Tuesday, November 8, 2016

"Melihat Demokrasi Amerika Lewat Hillary dan Trump"

Tanggal 8 November 2016 ini adalah hari bersejarah bagi Amerika karena akan memiliki Presiden baru yang hasilnya tidak saja berpengaruh pada warga Amerika tapi juga warga dunia. Bukan saja karena dampak kebijakan luar negeri AS yang akan berpengaruh tapi juga pada potret helat demokrasi yang konon telah lama didapuk menjadi negara kampiunnya Demokrasi.

Tapi demokrasi Amerika kini tengah diuji. Tulisan singkat ini akan memotret demokrasi Amerika melalui Hillary dan Trump dalam kontestasi pemilihan presiden yang akan mencapai puncaknya di minggu kedua November ini. Demokrasi sama-sama hadir di kedua kandidat ini baik Hillary maupun Trump meskipun demokrasi dengan cita rasa dan perspektif mereka sendiri.

Di satu sisi, Hillary jelas adalah seorang yang piawai dalam politik dan sosok yang kenyang pengalaman berdemokrasi. Dia sendiri adalah tokoh demokrat AS dengan partai yang juga bernama Demokrat. Pengalamannya menjadi ibu negara ketika mendampingi Clinton adalah bukti betapa ia sudah terasah oleh banyak cobaan politik. Begitu juga dalam sepak terjangnya di pemerintahan. Dalam catatan dunia, atas kepiawaian dan jasa diplomasi Hillary selaku Menteri Luar Negeri pula, kebijakan AS yang sebelumnya cenderung kaku terhadap Asia Tenggara kini menjadi lebih luwes dan proaktif.

Lalu bagaimana pandangan Hillary pada Indonesia? Yang jelas, ketika menjabat sebagai Secretary of the State, salah satu negara pertama yang dikunjungi Hillary adalah Indonesia. Kala itu Hillary dengan penuh keyakinan dan mantap menyatakan, "As I travel around the world over the next years, I will be saying to people, if you want to know whether Islam, democracy, modernity, and women's rights can co-exist, go to Indonesia." Bahasa diplomatik yang tentu amat menyentuh hati dan menguntungkan kita sebagai bangsa yang sedang bergerak menuju peyempurnaan demokrasi (consolidated democracy).

Namun, Hillary tidak hanya baik bagi Indonesia tapi juga ketertiban dunia karena secara konsisten membela kebhinekaan, pluralisme, toleransi. Dalam konsfigurasi dunia yang semakin dirundung konflik horizontal, pelanggaran HAM, dan Islamophobia, kehadiran Hillary tentu memberi nilai positif tersendiri tidak hanya bagi Indonesia namun juga dunia.

Di sisi lain, jika Hillary lebih mudah membaca tracking atau jejak rekam politik serta pemikirannya untuk dunia, Donald Trump masih gelap, penuh misteri dan bahkan penuh kontroversi. Dunia hanya tahu Donald Trump seorang pengusaha sukses yang mendunia. Dia juga mempunyai pelbagai proyek bisnis di Indonesia, salah satunya dengan bekerjasama dengan taipan media, Harry Tanoe S. Tapi meskipun terpilih menjadi presiden, Trump tentu tidak boleh lagi berbisnis dan mengurusi langsung kepentingan bisnisnya. Artinya, berbisnis di Indonesia bukan berarti Trump akan memihak pada kepentingan Indonesia di percaturan dunia.

Apa yang dipertontonkan Trump dalam pesta demokrasi Amerika jelas dikhawatirkan membangunkan semangat buruk dalam bathin negeri Paman Sam yakni naluri "the ugly American democracy", yang lekat dengan dengan sikap arogansi, ignorance, dan nasionalisme sempit seperti yang pernah diucapkan oleh mantan Dubes RI untuk AS, Dino Patti Djalal.

Singkatnya, Trump adalah seorang yang belum piawai dalam politik. Dia masih kering dalam pengalaman berdemokrasi. Tidak heran pernyataannya jauh dari esensi-esensi demokrasi. Bayangkan, belum pernah dalam sejarah Pilpres AS ada kandidat yang akan menolak hasil Pemilu bila dirinya dinyatakan kalah. Penolakan hasil Pemilu demokratis tentunya pengkhianatan atas demokrasi itu sendiri. Itulah nalar berdemokrasi!

Trump memang mengkhawatirkan sebagaimana mengkhawatirkannya Amerika dan kebijakan luar negerinya. Banyak yang bilang dalam beberapa dekade terakhir, naluri “jahat” ala Trump ini memang semakin menggejala dalam budaya politik AS yang semakin "vulgar". Dalam Pilpres 2016 ini, fenomena “naluri jahat” kini seolah mendapat ruang baru. Barangkali indikatornya amat sederhana. Semakin sering Trump membuat pernyataan yang tidak senonoh mengenai banyak hal baik Muslim, Hispanic, wanita maupun isu-isu lain-lain, popularitas dan elektabilitasnya justru semakin meroket hingga di akhir jelang pemilihan. Tidak hanya itu, milisi garis keras bahkan sudah melakukan latihan perang guna menyambut hasil Pemilu. Media Amerika menyebut mereka militia ekstrimis bukan “teroris” karena beruntung mereka bukan dengan identitas Islam atau Timur Tengah melainkan “bule” warga Amerika tempatan. Jelas, demokrasi Amerika dari wajah Trump makin menyeramkan dan gelap.

Akhirnya, sampailah pada simpulan akhir. Jika Pemilu 2016 ini benar-benar menjadi pertarungan reputasi demokrasi AS di abad-21, muncul satu pertanyaan penutup manakah yang akan menang naluri "bad democracy" atau "good democracy"? Pertarungan dua kandidat ini bergantung di bilik suara kemana mayoritas suara rakyat Amerika bermuara. Sambil bersabar menunggu hasil final Pilpres AS 8 November ini, satu hal yang pasti: Dunia dan demokrasi akan lebih teduh dan berwarna terang bersama Hillary, dan niscaya akan berwarna gelap bahkan (bisa) mati di tangan Trump. Semoga tidak!#

(Tulisan ini sudah dimuat sebelumnya di laman www.selasar.com)