Saturday, December 24, 2011

Road Map Sistem Hukum Indonesia Dalam Dimensi Pembangunan Hukum Nasional; Realitas dan Proyeksi Ke Depan

(Makalah disampaikan pada Diskusi “Road Map Sistem Hukum Indonesia” yang diselenggarakan oleh PB HMI, Jakarta, tanggal 18 Oktober 2011.)

Konstitusi hasil perubahan telah mentasbihkan Indonesia sebagai negara hukum. Jika ditanya pihak mana yang berkewajiban mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka secara prinsipil, kewajiban tersebut ada pada negara. Artinya, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kewajiban negara mewujudkan negara hukum itu direpresentasikan oleh penyelenggara negara yang meliputi tiga poros kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksekutif dan legislatif dalam tata hukum Indonesia menciptakan aturan (peraturan perundang-undangan) berdasarkan prolegnas untuk di pusat dan prolegda untuk level pemerintah daerah. Sementara itu poros kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mengembangkan cita perwujudan negara hukum melalui putusan dan yuresprudensinya.
Sebagai negara hukum konstitusional, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan kaidah dan sistem hukum nasional. Patut dicatat bahwa sistem hukum nasional bisa diartikan sebagai hukum yang berlaku dengan semua elemennya yang saling menunjang satu sama lain dalam rangka memajukan kesejahteraaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tulisan berikut tidak akan mengupas bagaimana penyelenggara negara menjalankan
kewajiban mewujudkan dan melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Tulisan ini akan memfokuskan bahasan pada peta dasar sistem hukum dan pembangunan hukum dalam tantangannya ke depan ketika berhadapan dengan berbagai dialektika mulai dari dialektika sosial, politik dan budaya.

Pembangunan Hukum Nasional; Realitas dan Proyeksi Ke Depan

Pembangunan hukum nasional tidak dapat dilepaskan dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu agenda pembangunan hukum nasional harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Hal tersebut berkelindan erat dengan teori yang ditawarkan Lawrence M. Friedman bahwa ranah pembangunan hukum sekurang-kurangnya menyangkut tiga aspek yakni, isi atau materi hukum (substance), aparatur penegak hukum (structure) dan budaya hukum (culture). Persoalannya adalah ternyata agenda pembangunan hukum nasional kita masih dihadapkan pada beberapa kendala dan tantangan antara lain, yaitu;

1. Penataan sistem legislasi dan kelembagaan pembentuk undang-undang.
2. Budaya berhukum masyarakat yang masih terkontaminasi praktek mafia hukum.
3. Belum membuminya kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum.

Dalam dimensi tantangan penataan sistem legislasi dan kelembagaan pembentuk undang-undang, sistem legislasi kita masih belum paralel dengan sistem pemerintahan yang dianut sehingga seringkali hal ini memunculkan masalah dalam implementasi pembentukan hukum. Jika sistem pemerintahan kita adalah sistem presidensial, namun sistem legislasi kita cenderung bercorak parlementer dimana eksekutif dan legislatif sama-sama saling berkepentingan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sekali lagi, Indonesia dihadapkan pada anomali presidensial dalam dimensi praktek dan sistem legislasi. Saldi Isra mencatat bahwa telah terjadi pergeseran fungsi legislasi yang diindikasikan dengan menguatnya model legislasi parlementer dalam sistem presidensial Indonesia. Lebih lanjut Saldi Isra mencatat bahwa akar persoalannya ada pada Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 hasil amendemen. Kedua pasal ini memberi peran eksekutif terlibat dari tahap pengajuan (inisiatif), pembahasan, persetujuan, pengesahan, hingga pengundangan. Singkatnya, eksekutif terlibat di semua tahapan.

Dalam hal legislasi, idealnya skema presidensial memposisikan Presiden hanya pada tahap pengesahan dengan menandatangani RUU yang telah disetujui kedua kamar Parlemen (DPR dan Senat). Artinya Presiden tidak terlibat sama sekali dalam pembahasan dan pengambilan keputusan persetujuan atas RUU. Amerika Serikat adalah contoh negara yang sudah mapan dalam menerapkan sistem legislasi yang parelel dengan sistem presidensialnya.

Persoalan lain terkait penataan sistem legislasi kita adalah ketimpangan legislasi antara kamar-kamar parlemen yakni antara DPR dan DPD. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memang tegas menyatakan kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Artinya DPD bukanlah lembaga legislasi yang tidak memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Tetapi di lain pihak, DPD termasuk dalam poros kekuasaan legislatif yang menjadi bagian tak terpisahkan dari DPR yang terintegrasi secara institusional dalam format parlemen kita. Bila anggota DPR memiliki hak legislasi, anggota DPD sama sekali tidak mempunyai hak legislasi. Ketimpangan fungsi legislasi ini berpotensi melemahkan mekanisme saling kontrol antar lembaga negara (check and balances).

Tantangan kedua yang dihadapi dalam agenda pembangunan hukum nasional adalah budaya berhukum masyarakat yang masih terkontaminasi praktek mafia hukum. Masyarakat dibuat cemas dengan mengguritanya praktek mafia hukum. Ketika isu mafia hukum menyeruak ke ruang publik, aktor-aktor dalam organ kekuasaan mulai melakukan terobosan yang dimaksud untuk menjawab permasalahan mafia hukum yang laksana kentut, baunya begitu mudah dideteksi sedang pelakunya sulit dicari dan dibuktikan.

