Sunday, September 7, 2014

Politik Hukum Pengangkatan Hakim MK

Setelah kegaduhan lambatnya MK mengumumkan vonis tentang ”pemilu legislatif dan presiden serentak” kini MK kembali menimbulkan polemik terkait putusan atas perkara uji materi atau judicial review atas UU No 14 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK (UU/ Perppu MK). Kamis, 13/2, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Salah satu substansi UU Nomor 4 Tahun 2014 yang dibatalkan tersebut adalah menyangkut pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli.
Banyak pihak mengecam putusan MK tersebut. Komisioner KY, Imam Anshori Saleh bahkan mengatakan putusan tersebut sebagai tragedi penegakan hukum. Namun tak sedikit pula yang mendukung langkah MK membatalkan  UU Nomor 4 Tahun 2014 tersebut. Sebagai peradilan atas sistem hukum (court of law) putusan MK sudah tepat dan konstitusional termasuk soal dibatalkannya ketentuan pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli.
Pasca tertangkapnya mantan Ketua MK, Akil Mochtar, pengangkatan hakim konstitusi menjadi salah satu isu sentral yang disorot publik terutama transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses rekrutmen hakim konstitusi. UUD 1945 telah menggariskan bahwa perekrutan sembilan hakim konstitusi dilakukan melalui model split and quota yaitu memberi “jatah” Presiden, DPR dan MA untuk “mengajukan” tiga hakim konstitusi. Pasal 23C ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.”

Politik Hukum

Politik hukum adalah pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara. Dalam konteks mekanisme pengangkatan hakim konstitusi, politik hukum berarti sistem seperti apa yang diharapkan sehingga dapat mencapai tujuan utama kekuasaan kehakiman, yakni tegaknya hukum dan keadilan.
Politik hukum pengangkatan hakim konstitusi telah mengalami perkembangan yang cukup dramatis dan dinamis terutama setelah MK membatalkan UU 4/2014. Salah satu materi yang dibatalkan MK tersebut adalah perihal pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli oleh KY. Selain membatalkan UU tersebut, dalam amar putusannya, MK juga menegaskan berlakunya kembali Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sebelum terbitnya UU 4/2014, pengangkatan hakim konstitusi dilakukan tanpa terlebih dahulu diseleksi oleh panel ahli yang dibentuk KY. Seleksi hakim konstitusi dilakukan secara internal oleh masing-masing lembaga pengusul. Menindaklanjuti krisis MK pasca tertangkapnya Akil Mochtar, Pemerintah bersama DPR membuat terobosan hukum baru (legal policy) berupa kebijakan pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli KY sebagaimana ditentukan Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU 4/2014. Kini dengan dibatalkannya keseluruhan materi UU 4/2014, pengangkatan hakim konstitusi kembali ke format lama yakni diajukan masing-masing tiga orang oleh DPR, Presiden dan MA. 
Sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) MK sepertinya tidak mau ketinggalan untuk turut serta menentukan arah politik hukum pengangkatan hakim konstitusi. MK berpendapat bahwa pelibatan KY dalam membentuk panel ahli sebagaimana ketentuan dalam UU 4/2014 merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa hakim MK tidak terkait dengan KY yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945.
Jika dilihat dari substansi pengaturannya dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU 4/2014 keberadaan panel ahli yang dibentuk oleh KY memang lebih tepat dijadikan materi dalam pasal konstitusi atau UUD ketimbang hanya diatur sebatas pasal dalam undang-undang. Keputusan MK sudah tepat ketika memutuskan inskonstitusionalitas panel ahli dalam proses pengangkatan hakim konstitusi. Pasal 24B UUD 1945 yang mengatur kewenangan KY tidak menyebutkan sedikitpun tentang keberadaan panel ahli dalam pengangkatan hakim konstitusi. KY hanya berwenang mengusulkan calon hakim agung dan kewenangan lain yang ditentukan oleh undang-undang. Putusan MK tersebut seolah menyindir para elit di Senayan untuk segera merevisi (amandemen) UUD 1045 yang masih mengandung banyak kelemahan agar politik hukum pengangkatan hakim konstitusi memiliki kejelasan konstitusional (clear constitutional arrangements). Ke depan, MK tidak akan dapat lagi membatalkan ketentuan pengangkatan hakim konstitusi melalui panel ahli KY jika ketentuan tersebut telah termaktub jelas dalam UUD.

