Saturday, December 24, 2011

Citra Lembaga dan Badan Kehormatan DPD RI

Sudah hampir tiga tahun anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2009-2014 diambil sumpahnya sebagai wakil daerah. Sejauh ini, boleh dikatakan tugas-tugas konstitusional DPD belum dapat dijalankan secara maksimal disebabkan beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah persoalan DPD yang selama ini masih disibukkan dengan penataan internal kelembagaan dan tugas penyusunan tata tertib baru. Akibatnya kepentingan daerah yang diembankan di pundak DPD belum tampak diperjuangkan dengan maksimal. Padahal, dinamika ketatanegaraan kita memerlukan lembaga perwakilan daerah yang betul-betul mampu melaksanakan fungsi-fungsi konstitusionalnya sehingga aspirasi daerah dapat diperjuangkan dalam setiap pengambilan keputusan tingkat pusat.

Pemilu legislatif tahun 2009 telah menghasilkan sebagian besar muka-muka baru anggota DPD. Kehadiran wajah-wajah baru itu tidak hanya memberikan angin segar perubahan tetapi juga diharapkan mampu menjadikan DPD sebagai ujung tombak dan penyambung lidah asipirasi masyarakat di daerah. Masyarakat berharap kehadiran DPD yang memiliki komitmen tinggi terhadap kepentingan daerah. Kelembagaan DPD yang lebih kompatibel dan berwibawa kini bergantung seberapa jauh anggota DPD yang baru bekerja untuk rakyat dan kepentingan daerah.
Lingkaran Setan Kegagalan

Banyak kalangan menilai DPD kini dihadapkan pada persoalan terulangnya cerita lama potret lembaga perwakilan yang ”adanya seperti tiada dan tiada seperti ada”. Ancaman itu bisa jadi akibat munculnya kebiasaan lama yang tidak mencerminkan idealisme sebagai wakil-wakil daerah di tingkat pusat. Kisruh pemilihan paket pimpinan MPR dari unsur DPD beberapa waktu lalu turut memberikan potret buram kepada publik betapa DPD sebagai lembaga lebih tertarik memperjuangkan kekuasaan sesaat ketimbang memikirkan nasib rakyat dan daerah.

Realitas keprihatinan tahun-tahun sebelumnya sepertinya bakal kembali terulang kembali. Menilik ke belakang, selama lima tahun popularitas DPD sebagai lembaga perwakilan sangatlah minim. Tidak banyak yang diketahui oleh masyarakat soal apa saja yang sudah dilakukan DPD untuk kepentingan daerah. Belum lagi pemberitaan media yang amat terbatas soal kinerja-kinerja DPD selama periode pertama. Ketika pemilu legislatif diselenggarakan, hingar bingar peserta pemilu dari partai politik mendominasi pemberitaan media ketimbang pemilu anggota DPD. Salah satu penyebabnya barangkali akibat keberadaan DPD yang kurang ”seksi” dan populer.

Bagaimanapun, selalu ada hubungan antara popularitas dengan kualitas kinerja. Kualitas kinerja juga berkelindan erat pada tingkat keaktifan dan kerajinan anggota-anggota DPD menghadiri rapat-rapat atau sidang resmi. Seperti halnya DPR, anggota DPD juga bermasalah dengan intensitas kehadiran dalam rapat-rapat resmi. Sampai saat ini publik pun belum menangkap adanya semangat perubahan dalam internal DPD untuk berbenah diri. Padahal sumpah jabatan telah diikrarkan dan Pakta Integritas sudah ditandatangani bersama.

