Friday, April 20, 2012

Menata Ulang Konstitusi; Berharap pada SBY?

Tak ada yang meragukan sikap konstitusional SBY selaku kepala negara yang harus tunduk pada UUD NRI 1945 mengingat konstitusi telah menjadi sebuah pilihan politik. Apalagi pilihan politik (resultante) itu telah diambil jauh sebelum SBY duduk di tampuk kekuasaan. 


Yang patut diragukan dari SBY adalah komitmennya selaku kepala negara untuk turut mendukung penataan konstitusi kita ke depan. Komitmen yang dimaksud tentu saja komitmen nyata dari kepala negara yang bukan sekedar pernyataan berbau lips service belaka untuk mendukung penataan konstitusi.


Sulit membantah mandegnya proses perubahan lanjutan terhadap konstitusi salah satunya disebabkan oleh sikap SBY selaku kepala negara dan kepala pemerintahan yang terbelah antara posisi mendukung dengan sikap kehati-hatian SBY. Sikap kehati-hatian tersebut tentu saja demi terhindar dari blunder politik.


Mengingat konstitusi adalah resultante (kesepakatan politik) elit bangsa, maka perubahannya tentu dimulai dengan  membuat kesepakatan  baru untuk kembali melakukan penataan lanjutan sebagaimana dulu dilakukan empat tahap sejak 1999 hingga 2002. 


Menurut penulis, ada dua hal yang belum tercapai saat ini dalam rangka menata kembali konstitusi, yakni:


1. Persoalan pada energi politik; 


2. Energi sosial yang berkesadaran penuh bahwa  UUD harus ditata ulang.   


Tidak seperti tahun-tahun pertama reformasi, saat ini amandemen konstitusi  belum jadi kehendak sejarah. Artinya, perhatian dan energi publik belum terwujud nyata dalam menggesa dilakukannya perubahan atau amandemen lanjutan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain karena dikhawatirkan akan menaikkan tensi politik sehingga mengganggu konsentrasi kerja lembaga-lembaga negara, amandemen konstitusi lanjutan juga tidak didukung oleh situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya kekinian. Padahal tahun 2012 adalah momentum terbaik untuk menata konstitusi. Sebab, tahun depan energi politik akan terkuras habis untuk persiapan pemilihan umum 2014.


Sulit membantah bahwa energi sosial belum tercurahkan sepenuhnya pada isu perubahan lanjutan terhadap konstitusi. Banyak yang belum sadar dan tersadarkan bahwa UUD 1945 masih jauh dari sempurna dan mengandung banyak kelemahan.Selaku kepala negara SBY juga tak sempat melakukan "sesuatu" untuk melakukan upaya komprehensif.


Tapi SBY sepertinya lupa pada tugas kenegaraannya yang juga bertanggungawab untuk melakukan penataan terhadap kontrak politik antara negara dan warga negara (konstitusi). SBY lebih banyak  disibukkan dengan urusan Setgab, kocok ulang kabinet hingga mengurus kader partainya yang didera kasus-kasus korupsi. Padahal, dengan dukungan Partai Demokrat  sebagai pemenang Pemilu, ditopang oleh Setgab Koalisi, sebenarnya SBY memiliki energi politik yang mumpuni untuk mendorong perbaikan lanjutan atas konstitusi kita.


Bukankah SBY berkepentingan dengan perlunya menata ulang sistem presidensial yang memang tidak paralel dengan berbagai sistem politik dan pemerintahan yang dianut oleh UUD NRI 1945? Ambil contoh sistem legislasi yang mendudukkan Presiden dalam posisi dilematis. Konstitusi yang berlaku saat ini tidak menegaskan apakah Pemerintah benar-benar memiliki fungsi legislasi atau harus keluar dari ranah kekuasaan legislasi demi pemurnian sistem presidensial di mana Presiden tidak boleh turut campur  dalam fungsi legislatif seperti halnya diterapkan di negara-negara dengan sistem presidensial murni.  

Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945 tegas mengatakan: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selain Pasal 20A ayat (1) mengatakan: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Rumusan ini sudah benar. Namun yang membuat kisruh adalah Pasal 20 Ayat (2)  yang mengatakan; "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama."  


Artinya Presiden secara implisit sesungguhnya juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sebab, tanpa persetujuan antara Presiden dan DPR, sebuah RUU tidak bisa jadi UU. Sistem legislasi semacam ini tidak lazim digunakan dalam negara yang menerapkan sistem presidensial. Selain Indonesia, hanya Puertorico yang menerapkan sistem legislasi semacam ini. Artinya, di  negara-negara yang menerapkan presidensialisme, proses legislasi tidak dibagi kewenangannya antara DPR dan Presiden. Untuk mengimbangi tidak adanya kewenangan legislasi Presiden, konstitusi kemudian membekali Presiden dengan hak veto atas UU yang disahkan oleh DPR. Proses yang demikian akan menyehatkan mekanisme check and balances antara Eksekutif dan Legislatif.


Sayangnya SBY tidak terlalu ambil pusing dengan hal ini. Alih-alih memurnikan presidensialisme, SBY sepertinya turut "menikmati" kelemahan sistem presidensial dan sistem legislasi tersebut. Padahal, Denny Indrayana, Wamenkumham, yang dulunya staf khusus Presiden bidang hukum kerap melontarkan opini tentang betapa kewenangan Presiden dalam sistem presidensialisme Indonesia bermasalah. Kita tidak tahu, apakah seorang Denny pernah mengingatkan SBY soal ini. Yang kita tahu, sampai saat ini tak sekalipun SBY mengeluhkan betapa konstitusi turut "memperlambat" bahkan "menghambat" gebrakan-gebrakan konstitusional SBY selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Yang kita denga justeru Presiden mengeluh tentang betapa rumitnya mengelola negara dan keluhan tentang anggota kabinet yang lamban dan tidak kompak dalam bekerja.


Lalu, bisakah kita berharap pada SBY untuk ikut terlibat aktif menata konstitusi kita ke depan. Sepetinya sulit (untuk tidak menyebut mustahil). Wallahu A'lam bisshowab.


Gambiran, 20/04/2012.