Saturday, December 24, 2011

Road Map Sistem Hukum Indonesia Dalam Dimensi Pembangunan Hukum Nasional; Realitas dan Proyeksi Ke Depan

(Makalah disampaikan pada Diskusi “Road Map Sistem Hukum Indonesia” yang diselenggarakan oleh PB HMI, Jakarta, tanggal 18 Oktober 2011.)

Konstitusi hasil perubahan telah mentasbihkan Indonesia sebagai negara hukum. Jika ditanya pihak mana yang berkewajiban mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka secara prinsipil, kewajiban tersebut ada pada negara. Artinya, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kewajiban negara mewujudkan negara hukum itu direpresentasikan oleh penyelenggara negara yang meliputi tiga poros kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksekutif dan legislatif dalam tata hukum Indonesia menciptakan aturan (peraturan perundang-undangan) berdasarkan prolegnas untuk di pusat dan prolegda untuk level pemerintah daerah. Sementara itu poros kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mengembangkan cita perwujudan negara hukum melalui putusan dan yuresprudensinya.
Sebagai negara hukum konstitusional, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan kaidah dan sistem hukum nasional. Patut dicatat bahwa sistem hukum nasional bisa diartikan sebagai hukum yang berlaku dengan semua elemennya yang saling menunjang satu sama lain dalam rangka memajukan kesejahteraaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tulisan berikut tidak akan mengupas bagaimana penyelenggara negara menjalankan
kewajiban mewujudkan dan melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Tulisan ini akan memfokuskan bahasan pada peta dasar sistem hukum dan pembangunan hukum dalam tantangannya ke depan ketika berhadapan dengan berbagai dialektika mulai dari dialektika sosial, politik dan budaya.

Pembangunan Hukum Nasional; Realitas dan Proyeksi Ke Depan

Pembangunan hukum nasional tidak dapat dilepaskan dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu agenda pembangunan hukum nasional harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Hal tersebut berkelindan erat dengan teori yang ditawarkan Lawrence M. Friedman bahwa ranah pembangunan hukum sekurang-kurangnya menyangkut tiga aspek yakni, isi atau materi hukum (substance), aparatur penegak hukum (structure) dan budaya hukum (culture). Persoalannya adalah ternyata agenda pembangunan hukum nasional kita masih dihadapkan pada beberapa kendala dan tantangan antara lain, yaitu;

1. Penataan sistem legislasi dan kelembagaan pembentuk undang-undang.
2. Budaya berhukum masyarakat yang masih terkontaminasi praktek mafia hukum.
3. Belum membuminya kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum.

Dalam dimensi tantangan penataan sistem legislasi dan kelembagaan pembentuk undang-undang, sistem legislasi kita masih belum paralel dengan sistem pemerintahan yang dianut sehingga seringkali hal ini memunculkan masalah dalam implementasi pembentukan hukum. Jika sistem pemerintahan kita adalah sistem presidensial, namun sistem legislasi kita cenderung bercorak parlementer dimana eksekutif dan legislatif sama-sama saling berkepentingan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sekali lagi, Indonesia dihadapkan pada anomali presidensial dalam dimensi praktek dan sistem legislasi. Saldi Isra mencatat bahwa telah terjadi pergeseran fungsi legislasi yang diindikasikan dengan menguatnya model legislasi parlementer dalam sistem presidensial Indonesia. Lebih lanjut Saldi Isra mencatat bahwa akar persoalannya ada pada Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 hasil amendemen. Kedua pasal ini memberi peran eksekutif terlibat dari tahap pengajuan (inisiatif), pembahasan, persetujuan, pengesahan, hingga pengundangan. Singkatnya, eksekutif terlibat di semua tahapan.

Dalam hal legislasi, idealnya skema presidensial memposisikan Presiden hanya pada tahap pengesahan dengan menandatangani RUU yang telah disetujui kedua kamar Parlemen (DPR dan Senat). Artinya Presiden tidak terlibat sama sekali dalam pembahasan dan pengambilan keputusan persetujuan atas RUU. Amerika Serikat adalah contoh negara yang sudah mapan dalam menerapkan sistem legislasi yang parelel dengan sistem presidensialnya.

