Sunday, January 8, 2012

Mencari Solusi Terbaik Bagi Keistimewaan Yogyakarta*

“Jogja Jogja tetap istimewa
Istimewa negerinya istimewa orangnya
Jogja Jogja tetap istimewa
Jogja istimewa untuk Indonesia”

“Rungokno iki gatra seko Ngayogyakarta
Negeri paling penak rasane koyo swargo
Ora peduli dunyo dadi neroko
Ning kene tansah edi peni lan mardiko”

“Tanah lahirkan tahta, Tahta untuk rakyat
Di mana rajanya bersemi di kalbu rakyat
Demikianlah singgasana bermartabat
Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat”

Penggalan syair lagu Jogja Istimewa gubahan M. Marzuki tersebut berkumandang hebat pada Senin siang, tanggal 13 Desember 2010. Lagu itu serentak dinyanyikan oleh ribuan massa pengunjuk rasa yang berkumpul di halaman DPRD dan seputaran Jalan Malioboro. Unjuk rasa itu sendiri bertajuk Sidang Rakyat yang diadakan bersamaan dengan Paripurna DPRD DIY dalam menyikapi polemik RUU Keistimewaan Yogyakarta.
Polemik Keistimewaan Yogyakarta sesungguhnya bukan saja terjadi di penghujung tahun 2010 ini. Polemik itu sudah lama terjadi bahkan sejak Pemerintah mulai menyusun RUU Keistimewaan DIY yang kemudian pembahasannya berlangsung dengan berlarut-larut.

Polemik itu menguap kembali di hadapan publik ketika SBY mengomentari kesultanan dan RUU keistimewaan DIY. SBY membenturkan eksistensi kesultanan Yogyakarta dengan nilai demokrasi yang menurut sang Presiden tidak boleh dikesampingkan dalam pemerintahan negara moderen. SBY mengatakan, ”Namun, negara kita adalah negara hukum dan demokrasi sesungguhnya. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi”.

Pidato tersebut mengukuhkan sikap Pemerintah yang menginginkan perubahan pada salah satu aspek keistimewaan Yogyakarta yakni soal bagaimana posisi Kraton dan Paku Alaman akan ditempatkan. Uniknya Presiden di kesempatan yang lain tetap memilih Sultan menjadi Gubernur untuk lima tahun ke depan. SBY mengatakan bahwa “kalau dari sisi politik praktis, baik sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, saya berpendapat kepemimpinan dan posisi Gubernur DIY 5 tahun mendatang, yang terbaik dan paling tepat adalah saudara Sultan Hamengku Buwono”. Pidato SBY tersebut bisa jadi agak mendinginkan suasana namun tetap saja publik khususnya warga DIY belum puas.

Polemik keistimewaan Yogyakarta boleh dikatakan lebih terkonsentrasi pada bagaimana mekanisme pengisian posisi kepala dan wakil pemerintahan provinis DIY akan ditentukan. Ada banyak pilihan yang ditawarkan; bisa pemilihan langsung oleh rakyat (pemilukada), bisa juga pemilihan oleh DPRD (demokrasi perwakilan), atau bisa pula penetapan. Pemerintah mengambil opsi pemilihan oleh DPRD.

Plus Minus Gubernur dan Wakil Gubernur Ditetapkan

Bagaimanapun selalu ada sisi posistif dan negatif jika pengisian posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dilakukan melalui penetapan. Hal yang sama juga bisa terjadi jika opsinya pemilihan. Diskursus soal plus minus pemilihan tidak menjadi fokus dalam tulisan ini melainkan lebih pada aspek untung rugi meknanisme penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY. Untung rugi di sinipun hanya dilihat pada bagaimana implikasinya bagi rakyat dan pelaksanaan roda pemerintahan di DIY.

Keuntungan penetapan Sultan Hamengku Buwono (HB) dan Paku Alam (PA) sebagai Gubernur dan Wagub DIY bisa disimpulkan menjadi beberapa hal, pertama, mekanisme penetapan akan semakin mengukuhkan keistimewaan DIY sebagai salah satu Daerah Istimewa di Indonesia yang memang dilindungi oleh konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) Pasal 18B ayat (1) menegaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

Kedua, mekanisme penetapan akan semakin mengukuhkan kesimpulan bahwa demokrasi modern Indonesia terbukti beriring jalan dengan semangat kearifan lokal dimana nilai-nilai budaya dan sejarah tetap dipertahankan di tengah gerak denyut modernitas dan perubahan zaman. Nilai plus yang akan diraih dengan mengambil opsi penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur dalam konteks ini sesungguhnya lebih berdimensi nilai sejarah yang menjadi ruh pembangunan bangsa.

Sebaliknya, terkandung pula dimensi kekurangan bila nantinya opsi penetapan disahkan dalam RUU Keistimewaan DIY. Pertama, kesulitan akan terpeliharanya semangat demokratisasi dan penguatan civil society. Dalam konsepsi demokrasi modern, rakyat dan kekuatan sipil menjadi penentu kebijakan dan selalu memberikan pengawasan atas jalannya pemerintahan (checks and balances). Mekanisme penetapan untuk jabatan formal pemerintahan dinilai akan mengancam semangat partisipasi dan kontrol publik atas pemerintahan itu sendiri. Disinilah aspek minus yang dapat terlihat jika yang diambil mekanisme penetapan.

