Tuesday, March 14, 2017

"Karena Masnur Marzuki ini Dosen Bloon.."


Mungkin sudah banyak yang kenal dan mafhum dengan nama Nadirsyah Hosen, dosen asal Indonesia yang cukup lama menetap di Australia. Keilmuannya cukup mumpuni dengan melahirkan banyak artikel di jurnal dan beberapa buku. Bahkan di buku terbaru yanv saya tulis (Introduction to Indonesian Constitutional Law:2016) saya kutip beberapa pendapat Nadir tentang Assiasah.

Selain akademisi kontemporer, Nadir juga adalah Ketua PCI NU Australia-Newzealand. Sayang waktu saya di Melbourne 2006-2008 saya tak sempat bersua dengannya. Setahu saya waktu di Melbourne komunitas Muhammdiyah yang lebih aktif gelar acara. Kalau NU saya tak banyak tahu dan tidak pula mencari tahu. Studi LLM di Melbourne Law School sangat menyita waktu dan pikiran nggak sempat bersosialisasi apalagi dengan tokoh sehebat Nadir. Seingat saya saya juga bergaul dengan beberapa Nahdiyin yang sedang studi di sana. Awal semester 1 saya tinggal serumah dengan tokoh NU Jambi yang kini jadi Wakil Rektor UIN Jambi Dr. Suadi Asyari. Dunia sempit, ketika balik ke Jogja mengabdi jadi dosen UII, putera Pak Suaidi menjadi salah satu mahasiswa saya di International Program.

Di dunia sosial media Nadir cukup aktif berbagi informasi dan sahut menyahut dengan netizen, termasuk saya. Dalam sebuah kultwit saya yang berjudul "Jangan Belokkan Fatwa NU 1999 tentang Memilih Pemimpin Non Muslim" tampaknya dibaca oleh Nadirsyah dan lantas merespon dengan nalar yang cukup mengernyitkan dahi. Nadirsyah yang kerap dipanggil Professor ini langsung menghardik dan menyerang profesi dosen. "Karena Masnur Marzuki ini dosen bloon.... dst" yang jauh dari adab kesopanan dan moralitas. Padahal tradisi akademis seharusnya telah tertempa dalam diri Profesor yang dulu berambut gondrong ini dan sangat terkenal berkat karya-karya akademiknya. Saya sempat shocked juga awalnya.

Saya tak sekalipun membalas hardikannya. Saya masih mengedepankan adab kesopanan dan moral khawatir dicontoh oleh anak didik saya. Ya intinya sangat menyayangkan bila dosen di Monash Law School ini ternyata mempertontonkan tabiat preman sosmed yang biasa menggunakan narasi kasar, menghardik dan mencela lawan berdebat. Bahkan Nadirsyah sampai membawa perkara umur saya segala. Di tahun 1999 ketika fatwa NU dibuat saya memang masih nyantri di PPDN Thawalib Bangkinang, sementara Nadir sudah jadi tokoh di NU dan ikut di Muktamar tersebut. Tentu ilmu dan kedalaman pengetahuannya soal fatwa NU itu luar biasa. Tapi sayangnya yang bergulir malah makin tak beraturan menjadi semacam twitwar. Padahal tak ada twitwar sama sekali.

Beberapa netizen turut menyayangkan dan merespon "twitwar" kami dengan beragam. Termasuk oleh akun berikut

Akhirnya yang terjadi tak ada perdebatan sama sekali antara saya dengan Nadir karena ybs lebih sibuk meretweet respon hardikan serupa dari followernya terhadap cuitan saya. Ini contohnya.


Padahal ada ruang terbuka perdebatan yang tersedia dan tentu dengan tema yang cukup relevan soal fatwa NU 1999 itu dengan bidang keilmuan saya, tata negara. Nadir memang sempat menyebut bahwa fatwa NU 1999 soal konteks legislatif (DPR) bukan eksekutif. Saya membantahnya dengan mengatakan fatwa Mukatamar NU 1999 itu relevan untuk konteks memilih pemimpin eksekutif semisal Pilgub. Gubernur memang eksekutif tapi jangan lupa sebagai kepala daerah Gubernur juga punya kewenangan legislatif melahirkan Perda bersama DPRD.

Tapi sayang debat itu tak berlanjut sebab Nadirsyah Hosein ini lebih senang menyebar konten hardikan dalam merespon standing position saya soal fatwa NU 1999 itu. Tampaknya Nadir tersinggung dengan tagar #jangantertipu dalam kultwit saya. Saya tak menyerang atau bahkan ada menyebut 100 ulama GP Anshor telah menipu. Fokus saya bukan soal itu tapi menjelaskan sederhana fatwa 1999 bukan hasil diskusi lain-lain soal fatwa tersebut. Tapi ya sudahlah kalau memang tagar #jangantertipu itu mengganggu Nadir semoga ini jadi tabayun dan ybs sudi lebih rendah hati memaafkan saya. Sesama muslim tak baik saling menghardik dan suudz zhon.

Ke depan semoga ini jadi iktibar bagi diri saya dan khalayak untuk lebih bijak lagi berdiskusi terutama di sosial media.

Saya tutup catatan ini dengan menampilkan potongan cuitan lama saya tahun lalu. Wallahu muwaffiq ila aqwamith Thoriq..