Persoalan lain terkait penataan sistem legislasi kita adalah ketimpangan legislasi antara kamar-kamar parlemen yakni antara DPR dan DPD. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memang tegas menyatakan kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Artinya DPD bukanlah lembaga legislasi yang tidak memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Tetapi di lain pihak, DPD termasuk dalam poros kekuasaan legislatif yang menjadi bagian tak terpisahkan dari DPR yang terintegrasi secara institusional dalam format parlemen kita. Bila anggota DPR memiliki hak legislasi, anggota DPD sama sekali tidak mempunyai hak legislasi. Ketimpangan fungsi legislasi ini berpotensi melemahkan mekanisme saling kontrol antar lembaga negara (check and balances).

Tantangan kedua yang dihadapi dalam agenda pembangunan hukum nasional adalah budaya berhukum masyarakat yang masih terkontaminasi praktek mafia hukum. Masyarakat dibuat cemas dengan mengguritanya praktek mafia hukum. Ketika isu mafia hukum menyeruak ke ruang publik, aktor-aktor dalam organ kekuasaan mulai melakukan terobosan yang dimaksud untuk menjawab permasalahan mafia hukum yang laksana kentut, baunya begitu mudah dideteksi sedang pelakunya sulit dicari dan dibuktikan.

Memang agak ganjil, dan mungkin menyedihkan bahwa bangsa Indonesia yang mendasarkan
dirinya pada Ketuhanan Yang Maha Esa, praktek koruptif dalam berhukum justeru menjadi keharusan sejarah. Agama tinggal agama dan praktek mafia hukum tetap merajalela. Praktek mafia hukum telah nyata menggejala seperti debu halus rata menabur di ruang privat dan publik, menjamur mulai dari perkara kecil hingga yang besar. Praktek mafia hukum sudah seperti lukisan surrealis yang setengah seram setengah lucu. Seram karena rakyat akhirnya akan menjadi korban akibat ulah penegakan hukum yang koruptif. Lucu karena semakin hari semakin tidak jelas mana yang benar mana yang salah. Menarik untuk mengutip kembali kritik sufistik Emha Ainun Nadjib terhadap pola budaya berhukum kita. Emha mencatat; “...Bangsa yang-sesekali-menjalankan hukum, namun tanpa kesadaran dan hikmah hukum, tanpa kesanggupan untuk mengapresiasi nikmatnya berkebudayaan hukum. Bangsa yang sangat tampak secara wadak sedang menjalankan ajaran agama, namun hampir tak terdapat pada perilakunya dialektika berpikir agama, tak ada kausalitas mendasar antara input dan output nilai agama. Bahkan terdapat diskoneksi ekstrem antara praksis kehidupan beragama dengan hakikat Tuhan..”

Dalam konteks inilah pandangan Lawrence M. Friedman menemukan relevansi erat bahwa ranah pembangunan hukum memerlukan aspek budaya berhukum (culture) selain aspek isi atau materi hukum (substance), aparatur penegak hukum (structure). Sebagus apapun isi aturan hukum dan bersihnya aparat hukum, jika budaya berhukum masih menjadi kendala jangan diharap pembangunan hukum akan terwujud.

Tantangan ketiga agenda pembangunan hukum nasional kita adalah belum membuminya kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum. Mahfud MD mengemukakan bahwa rambu-rambu pembentukan peraturan perundang-undangan harus diperkuat dengan adanya empat kaidah penuntun hukum yang harus dipedomi sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum. Empat kaedah tersebut menurut Mahfud MD antara lain adalah:

1. Hukum nasional harus dapat menjaga integrasi (keutuhan kesatuan) baik ideologi maupun wilayah teritori sesuai dengan tujuan “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”, harus dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

2. Hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel, harus dicegah munculnya produk hukum yang diproses secara licik, kucing-kucingan dan transaksi ditempat gelap.

3. Hukum nasional harus mampu menciptakan keadilan sosial dalam arti harus mampu memberi proteksi khusus terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan golongan yang kuat baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.Tanpa proteksi khusus dari hukum golongan yang lemah pasti akan selalu kala jika dilepaskan bersaing atau bertarung secara bebas dengan golongan yang kuat.

4. Hukum harus menjamin toleransi beragama yang berkeadaban antar pemeluk-pemeluknya. Tidak boleh ada pengistimewaan perlakuan terhadap agama hanya karena didasarkan pada besar dan kecilnya jumlah pemeluk. Negara boleh mengatur kehidupan beragama sebatas pada menjaga ketertiban agar tidak terjadi konflik serta memfasilitasi agar setiap orang dapat melaksanakan ajaran agamanyadengan bebas tanpa mengganggu atau diganggu oleh orang lain. Hukum agama tidak perlu diberlakukan oleh negara sebab pelaksanaan ajaran agama diserahkan kepada masing-masing pemeluknya, tetapi negara dapat memfasilitasi dan mengatur pelaksanaannya bagi pemeluk masin-masing yang mau melaksanakan dengan kesadaran sendiri guna menjamin kebebasan dan menjaga ketertiban dalam pelakanaannya tersebut.

