Tuesday, April 4, 2017

Penistaan Hukum

“DPD RI Memalukan.” Begitulah tajuk utama yang diangkat Kompas, 04/04 setelah sehari sebelumnya sejumlah anggota DPD terlibat kericuhan terkait posisi pimpinan DPD di sidang paripurna lembaga yang lahir dari semangat reformasi itu. Kericuhan pada rapat paripurna DPD ketika menyikapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Tata Tertib (Tatib) DPD Nomor 1/2017 sungguh sangat memalukan.

Jauh hari sebelumnya kericuhan serupa juga terjadi dalam menyikapi perbedaan pandangan mengenai pengesahan perubahan tata tertib DPD utamanya menyangkut pengaturan masa jabatan Pimpinan DPD yang diubah dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun yang kemudian berbuah menjadi Tatib DPD Nomor 1/2017. Sebelumya, wajah DPD juga pernah tercoreng ketika pertama kalinya mantan Ketua DPD, Irman Gusman, dipenjara karena terjerat pidana korupsi.

Kini citra DPD kian tercoreng dan bisa jadi tambah bopeng bukan saja semata karena korupsi mantan ketuanya atau kericuhan rapat paripurna tapi juga akibat menistakan putusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan pemberlakuan Tatib DPD yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD. Ketika publik tengah menunggu kerja nyata DPD di tengah wacana yang dilontarkan oleh partai politik tertentu untuk meninjau kembali eksistensi DPD, lembaga itu justru melakukan akrobat politik dengan mengabaikan putusan Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman.

Alhasil, Selasa dini hari, paripurna DPD tetap melaksanakan pemilihan pimpinan dan menetapkan Osman Sapta sebagai ketua DPD 2017-2019 yang pada saat yang sama juga tengah menjabat sebagai Wakil Ketua MPR 2014-2019.

Polemik Hukum

Setidaknya ada dua polemik hukum yang memunculkan pertanyaan terkait pemilihan pimpinan DPD baru. Pertama, bagaimanakah pelantikan peresmian pimpinan DPD akan dilakukan MA sementara dasar Tatib pemilihan pimpinan DPD tersebut sebelumnya telah dibatalkan sendiri oleh MA? Kedua, apakah diperbolehkan ada rangkap jabatan antara pimpinan MPR dan DPD?

Terkait dengan pertanyaan pertama, rasa-rasanya sulit diterima akal sehat jika MA tetap melantik pimpinan DPD yang baru sebab MA sendiri yang telah membatalkan pemberlakuan Tatib DPD yang di dalamnya diatur soal pemilihan dan penggantian pimpinan DPD. Jika MA tetap melantik pimpinan DPD yang baru maka sama saja MA mengakui bahwa setiap putusan judicial review produk putusan MA boleh dikangkangi dan diabaikan begitu saja. Hal tersebut tentu menistakan MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD NRI 1945.

Dalam koridor negara hukum, tidak boleh ada satu pun aparatur negara atau lembaga negara yang boleh memunggungi putusan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang mengangkangi putusan MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman haruslah dilihat sebagai tindakan yang ilegal dan inskonstitusional.

Sayangnya MA justru tetap mengambil sumpah jabatan pimpinan DPD yang notabene dasar pemilihannya telah dibatalkan sendiri oleh MA. Memang urusan putusan adalah perkara yustisial sememtara pengambilan sumpah adalah tindakan fungsional administratif belaka. Namun dengan kehadiran MA tersebut memberikan justifikasi seolah-olah tidak ada yang salah dengan pemilihan pimpinan DPD baru yang mana MA telah membatalkan dasar hukumnya. Inilah yang menjadi polemik hukum baru yang akan menimbulkan tanda tanya. Beberapa kalangan justru secara kontra-produktif mengapresiasi kehadiran MA mengambil sumpah jabatan pimpinan DPD baru sementara menutup mata atas putusan uji materi MA yang membatalkan pemberlakuan Tatib yang menjadi alas hukum terpilihnya pimpinan DPD baru.

Kini jawabannya ada di MA sendiri yang berkewajiban menjelaskan ke publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mulai dari kesalahan ketik draft putusan, penegakan amar putusan hingga maksud kehadiran MA tetap mengambil sumpah pimpinan baru.

Alternatif lain adalah bisa pula dimintakan fatwa ke MA apakah pemilihan pimpinan DPD baru Selasa dini hari telah sesuai dengan koridor hukum dan putusan MA.

Soal rangkap jabatan juga memunculkan polemik tersendiri sebab tidak ada aturan yang pasti yang melarang adanya rangkap jabatan antara pimpinan MPR dan pimpinan DPD. Merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak pernah diatur boleh tidaknya seseorang menjabat dua pimpinan lembaga perwakilan politik sekaligus, dalam hal ini menjadi pimpinan MPR dan DPD sekaligus. Namun dalam adagium hukum yang berlaku umum, segala sesuatu sah dan boleh saja dilakukan sampai ada aturan yang melarang perbuatan tersebut. Tentu saja perspektifnya akan berbeda jika yang digunakan adalah kacamata etika sebab hukum dan etika adalah dua hal yang tak sama. Sesuatu yang salah menurut etika belum tentu juga salah di mata hukum.

Absennya pengaturan rangkap jabatan di cabang lembaga kekuasaan legislatif kini telah menjadi pekerjaan rumah baru untuk nanti disempurnakan melalui revisi UU MD3. Kosntruksi hukum pengaturan rangkap jabatan harus disusun sedemikian rupa agar menjadi jelas dan tegas kebolehan dan larangan tentang rangkap jabatan dimaksud.

Sayangnya selama ini revisi UU MD3 justru hanya berkisar pada bagi-bagi jatah kekuasaan. Dari beberapa kali penyempurnaan UU MD3 semuanya bermuara pada pembagian jatah kursi (kekuasaan) demi menurunkan tensi politik. Bila ini terus terjadi maka bukan tidak mungkin hukum justru menjadi alat politik semata.#