Thursday, February 18, 2010

Tak ada cinta di Februari!

Setiap Desember adalah menunggu. Menunggu detik yang baru karena sebentar lagi akan ada yang berganti. Januari adalah tenaga baru untuk berbuat sesuatu. Sedang di Februari, orang bilang ada segepok cinta yang minta direngkuh. Begitu juga Maret, April, Mei dan seterusnya.
Benang merahnya adalah bahwa hidup selalu berawal dari sebab lalu muncullah akibat. Hanya saja tidak mudah mengurai akar sebab dan akibat itu sendiri, Dilara. Kau mau tahu, kenapa?

Kalau kau mencintaiku, itu sebab atau akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau aku mencintaimu, itu sebab ataukah akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau kau menyayangiku, itu juga sebab atau akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau kau tiba-tiba meninggalkanku, itu sebab atau akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau tiba-tiba kau dalam posisi membenciku, itu sebab atau akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Dan juga kalau tiba-tiba kau menyumpahi lalu mengutukku, itu sebab atau akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.
Begitulah Dilara. Hidup adalah perkara sebab dan akibat. Dan Tuhan-lah yang maha tahu mana sebab mana akibat.

Tercatatlah dalam sebuah hikayat, Dilara; "Jika Tuhan menginginkan sesuatu maka Dia ciptakan sebab.." Begitu sederhana. Jadi kau tak perlu risau hati dengan apa yang terjadi. Hidup ini terlalu indah untuk kau isi dengan gundah gulana.

Terkutuklah aku bila kau masih menyimpan dendam dan perih hati karena adaku.

Kau harus terus melangkah, menjemput impianmu yang belum terwujud. Ada hal yang lebih istimewa untuk kau pungut selain aku.

Setiap sebab adalah akibat dan setiap akibat adalah juga sebab. Alam sudah lama mengajarkan itu pada kita. Konsepnya begitu sederhana. Sesuatu yang terjadi pasti disebabkan oleh sesuatu hal. Sebab mewujud karena ada akibat. Akibat ada karena sebab. Sedangkan jeda di antaranya adalah proses.

Sederhananya begini; jika kita tiba-tiba berpisah itu adalah sebab sekaligus akibat. Dan di antara keduanya terdapat proses di mana terselip cerita pahit dan manis. Semuanya nanti akan terbungkus menjadi kenangan. Suatu hari nanti di masa depan, roda selalu berputar sayang -seperti yang kau tulis diam-diam untuk malaikat penjagamu itu- kau akan tersenyum sendiri mengingatnya.
Karena setiap sebab selalu ada akibat, Dilara. Bersabarlah! Waktu itu akan tiba!

Kau tak perlu merasa bersalah dan larut dalam keputusasaan.

Dilaraku sayang, kau tentu tahu dari mana datangnya rasa bersalah, tapi tahukah kau dari mana datangnya keputusasaan? Rasa bersalah memang datang dari dalam diri dan bisa terpicu dorongan dari dalam maupun luar diri. Tapi keputusasaan punya sejarah yang rumit dan berliku. Meskipun secara sederhana keputusasaan bisa dipahami dengan suatu keadaan lenyapnya pengharapan akan terjadinya sesuatu yang didambakan.

Kau dulu pernah kehilangan pengharapan akan terjadinya sesuatu yang sudah kau impikan, yang sudah kau pikirkan akan kau peroleh, tetapi akhirnya kau tidak bisa menikmati. Lalu lenyaplah pengharapan. Itulah yang menimbulkan keputusasaan.

Kata kuncinya adalah pengharapan, sayang. Selama masih ada pengharapan, tidak seharusnya ada keputusasaan. Sayangnya pengharapanmu telah hilang bahwa suatu hari nanti Tuhan akan mempertemukan kita dalam satu biduk yang sama.
Padahal sekali lagi aku beritahu bahwa keputusasaan adalah rasa kehilangan akan pengharapan. Saat pengharapan lenyap, maka apa yang kau dambakan tidak bisa menjadi kenyataan.

Kau terlalu cepat bergerak menuju terminal akhir keputusasaan, sayang. terlalu cepat berkesimpulan. Sehingga kau dihukum oleh kesimpulanmu sendiri. Dan kau pun berputusasa. Padahal menurutku keputusasaan itu sendiri memiliki beberapa jenjang. Jenjang keputusasaan terendah sebetulnya adalah ketika kau memasuki proses kehilangan. Proses kehilangan itu kemudian melahirkan reaksi kesedihan. Lalu reaksi kesedihan mewujud dalam perasaan akan segera hilangnya sesuatu atau seseorang yang sangat bermakna bagimu.