Jika mengacu pada kaedah pertama, bahwa hukum nasional harus dapat menjaga integrasi (keutuhan kesatuan) baik ideologi maupun wilayah teritori sesuai dengan tujuan “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”, harus dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Indonesia, kita dihadapkan pada berkembangan produk hukum yang berpotensi mencabik-cabik integrasi nasional. Salah satu ilustrasi adalah lahirnya perda-perda yang bernuansa primordial.

Begitu pula dalam hal bahwa hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel, harus dicegah munculnya produk hukum yang diproses secara licik, kucing-kucingan dan transaksi di tempat gelap, maka bisa dipastikan bahwa partisipasi minimalis publik dapat pula mencederai prinsip partisipatif dalam setiap penyusunan undang-undang.

Kesimpulan

Pembangunan hukum nasional semestinya dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terhadap tiga kendala dan tantangan agenda pembangunan hukum nasional yang antara lain meliputi penataan sistem legislasi dan kelembagaan pembentuk undang-undang, budaya hukum yang marak dengan praktek mafia hukum serta belum terejawantahkannya kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum, kita perlu melakukan upaya antara lain amandemen lanjutan terhadap konstitusi untuk memparalelkan sistem pemerintahan presidensial dengan sistem legislasi kita yang bercorak parlementer. Di samping itu, perlu pula political will penyelenggara negara dan agenda mendesak bangsa untuk memperbaiki citra dan budaya hukum yang berkeadilan serta peta jalan (road map) yang jelas dan aplikabel dalam membumikan kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum. Akhirnya, hukum harus dikembalikan pada akar moralitas, akar kultural dan akar religiusnya. Hanya dengan cara itu, rakyat akan merasakan hukum itu sebagai alat perwujudan perlindungan konstitusional atas segala hak dan kewajibannya.#

Bahan Bacaan

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab Dan Solusinya), Penerbit Ghalia, Jakarta, 2001.

Emha Ainun Nadjib, Kiai Bejo, Kiai Hoki, Kiai Untung, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007.

Lawrence L Friedman, American Law; An Introduction, W.W. Norton, New York, 1986.

Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi dan Isu, Rajawali Press, Jakarta, 2009.

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi:Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010.

Citra Lembaga dan Badan Kehormatan DPD RI

Sudah hampir tiga tahun anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2009-2014 diambil sumpahnya sebagai wakil daerah. Sejauh ini, boleh dikatakan tugas-tugas konstitusional DPD belum dapat dijalankan secara maksimal disebabkan beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah persoalan DPD yang selama ini masih disibukkan dengan penataan internal kelembagaan dan tugas penyusunan tata tertib baru. Akibatnya kepentingan daerah yang diembankan di pundak DPD belum tampak diperjuangkan dengan maksimal. Padahal, dinamika ketatanegaraan kita memerlukan lembaga perwakilan daerah yang betul-betul mampu melaksanakan fungsi-fungsi konstitusionalnya sehingga aspirasi daerah dapat diperjuangkan dalam setiap pengambilan keputusan tingkat pusat.

Pemilu legislatif tahun 2009 telah menghasilkan sebagian besar muka-muka baru anggota DPD. Kehadiran wajah-wajah baru itu tidak hanya memberikan angin segar perubahan tetapi juga diharapkan mampu menjadikan DPD sebagai ujung tombak dan penyambung lidah asipirasi masyarakat di daerah. Masyarakat berharap kehadiran DPD yang memiliki komitmen tinggi terhadap kepentingan daerah. Kelembagaan DPD yang lebih kompatibel dan berwibawa kini bergantung seberapa jauh anggota DPD yang baru bekerja untuk rakyat dan kepentingan daerah.
Lingkaran Setan Kegagalan

Banyak kalangan menilai DPD kini dihadapkan pada persoalan terulangnya cerita lama potret lembaga perwakilan yang ”adanya seperti tiada dan tiada seperti ada”. Ancaman itu bisa jadi akibat munculnya kebiasaan lama yang tidak mencerminkan idealisme sebagai wakil-wakil daerah di tingkat pusat. Kisruh pemilihan paket pimpinan MPR dari unsur DPD beberapa waktu lalu turut memberikan potret buram kepada publik betapa DPD sebagai lembaga lebih tertarik memperjuangkan kekuasaan sesaat ketimbang memikirkan nasib rakyat dan daerah.

