Sunday, December 25, 2011

Pemisahan Kekuasaan dan Prinsip Checks and Balances dalam UUD 1945

Makalah pada Acara Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi Untuk Guru SMP di Kota Yogyakarta, tanggal 18 Desember 2010.

Diskursus perihal kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari perdebatan soal hukum. Meskipun kekuasaan bukan satu-satunya unsur terpenting dari hukum, namun tetap memiliki hubungan yang khas dengan hukum. Tanpa adanya kekuasaan, hukum tidak bisa ditegakkan, karena penegakan hukum menjadi monopoli dari penguasa dalam hal terdapat pelanggaran hukum. Begitu pula jika tanpa adanya hukum, kekuasaan menjadi semena-mena dan melahirkan penindasan. Tulisan berikut akan mengupas perihal hakikat kekuasaan dalam hubungannya dengan hukum dan pembatasan kekuasaan. Selain itu akan dianalisis pula prinsip pembatasan kekuasaan negara Indonesia kontemporer dengan menitikberatkan pada kajian implementasi prinsip check and balances inter dan antar lembaga negara di Indonesia pasca amandemen UUD NRI 1945.

Tidak sulit menemukan jawaban bagaimana hakikat kekuasaan dan hubungannya dengan hukum. Setidaknya ada dua terminologi berbeda yang sering dipersamakan, yaitu kekuasaan (autority atau gezag) dan kekuatan (force, power, macht). Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal (formal authority) yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau satu pihak dalam suatu bidang tertentu. Dengan kata lain, kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tersebut.

Utrecht berpendapat bahwa kekuatan adalah paksaan yang dilakukan suatu badan yang kedudukannya lebih tinggi pada seseorang, biarpun orang itu belum menerima paksaan tersebut sebagai sesuatu yang sah (sebagai bagian dari tata tertib hukum positif) serta sesuai dengan perasaan hukumnya. Kekuatan baru merupakan kekuasaan apabila diterima, oleh karena dirasa sesuai dengan perasaan hukum orang yang bersangkutan, atau oleh karena badan yang lebih tinggi itu diakui sebagai penguasa (otoritas atau authority). Dari kacamata ilmu hukum, kekuasaan adalah dalam pengertian hukum, sedang kekuatan adalah dalam pengertian politik. Karena itu tepatlah ungkapan Vinagradoff:

“Law has to be considered not merely from the point of view of its enforcement by the courts; it depends unltimately on recognation. Such a recognization is a distinctly legal fact, although the enforcement of a recognized rule may depend on moral restraint, the fear of public opinion, or, eventually, the fear of popular rising”.

Secara sederhana, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau satu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Max Weber, dalam bukunya Wirtschaft und Geselchaft (1982) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan mengontrol suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini. Senada dengan itu, Miriam Budiardjo merumuskan kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku tersebut menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.

Apeldoorn berpendapat, dalam masyarakat terdapat berbagai kekuasan, yaitu: kekuasaan baik dan jahat, kekuasaan physic (misalnya kekuasaan tentara dan polisi), kekuasaan ekonomi (misalnya kekuasaan modal dan kerja) dan juga kekuasaan bathin dan susila (misalnya kekuasaan kepribadian), kekuasaan agama, kekuasaan ilmu pengetahuan, kekuasaan perkataan yang diucapkan dan yang ditulis serta kekuasaan kesusilaan dan kekuasaan adat atau kebiasaan.

Selain klasifikasi tersebut, jenis kekuasaan lain yang juga populer adalah kekuasaan politik. Hal tersebut senada dengan pendapat Sri Soemantri yang mengatakan bahwa dari sekian banyak jenis kekuasaan dalam masyarakat, kekuasaan politik memegang peranan paling sentral dan menentukan.

Patut dicatat bahwa kekuasaan amat bergantung kepada bagaimana pemegang kekuasaan tersebut menggunakannya. Artinya, kekuasaan merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib, bahkan setiap bentuk organisasi yang teratur. Hanya saja, karena sifat dan hakikatnya dan agar dapat bermanfaat, kekuasaan harus ditetapkan ruang lingkup, tujuan dan batas-batasnya. Untuk itulah hukum difungsikan mengontrol kekuasaan sehingga muncul pula adagium bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum.

