Thursday, April 12, 2012

Konstruksi Ideal Fungsi Legislasi DPD RI

Parlemen yang berdiri menandai politik yang tak punya lagi birahi. Baudlidard menyebut demokrasi sebagai monopoause masyarakat Barat. Tapi tiap politik pasca-revolusi mengandung sikap yang jera kepada gairah; Kita tak bisa mencintai yang sana habis-habisan, tapi juga tak bisa memeranginya habis-habisan. (Goenawan Mohamad)

Jika dibuka risalah sidang perdebatan dalam pembahasan rapat Panitia Khusus RUU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, terlihat satu perdebatan mengenai model kerja sama DPR-DPD khususnya dalam fungsi legilasi. Beberapa fraksi di DPR kala itu menginginkan model L di mana DPD hanya diberi ruang dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) dalam rapat kerja khusus sebelum DPR membahasnya bersama pemerintah.  Di sisi lain ada pula yang menginginkan model segitiga. Model segitiga berarti DPD dapat ikut bersama DPR dan pemerintah membahas RUU sebelum sampai pada paripurna atau pengambilan keputusan.
Sebetulnya kedua model tersebut sama-sama tidak menguntungkan DPD dalam menjalankan fungsi legislasinya. Secara subtansial kedua model tersebut masih mengadopsi UU Susduk sebelumnya. Hal itu mengingat dalam UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berlaku saat ini (Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009), fungsi legislasi DPD hanya terbatas pada dua hal. Pertama, pengajuan kepada DPR RI rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua, ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

Kendala Fungsi Legislasi DPD

Banyak pihak menilai keberadaan DPD tidak lebih sebagai staf ahli DPR. Dari aspek keterwakilan, DPD sejauh ini hanya memainkan peran sebatas perwakilan dalam bentuk kehadiran utusan daerah di pusat (representation in present) bukan perwakilan ideal dalam format diperjuangkannya aspirasi daerah di tingkat pusat. Padahal dari aspek legitimasi kelembagaan sebenarnya DPD mempunyai legitimasi yang lebih kuat ketimbang DPR dalam hal dukungan riil politik dari rakyat sebab anggota DPD dipilih secara langsung. Tidak mengherankan bila seorang peneliti dari Australian National University, Stephen Sherlock, berpendapat bahwa DPD merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktek bikameral sebab meskipun punya legitimasi yang kuat, kewenangan legislasinya amatlah terbatas.

Ada beberapa faktor penyebab lemahnya DPD dalam menjalankan fungsi legislasi. Pertama, adanya kenyataan bahwa komposisi anggota DPD umunya diisi muka-muka baru dalam dunia politik yang belum terasah kemampuan dan kapabilitasnya sebagai legislator. Kedua, realitas konstitusional yang mentasbihkan monopoli DPR dalam hal fungsi legislasi. Ketiga, lemahnya political will DPR untuk melibatkan DPD dalam setiap proses legislasi nasioanal. Pengalaman di lapangan menunjukkan kecenderungan DPR yang enggan merangkul DPD agar berperan aktif dalam perumusan dan pembahasan setiap RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Akibatnya kepentingan daerah yang diamanatkan di pundak DPD dalam prakteknya tidak diintegrasikan ke ranah pengambilan keputusan legislasi nasional.

Fungsi Legislasi Ideal DPD

Untuk menempatkan DPD dalam posisi ideal menjalankan fungsi legislasi, lembaga itu semestinya diposisikan sebagai salah satu bagian dalam badan kekuasaan legislatif yang berhak dan berwenang merancang, membahas, dan mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan dan aspirasi yang bersifat kedaerahan dengan memperhatikan penolakan dari Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden. Terhadap RUU yang diajukan Pemerintah dan DPR yang berkaitan dengan kepentingan dan aspirasi yang bersifat kedaerahan, DPD RI juga seharusnya berhak dan berwenang menolak rancangan dan usul amandemen atas suatu Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang tertentu yang berkaitan erat dengan kepentingan dan aspirasi lokal (hak veto).
Rumusan tersebut barangkali sulit terwujud mengingat kuatnya peran DPR sebagai lembaga legislatif yang sudah mapan. Di samping itu DPR juga memiliki landasan konstitusional yang kuat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20A bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan. Ketentuan itu tidak saja berarti melemahkan fungsi legislasi presiden namun juga memunculkan superioritas DPR terhadap DPD dalam hal fungsi legislasi.
Untuk itu setidaknya DPD semestinya diberikan kewenangan legislasi dengan hak penundaan pengesahan sebuah RUU menjadi undang-undang. Dalam praktek lembaga perwakilan sistem dua kamar (bikameral), hak itu lazim digunakan oleh Majelis Tinggi untuk mewujudkan proses mekanisme check and balances dalam lembaga parlemen.
Jika kewenangan DPD diletakkan dalam gagasan menciptakan sistem bikameral  yang ideal maka seharusnya DPD juga turut memberi kontribusi bagi terwujudnya mekanisme check and balances dalam lembaga parlemen. Hal ini mengingat pembenaran utama kenapa perlu ada dua kamar dalam satu sistem keparlemenan adalah untuk menegaskan perbedaan kepentingan dalam masyarakat dan memastikan adanya mekanisme check and balance dalam cabang kekuasaan legislative (R. Hogue dan Martin Harrop, 1989). 
Perjuangan mewujudkan DPD yang ideal dalam fungsi legislasinya masih panjang. Untuk itu DPD harus terus mengoptimalkan kemampuan lobi dan komunikasi politiknya dengan DPR dalam rangka mewujudkan harmonisasi kelembagaan antara dua lembaga perwakilan tersebut. Superioritas DPR terhadap DPD semestinya disikapi dengan meningkatkan kemampuan sumber daya yang ada. Di samping itu DPD juga perlu membuktikan kinerja nyata dan hasil-hasil kerja politik yang selama ini belum begitu terlihat di hadapan DPR dan publik. Tapi sepertinya DPD sedang glau. Kegalauan yang menimpa DPD saat ini terbaca ketika sebut saja misalnya tentang penyebutan nama lembaga. Baru-baru ini, DPD sampai harus melakukan sidang paripurna yang kemudian mengesahkan nama populer DPD menjadi Senat Republik Indonesia.#