Monday, April 10, 2017

Membawa-bawa Agama dalam Pilkada

Pilkada DKI Jakarta kian penuh hiruk pikuk. Salah satu yang cukup ramai adalah soal visi paslon nomor urut 3 Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang kerap difitnah akan mewujudkan "Jakarta Bersyariah". Kampanya hitam itu dilengkapi pula dengan narasi menakut-nakuti warga bahwa jika paslo  3 itu menang Jakarta akan akrab dengan radikalisme atas nama agama. Tulisan ini tak akan membahas soal polemik kampanye hitam tersebut tapi lebih fokus pada pertanyaan apakah membawa agama dalam perjuangan politik di Pilkada sebagai proses bernegara sah secara konstitusional?

Sebenarnya pertanyaan tersebut berkelindan dengan pertanyaan mendasar soal hubungan negara dan agama. Harus diakui di negara ini polemik tentang hubungan antara negara dan agama sudah ada sejak akhir tahun 1930-an. Dua tokoh nasional Soekarno dan M. Natsir pernah bersitegang pendapat soal hubungan negara dan agama yang kemudian melahirkan titik tengah dengan lahirnya Pancasila yang menegasikan negara kebangsaan-berketuhanan sebagai kesepakatan luhur (modus vivendi).  Disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara dengan filosofi religious nation state menyudahi polemik berkepenjangan tentang mempertautkan entitas negara dengan agama. Belakangan isu itu mengemuka kembali setelah dalam pidatonya Jokowi menyebut perlunya agama dipisahkan dari politik.

Isu Agama dalam Pilgub DKI

Belakangan ini muncul pula satu propaganda hitam yang mempertentangkan antara dua poros; Jakarta Bersyariah versus Jakarta Berpancasila. Narasi jahat ini sengaja dikembangkan sebagai buah gencarnya isu agama dalam Pilkada DKI. Warga ditakut-takuti jika Jakarta Bersyariah terwujud maka radikalisme akan mewabah dan berkuasa penuh. Lalu konon katanya ibukota akan menjadi episentrum masalah toleransi dan pluralisme.

Padahal tidak ada satu pun pasangan calon peserta Pilkada DKI, baik Anies-Sandi maupun Ahok-Djarot yang membawa jargon Jakarta Bersyariah. Kedua paslon telah bersepakat untuk menegakkan pilar kebangsaan dalam pluralisme di ibukota.

Semua tahu bahwa Ahok beragama minoritas namun tetap mendapat tempat dalam kontestasi Pilkada DKI. Hal ini terbukti dengan menempatkan Ahok sebagai peraih suara terbanyak di putaran I. Meskipun persentase suara Ahok tersebut bertolak belakang dengan tingginya angka kepuasan warga pada kinerjanya. Ini menunjukkan bahwa pemilih tak hanya menilai kinerja melainkan faktor lain yang salah satunya bisa jadi adalah faktor keyakinan, etika dan kasus hukum pidana yang membelit Ahok terkait penodaan agama.

Singkatnya bisa jadi pemilih bukan melihat faktor agama Ahok tapi mempertimbangkan kasus hukum pidana penodaan agama. Agama Ahok dan kasus penodaan agama adalah dua hal yang berbeda satu sama lain.

Terlepas dari itu, isu agama tetap menjadi narasi yang hingar bingar dalam dinamika kontestasi Pilkada DKI Jakarta kali ini. Kedua paslon mau tak mau harus memanfaatkan sentimen agama agar mendapatkan simpati pemilih.

Perjuangan Politik Membawa Agama

Secara hukum yuridis konstitusional, sah jika agama dibawa-bawa dalam perjuangan politik sebagai proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada aturan hukum yang melarang setiap penganut agama yang ingin memperjuangkan aspirasi keagamaannya melalui proses politik yang demokratis, misalnya merebut kemenangan dalam pemilu baik nasional maupun lokal (pilkada) agar para pemimpin dan wakil-wakil yang terpilih bisa membawa aspirasi keagamaan masing-masing dalam dan untuk pembuatan kebijakan negara atau daerah.

Perjuangan politik membawa-bawa agama sehingga sesuai dengan identitas keagamaan, seperti halnya memperjuangkan aspirasi berdasar identitas kedaerahan dilindungi oleh konstitusi dan sah secara hukum sepanjang dilakukan dalam koridor dasar ideologi negara yakni Pancasila. Yang tidak boleh adalah memaksakan digantinya ideologi bernegara sehingga mengancam keberadaan NKRI yang sudah final dan mengikat.

Akhirnya, Jakarta hanyalah satu bilik dalam rumah besar NKRI dengan penganut berbagai agama dan keyakinan, hidup tersebar di berbagai daerah dengan budaya dan adat istiadat masing-masing yang semuanya bersatu, diikat oleh Pancasila dengan semboyan bhinneka tunggal ika. Saatnya mewujudkan Jakarta yang ramah.#