Realitas keprihatinan tahun-tahun sebelumnya sepertinya bakal kembali terulang kembali. Menilik ke belakang, selama lima tahun popularitas DPD sebagai lembaga perwakilan sangatlah minim. Tidak banyak yang diketahui oleh masyarakat soal apa saja yang sudah dilakukan DPD untuk kepentingan daerah. Belum lagi pemberitaan media yang amat terbatas soal kinerja-kinerja DPD selama periode pertama. Ketika pemilu legislatif diselenggarakan, hingar bingar peserta pemilu dari partai politik mendominasi pemberitaan media ketimbang pemilu anggota DPD. Salah satu penyebabnya barangkali akibat keberadaan DPD yang kurang ”seksi” dan populer.

Bagaimanapun, selalu ada hubungan antara popularitas dengan kualitas kinerja. Kualitas kinerja juga berkelindan erat pada tingkat keaktifan dan kerajinan anggota-anggota DPD menghadiri rapat-rapat atau sidang resmi. Seperti halnya DPR, anggota DPD juga bermasalah dengan intensitas kehadiran dalam rapat-rapat resmi. Sampai saat ini publik pun belum menangkap adanya semangat perubahan dalam internal DPD untuk berbenah diri. Padahal sumpah jabatan telah diikrarkan dan Pakta Integritas sudah ditandatangani bersama.

Berharap pada Badan Kehormatan

Bagaimana mengatasi persoalan tersebut? Tidak banyak kalangan yang menyoroti rendahnya tingkat kehadiran anggota DPD dalam forum atau rapat resmi. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, tingkat kehadiran anggota DPD tidak lebih baik ketimbang kehadiran anggota DPR. Memang selama penyelenggaraan sidang paripurna, kehadiran anggota DPD cenderung maksimal. Namun dalam penyelenggaraan rapat-rapat alat kelengkapan, kehadiran anggota-anggota DPD selalu menjadi kendala utama.
Ketika kritik dari luar belum terlihat dan belum mampu menyadarkan DPD diperlukan mekanisme internal yakni kode etik serta tata tertib. DPD perlu secara radikal merubah peraturan tata tertib peninggalan generasi lalu. Perubahan tersebut mendesak sebab salah satu penyebab kurang greget-nya DPD dalam konstelasi politik ketatanegaraan periode pertama turut didorong oleh peraturan tata tertib yang lemah. Kode etik DPD juga perlu dibenahi sebab pada dasarnya kode etik berisi norma-norma atau aturan yang merupakan kesatuan landasan etik dan filosofis terkait peraturan mengenai apa yang diwajibka, dilarang atau tidak patut dilakukan oleh Anggota DPD. Kode etik tidak saja diperlukan untuk menjaga kehormatan, martabat dan kredibilitas individu anggota DPD tetapi juga menjaga dan menaikkan citra DPD secara institusional.

Selain itu, tidak kalah pentingnya, perbaikan kinerja dan citra DPD juga dapat didorong lewat Badan Kehormatan (BK). BK DPD secara yuridis diatur pada Pasal 245 Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Sebagaimana diketahui, BK merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota DPD. Selain itu BK DPD juga bertugas melakukan evaluasi dan penyempurnaan DPD tentang tata tertib dan kode etik DPD. BK secara ideal dapat difungsikan untuk mengawal dari dalam gerak perubahan dan pencitraan DPD menjadi lembaga negara yang populis dan responsif.