Kedua, bagaimanapun penetapan akan menciptakan prinsip penyatuan secara kultural dan politik institusi keraton. Hal ini dikhawatirkan akan mengancam nilai demokrasi langsung di mana dalam setiap pengambilan keputusan penting penguasa akan sukar menakar yang manakah yang bersifat ke-keraton-an atau yang bersifat formalitas pemerintahan. Hal yang lebih membahayakan lagi dalam aspek keputusan politik bila kraton sudah punya warna partai politik tertentu. Lebih jauh, Titok Haryanto, peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta berpendapat bahwa ketidakjelasan wewenang sebagai akibat penyatuan kekuasaan ini dapat berdampak buruk, tidak hanya bagi keberlangsungan demokrasi, tetapi juga bagi eksistensi politik dan kultural institusi keraton sendiri.

Keistimewaan DIY dalam Sistem Negara Kesatuan

Kalau memerhatikan kutipan pernyataan SBY berikut “Semua ini yang akan kita susun dalam RUU (RUU Keistimewaan DIY) nanti mana yang baik dan paling tepat, baik bagi DIY, bagi negara Indonesia, karena kita menganut sistem nasional.” Jubir Presiden, Julian Adrian Pasha kemudian menulis kutipan serupa dalam artikelnya di harian Kompas: ”Berkali-kali saya menyampaikan posisi dasar pemerintah berkaitan dengan Undang-Undang tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta atau tentang Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertama-tama pilarnya adalah sistem nasional, yaitu Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia yang, dalam Undang-Undang Dasar kita, telah diatur dengan gamblang, termasuk Pasal 18.” Pidato SBY selain berkesan menangkis kritik pengamat soal SBY yang tidak menghormati sejarah keistimewaan DIY, istilah sistem nasional yang digunakan SBY menyiratkan pesan betapa tidak jelasnya sistem pemerintahan yang kita anut.

Sepatutnya harus dicatat bahwa keistimewaan Yogya sejatinya tidak turut memperkeruh ketidakjelasan sistem pemerintahan tersebut. Menurut Fajrul Falakh, dari perspektif historis konstitusional dan ius constitutum, keistimewaan Yogyakarta paling tidak didasari tujuh faktor antara lain: watak hubungan pusat-daerah yang tak seragam, konsep daerah istimewa, asal-usul Yogya dan prosesnya bergabung dengan Indonesia, perannya dalam revolusi kemerdekaan, statusnya dalam perkembangan konstitusi dan legislasi, serta berlakunya lex specialis dalam amandemen konstitusi.

Sulit menyangkal bahwa dalam konsep Negara Kesatuan yang dianut Indonesia, watak hubungan pusat-daerah menunjukkan ketidakseragaman. Aceh misalnya yang diberikan status Daerah Istimewa berbeda hubungannya dengan pusat jika dibandingkan dengan provinsi lain seperti Riau atau Sumatera Barat. Konsep daerah istimewa juga dilindungi oleh konstitusi sesuai Pasal 18B UUD NRI 1945.

Bagaimanapun, keistimewaan Yogyakarta harus dilihat dari aspek lex generalis dan lex spesialis. Pasal 1 UUD NRI 1945 memang menegaskan bentuk negara republik dan kesatuan. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 kemudian mengharuskan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Kedua aturan ini harus dilihat sebagai Lex Generalis. Lex specialis-nya adalah Pasal 226 Ayat (2) UU No 32/ 2004 merujuk penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999 bahwa ”... isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini”. Bukankah dalam konsepsi teoritis ilmu hukum dikenal adagium bahwa lex specialis derogat lex generalis (aturan hukum yang khusus mengalahkan aturan hukum yang bersifat umum). Kesimpulannya, tidak cukup alasan yang logis jika pemerintah tetap memaksakan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus dilakukan dengan mekanisme pemilihan seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Terlepas dari sikap bergemingnya Pemerintah, rakyat Yogya harus tetap bersabar. Menyikapi polemik keistimewaan dengan terburu-buru justeru berpotensi pada polemik yang tanpa ujung atau bahkan anarkisme, sesuatu yang tidak lazim dilakukan oleh warga Yogya. Untuk mengakhiri tulisan ini ada baiknya mengutip kalimat Goenawan Mohamad berikut ini; Republik yang terbaik adalah sejarah dengan kesabaran.

Daftar Bacaan:

Fajrul Falakh, "Monarki Yogya" Inkonstitusional? Artikel Opini Kompas 4 Desember 2010.

Goenawan Mohamad, Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai, KataKita, Jakarta, 2007.

Indra J. Piliang dkk. (Editor), Otonomi Daerah Evaluasi & Proyeksi, Cetakan Pertama, Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta, 2003.

Ni’matul Huda, Berkayuh Diantara Bentuk Negara Kesatuan Dan Federal, Jurnal Konstitusi, Vol.I, Februari Tahun 2009.

Titok H, Menafsir Ulang Keistimewaan Yogyakarta, artikel harian Kompas, 27 April 2006.

(Makalah disampaikan pada diskusi yang diselenggarakan HMI Komisariat Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 21 Desember 2010.)