Mengingat luasnya kekuasaan dalam sebuah negara, secara mendasar kekuasaan lazimnya dipetakan ke dalam beberapa fungsi yang berkaitan satu sama lain. John Locke dalam bukunya “Two Treatises of Government”, membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut Locke fungsi-fungsi kekuasaan negara terdiri dari; fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi federatif.

Dengan mengikuti jalan pikiran John Locke, Montesquieu dalam bukunya “L’Espirit des Lois” yang ditulis tahun 1784 atau versi bahasa Inggris-nya dikenal “The Spirit of The Laws“, mengklasifikasikan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang, yaitu:
1. Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang.
2. Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan undang-undang.
3. Kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.

Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat dua sarjana hukum klasik itu memiliki kemiripan satu sama lain. Perbedaan pendapat yang mencolok di antara kedauanya adalah ketika melihat kekuasaan kehakiman dan hubungan luar negeri sebuah negara. Bila John Locke mengutamakan fungsi federatif, Montesquieu lebih mengutamakan fungsi kekuasaan kehakiman (judiciary). Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan ke dalam dan keluar dengan negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi pertahanan baru timbul apabila fungsi diplomasi terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting oleh John Locke adalah fungsi federatif. Sedangkan fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan kedalam kategori fungsi legislatif, yang itu terkait dalam fungsi pelaksanaan hukum. Tetapi bagi Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negeri-lah (diplomasi) yang termasuk dalam fungsi eksekutif, sehingga tidak perlu dianggap tersendiri. Sesuatu yang dianggap penting oleh Montesquieu dalam sebuah negara justeru fungsi yudisial atau fungsi kekuasaan kehakiman.

Patut dicatat bahwa kekuasaan haruslah dibatasi agar tidak menimbulkan absolutisme penindasan dan kekerasan. Montesquieu menegaskan bahwa kebebasan akan menjadi taruhan jika semua cabang kekuasaan berada pada satu tangan tanpa pengawasan. Lengkapnya dia mengatakan bahwa, ”Liberty is threatened if the same person (or agency) concentrates all three or two powers in his hand.”
Bagaimanapun, pembatasan kekuasaan (limitation of power) berkelindan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan (division atau distribution of power). Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para ahli berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini.

Secara etimologis, pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus) sesuatu. Jadi secara harfiah pembagian kekuasaan dapat diartikan sebagai proses memilah wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan pada satu pihak atau lembaga.
Sedangkan pemisahan kekuasaan dapat pula didefinisikan sebagai proses memisahkan dengan tegas wewenang yang dimiliki dalam suatu negara baik tugas memerintah, mewakili, mengurus menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang terpisah satu sama lain dalam rangka menghindari terpusatnnya kekuasaan atau kewenangan pada satu pihak atau lembaga negara.

Gagasan pemisahan kekuasan lazim dianut oleh negara-negara dengan demokrasi yang sudah mapan. Perancis misalnya menempatkan pemisahan kekuasaan dalam pelaksanaan kekuasaan negara. Dalam mengomentari pemisahan kekuasaan ala Perancis tersebut, A.V Dicey berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan mengandung arti bahwa pemeliharaan prinsip mencegah eksekutif, lembaga legislatif dan yudikatif untuk mencampuri wilayahnya satu sama lain.

Pembatasan Kekuasaan negara Indonesia Kontemporer; Doktrin Pembagian atau Pemisahan Kekuasaan?

Sebagaimana diketahui negara demokratis adalah negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan prinsip- prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Pembatasan kekuasaan dalam pemerintahan sebuah negara bisa pula dikategorikan ke dalam bentuk negara dengan sistem pemisahan kekuasaan dan negara yang menganut pembagian kekuasaan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam konteks kekinian, bagaimana pula dengan Indonesia?

Dalam konsep ketatanegaraan Indonesia khususnya UUD 1945 sebelum amandemen, boleh dibilang istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) sering dipertentangkan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala Trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945 misalnya, Soepomo menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin Trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.

Seiring perubahan konstitusi lewat amandemen UUD 1945, terjadi pula pergeseran konsep pembatasan kekuasaan Indonesia. Menarik untuk mencermati pendapat Jimly Asshiddiqie yang mengatakan bahwa pasca perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi Indonesia telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :

1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya seperti BPK.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

Senada dengan Jimly, Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa Indonesia kini menganut sistem pemisahan kekuasaan. Ni’matul Huda mengilustrasikan pemisahan kekuasaan di Indonesia lewat pergeseran kewenangan membentuk undang-undang yang menjadi domain DPR untuk mendapat persetujuan bersama Presiden sebagai langkah penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.