Sayang, tata tertib DPD belum memberikan panduan yang efektif bagi BK untuk bekerja maksimal. Salah ilustrasi misalnya, berdasarkan tata tertib DPD nomor 1/DPD RI/I/2009-2010 pasal 76, BK bertugas untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota yang tidak melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagai anggota. Aturan tersebut secara normatif tidak memberikan BK ruang gerak yang leluasa dalam menegakkan kode etik anggota DPD. Pasalnya BK baru bisa bertindak menyelidiki dan memverifikasi serta menjatuhkan sanksi selama ada pengaduan baik dari pimpinan, masyarakat atau daerah terhadap anggota yang lalai atau melanggar kode etik. Aturan ini tidak saja membelenggu BK dalam menegakkan aturan dan kode etik namun sekaligus memandulkan fungsi aktif BK dalam menjaga dan meningkatkan martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas Anggota dan institusi DPD.
Kekhawatiran BK menjadi mandul semakin beralasan ketika misalnya BK menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap anggota yang terbukti melanggar kode etik. Selain dimungkinkan berubahnya proses tersebut menjadi tawar-menawar politik, efektifitas penjatuhan sanksi pemberhentian akan sia-sia sebab anggota yang dijatuhi sanksi pemberhentian masih memiliki jalur hukum sebagaimana diatur pasal 80 ayat (4) tata tertib. Lebih jauh, Tatib DPD tidak menjelaskan lebih rinci jalur hukum dimaksud.
Sebenarnya dalam UU MD3 pemberhentian anggota DPD hanya terjadi dalam dua hal. Pertama, anggota DPD terbukti merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada badan peradilan, PNS, anggota TNI, pegawai BUMN, BUMD, pejabat struktural lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat, notaris. Kedua, anggota DPD dapat diberhentikan dengan alasan terbukti melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme serta gratifikasi.

Belajar dari jejak langkah DPD periode sebelumnya, paling tidak ada tiga sedimen tebal yang turut menempel di BK DPD. Sedimen tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi BK untuk ikut mengkatrol popularitas DPD. Pertama, fakta bahwa DPD sudah terlanjur diklaim sebagai lembaga negara yang kewenangannya amat terbatas sehingga koordinasi dan komunikasi politik internal dan eksternal seperti jalan di tempat. Sampai hari ini DPD masih menyempurnakan format kerja internal dan hubungan antara alat kelengkapan termasuk penyempurnaan tata tertib dan kode etik. Alat kelengkapan DPD yang lain seperti Panitia Musyawarah misalnya, hingga sekarang masih menyempurnakan Tatib DPD sebagai acuan pemantapan kelembagaan DPD di masa mendatang. Di tengah aturan konstitusi yang membatasi ruang gerak DPD dalam hal pencitraan lembaga, DPD juga dihadapkan pada pekerjaan penataan internal baik itu memantapkan keberadaan alat kelengkapan maupun dalam aturan teknis lainnya.

Sedimen sejarah kedua adalah potret kinerja parlemen yang jauh dari harapan publik. Bagaimanapun, ketika menyebut DPD maka tersematkan pula embel-embel parlemen di belakangnya. Sementara, parlemen mencakup juga keberadaan DPR. Sederhananya, citra DPR yang buruk akan mengantarkan pada kesimpulan buruknya citra parlemen di mana DPD menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Jika dilihat kinerja DPR, menarik mengetengahkan data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menunjukkan, DPR periode 2004-2009 baru berhasil menyelesaikan 155 RUU dari total sebanyak 284 RUU yang masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (prolegnas). Hasil kerja legislasi DPR jauh dari memuaskan meski sudah melewati angka 50%. Selain itu, berdasarkan data Indonesian Parliamentary Center (IPC), tahun 2008 lalu DPR hanya berhasil mengesahkan 44 RUU. Namun mayoritas undang-undang yang disahkan tersebut terkait dengan pemekaran wilayah (14 undang-undang). Artinya, pencapaian ini tidak bisa disebut sebagai prestasi karena isi undang-undang pemekaran wilayah hanya copy paste dari undang-undang serupa sebelumnya.

Sedimen sejarah ketiga adalah rendahnya akseptibiltas DPR untuk membangun komunikasi dan persetujuan tentang pola hubungan kerja DPR-DPD. Tidak bisa dipungkiri, DPR cenderung menutup mata dan enggan atau lalai dalam membahas keinginan DPD untuk membuat persetujuan bersama terhadap beberapa hal yang mengatur mengenai mekanisme kerja kedua lembaga. Sejak tanggal 25 Mei 2005 DPD sesungguhnya telah mengajukan konsep mengenai mekanisme kerja kedua lembaga. Namun, hingga sampai saat ini konsep tersebut belum juga direspons oleh DPR.

Tapi terlepas dari tantangan tersebut, sebenarnya DPD masih memiliki amunisi yang kuat untuk tampil membenahi citra parlemen yang terlanjur sudah negatif di mata publik. Amunisi dimaksud adalah fakta di mana hingga hari ini belum ada satu pun anggota DPD yang terjerat kasus hukum atau divonis bersalah karena menyalahgunakan posisi dan wewenangnya sebagai wakil rakyat dan daerah. BK DPD harus memanfaatkan momentum ini untuk terus mengkampanyekan DPD sebagai lembaga yang masih bisa diharapkan oleh rakyat integritas dan komitmennya. Kaukus Anti Korupsi yang sudah diinisiasi antara lain oleh DPD serta Pakta Integritas yang telah diatur dalam Tata Tertib dapat dijadikan semacam senjata ampuh bagi BK untuk turut menyampaikan pesan tersebut ke konstituen dan lembaga negara lainnya.