Berharap pada Badan Kehormatan

Bagaimana mengatasi persoalan tersebut? Tidak banyak kalangan yang menyoroti rendahnya tingkat kehadiran anggota DPD dalam forum atau rapat resmi. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, tingkat kehadiran anggota DPD tidak lebih baik ketimbang kehadiran anggota DPR. Memang selama penyelenggaraan sidang paripurna, kehadiran anggota DPD cenderung maksimal. Namun dalam penyelenggaraan rapat-rapat alat kelengkapan, kehadiran anggota-anggota DPD selalu menjadi kendala utama.
Ketika kritik dari luar belum terlihat dan belum mampu menyadarkan DPD diperlukan mekanisme internal yakni kode etik serta tata tertib. DPD perlu secara radikal merubah peraturan tata tertib peninggalan generasi lalu. Perubahan tersebut mendesak sebab salah satu penyebab kurang greget-nya DPD dalam konstelasi politik ketatanegaraan periode pertama turut didorong oleh peraturan tata tertib yang lemah. Kode etik DPD juga perlu dibenahi sebab pada dasarnya kode etik berisi norma-norma atau aturan yang merupakan kesatuan landasan etik dan filosofis terkait peraturan mengenai apa yang diwajibka, dilarang atau tidak patut dilakukan oleh Anggota DPD. Kode etik tidak saja diperlukan untuk menjaga kehormatan, martabat dan kredibilitas individu anggota DPD tetapi juga menjaga dan menaikkan citra DPD secara institusional.

Selain itu, tidak kalah pentingnya, perbaikan kinerja dan citra DPD juga dapat didorong lewat Badan Kehormatan (BK). BK DPD secara yuridis diatur pada Pasal 245 Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Sebagaimana diketahui, BK merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota DPD. Selain itu BK DPD juga bertugas melakukan evaluasi dan penyempurnaan DPD tentang tata tertib dan kode etik DPD. BK secara ideal dapat difungsikan untuk mengawal dari dalam gerak perubahan dan pencitraan DPD menjadi lembaga negara yang populis dan responsif.

Sayang, tata tertib DPD belum memberikan panduan yang efektif bagi BK untuk bekerja maksimal. Salah ilustrasi misalnya, berdasarkan tata tertib DPD nomor 1/DPD RI/I/2009-2010 pasal 76, BK bertugas untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota yang tidak melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagai anggota. Aturan tersebut secara normatif tidak memberikan BK ruang gerak yang leluasa dalam menegakkan kode etik anggota DPD. Pasalnya BK baru bisa bertindak menyelidiki dan memverifikasi serta menjatuhkan sanksi selama ada pengaduan baik dari pimpinan, masyarakat atau daerah terhadap anggota yang lalai atau melanggar kode etik. Aturan ini tidak saja membelenggu BK dalam menegakkan aturan dan kode etik namun sekaligus memandulkan fungsi aktif BK dalam menjaga dan meningkatkan martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas Anggota dan institusi DPD.
Kekhawatiran BK menjadi mandul semakin beralasan ketika misalnya BK menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap anggota yang terbukti melanggar kode etik. Selain dimungkinkan berubahnya proses tersebut menjadi tawar-menawar politik, efektifitas penjatuhan sanksi pemberhentian akan sia-sia sebab anggota yang dijatuhi sanksi pemberhentian masih memiliki jalur hukum sebagaimana diatur pasal 80 ayat (4) tata tertib. Lebih jauh, Tatib DPD tidak menjelaskan lebih rinci jalur hukum dimaksud.
Sebenarnya dalam UU MD3 pemberhentian anggota DPD hanya terjadi dalam dua hal. Pertama, anggota DPD terbukti merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada badan peradilan, PNS, anggota TNI, pegawai BUMN, BUMD, pejabat struktural lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat, notaris. Kedua, anggota DPD dapat diberhentikan dengan alasan terbukti melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme serta gratifikasi.

Belajar dari jejak langkah DPD periode sebelumnya, paling tidak ada tiga sedimen tebal yang turut menempel di BK DPD. Sedimen tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi BK untuk ikut mengkatrol popularitas DPD. Pertama, fakta bahwa DPD sudah terlanjur diklaim sebagai lembaga negara yang kewenangannya amat terbatas sehingga koordinasi dan komunikasi politik internal dan eksternal seperti jalan di tempat. Sampai hari ini DPD masih menyempurnakan format kerja internal dan hubungan antara alat kelengkapan termasuk penyempurnaan tata tertib dan kode etik. Alat kelengkapan DPD yang lain seperti Panitia Musyawarah misalnya, hingga sekarang masih menyempurnakan Tatib DPD sebagai acuan pemantapan kelembagaan DPD di masa mendatang. Di tengah aturan konstitusi yang membatasi ruang gerak DPD dalam hal pencitraan lembaga, DPD juga dihadapkan pada pekerjaan penataan internal baik itu memantapkan keberadaan alat kelengkapan maupun dalam aturan teknis lainnya.

Sedimen sejarah kedua adalah potret kinerja parlemen yang jauh dari harapan publik. Bagaimanapun, ketika menyebut DPD maka tersematkan pula embel-embel parlemen di belakangnya. Sementara, parlemen mencakup juga keberadaan DPR. Sederhananya, citra DPR yang buruk akan mengantarkan pada kesimpulan buruknya citra parlemen di mana DPD menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Jika dilihat kinerja DPR, menarik mengetengahkan data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menunjukkan, DPR periode 2004-2009 baru berhasil menyelesaikan 155 RUU dari total sebanyak 284 RUU yang masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (prolegnas). Hasil kerja legislasi DPR jauh dari memuaskan meski sudah melewati angka 50%. Selain itu, berdasarkan data Indonesian Parliamentary Center (IPC), tahun 2008 lalu DPR hanya berhasil mengesahkan 44 RUU. Namun mayoritas undang-undang yang disahkan tersebut terkait dengan pemekaran wilayah (14 undang-undang). Artinya, pencapaian ini tidak bisa disebut sebagai prestasi karena isi undang-undang pemekaran wilayah hanya copy paste dari undang-undang serupa sebelumnya.

Sedimen sejarah ketiga adalah rendahnya akseptibiltas DPR untuk membangun komunikasi dan persetujuan tentang pola hubungan kerja DPR-DPD. Tidak bisa dipungkiri, DPR cenderung menutup mata dan enggan atau lalai dalam membahas keinginan DPD untuk membuat persetujuan bersama terhadap beberapa hal yang mengatur mengenai mekanisme kerja kedua lembaga. Sejak tanggal 25 Mei 2005 DPD sesungguhnya telah mengajukan konsep mengenai mekanisme kerja kedua lembaga. Namun, hingga sampai saat ini konsep tersebut belum juga direspons oleh DPR.

Tapi terlepas dari tantangan tersebut, sebenarnya DPD masih memiliki amunisi yang kuat untuk tampil membenahi citra parlemen yang terlanjur sudah negatif di mata publik. Amunisi dimaksud adalah fakta di mana hingga hari ini belum ada satu pun anggota DPD yang terjerat kasus hukum atau divonis bersalah karena menyalahgunakan posisi dan wewenangnya sebagai wakil rakyat dan daerah. BK DPD harus memanfaatkan momentum ini untuk terus mengkampanyekan DPD sebagai lembaga yang masih bisa diharapkan oleh rakyat integritas dan komitmennya. Kaukus Anti Korupsi yang sudah diinisiasi antara lain oleh DPD serta Pakta Integritas yang telah diatur dalam Tata Tertib dapat dijadikan semacam senjata ampuh bagi BK untuk turut menyampaikan pesan tersebut ke konstituen dan lembaga negara lainnya.

Pola Intimasi, BK DPD dan Hubungan Kelembagaan

Tak dapat dipungkiri bila latar belakang keanggotaan DPD RI memberikan dampak pada hubungan DPD dengan daerahnya atau lembaga negara lain. Tanpa komitmen penuh, seorang anggota DPD dapat saja memutuskan untuk tidak lagi menjadi bagian dari DPD karena pertimbangan lain misalnya bertarung di Pemilukada atau memilih duduk pada jabatan lain.

Ke depan, perlu memperhatikan dikembangkannya pola intimasi agar DPD dapat menkonversikan dirinya menjadi sebuah perwakilan politik yang profesional, efektif dan produktif. Tugas ini sebenarnya dapat diperankan secara apik oleh BK DPD apalagi mengingat penegakan disiplin dan kode etik serta pakta integritas anggota DPD menjadi tugas utamanya.

Pola intimasi sebagaimana disebutkan sebelumnya pada dasarnya membutuhkan beberapa pertimbangan yang juga tidak terlepas dari keberadaan BK DPD. Pertama, adanya prosedur dan mekanisme khusus yang secara teratur memberikan kepastian terselenggarakannya interaksi dan hubungan antara wakil daerah dengan konstituennya serta lembaga negara lainnya. Di dalamnya tentu saja mencakup kode etik dan kode perilaku yang harus dipatuhi setiap elemen yang ada di DPD. Kedua, perlunya kontrol atas komitmen politik para wakil atau badan perwakilan atas pilihan tugas yang telah diambilnya. Komitmen dan integritas ini secara otomatis melahirkan prinsip etika politik yang menjadi produk dari pola rekruitmen perwakilan yang bersifat langsung tersebut. Komitmen seperti ini memerlukan lembaga khusus yang bersifat internal agar para wakil daerah bersifat proaktif terhadap aspirasi dan kepentingan daerah serta konstituen. Lembaga khusus yang bersifat internal dimaksud tentu saja BK DPD yang bertindak sebagi infrastruktur politik DPD dalam mengagregasi kepentingan daerah dan menjaga kehormatan, martabat dan kredibilitas individu anggota DPD sekaligus menjaga dan menaikkan citra DPD. Ditekankannya BK DPD untuk mengisi peran ini tidak lain disebabkan fakta bahwa DPD bukanlah seperti partai politik yang memiliki organisasi pendukung dan memiliki struktur yang rapi mulai dari pusat hingga ke propinsi, kabupaten/kota atau bahkan kecamatan.

Ketiga, perlunya mendidik konstituten agar menjadi aktif dan terorganisir. Keaktifan konstituen dimaksud termasuk pula sikap pro-aktif konstituen untuk melaporkan setiap indikasi pelanggaran sumpah jabatan dan kode etik yang mungkin dilakukan oleh anggota DPD. Pengorganisasian konstituen diperlukan juga sebagai bagian dari upaya membangun pola intimasi agar aspirasi masyarakat di daerah dapat ditindaklanjuti dan disalurkan dengan baik dan sempurna.

Kesimpulan

Sebagai lembaga negara yang relatif baru, DPD sampai saat ini masih berkutat pada proses menemukan format kerja yang efektif dan efisien. Harus diakui masih banyak kelemahan mendasar dalam sistem menajemen dan mekanisme kerja internal DPD termasuk keberadaan alat-alat kelengkapan DPD seperti Panmus, Panitia Urusan Rumah Tangga, Panitia Perancangan Undang-Undang dan juga Badan Kehormatan DPD. Meskipun masing-masing alat kelengkapan ini sudah merumuskan pola kerja dan tugas masing-masing, ketiadaan koordinasi secara baik masih sering terjadi. Di antara kelemahan itu adalah belum efektifnya penegakan Kode Etik, belum sempurnanya sistem koordinasi dari dan antaranggota, antapimpinan alat kelengkapan maupun dengan konstituen di daerah pemilihan.

Ke depan, DPD juga perlu menyempurnakan kode etik dan kode perilaku sehingga dapat menjadi panduan dan pedoman anggota dalam menjalankan tugas konstitusionalnya. Yang lebih terpenting adalah penegakan disiplin tata tertib dan kode etik serta kode perilaku DPD baik di tingkat pimpinan maupun anggotanya. Hal ini urgen sebab disinilah ruh utama yang akan menentukan sukses tidaknya kinerja dan pengabdian DPD sebagai lembaga perwakilan daerah.

Dalam hal penegakan disiplin tata tertib dan kode etik serta kode perilaku, bagaimanapun BK tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan energi kolektif untuk menjadikan DPD sebagai lembaga negara yang efektif dan responsif. Semuanya terpulang kembali pada sejauh mana itikad dan komitmen anggota-anggota DPD itu sendiri. Perubahan besar kadang bisa dimulai dari yang terkecil.

DAFTAR BACAAN

Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Untuk Apa DPD RI, Editor Laurens Tato, Ctk. Kedua, Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan dan Pergeseran Kekuasaan dalam Negara, Editor

Ni’matul Huda, Ctk Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2004.

Muhammad Amin, Parlemen Indonesia (Studi Hubungan DPR-DPD Pasca Perubahan UUD 1945), Badan Penerbit UI, Jakarta, 2006.

Masnur Marzuki, “Politik Pencitraan DPD dan Badan Kehormatan”, Majalah Senayan, Edisi 36 Tahun VI, tanggal 22-28 Februari 2010.
______________, Dilema DPD, Republika, Edisi 17 Maret 2009.

Onong Uchjana Effendy, M.A. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti Bandung, 2003

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

No comments: