Monday, December 1, 2014

[DPRD DKI Harus Menjelaskan Kepada Publik Mengenai Buruknya Pemerintah DKI Tahun Ini]


JAKARTA, Suarasenayan.com – Tahun 2014 merupakan tahun politik bagi Bangsa Indonesia. Karena ditahun ini pesta demokrasi digelar, yaitu pemilihan anggoya legislatif dan pelimilhan Presiden. Tanpa kecuali DKI Jakarta. Namun hendaknya Pemerintah Daerah tidak mengabaikan tanggung jawabnya dalam membangun kota Metropolitan.

“Tahun ini memang tahun politik tapi seharusnya mereka aparat Pemda bekerja maksimal. Kenyataannya hingga saat inj penyerapan anggaran hanya berkisar 28 persen. Ini artinya penyerapan anggaran terbiruk sepanjang 5 tahun.” Ungkap Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Universitas Islam Indonesia Masnur Marzuki kepada Suarasenayan.com.

Masnur juga menyayangkan adanya program yg dicanangkan tahun ini secara otomatis tidak berjalan.
“Program yang dicanangkan mereka mau diapakan dan dimana pertanggungjwaban Ahok sebagai Gubernur. Jika kondisinya seperti ini tentunya yang rugi masyarakat jakarta,” tegasnya.

Persoalan rendahnya penyerapan anggaran tahun ini nampaknya Gubernur DKI Jakarta lepas tanggung jawab dan menyalahi anak buahnya yang tidak benar bekerja.

“Ahok jangan hanya bisa lempar tanggung jawab dan menyalahkan anak buahnya karena semua adalah tanggung jawabnya sebagai Gubernur. Kalo boleh saya bilang sebenarnya tahun 2014 ini adalah auto pilot, tidak ada Gubernur pembangunan juga tetap berjalan,”ungkap Masnur.

Jika Ahok bisanya hanya lempar tanggung jawab sebaiknya akuntabilitas Ahok patut dipertanyakan dan DPRD DKI harus segera memanggil Ahok dan mempertanyakan tentang amburadulnya penyerapan tahun ini dan apa langkah Ahok disisa tahun anggaran ini pinta Masnur.

Setelah itu tambahnya,DPRD DKI harus menjelaskan kepada Publik tentang gagal dan buruknya penyerapan tahun ini. Bahkan Ahok jangan lupa terhadap kedudukan dan kepentingan masyarakat jakarta.

“Ahok harusnya jangan lupa dengan Prinsip Sallus Publica Suprema Legs. Dimana kepentingan rakyat itu adalah hukum tertinggi,” tegas Masnur.

Penulis. : Ricky Allen
Editor. : Andrian Setyo
 Sumber:

[Pembentukan Alat Kelengkapan Dewan Mandek, DPRD DKI Harusnya Malu]


Mandeknya pembentukan alat kelengkapan dewan, ujarnya, berpotensi besar mempengaruhi kinerja konstitusional DPRD sebagai wakil rakyat yang telah diberikan mandat pada Pileg 2014 lalu dan dilantik sejak 25 Agustus 2014.


Jakarta, Aktual.co —Pengamat hukum tata negara UII Yogyakarta Masnur Marzuki, menyayangkan masih mandeknya pembentukan alat kelengkapan dewan di DPRD DKI Jakarta.

Mandeknya pembentukan alat kelengkapan dewan, ujarnya, berpotensi besar mempengaruhi kinerja konstitusional DPRD sebagai wakil rakyat yang telah diberikan mandat pada Pileg 2014 lalu dan dilantik sejak 25 Agustus 2014.

Padahal, ada dua agenda besar di DKI yang harus diselesaikan DPRD melalui Alat Kelengkapan Dewan.

Pertama terkait penyusunan dan pembahasan RAPBD 2015. Dan yang kedua adalah pengisian jabatan Gubernur DKI yang masih lowong sepeninggal Joko Widodo yang melenggang ke Istana sebagai Presiden RI.

"Kedua agenda itu pun diperkirakannya akan terhambat pelaksanaannya," ujarnya saat dihubungi Aktual.co, Kamis (6/11).

Oleh karena itu, Masnur menilai mandeknya pembentukan Alat Kelengkapan Dewan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, dan harus segera dituntaskan dan disahkan.

"Kita menyayangkan berlarut-larutnya pengesahan ini," ujarnya.

Dia pun menyarankan ke-106 anggota DPRD DKI yang tak pernah absen menerima gaji dari APBD DKI sejak dilantik Agustus lalu, bisa berkaca pada DPRD di daerah yang justru sudah mulai bekerja sejak dilantik. Ujarnya, DPRD DKI seharusnya menjadi barometer DPRD daerah lain karen mengingat DKI adalah ibukota negara.

Ditambahkannya, jangan sampai DPRD DKI justru ditagih rakyat (civil society) karena tidak kunjung bekerja padahal setiap bulannya APBD sudah terpakai untuk membayar gaji wakil-wakil rakyat itu.

