Wednesday, April 11, 2012

Mengevaluasi Gebrakan MK Menelisik Mafia Kasus

Masih segar dalam ingatan publik ketika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD membentuk tim investigasi internal untuk menyelidiki rumor seputar keberadaan mafia kasus di tubuh MK. Dalam kerangka hukum formal, tindakan MK seperti itu memang dibolehkan. Namun harus dicatat bahwa dalam hukum, sesuatu yang diperbolehkan dalam melakukan, belum tentu benar dalam melakukannya. MK dalam konteks ini sudah benar mengambil keputusan membentuk tim investigasi membongkar dugaan mafia kasus di lembaga penjaga konstitusi tersebut. Hal itu dilakukan agar citra MK sebagai peradilan yang “masih” bersih tetap terjaga. Pertanyaannya, evaluasi apa yang sudah dilakukan dalam membaca langkah MK ketika melakukan penyelidikan atas kecurigaan adanya mafia kasus dari dalam rumahnya sendiri?

Sebagaimana diketahui ketika itu Ketua MK Mahfud MD menunjuk pengamat hukum tata negara, Refly Harun, memimpin tim investigasi. Alasannya, yang bersangkutan mengetahui dugaan praktik-praktik mafia kasus di MK. Sebelumnya Ketua MK menyatakan bahwa dirinya tidak akan bosan memberi penjelasan karena MK terus dituduh terjerat mafia kasus. Menurut Mahfud MD, mafia kasus yang kalau didefinisikan melibatkan unsur resmi, tidak ada satu pun indikasi ke arah itu hingga hari ini. Bahkan Mahfud MD menilai semua rumor tentang mafia kasus di tubuh MK tidak jelas sumbernya dan akan sulit ditemukan.

Ada dua hal yang menarik dari penjelasan Ketua MK tersebut. Pertama, secara jujur harus diakui bahwa pembentukan tim investigasi mafia kasus menyiratkan praktek kotor itu mungkin saja sudah menggerogoti MK. Sebagaimana diketahui dari hulu hingga hilir modus jual beli beli perkara di pengadilan sudah begitu kompleks dan beragam. Modusnya bisa dalam bentuk jual beli putusan, memperlambat pemeriksaan perkara hingga mengulur waktu penetapan perkara. (Indonesia Corruption Watch; 2007).

Tidak bisa tidak, mafia kasus selalu melibatkan unsur resmi yakni hakim, panitera, hingga pegawai pengadilan. Namun dalam konteks MK, keterlibatan unsur resmi sepertinya memang belum menggejala dan terlihat dengan nyata. Menurut penulis pihak yang paling berpotensi terlibat mafia kasus di MK justeru berasal dari unsur luar MK yang memiliki kepentingan ketika berperkara di MK khususnya perkara sengketa pilkada. Tentu saja, keterlibatan unsur luar tidak berdiri sendiri begitu saja. Oleh karenanya tetap terbuka kemungkinan unsur resmi dalam tubuh MK memanfaatkan keinginan unsur luar untuk “merayu” atau “menjebak” MK masuk dalam pusaran mafia peradilan.

Kedua, ada kesan Mahfud MD selaku Ketua MK ingin membuktikan kepada publik bahwa lembaga yang dipimpinnya tidak terjangkit penyakit paranoid solidarity. Secara jujur harus diakui di negeri ini kalau ada hakim tertentu disinyalir melakukan tindak mafia peradilan maka ramai-ramai para hakim lain membantah dan melakukan pembelaan atas nama solidaritas. Terkait dugaan mafia kasus MK, menurut hemat penulis, lembaga itu ingin menegaskan bahwa paraoid solidarity atau solidaritas kalap di kalangan aparat penegak hukum seperti terjadi di institusi hukum lainnya tidak berlaku di MK. Indikasinya, tim invesitigasi yang dibentuk MK bersifat internal namun ketua tim yang dipilih justeru berasal dari pihak eksternal.

Titik Pusaran Mafia Kasus

Dalam konteks penelusuran dugaan praktik mafia kasus di tubuh MK, pembentukan tim investigasi memiliki dimensi yang jauh lebih luas dan kontroversial. Dikatakan demikian karena posisi strategis MK misalnya dalam penanganan sengketa pilkada yang rawan dengan isu-isu mafia kasus. Sebagai ilustrasi, beberapa waktu lalu Ketua MK sempat gusar dengan adanya isu seseorang yang mengaku mengantar uang Rp. 2 milyar kepada salah satu hakim MK ketika menangani sengketa Pilkada Kabupaten Rejang Lebong. Walaupun informasi tersebut masih samar dan perlu identifikasi serta pembuktian lebih lanjut, setidaknya ada gejala menarik dalam dugaan mafia kasus yakni adanya kemungkinan keterlibatan hakim melakukan jual-beli perkara. Hakim pengadilan, tidak saja di MK, memang bisa saja terlibat sebagai aktor utama dalam titik pusaran mafia kasus seperti jual-beli putusan.

Publik barangkali belum lupa ketika pada Oktober 2005 lalu Probosutedjo mengaku bahwa dia telah menghabiskan Rp. 16 miliar demi mendapat vonis bebas atas putusan kasasi dalam kasus korupsi dana reboisasi di Kalimantan senilai Rp. 100,9 milyar. Kontan saja pengakuan tersebut mempertontonkan episode kelam betapa mudahnya merekayasa putusan perkara melalui pendekatan “jahat” dan manipulatif. Tragisnya, yang dilibatkan adalah unsur-unsur resmi di pengadilan seperti hakim atau panitera.
Dalam konteks MK, tugas tim investigasi internal yang dipimpin oleh Refly Harun menjadi tidak mudah mengingat kompleksitas masalah mafia kasus. Kompleksitas pengungkapan masalah mafia kasus terkait ihwal pembuktian dan saksi. Tidak mungkin ada panitera, hakim atau pegawai di MK yang begitu lugu dan bodoh memberi tanda terima tertulis atau mau disaksikan orang ketika melakukan suap-menyuap atau jual-beli perkara.

Selain itu akan lebih sulit bagi Refly Harun, meskipun yang bersangkutan pernah diangkat menjadi staf ahli di MK, mengumpulkan dan mencari bukti formal sebab Refly Harun sendiri merupakan “orang luar” yang belum tentu memahami seluk-beluk dan manipulasi bukti formal adanya mafia kasus. Padahal tugas inti tim adalah membuktikan bahwa mafia kasus telah melibatkan unsur resmi dalam tubuh MK sendiri. Apa daya, tim tak bisa berbuat banyak, bahkan mendekati pada kesimpulan kebuntuan kerja investigasi.

Kredibilitas MK


Meskipun Ketua MK memastikan, semua hakim, panitera, dan pegawai MK bersih dari mafia kasus, tetap terbuka kemungkinan MK telah terjangkit penyakit mafia peradilan. Bagaimanapun, jejaring mafia peradilan dewasa ini semakin canggih dan licin. Kita patut mengapresiasi langkah MK yang memang ingin menunjukkan kepada publik lembaga itu tidak tercemar praktek kotor mafia peradilan. Tugas itu kini ada di pundak tim investigasi internal untuk membuktikan lembaga itu benar-benar bersih.

Terlalu berlebihan jika muncul kecurigaan penunjukan Refli Harun saat itu sebagai ketua tim investigasi hanya sebagai alat untuk membungkam kekritisan seorang Refly Harun. Dalam hal ini, kita tentu tidak ingin berspekulasi bahwa pengangkatan Refly Harun merupakan bentuk resistensi MK dalam “menyembunyikan” adanya dugaan mafia kasus di tubuh MK. Apalagi selama ini, MK di bawah Mahfud MD dikenal luas memiliki integritas dan catatan bersih dari mafia hukum. Bahkan Mahfud MD sendiri beberapa kali menerima penghargaan atas sepak terjangnya memberantas mafia hukum di Indonesia. Konon, atas prestasinya itu Mahfud MD kemudian digadang-gadang menjadi kandidat Presiden atau setidak-tidaknya Wakil Presiden 2014 mendatang.

Publik dulunya menanti dan menaruh harapan besar kepada tim investigasi internal bentukan MK dalam menelusuri dugaan mafia kasus di tubuh lembaga pengawal konstitusi. Padahal, reputasi MK menjadi taruhan bila sedari awal pengangkatan Refly Harun sebagai ketua tim investigasi mafia kasus hanyalah bentuk resistensi dan penegasan paranoid solidarity di kalangan penegak hukum kita. Jika itu benar-benar terjadi, harapan publik kepada MK yang bersih serta peduli pemberantasan korupsi dan mafia hukum akan sirna dengan sendirinya.

Kini, hasil kerja tim investigasi internal "gagal" membuktikan adanya mafia kasus di MK. Atas hasil itu, MK kini semakin berwibawa karena "ternyata" benar-benar bersih dari praktek mafia peradilan. Akan lain ceritanya jika saja Refly Harun bersama tim berhasil membuktikan indikasi kuat mafia kasus di MK, lembaga itu pun akan dicibir karena terjerembab dalam jaringan mafia peradilan yang menjadi momok menakutkan dan mengacaukan reformasi hukum di Indonesia.

Wallahua'lam bisshowab.

NB; Tulisan ini pernah dikirimkan ke Harian Kompas, atas satu dan lain hal urung diterbitkan.