama Sekjendnya sudah bersikap proaktif dengan melapor ke KPK untuk urusan hukumnya, sedangkan untuk urusan etika, Mahfud melaporkan kasus kepada SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

Tidak hanya lembaga negara, paranoid Solidarity kini sudah merambah ke partai politik termasuk Partai Demokrat. Atas nama kehormatan partai, sebagian kader Demokrat ramai-ramai membela Nazaruddin bahwa yang bersangkutan tidak bersalah dan tidak ada fakta hukum yang mengindikasikan pelanggaran pidana. Padahal tindakan pro yustisia belum dilakukan terhadap Nazaruddin. Kini pembelaan itu justeru berujung pada pemberhentian Nazaruddin selaku Bendahara Umum Partai Demokrat.

Pemberhentian Nazaruddin selaku Bendahara Umum Partai Demokrat seharusnya diikuti pula dengan penonkatifannya selaku anggota DPR karena landasan etiknya sudah terpenuhi. Alasan pemberhentian dari kepengurusan Demokrat agar yang bersangkutan bisa lebih berkonsentrasi menghadapi pemeriksaan hukum seharusnya juga diterapkan pada posisinya sebagai anggota DPR. Jika ini dilakukan maka Demokrat akan menjadi contoh baik bagi partai lain bahwa paranoid solidarity hanya akan merugikan citra partai itu sendiri.

Sebagai anggota DPR sekaligus anggota MPR, seharusnya dalam membaca kasus Nazaruddin publik perlu memperhatikan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Tap No. VIII/MPR/2001 tentang Arah dan Rekomendasi Pemberantasan KKN. Tap No. VI/MPR/2001 mengatur, pejabat publik yang terlibat kasus hukum harus mau mengundurkan diri (dan dapat dimundurkan) tanpa harus dibuktikan lebih dulu di pengadilan. Sementara itu Tap No. VIII/ MPR/2001 menyatakan, pejabat yang terlibat kasus hukum dapat dibebaskan dari jabatannya meski belum diputus pengadilan.
Mengenai perlu tidaknya pemberhentian Nazaruddin selaku anggota DPR, Dewan Kehormatan (DK) DPR harus bekerja keras dan ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan terhadap Nazaruddin. Namun berkaca pada pengalaman, pilihan memberhentikan anggota DPR bermasalah oleh Dewan Kehormatan DPR sulit dilakukan. Apalagi komposisi DK DPR diisi oleh lintas partai politik yang tidak akan mudah mencapai titik temu dalam pengambilan keputusan. Tarik menarik kepentingan menyebabkan pengambilan keputusan oleh BK DPR bisa diduga akan mewarnai proses pemeriksaan tersebut. Adalah lebih bijak jika yang bersangkutan mengambil inisiatif sendiri untuk mundur secara terhormat agar proses hukum yang akan dijalaninya bisa berjalan dengan objektif dan transparan. Kedua ketetapan MPR di atas patut dijadikan pertimbangan dan rujukan bagi Nazaruddin dalam mengambil sikap terbaik dan sekaligus pembelajaran penting bagi penegakan hukum di negeri ini.

Oleh: Masnur Marzuki
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Koordinator Komunikasi Politik Sentra Informasi untuk Data Anti Korupsi (SIDAK)
Managing Director LAMOTU Institute