"Oleh karena itu ada baiknya setiap pimpinan fraksi di DPRD baik dari Koalisi Merah Putih (KMP) maupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bisa duduk satu meja menuntaskan pembentukan AKD DPRD DKI."

[Pengamat; Sidang Paripurna DPRD Melanggar Tatib]


Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki berpendapat seharusnya Paripurna DPRD tidak bisa diputuskan sepihak oleh Ketua DPRD saja, tanpa persetujuan dari keempat wakilnya.


Jakarta, Aktual.co —Tindakan Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi yang ngotot menyelenggarakan sidang paripurna DPRD DKI untuk mengumumkan persetujuan untuk pelantikan Plt Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI definitif, dianggap melanggar tata tertib DPRD.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki berpendapat seharusnya Paripurna DPRD tidak bisa diputuskan sepihak oleh Ketua DPRD saja, tanpa persetujuan dari keempat wakilnya.

"Ketua DPRD harusnya menghormati proses pengambilan keputusan pimpinan DPRD yang bersifat kolektif kolegial. DPRD bukan perusahaan atau CV yang bisa disetir sendirian. Ketua DPRD harus mengacu pada peraturan tata tertib DPRD yang telah disahkan sebagai aturan main selain Peraturan Pemerintah dan UU MD3," ujar Dosen Tata Negara UII tersebut, saat dihubungi Aktual.co, Jumat (14/11).

Dilanjutkan Masnur, jangan sampai publik menilai manuver Prasetyo sebagai Ketua DPRD hanya sebagai nafsu "kebelet" ingin mendudukkan Ahok jadi Gubernur DKI saja.

Padahal ada tugas lain yang lebih mendesak ketimbang mengumumkan posisi Gubernur. Yakni mengesahkan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DKI yang sampai saat ini masih terkatung-katung.

"Seharusnya DPRD baru bisa bekerja termasuk menyelenggarakan paripurna pelantikan gubernur definitif setelah Alat Kelengkapan Dewan sudah ditetapkan dan disahkan. Penyelenggaraan Pemerintahan dan pelayanan masyarakat akan terganggu bila AKD tak kunjung disahkan. Ketua DPRD tidak boleh menafikan keberadaan Tatib dan AKD yang tak kunjung ditetapkan sehingga kerja-kerja konstitusional DPRD DKI menjadi stagnan," pungkas Direktur Jakarta Monitoring Networks ini.

Seperti diberitakan sebelumnya, lewat sidang paripurna DPRD DKI hari ini telah menyatakan persetujuannya untuk mengumumkan pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI definitif sesuai arahan dari Kementerian Dalam Negeri.

"Dengan ini DPRD menyatakan setuju dilantiknya Plt Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama untuk dilantik menjadi Gubernur definitif, saya melakukan ini sesuai arahan kementerian dalam negeri," kata Ketua DPRD DKI, Prasetyo.

Namun sidang paripurna ini berlangsung tanpa persetujuan dari fraksi-fraksi DPRD yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Dan hanya dihadiri oleh Fraksi dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Sumber;

[Haram Hukumnya jika Revisi UU MD3 Hanya untuk Berbagi Kursi] Okezone.com


Senin, 1 Desember 2014 - 18:21 wib | Risna Nur Rahayu - Okezone

JAKARTA - Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dijadwalkan selesai pada 5 Desember 2014. Salah satu tujuan revisi tersebut adalah untuk menuntaskan konflik di DPR antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Menurut pengamat hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, Badan Legislasi (Baleg) harusnya melibatkan banyak pemangku kepentingan termasuk MPR, DPD, dan DPRD dalam pembahasan tersebut.

"Walaupun tidak ada kewajiban konstitusional melibatkan para pemangku kepentingan seperti MPR, DPD, dan DPRD, tidak ada salahnya DPR mendengarkan masukan dari DPD dan DPRD," ujar Masnur di Jakarta, Senin (1/12/2014).

Alasannya, banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan melalui revisi UU MD3 selain menengahi konflik antara dua kubu koalisi di DPR. Pertama, mengadopsi putusan MK khususnya mengenai peran dan fungsi legislasi DPD RI dalam pengajuan RUU usul inisiatif dan pembahasan bersama RUU antara DPR-Pemerintah dan DPD.

Kemudian, merevisi norma tata cara Pemilihan Ketua DPRD yang tidak paralel dengan tata cara pemilihan Ketua DPR. "Kenapa Ketua DPR dipilih sementara Ketua DPRD ditetapkan dari Parpol pemenang. Ini aturan yang bertabrakan dengan prinsip kesatuan norma dalam NKRI," tambahnya.

Ketiga, adalah norma pelibatan aktif DPD dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas). Sehingga momentum revisi UU MD3 bisa mewujudkan tata kelola parlemen yang berimbang dan akuntabel sesuai prinsip & mekanisme check and balances.

"Revisi UU MD3 haram hukumnya jika hanya dimaksudkan untuk mengakomodir upaya bagi-bagi kursi pimpinan Alat Kelengkapan Dewan di DPR," pungkasnya.