Saya berpendapat bahwa tidak sepenuhnya benar mengatakan bahwa Indonesia secara mutlak menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power). Sebab, dalam hal tertentu masih terkandung pula sistem pembatasan kekuasaan meskipun dalam format lain. Artinya, di samping menganut sistem pemisahan kekuasaan, Indonesia ternyata masih menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power). Memang dalam konteks tertentu bisa dikatakan konstitusi Indonesia menekankan lebih dominannya warna dan doktrin pemisahan kekuasaan ketimbang pembagian kekuasaan. Namun demikian tidak berarti doktrin pembagian kekuasaan itu tidak ada sama sekali.
Doktrin pembagian kekuasaan tersebut terlihat pada kekuasaan membentuk undang-undang. Di negara yang menganut sistem presidensial, fungsi pembentukan undang-undang (legislasi) menjadi domain legislatif. Kewenangan membentuk undang-undang yang menjadi domain DPR untuk mendapat persetujuan bersama Presiden sebagai langkah penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial justeru mengandung makna bahwa yang ada bukanlah pemisahan kekuasaan namun tercipta pembagian kekuasaan khususnya dalam pembentukan undang-undang.

Prinsip Check and Balances dalam Perspektif Teoritis

Kamus hukum mendefinisikan prinsip check and balances sebagai sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling kontrol di antara cabang kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang didesain untuk mencegah terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang sehingga mendominasi cabang kekuasaan
yang lain.

Butterworths Concise Australian Legal Dictionary mendefinisikan Checks and Balances sebagai berikut; “A system of rules diversifying the membership of, and mutually countervailing controls interconnecting the executive, legislative, judicial branches of government, designed to prevent concentration of power within any one branch at the expense of the others.”

Secara konseptual, prinsip check and balance dimaksudkan agar tidak terjadi overlapping atau tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara sehingga kekuasaan dalam negara haruslah diatur dengan seksama. Namun demikian, kelemahan dari pelaksanaan mekanisme check and balance merupakan teori tanpa ujung, saling mengontrol dan berputar.

Dengan mendasarkan pada spektrum pelaksanaannya, prinsip checks and balances dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yakni, pertama, pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan tertentu. Kedua, adanya pelaksanaan checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan.

Lalu bagaimanakah hubungan antara prinsip pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks and balances? Prinsip pemisahan kekuasaan membagi tanggungjawab pemerintahan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi disini memiliki fungsi mencegah cabang-cabang kekuasaan dari penyalahgunaan kekuasaan, seperti penyalahgunaan untuk tujuan-tujuan khusus , dan kompromi politik. Sebagai ilustrasi bisa dilihat dari uraian berikut; undang-undang dibuat atas persetujuan bersama DPR dan Presiden sebagai implementasi fungsi legislasi. Namun cabang kekuasaan yudikatif dapat membatalkan produk hukum tersebut dengan fungsi judicial review yang dimilikinya yakni hak untuk menguji apakah suatu undang-undang berlawanan dengan konstitusi.

Implementasi Prinsip Check and Balances Antar Lembaga Negara Di Indonesia Pasca Amandemen UUD NRI 1945

Sejak masa kemerdekaan, 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia terus berdinamika sebagai upaya mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang demokratis. Undang- Undang Dasar 1945 (naskah asli), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang- Undang Dasar Sementara 1950 dan Undang- Undang Dasar 1945 (hasil amandemen) merupakan proses pemantapan konsep dan implementasi demokrasi Indonesia. Konsensus politik bangsa dalam perubahan sistem ketatanegaraan dapat dilihat dengan perbandingan struktur atau konstruksi kekuasaan di Indonesia saat sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945.

Selayaknya harus dicatat bahwa absennya prinsip dan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan sebelum reformasi terbukti menghambat proses tumbuhnya demokrasi yang sehat. Tidak adanya mekanisme saling kontrol antar-cabang kekuasaan tersebut akhirnya memunculkan pemerintahan yang totaliter serta lahirnya praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Prinsip checks and balances yang menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi menjadi tersandera dan tidak terwujud sebagaimana mestinya.

