Saturday, January 3, 2015

[Terkait Musibah AirAsia, Jokowi tak Keluarkan Kata Innalillahi] SUARANASIONAL.COM

Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak mengeluarkan kata-kata yang mengandung nilai spiritual terkait musibah jatuhnya pesawat AirAsia.

“Mungkin akan sangat elok Jokowi memulai & menutup press conference dengan ucap Salam, atau sekedar “Innalillahi..” Jadi ingat Preambule UUD,” kicau dosen hukum UII Masnur Marzuki di akun Twitter-nya, @MasnurMarzuki.

Masnur pun melihat, Jokowi belum mengeluarkan beberapa kalimat yang menunjukkan sikap religiusnya di saat terjadi musibah.

“Apa saya yang kurang detail menyimak, tak sekalipun keluar kata Allah, Tuhan atau dimensi theologis lainnya dari press conference Jokowi. Bahkan mengucapkan sekedar penutup wassalamualakum warohmatullah saja tak keluar dari mulut Presiden di negara dengan mayoritas muslim ini,” tulis @MasnurMarzuki.

Masnur pun membandingkan religiusitas Jokowi saat bertarung dalam kontestasi Pilpres. “Kita masih ingat debat Capres, kata demi kata begitu detail diamati pakar komunikasi. Waktu itu Jokowi ucap sholawat. Kini? Kita kena musibah.Kita tengah ditempa musibah, dan sayangnya ini bukan musim kampanye. Dan presiden hanya menampilkan religiusitasnya saat kontestasi Pilpres,” tulis @MasnurMarzuki.

Sumber: http://suaranasional.com/2014/12/31/terkait-musibah-airasia-jokowi-tak-keluarkan-kata-innalillahi/

[Sistem Negara Indonesia Kini di Antara Presidensial dan Parlementer] GATRANEWS

Jakarta, GATRAnews - Pengamat hukum tata negara Masnur Marzuki menilai, sistem negara Indonesia masih belum jelas karena secara tertulis Indonesia menganut sistem presidensial, sementara pada praktiknya banyak menerapkan sistem parlementer. "Indonesia mempraktekan sistem parlementer karena presiden dan eksekutif lainnya bergantung pada legislatif atau DPR," kata Masnur, dalam acara diskusi Sistem Presidensial dan Realitas Politik Pasca-Pilpres 2014 di Hotel Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/12).

Masnur menjelaskan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sangat tersandera dalam kekuatan DPR, hal itu terlihat jelas ketika SBY berencana menaikan bahan bakar minyak pada 2012. Begitu juga dengan pemerintahan Joko Widodo yang bergantung besarpada dua kekuatan di DPR yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat. "Jadi negara ini tidak jelas presidensial atau parlementer. Saya melihat Indonesia itu cenderung mengambil sistem tengah, tidak ke barat dan tidak ke timur," ujarnya.

Meskipun demikian, Masnur mengakui jika keberadaan KMP di DPR memang diperlukan untuk mengawasi pemerintah jika ada kebijakan yang tidak pro-rakyat. KMP ini, lanjutnya, juga menjadi sejarah dimana oposisi lebih besar dibanding koalisi pemerintah. "Baru kali ini oposisi lebih besar dibanding pemerintah, jaman Soeharto eksekutif yang dominan, jaman Mega dan SBY legislatif yang dominan," imbuhnya.

Namun, Masnur menjelaskan, meskipun ada perubahan kekuatan tapi ada juga perpindahan lahan "korupsi" yang dilakukan. "Kalau dulu jaman Soeharto eksekutifnya yang banyak korupsi, sekarang pindah legislatifnya yang banyak korupsi," tutupnya.

Penulis: Ervan Bayu
Editor: Edward Luhukay

[Jokowi Terkepung Kisruh Politik] KastaraNews

Jakarta, Kastaranews.com – Perseteruan Koalisi Merah Putih (KPM) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dinilai menjadi salah satu pemicu Persiden Jokowi tidak akan berhasil dalam menjalankan pemerintahannya.

Belum adanya kejelasan sistem pemerintahan yang ada melainkan penafsiran. Hal ini dsisampaikan pengamat Hukum tata Negara, Masnur Marzuki dalam dialog mahasiswa yang bertajuk ” Sistem Presidensial Dan Realitas Politik Pasca Pilpres 2014″. di Hotel Menteng 1 Jln. Gondangdia – Menteng Jakarta pusat (18/12/14).

“Sistem pemerintahan yang presidensil tidak dalam pelaksanaannya dan tidak ada dalam konstitusi sebenarnya melainkan hasil penafsiran,” jelasnya.

Dikatakan Masnur, SBY tidak dapat melakukan kebijakan pemerintah dengan baik karena DPR memblockingnya, misalnya ketika ia hendak menaikan harga BBM namun DPR menolak sehingga kebijakan batal dilakukan karena adanya intervensi DPR.

“Suharto pemecah rekor presiden yang berkuasa paling lama. Dia menjadi king of the king,” tuturnya.

Masnur menambahkan, Jokowi tidak akan berhasil menjalankan pemerintahan jika perseteruan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat terus terjadi.

“Adanya kelompok dominan dalam DPR yang mengoreksi kebijakan pemerintah/presiden sebenarnya cukup bagus sebagai pengimbang/check and balances antara eksekutif dan yudikatif,” terangnya.

Dalam pandangan Masnur Jokowi merupakaan seorang presiden galau karena terombang- ambing dengan kekuatan eksekutif dan legislatif.

“Dalam mensosialisasikan sebuah undang-undang juga membutuhkan dana banyak bahkan hingga milyaran karena itu kita perlu mengawasinya,” ajaknya.

Dalam kesempatan yang sama pengamat politik/staf ahli ESDM Muhammad Harris Indra mengatakan, untuk sistem presidensial atau bukan tidak ada istilah voting dalam menentukan kebijakan. Saya termasuk orang yang setuju dengan UUD 45 asli bukan pilkada langsung.

“Kenapa saya menolaknya silahkan anda membaca buku skripsi Marsilam Simanjuntak tentang sistem negara dan buku catatan mr. Moh Yamin terbitan tahun 1985 berjudul Badan Penyelidikan Usaha Kemerdekaan Indonesia tentang BPUPKI,” ujarnya.

Menurut Harris kenapa Sukarno dan Suharto mampu berkuasa lama dengan baik karena mereka tahu bagaimana cara memimpin dengan baik.

“Sukarno dengan kerongkongannya, Suharto dengan kekuatan senjatanya. Indonesia selalu memilih untuk berada ditengah-tengah karena itu merupakan watak pemimpin-pemimpin di Republik ini yang berusaha untuk mencari aman,” tuturnya.

Harris mengajak para mahasiswa agar belajar dengan baik untuk bisa menyusun konsep pemikiran yang lebih baik bagi bangsa Indonesia dalam 50 tahun kedepan.

” Jokowi terkepung oleh kubu KMP dan kekuatan Mega-Paloh, karena itu kita perlu menyelamatkan Jokowi dari kepungan yang ada,” tandasnya. (BAS/BK)