Opened Legal Policy versus Negative Legislature

Mantan Ketua MK, Mahfud MD pernah mengatakan pengangkatan hakim konstitusi adalah materi yang bersifat ”opened legal policy”.  Artinya, materi-materi tersebut terkait masalah yang sepenuhnya menjadi wewenang lembaga legislatif untuk menentukannya. M. Fajrul Falakh dalam kesaksiannya sebagai saksi ahli dari Pemerintah dalam sidang pengujian UU 4/2014 juga mendalilkan bahwa suatu model proses perekrutan yudikatif (model of judicial recruitment process) dapat ditentukan dalam Undang-Undang (kebijakan politik atau legal policy).
Merujuk pada pendapat kedua pakar Hukum Tata Negara tersebut, keberadaan panel ahli dan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi panel ahli dalam UU 4/2014 ini dapat disimpulkan sebagai sebuah terobosan dalam proses pengisian hakim konstitusi. Karena itu, pembentukan panel ahli tidak dapat dimaknai sebagai bentuk upaya menambah kewenangan Komisi Yudisial (KY). Merujuk substansi dalam UU 4/2014, KY hanya "sebatas" memilih sebagian calon panel ahli. Lalu, Panel Ahli yang akan melakukan segala macam proses dalam menentukan calon Hakim Konstitusi. Dalam berbagai perspektif, desain yang dibuat UU 4/2014 adalah upaya untuk menjadikan proses pengisian calon Hakim Konstitusi lebih terbuka dan demokratis.
DPR sebagai pihak termohon mendalilkan bahwa ketentuan tentang panel ahli yakni Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU 4/2014 merupakan legal policy DPR bersama Pemerintah sebagai pembentuk Undang-Undang dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 dan untuk menghasilkan hakim-hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara sebagaimana diamanatkan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945.
Namun MK berkata lain. Menurut delapan hakim konstitusi, pembentukan panel ahli KY sebagai pintu pertama rekrutmen hakim konstitusi bertentangan dengan konstitusi yakni Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Selain itu, MK berpendapat bahwa keberadaa panel ahli bertentangan dengan filosofi yang mendasari perlunya hakim konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang berbeda. Hal ini didasari pada tafsir MK atas Pasal 24C UUD 1945 bahwa pasal tersebut memberikan kewenangan atributif yang bersifat mutlak kepada masing-masing lembaga negara mengajukan calon hakim konstitusi.
Terlepas dari apakah panel ahli dan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi panel ahli merupakan opened legal policy atau tidak, MK memiliki  tiga alasan dalam mengadili permohonan pengujian UU 4/2014 yaitu: pertama, tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan tersebut. Kedua, MK tidak boleh menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya. Ketiga, perkara tersebut merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi MK sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat.
Dalam banyak buku bacaan umumnya mencatat bahwa kewenangan MK dalam pengujian undang-undangan adalah sebagai negative legislature dan bukan menjadi positive legislature. Melalui putusan atas judicial review UU 4/2014, MK kembali menasbihkan dirinya sebagai peradilan konstitusi yang berwenang hanya sebatas membatalkan norma atau membiarkan norma dalam undang-undang berlaku (negative legislature). Hans Kelsen pernah mengatakan bahwa lembaga peradilan hanya berwenang membatalkan suatu undang-undang atau mengatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum. (... a court which is competent to abolish laws-invidually or generally- function as a negative legislator). Dalam kaitannya dengan UU 4/2014, DPR bersama Pemerintah telah menjalankan fungsinya sebagai positive legisator. Di lain poros, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, MK kemudian menganulir pemberlakuan UU 4/2014 dalam kapasitasnya sebagai negative legislator. Di sinilah mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan dapat jelas terlihat implementasinya secara paralel. 
Terlepas pro-kontra atas judicial riview UU 4/2014, publik tetap harus menghormati putusan MK membatalkan pemberlakuan UU tersebut. Bukankah sebagai peradilan konstitusi, MK diikat oleh keberadaan azas res judicata proveritate habetur bahwa putusan MK yang sudah berkekuatan hukum harus dianggap benar, bersifat mengikat sehingga harus diikuti dan dilaksanakan.#

[Pengamat Hukum Tata Negara UII Sepakat Pilpres Satu Putaran]

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 berlangsung satu putaran, masih asumsi meski hanya diikuti oleh dua pasangan calon. KPU masih harus melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak menyangkut pasal dalam Undang Undang yang mengatur pemenang pemilu.