Jenjang keputusasaan tertinggi adalah ketika kau berpangku tangan, menghiba pada nasib dan takdir lalu tak berbuat apa-apa.

Kau malah menyeret jiwa dan ragamu melompati jenjang terendah lalu memaksakan dirimu terhenti pada jenjang keputusasaan tertinggi.

Benar-benar tak ada lagi pengharapan, sayang. Kau hanya bersahabat dengan rasa apatis dan rasa untuk tidak peduli lagi. Padahal selama hembusan nafas belum berhenti, sebaiknya kau harus terus berkayuh untuk meraih asa dalam keputusasaan. Biarkan nuranimu memandu setiap langkahmu. Semoga dia tetap menyemangatimu dan memberi tenaga bagi kayuh sampanmu menuju pengharapan. Lalu, kau bergerak menujuku. Ke sini!

Pernah di suatu masa engkau berkata padaku; "Semua hanya tinggal menunggu waktu, sayang. Dan ketika waktu itu telah tiba, maka kita pun segera berpisah..".

Singkat dan padat benar kata-katamu itu Dilara. Ya, kini engkau benar-benar merasa bahwa waktumu itu telah datang hingga kau berkemas dan berlalu pergi.

Dari kejauhan aku hanya bisa menatapmu dan menghela nafas panjang. Sesaat lamanya kau melangkah, aku mohon jangan lagi menoleh ke belakang sebab aku tidak akan lagi berdiri di situ. Aku harus memilih menyembunyikan kesedihanku darimu. Berpantang bagiku menangis di hadapan wanita agung sepertimu, Dilara.

Pernah di suatu masa engkau berkata padaku; "Semua hanya tinggal menunggu waktu, sayang. Dan ketika waktu itu telah tiba, maka kita pun segera berpisah..". Padahal, beberapa hari sebelum kepergianmu atau berapa jam lagi kau akan beranjak pergi aku tak pernah tahu. Tapi apa pun itu, perjalanan dan kepergianmu sungguh penuh makna. Kepergianmu tidak hanya selembar kisah, tapi juga segubah lagu yang mengingatkan aku atau mereka yang lupa betapa bermaknanya hadirmu, Dilara.

Tawamu, nafasmu, tangismu, gerakmu telah lekat dalam jiwa. Dari kejauhan aku hanya bisa menunduk pasrah. Dulu kau pernah datang. Dulu juga kau pernah pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa, Dilara. Yang aku bisa hanya mencintaimu dengan datang dan pergimu itu.

Pernah di suatu masa engkau berkata padaku; "Semua hanya tinggal menunggu waktu, sayang. Dan ketika waktu itu telah tiba, maka kita pun segera berpisah..". Tapi menurutku kau salah, Dilara. Waktu tak perlu ditunggu sebab dia akan terus berdetak meski pun tak ditunggu. Justeru waktulah yang menunggumu dan aku. Dia pulalah yang memberi tahusan menunjukimu bahwa segala sesuatu, kecuali Tuhan, memiliki awal dan akhir.

Dari kejauhan aku hanya bisa berdoa, sayang. Semoga di setiap langkahmu menyelinap sejuta makna hidup yang penuh ketulusan dan kedamaian.

Pernah di suatu masa engkau berkata padaku; "Semua hanya tinggal menunggu waktu, sayang. Dan ketika waktu itu telah tiba, maka kita pun segera berpisah..".

Terima kasih telah mengingatkanku; menempaku dengan petuah mengharu biru seperti itu. Aku tak akan pernah menyalahkanmu. Justeru akulah mungkin yang salah membaca maumu. Dalam memahami aku bergerak lambat seperti siput. Padahal mungkin engkau berkehendak aku bisa lari secepat kilat membaca inginmu.

Kini, lagi dan lagi, dari kejauhan aku hanya bisa berucap lirih; Selamat berderap dengan langkahmu yang baru. Songsong duniamu nan indah seperti dulu meskipun tanpa aku.

Setiap Desember adalah menunggu. Menunggu detik yang baru karena sebentar lagi akan ada yang berganti. Januari adalah tenaga baru untuk berbuat sesuatu. Sedang di Februari, orang bilang ada segepok cinta yang minta direngkuh. Tapi sepertinya Februari ini tak ada cinta lagi untukku. Ah, sedihnya aku!

Arqan Kamaruzaman,
Minggu pertama, Januari 2010.