(ris)

Sumber:

[Pakar Tata Negara Sebut Pelantikan Ahok Cacat Hukum]

Gugatan yang dilayangkan Koalisi Merah Putih (KMP) DKI Jakarta terhadap pelantikan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dinilai sudah tepat. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) pun diharap segera memproses gugatan itu.

Jakarta, Aktual.co — Pakar hukum tata negara Masnur Marzuki mengatakan, pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI memang cacat hukum formil karena tidak ada dasar hukum pengangkatan gubernur melalui Peraturan Presiden (Perpres).

"Sebagaimana diamanatkan Perppu. Keppres pengangkatan Ahok adalah bukti Presiden telah memberi pelajaran buruk tata kelola pemerintahan dan kepatuhan pada UU/Perppu," kata Dosen Tata Negara UII Yogyakarta tersebut, ketika dihubungi aktual.co, Minggu (23/11).

Dia menjelaskan, seharusnya payung hukum teknis baik Peraturan Pemerintah maupun Perpres pengangkatan dan pelantikan gubernur diterbitkan terlebih dahulu sebelum dilantiknya Gubernur DKI Jakarta definitif. Apalagi pelantikan Ahok adalah pelantikan gubernur pertama dalam sejarah yang dilantik di istana sesuai amanat Perppu.

"Presiden seharusnya arif dan bijaksana dalam mengaplikasikan aturan konstitusi dan UU. Pasca dilantiknya Ahok jangan heran akan muncul gugatan dari berbagai pihak yang melihat celah hukum menggugatnya ke PTUN seperti yang dilakukan KMP DKI," tandas Masnur.

Masnur memberi contoh kasus Keppres pengangkatan hakim konstitusi Patrialis Akbar yang pernah digugat ke PTUN oleh koalisi ornop karena menganggap Keppresnya dibuat dengan mengabaikan amanat UU.
"Nah, jangan sampai Keppres pengangkatan dan pelantikan Ahok akan bernasib serupa dengan Keppres pengangkatan hakim konstitusi Patrialis Akbar. Presiden harus jadi contoh penyelenggara negara yang tertib dan patuh pada aturan hukum," tukas Masnur.

Sumber:
http://www.aktual.co/jakartaraya/pakar-tata-negara-sebut-pelantikan-ahok-cacat-hukum

[Mendagri Tak Paham Aturan] Media Report Aktual.co


Pengamat hukum tata negara Masnur Marzuki menyatakan bahwa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tak paham penerapan aturan hukum dan prinsip hirarki hukum.

Jakarta, Aktual.co — Pengamat hukum tata negara Masnur Marzuki menyatakan bahwa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tak paham penerapan aturan hukum dan prinsip hirarki hukum.

"Apakah Mendagri tidak paham bahwa UU 23/2014 telah diubah melalui penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2014? UU Pemda no. 23/2014 telah diubah melalui terbitnya Perppu. Di saat yang sama Presiden juga terbitkan Perppu no. 1/2014," kata Dosen Tata Negara UII tersebut, ketika dihubungi aktual.co, Sabtu (15/11)

Menurut dia, Mahkamah Konstitusi juga sudah menolak memeriksa perkara uji materi dua UU tersebut karena mengingat sudah adanya Perppu Pilkada. Itulah sebabnya Perppu Pilkada juga dimohonkan gugatan judicial reviewnya ke MK.
Masnur mempertanyakan mengapa menteri dalam negeri Tjahjo Kumolo menganggap sidang paripurna DPRD DKI Jakarta tidak perlu kuorum, terkait pasal 79 (1) undang-undang 23 tahun 2014.

Hal tersebut dianggap sebagai kelucuan politik yang dilakukan Ketua DPRD DKI Jakarta pada jumat(14/11) kemarin.

"Soal syarat kuorum DPRD pada paripurna DPRD DKI kemarin adalah bentuk kelucuan politik karena kabarnya paripurna hanya membacakan surat Mendagri yang dasar hukumnya masih jadi polemik apakah mengacu pada Pasal 203 ataukah Pasal 174 Perppu Pilkada yakni Perppu No. 1 Tahun 2014. Peristiwa kemarin belum pernah terjadi dalam sejarah politik Indonesia dan menjadi polemik ketatanegaraan," kata dia.

Selaku Mendagri, Tjahjo diminta berhati-hati mengeluarkan kebijakan dan pernyataan apalagi pernyataan tersebut memiliki dampak politik dan dampak hukum. Mendagri memaksa diberlakukannya Pasal 203 Perppu Pilkada sebagai Dasar hukum penetapan Ahok dan mengabaikan Pasal 174 yang kekuatan normanya sama dengan Pasal 203.

Sebelumnnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa pengesahan plt gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama sebagai gubernur memakai dasar hukum Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 tentang pilkada yang baru disahkan oleh DPR.

"Sidang paripurna DPRD DKI (pengumuman Ahok) tidak perlu quorum karena bukan pengambilan keputusan sesuai pasal 79 (1) UU 23 tahun 2014," kata Tjahjo Kumolo kepada Aktual.co, Jum'at (14/11).