Pola Intimasi, BK DPD dan Hubungan Kelembagaan

Tak dapat dipungkiri bila latar belakang keanggotaan DPD RI memberikan dampak pada hubungan DPD dengan daerahnya atau lembaga negara lain. Tanpa komitmen penuh, seorang anggota DPD dapat saja memutuskan untuk tidak lagi menjadi bagian dari DPD karena pertimbangan lain misalnya bertarung di Pemilukada atau memilih duduk pada jabatan lain.

Ke depan, perlu memperhatikan dikembangkannya pola intimasi agar DPD dapat menkonversikan dirinya menjadi sebuah perwakilan politik yang profesional, efektif dan produktif. Tugas ini sebenarnya dapat diperankan secara apik oleh BK DPD apalagi mengingat penegakan disiplin dan kode etik serta pakta integritas anggota DPD menjadi tugas utamanya.

Pola intimasi sebagaimana disebutkan sebelumnya pada dasarnya membutuhkan beberapa pertimbangan yang juga tidak terlepas dari keberadaan BK DPD. Pertama, adanya prosedur dan mekanisme khusus yang secara teratur memberikan kepastian terselenggarakannya interaksi dan hubungan antara wakil daerah dengan konstituennya serta lembaga negara lainnya. Di dalamnya tentu saja mencakup kode etik dan kode perilaku yang harus dipatuhi setiap elemen yang ada di DPD. Kedua, perlunya kontrol atas komitmen politik para wakil atau badan perwakilan atas pilihan tugas yang telah diambilnya. Komitmen dan integritas ini secara otomatis melahirkan prinsip etika politik yang menjadi produk dari pola rekruitmen perwakilan yang bersifat langsung tersebut. Komitmen seperti ini memerlukan lembaga khusus yang bersifat internal agar para wakil daerah bersifat proaktif terhadap aspirasi dan kepentingan daerah serta konstituen. Lembaga khusus yang bersifat internal dimaksud tentu saja BK DPD yang bertindak sebagi infrastruktur politik DPD dalam mengagregasi kepentingan daerah dan menjaga kehormatan, martabat dan kredibilitas individu anggota DPD sekaligus menjaga dan menaikkan citra DPD. Ditekankannya BK DPD untuk mengisi peran ini tidak lain disebabkan fakta bahwa DPD bukanlah seperti partai politik yang memiliki organisasi pendukung dan memiliki struktur yang rapi mulai dari pusat hingga ke propinsi, kabupaten/kota atau bahkan kecamatan.

Ketiga, perlunya mendidik konstituten agar menjadi aktif dan terorganisir. Keaktifan konstituen dimaksud termasuk pula sikap pro-aktif konstituen untuk melaporkan setiap indikasi pelanggaran sumpah jabatan dan kode etik yang mungkin dilakukan oleh anggota DPD. Pengorganisasian konstituen diperlukan juga sebagai bagian dari upaya membangun pola intimasi agar aspirasi masyarakat di daerah dapat ditindaklanjuti dan disalurkan dengan baik dan sempurna.

Kesimpulan

Sebagai lembaga negara yang relatif baru, DPD sampai saat ini masih berkutat pada proses menemukan format kerja yang efektif dan efisien. Harus diakui masih banyak kelemahan mendasar dalam sistem menajemen dan mekanisme kerja internal DPD termasuk keberadaan alat-alat kelengkapan DPD seperti Panmus, Panitia Urusan Rumah Tangga, Panitia Perancangan Undang-Undang dan juga Badan Kehormatan DPD. Meskipun masing-masing alat kelengkapan ini sudah merumuskan pola kerja dan tugas masing-masing, ketiadaan koordinasi secara baik masih sering terjadi. Di antara kelemahan itu adalah belum efektifnya penegakan Kode Etik, belum sempurnanya sistem koordinasi dari dan antaranggota, antapimpinan alat kelengkapan maupun dengan konstituen di daerah pemilihan.

Ke depan, DPD juga perlu menyempurnakan kode etik dan kode perilaku sehingga dapat menjadi panduan dan pedoman anggota dalam menjalankan tugas konstitusionalnya. Yang lebih terpenting adalah penegakan disiplin tata tertib dan kode etik serta kode perilaku DPD baik di tingkat pimpinan maupun anggotanya. Hal ini urgen sebab disinilah ruh utama yang akan menentukan sukses tidaknya kinerja dan pengabdian DPD sebagai lembaga perwakilan daerah.

Dalam hal penegakan disiplin tata tertib dan kode etik serta kode perilaku, bagaimanapun BK tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan energi kolektif untuk menjadikan DPD sebagai lembaga negara yang efektif dan responsif. Semuanya terpulang kembali pada sejauh mana itikad dan komitmen anggota-anggota DPD itu sendiri. Perubahan besar kadang bisa dimulai dari yang terkecil.

DAFTAR BACAAN

Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Untuk Apa DPD RI, Editor Laurens Tato, Ctk. Kedua, Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan dan Pergeseran Kekuasaan dalam Negara, Editor

Ni’matul Huda, Ctk Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2004.

Muhammad Amin, Parlemen Indonesia (Studi Hubungan DPR-DPD Pasca Perubahan UUD 1945), Badan Penerbit UI, Jakarta, 2006.

Masnur Marzuki, “Politik Pencitraan DPD dan Badan Kehormatan”, Majalah Senayan, Edisi 36 Tahun VI, tanggal 22-28 Februari 2010.
______________, Dilema DPD, Republika, Edisi 17 Maret 2009.

Onong Uchjana Effendy, M.A. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti Bandung, 2003

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

PENGATURAN DAN PRAKTEK PENYELESAIAN SENGKETA LEMBAGA NEGARA DI BEBERAPA NEGARA

Beberapa negara yang cabang kekuasaan kehakimannya juga mengenal lembaga semacam MK menunjukkan bahwa tidak semua kewenangan sengketa lembaga negara menjadi otoritas MK. Namun secara umum di banyak negara kewenangan sengketa lembaga negara memang menjadi yurisdiksi lembaga peradilan semacam MK. Somalia misalnya di mana eksistensi MK diatur Pasal 101 Konstitusi Somalia yang menyatakan bahwa MK adalah entitas peradilan tertinggi selain MA (‘the Supreme Court of Justice is the highest entity in the judicial scale and it is at the same time the Constitutional Court…’) yang juga berwenang memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara.

Sayangnya, meski MK berwenang menyelesaikan perkara sengketa kewenangan lembaga negara, lembaga tersebut belum teruji mampu menyelesaikan konflik atau sengketa lembaga negara yang terjadi. Hal ini disebabkan minimnya pengalaman karena kewenangan tersebut belum pernah dilakukan oleh MK Somalia dalam sejarah praktek ketatanegaraannya.

Sepanjang sejarah Somalia, meskipun sering terjadi sengketa antara cabang kekuasaan legislatif (DPR) dengan pemerintah (eksekutif) dan berwenangnya MK Somalia untuk menyelesaikan sengketa tersebut, tak ada satu pun kasus yang pernah diperiksa dan diselesaikan oleh MK. Salah satu penyebab buntunya MK Somalia dalam memutus sengketa lembaga negara adalah akibat independensi hakim-hakim MK Somalia yang amat bergantung pada eksekutif di mana menurut Konstitusi Somalia, Presiden berhak mengangkat dan memberhentikan hakim konstitusi dengan persetujuan parlemen. Hanya saja selama ini parlemen Somalia masih sering dikooptasi oleh kepentingan politik eksekutif sehingga tidak bisa berbuat banyak selain mengikuti kemauan dan kehendak politik eksekutif termasuk pengangkatan dan pemberhentian hakim MK. Pihak oposisi di Somalia juga akhirnya tidak bisa berbuat banyak sebab munculnya keraguan akan independensi MK yang berbuntut tidak berfungsinya MK secara efektif dan proporsional. Berkaitan dengan ini Muhammad Farah Hersi mengatakan;

“The opposition and other individuals are not confident the independence of the court and as result, the court has not been functional. It is believed that the independence of the court has been undermined by influences from the government. As enshrines in the constitution the president has absolute power to nominate and remove the chief justice and justice in the court with the approval of the parliament. The approval of the parliament has had little practical application. Therefore, the chief justice and other justices at the court have no other options but, to abide by the demands of the president.” “...Institutionally this court has been set up, but the question remains its effectiveness and independence.”
Pengalaman MK Somalia tersebut menunjukkan bahwa kewenangan memutus sengketa lembaga negara telah diembankan oleh konstitusi Somalia kepada MK namun akibat persoalan independensi dan efektifitas kelembagaannya, kewenangan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna.