Sebagai dijelaskan sebelumnya, checks and balances dapat dibagi menjadi dua yakni internal dalam cabang kekuasaan tertentu dan checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan. Ilustrasi klasifikasi tersebut dapat dilihat dalam praktek ketatanegaran Indonesia berikut ini.

Pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan legislatif di Indonesia dapat dilihat dalam mekanisme hubungan antara MPR, DPR dan DPD. Berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” terlihat bahwa kedaulatan dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri dengan dasar konstitusi. Ketentuan tersebut menghilangkan lembaga tertinggi negara sebelumnya, yaitu MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances).

Selain menghilangkan supremasi MPR, amandemen UUD 1945 telah melahirkan lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili kepentingan daerah di level nasional. Meskipun pelaksanaan di lapangan tidaklah semudah yang dibayangkan, secara konseptual keberadaan DPD dimaksudkan untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) di internal lembaga legislatif itu sendiri.

Dalam hal fungsi legislasi misalnya, DPD memiliki kewenangan yang sangat terbatas bila dibandingkan dengan superioritas kewenangan DPR. Setidaknya fungsi legislasi DPD hanya terbatas pada dua hal. Pertama, DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua, DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Saldi Isra mengatakan bahwa frasa ”ikut membahas” dalam Pasal 22D ayat (1) posisi DPD menjadi tidak sebanding dengan DPR yang membahas dan mengambil persetujuan bersama dengan presiden. Lebih lanjut Saldi Isra mengatakan;

Dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, fungsi legislasi harus dilihat swecara utuh, yaitu dimuali dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan adanya pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Tidak hanya itu, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menentukan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR. Dengan menggunakan cara berpikir a contratio, sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang hanya dapat mengajukan dan membahas rancangan undang-undang bidang tertentu sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945, DPD tidak mempunyai fungsi legislasi.

Hal tersebut memberi kesan bahwa DPD hanyalah lembaga sempalan dalam kekuasaan legislatif. Artinya, secara kelembagaan DPD dan DPR memang terlihat sejajar, namun secara fungsional DPD tersubordinasikan oleh kekuatan DPR yang memiliki superioritas jauh melebihi DPD.

Adapun mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan bisa dilihat pula dari hubungan lembaga eksekutif dan legislatif. Patut dicatat bahwa dalam ranah eksekutif dengan penerapan sistem presidensial, mekanisme checks and balances telah dilembagakan dalam institusi suprastruktur politik, yaitu pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif yang masing-masing dipegang oleh presiden dan lembaga legislatif. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat lewat pemilu. Selain itu, meskipun parlemen berfungsi sebagai pemegang kekuasaan legislatif atau pembentuk undang-undang, presiden tetap memiliki hak mengajukan RUU serta membahas RUU bersama DPR untuk kemudian dilakukan persetujuan bersama.

Dalam hubungannya dengan parlemen, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan hanya dapat dijatuhkan oleh parlemen jika diikuti alasan-alasan khusus dan dengan mekanisme yang khusus pula. Untuk memberikan jaminan checks and balances antara eksekutif dan legislatif, konstitusi memberikan panduan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.

Bila dicermati lebih jauh aturan konstitusional kekuasaan eksekutif dan legislatif, menurut hemat penulis checks and balances antara antara kedua cabang kekuasaan tersebut tidaklah berimbang. Meskipun posisi DPR dan presiden ditempatkan sejajar, DPR tetap saja lebih dominan ketimbang Presiden. Hal ini dapat dilihat dari aspek pembubaran DPR dan impeachment presiden. Parlemen Indonesia (MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD) dapat memberhentikan presiden yang dalam masa jabatannya. Sebaliknya, presiden tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945 bahwa ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’.
Dominasi dan supremasi DPR dapat pula dilihat dari penyusunan dan pembentukan undang-undang. Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Pasal 20 ayat (1) tersebut mengatur jelas soal tugas dan kekuasaan DPR. Sayangnya, pasal ini menjadi rancu dengan adanya rumusan Pasal 20 ayat (2), ”Setiap undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.” Selanjutnya, Pasal 20 ayat (5) menyatakan bahwa; ”Dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”. Rumusan pasal 20 ayat (5) tersebut dapat dimaknai bahwa presiden tidak dapat berbuat banyak dalam mengesahkan undang-undang yang telah disepakati bersama, karena tanpa pengesahan presiden rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Di sinilah terlihat prinsip checks and balances antara presiden dengan DPR kurang berimbang.
Prinsip checks and balances antar lembaga negara yang lebih berimbang dapat dilihat pada hubungan antara kekuasaan legislatif dan yudikatif. Jika Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” maka untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan (checks and balances) difungsikanlah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pemegang kekuasaan yudikatif yang kewenangannya salah satunya adalah meninjau apakah undang-undang yang telah dibuat bertentangan dengan konstitusi atau UUD. Kewenangan tersebut dikenal pula dengan istilah judicial review.