Ketentuan pemenang pemilu tercantum dalam bunyi Pasal 6A ayat 3 UUD 1945, yaitu pasangan yang berhak dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dalam pemilu dengan sebaran 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Menyikapi itu, pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki, berpendapat Pilpres dengan dua peserta pasangan calon tak harusnya berlangsung dua putaran. Ini karena Pasal 6A ayat 3 serangkaian dengan Pasal 6A ayat 4.

Pasal 6A ayat 4 menyebut, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.   

"Karena norma Pasal 6A ayat 3 masih satu rangkaian dengan dengan Pasal 6A norma ayat 4. Nah, Pasal 6A ayat 4 terang-terangan menyatakan bahwa pemenang adalah yang memperoleh suara terbanyak. Untuk saat ini (terdapat dua pasangan calon), maka ketentuan 50 persen suara plussebaran 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi tidak berlaku," terangnya kepada Okezone, Senin (9/6/2014).

Dia juga berpendapat, KPU tidak bisa meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hal itu karena ketentuan Pasal 6A ayat 3 termaktub dalam Undang Undang Dasar."Fatwa MA memang bisa diminta, tapi dalam konteks meminta pendapat MA terkait penerapan norma yang dibuat oleh KPU melalui peraturan KPU," jelasnya.

Selain itu, upaya KPU meminta pendapat para ahli Hukum Tata Negara juga tidak perlu dilakukan karena hanya buang-buang anggaran dan energi. Ini lantaran pendapat para ahli tidak berlaku mengikat. "Lebih tepat ya mengajukan judicial review ke MK atas Pasal 159 ayat 1 Nomor 42 tahun 2008, hanya saja terlalu sempit waktu pengajuannya karena sudah menjelang Pilpres dan MK juga sibuk memutus sengketa Pileg," pungkasnya. (ris)


Sumber:  http://pemilu.okezone.com/read/2014/06/09/568/996225/pengamat-hukum-tata-negara-uii-sepakat-pilpres-satu-putaran

[Pimpinan DPR Tak Harus dari Parpol Pemenang Pemilu] | http://news.okezone.com/


JAKARTA - Sejumlah fraksi di DPR mengusulkan agar pimpinan dewan tidak otomatis berasal dari partai pemenang pemilu seperti yang berlaku selama ini, melainkan lewat mekanisme pemilihan. Wacana tersebut dibahas dalam revisi UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Menanggapi itu, dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Masnur Marzuki menyambut baik. Menurutnya otomatisasi pemenang pemilu menjadi pimpinan dewan bertentangan dengan nilai dan hak konstitusional anggota dewan sebagai wakil rakyat sekaligus wakil partai politik.

"Ketika terpilih menjadi anggota dewan, maka secara hukum setiap anggota dewan memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih tanpa membedakan posisi rangking partai hasil pemilu," ujarnya saat dihubungiOkezone di Jakarta, Kamis (5/6/2014).

Menurutnya, posisi pimpinan dewan memang sebaiknya ditentukan lewat mekanisme pemilihan terbuka di DPR, seperti yang terjadi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ini karena lembaga itu sama-sama perwakilan rakyat sehingga format pemilihan pimpinan juga selayaknya sama.

"Di MPR bisa terjadi pemilihan pimpinan secara terbuka seperti periode 2009-2014. Saat itu yang menjadi pemenang pemilu adalah Partai Demokrat tapi yang mengisi posisi ketua MPR justru kader PDI Perjuangan," terangnya.

Dia juga beranggapan, posisi pimpinan dewan yang secara langsung diisi oleh kader partai politik pemenang pemilu sangat bertentangan dengan demokrasi. "Intinya, format ketua dewan harus dari partai pemenang pemilu itu membajak esensi demokrasi dan melanggar hak konstitusional anggota dewan terpilih," tegasnya.

Disinggung kemungkinan akan terjadi polemik karena Fraksi PDI Perjuangan yang merupakan pemenang Pemilu 2014-2019 menolak usulan tersebut, ia tak menampik hal itu. Ini karena partai besutan Megawati Soekarnoputri itu jelas menjadi pihak yang paling dirugikan. 

"Tapi kabarnya mayoritas fraksi di DPR sepakat mengubah ketentuan (pimpinan dewan berasal dari partai pemenang pemilu) tersebut. Golkar dan PKS sudah bersikap secara terbuka," pungkasnya. (ris)

http://news.okezone.com/read/2014/06/05/339/994542/pimpinan-dpr-tak-harus-dari-parpol-pemenang-pemilu