Lain di Somalia, lain pula di Spanyol. MK Spanyol memiliki ragam kewenangan seperti halnya MK di Indonesia termasuk kewenangan memutus sengketa lembaga negara. Perbedaannya jika di Indonesia kewenangan MK hanya sebatas memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, di Spanyol MK berwenang juga memutus sengketa tidak hanya antar organ atau lembaga negara namun juga sengketa kewenangan antara lembaga negara dengan lembaga-lembaga pada persekutuan wilayah atau daerah-daerah otonom (Autonomous Communities) serta sengketa dalam internal lembaga
persekutuan wilayah tersebut.

Pengaturan sengketa kewenangan dalam internal lembaga persekutuan wilayah mulai diadopsi dengan direvisinya UU MK Spanyol pada tahun 1999. Perubahan aturan tentang MK tersebut telah membuka peluang diajukannya permohonan sengketa kewenangan tidak hanya oleh persekutuan wilayah atau daerah-daerah otonom namun juga propinsi melawan pemerintahan negara dalam hal ini pemerintah pusat.

Seorang pakar hukum tata negara Spanyol, Cabellos EspiĆ©rrez mengatakan bahwa Spanyol memang memiliki keunikan sistem hukum di mana pemerintah pusat dan serangkaian daerah otonom dapat mengajukan keberatan atas aturan yang berbenturan dengan konstitusi dan mengajukan permohonan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Fitur lain yang juga termasuk unik dalam sistem ketatanegaaraan Spanyol adalah kewenangan MK Spanyol untuk menunda pelaksanaan kewenangan ketika pemeriksaan perkara sengketa kewenangan lembaga negara sedang diperiksa oleh MK. Cabellos EspiĆ©rrez mengatakan, “as a result of these delays, the resolution of a conflict of jurisdiction frequently arrives when the norm under appeal has already been in effect for many years, and in many cases when the damage done cannot be repaired”.
Sepanjang sejarah ketatanegaraan Spanyol, baru satu kali MK memutus perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Yang paling banyak disorot oleh peneliti hukum ketatanegaraan di Spanyol justeru sengketa kewenangan antara serangkaian daerah otonom yang disebut komunitas independen baik konflik di antara mereka sendiri maupun konflik kewenangan dengan negara (pemerintah pusat).

Dalam hal permohonan sengketa kewenangan lembaga negara itu diajukan oleh pemerintah pusat maka MK harus memberikan putusan selambat-lambatnya dua bulan sejak sengketa kewenangan tersebut terjadi. Lebih jauh Pasal 161.2 Konstitusi Spanyol menyebutkan bahwa pemerintah pusat dapat mengajukan permohonan sengketa kewangan terhadap aturan atau maklumat yang diadopsi oleh organ dari persekutuan wilayah. Lengkapnya, Konstitusi Spanyol menegaskan., "Government may contest before the Constitutional Court the previsions and resolutions adopted by the organs of the Autonomous Communities. The challenge shall produce the suspension of the contested provisions or resolution, but the Court must either ratify or lift suspension, as the case may be, within a period of not more than five months.” Artinya ketentuan tersebut menyatakan adanya penundaan atau pelarangan otomatis dalam permohonan sengketa diajukan oleh pemerintah pusat.

Dinamika ketatanegaraan Spanyol memang sering diwarnai dengan sengketa kewenangan. Dalam kurun waktu tiga dekade terkahir setidaknya telah terjadi 605 sengketa atau konflik teritori yang melibatkan persekutuan wilayah atau daerah-daerah otonom di Spanyol. Dari 605 sengketa tersebut 419 permohonan telah diajukan ke muka persidangan MK Spanyol. Penyebabnya antara lain ketidakjelasan konstitusi Spanyol dalam memberi garis demarkasi yang jelas soal konflik atau sengketa apa saja yang masuk dalam yurisdiksi kewenangan MK. Padahal konflik bisa saja bernuansa politik dan bisa pula sengketa kewenangan yang murni soal hukum. Persoalannya semakin kompleks karena domain MK untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan tidak diuraikan secara tegas dan jelas.

Gambiran, 25 Desember 2011

[Bagian dari Tulisan yg diterbitkan oleh Jurnal KOnstitusi MKRI dan PSHK FH UII]