Prinsip checks and balances antar lembaga negara (cabang-cabang kekuasaan) dapat pula dilihat dalam hal peran lembaga yudikatif yakni MK ketika DPR ingin menjatuhkan presiden (impeachment). Proses pemberhentian presiden dimulai dengan permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum dimaksud berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Pemberhentian juga bisa dimintakan bila DPR berpendapat presiden/wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Proses impeachment selanjutnya adalah di MPR. Sidang pemberhentian itu harus dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota MPR. Presiden baru dinyatakan berhenti bila minimal 2/3 dari anggota MPR yang hadir menyetujuinya. Dalam proses di MPR ini, yang merupakan proses terakhir, presiden/wakil presiden diberi kesempatan untuk membela diri. Kesimpulannya, proses impeachment di Indonesia dimulai dari proses politik, lalu berlanjut menjadi proses hukum, dan kemudian ditutup dengan proses politik juga. Pengaturan ini dimaksudkan agar sejauh mungkin terhindarkan praktek sewenang-wenang dalam hal pemberhentian presiden dan mewujudkan prinsip checks and balances itu sendiri.

Kesimpulan

Agar ciri negara demokratis semakin melekat, maka penyelenggaraan pemerintahan negara haruslah dilakukan berdasarkan prinsip- prinsip hukum yang membatasi kekuasaan dengan melaksanakan prinsip dan mekanisme checks and balances baik dalam internal cabang kekuasaan tertentu maupun antar cabang kekuasaan yang ada (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Negara modern menerapakan pembatasan kekuasaan dengan memodifikasi dan menyesuaikan pada kondisi dan kebutuhan politik ketatanegaraan masing-masing. Ada yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan ada pula yang menganut pembagian kekuasaan.

Dalam konteks pembatasan kekuasaan bisa disimpulkan bahwa UUD NRI 1945 lebih condong menganut doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) ketimbang pembagian kekuasaan (distribution of power). Namun tidak berarti doktrin pembagian kekuasaan itu tidak ada sama sekali. Pembagian kekuasaan yang tampak jelas dengan melihat konteks pelaksanaan fungsi legislasi antara DPR bersama presiden.

Meskipun pembatasan kekuasaan dan prinsip checks and balances dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah lebih baik dari sebelumnya, pengaturannya masih memerlukan perbaikan demi perbaikan agar tidak terjadi kekisruhan dan polemik ketatanegaraan yang berpotensi mengancam keberlangsungan proses demokratisasi di Indonesia.#

DAFTAR BACAAN

A.V. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, diterjemahkan dari Introduction to the Study of the Constitution, penerjemah Nurhadi, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2008.
Bagir Manan, DPR, DPD, MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.
E.Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1983.
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, 1991.
Franz Neumann, The Democratic and The Authoritarian State;Essays in Political and Legal Theory, the Free Press, Illinois, 1957.
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi; Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, 2010.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
J.F. Corkery, Starting Law, Scribblers Publication, Australia, 2002.
John Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden, Pelangi Cendikia, Jakarta, 2007.
L.J. Van. Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986.
Larry Diamond (penyunting), Revolusi Demokrasi, M.Fadjroel Rahman (penerjemah), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1983.
Mochtar Kesumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000.
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pres, Jakarta, 2009.
Munir Fuadi, Teori Negara Hukum Modern, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009.
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2003.
Padmo Wahono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984
Peter Butt (eds.), Butterworths Concise Australian Legal Dictionary, LexisNexis, Australia, 2004.
Salman Luthan, “Dialektika Hukum dan Kekuasaan”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII Yogyakarta, No. 14 Vol. 7. Agustus 2000.
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Rajawali Press, Jakarta, 2010.

Internet

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?BeritaInternalLengkap&id=3955.
http://www.dpd.go.id
http://www.mpr.go.id

1 comment:

Amelia said...

Terimakasih pak atas ilmunya sangat bermanfaat untuk saya