Memang agak ganjil, dan mungkin menyedihkan bahwa bangsa Indonesia yang mendasarkan
dirinya pada Ketuhanan Yang Maha Esa, praktek koruptif dalam berhukum justeru menjadi keharusan sejarah. Agama tinggal agama dan praktek mafia hukum tetap merajalela. Praktek mafia hukum telah nyata menggejala seperti debu halus rata menabur di ruang privat dan publik, menjamur mulai dari perkara kecil hingga yang besar. Praktek mafia hukum sudah seperti lukisan surrealis yang setengah seram setengah lucu. Seram karena rakyat akhirnya akan menjadi korban akibat ulah penegakan hukum yang koruptif. Lucu karena semakin hari semakin tidak jelas mana yang benar mana yang salah. Menarik untuk mengutip kembali kritik sufistik Emha Ainun Nadjib terhadap pola budaya berhukum kita. Emha mencatat; “...Bangsa yang-sesekali-menjalankan hukum, namun tanpa kesadaran dan hikmah hukum, tanpa kesanggupan untuk mengapresiasi nikmatnya berkebudayaan hukum. Bangsa yang sangat tampak secara wadak sedang menjalankan ajaran agama, namun hampir tak terdapat pada perilakunya dialektika berpikir agama, tak ada kausalitas mendasar antara input dan output nilai agama. Bahkan terdapat diskoneksi ekstrem antara praksis kehidupan beragama dengan hakikat Tuhan..”

Dalam konteks inilah pandangan Lawrence M. Friedman menemukan relevansi erat bahwa ranah pembangunan hukum memerlukan aspek budaya berhukum (culture) selain aspek isi atau materi hukum (substance), aparatur penegak hukum (structure). Sebagus apapun isi aturan hukum dan bersihnya aparat hukum, jika budaya berhukum masih menjadi kendala jangan diharap pembangunan hukum akan terwujud.

Tantangan ketiga agenda pembangunan hukum nasional kita adalah belum membuminya kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum. Mahfud MD mengemukakan bahwa rambu-rambu pembentukan peraturan perundang-undangan harus diperkuat dengan adanya empat kaidah penuntun hukum yang harus dipedomi sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum. Empat kaedah tersebut menurut Mahfud MD antara lain adalah:

1. Hukum nasional harus dapat menjaga integrasi (keutuhan kesatuan) baik ideologi maupun wilayah teritori sesuai dengan tujuan “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”, harus dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

2. Hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel, harus dicegah munculnya produk hukum yang diproses secara licik, kucing-kucingan dan transaksi ditempat gelap.

3. Hukum nasional harus mampu menciptakan keadilan sosial dalam arti harus mampu memberi proteksi khusus terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan golongan yang kuat baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.Tanpa proteksi khusus dari hukum golongan yang lemah pasti akan selalu kala jika dilepaskan bersaing atau bertarung secara bebas dengan golongan yang kuat.

4. Hukum harus menjamin toleransi beragama yang berkeadaban antar pemeluk-pemeluknya. Tidak boleh ada pengistimewaan perlakuan terhadap agama hanya karena didasarkan pada besar dan kecilnya jumlah pemeluk. Negara boleh mengatur kehidupan beragama sebatas pada menjaga ketertiban agar tidak terjadi konflik serta memfasilitasi agar setiap orang dapat melaksanakan ajaran agamanyadengan bebas tanpa mengganggu atau diganggu oleh orang lain. Hukum agama tidak perlu diberlakukan oleh negara sebab pelaksanaan ajaran agama diserahkan kepada masing-masing pemeluknya, tetapi negara dapat memfasilitasi dan mengatur pelaksanaannya bagi pemeluk masin-masing yang mau melaksanakan dengan kesadaran sendiri guna menjamin kebebasan dan menjaga ketertiban dalam pelakanaannya tersebut.

Jika mengacu pada kaedah pertama, bahwa hukum nasional harus dapat menjaga integrasi (keutuhan kesatuan) baik ideologi maupun wilayah teritori sesuai dengan tujuan “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”, harus dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Indonesia, kita dihadapkan pada berkembangan produk hukum yang berpotensi mencabik-cabik integrasi nasional. Salah satu ilustrasi adalah lahirnya perda-perda yang bernuansa primordial.

Begitu pula dalam hal bahwa hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel, harus dicegah munculnya produk hukum yang diproses secara licik, kucing-kucingan dan transaksi di tempat gelap, maka bisa dipastikan bahwa partisipasi minimalis publik dapat pula mencederai prinsip partisipatif dalam setiap penyusunan undang-undang.

Kesimpulan

Pembangunan hukum nasional semestinya dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terhadap tiga kendala dan tantangan agenda pembangunan hukum nasional yang antara lain meliputi penataan sistem legislasi dan kelembagaan pembentuk undang-undang, budaya hukum yang marak dengan praktek mafia hukum serta belum terejawantahkannya kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum, kita perlu melakukan upaya antara lain amandemen lanjutan terhadap konstitusi untuk memparalelkan sistem pemerintahan presidensial dengan sistem legislasi kita yang bercorak parlementer. Di samping itu, perlu pula political will penyelenggara negara dan agenda mendesak bangsa untuk memperbaiki citra dan budaya hukum yang berkeadilan serta peta jalan (road map) yang jelas dan aplikabel dalam membumikan kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani sebagai kaidah dalam politik atau pembangunan hukum. Akhirnya, hukum harus dikembalikan pada akar moralitas, akar kultural dan akar religiusnya. Hanya dengan cara itu, rakyat akan merasakan hukum itu sebagai alat perwujudan perlindungan konstitusional atas segala hak dan kewajibannya.#

Bahan Bacaan

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab Dan Solusinya), Penerbit Ghalia, Jakarta, 2001.

Emha Ainun Nadjib, Kiai Bejo, Kiai Hoki, Kiai Untung, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007.

Lawrence L Friedman, American Law; An Introduction, W.W. Norton, New York, 1986.

Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi dan Isu, Rajawali Press, Jakarta, 2009.

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi:Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010.

No comments: